Jumat, 28 Desember 2007

Syahril Sabirin, Ph,D


Pejuang Independensi Bank Indonesia

Bank sentral harus independen. Untuk menegakkan hal ini, Syahril Sabirin, Gubernur Bank Indonesia (BI), harus menghadapi tantangan hebat. Ia dipaksa memilih: mundur atau ditahan! Ia tidak rela BI diintervensi, maka ia tak mau mundur. Akibatnya, Syahril dituduh korupsi, diadili dan mendekam dalam tahanan. Sempat divonis tiga tahun penjara, namun akhirnya dalam pengadilan yang lebih tinggi, ia divonis bebas. Pengagum Nelson Mandela ini berjuang menegakkan independensi BI, lembaga yang dipimpinnya.
Setidaknya ada dua hal yang sangat merisaukan Syahril Sabirin dalam melihat perjalanan bangsa dan negara. Yakni makin maraknya korupsi dan sikap penguasa baru terhadap penguasa lama.
Dalam soal korupsi, saat ini sulit untuk mencari tempat yang tidak ada korupsinya. Korupsi terjadi di mana-mana, dari yang kecil sampai yang besar, dari puluhan ribu hingga triliunan rupiah. ''Meski saya yakin terjadi sangat kecil, tapi itu juga terjadi di BI,'' ujar mantan Senior Financial Economist Bank Dunia (1993-1997) ini. "Kita ingin bebas dari korupsi," katanya dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia.
Perihal sikap penguasa yang baru terhadap penguasa yang lama, ia sangat kagum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Nelson Mandela. Meski masalahnya tidak serumit di Indonesia, tetapi pada intinya adalah sama. Yaitu melupakan masa lalu, pengampunan dosa, dan melangkah ke depan dengan lembaran yang bersih. Prinsip ini, menurutnya, merupakan satu-satunya cara agar negeri ini dapat maju. ''Tapi harus dilandasi dengan tekad yang kuat, juga jangan sampai diulang-ulang lagi,''tuturnya.
Kalau tidak rela mengampuni tanpa pamrih, ampunilah dengan imbalan. Dengan kata lain, ganti rugi terhadap kejahatan yang lalu. Contohnya, jika ada koruptor yang memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu, akan diminta dari hartanya beberapa persen. Dengan demikian negara pun mendapat dana yang besar untuk melangkah kedepan.
Pria lulusan Jurusan Ekonomi Perusahaan, Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada ini, adalah orang pertama yang memimpin Bank Indonesia (BI) setelah diberlakukannya UU No 23 tahun 1999 yang menjamin independensi BI. Ia memang orang karir di instansi ini. Setamat kuliah (sempat menganggur setahun karena pada waktu itu sulit mendapatkan pekerjaan), ia diterima di Bank Indonesia melalui proses tes (1969). Ia mengawali karirnya di Bank Indonesia sebagai staf umum di Urusan Ekonomi dan Statistik.
Beberapa tahun kemudian, Syahril mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Williamstown, USA, pada 1973, untuk mengambil gelar MA bidang pembangunan ekonomi. Kemudian dilanjutkan lagi dengan memperoleh beasiswa dari USAID untuk program doktor (Ph.D) bidang Ekonomi Moneter dan Internasional di Vanderbilt University, USA. Gelar PhD tersebut diperolehnya pada tahun 1979.
Setelah menyelesaikan doktornya, ia kembali bertugas di BI hingga akhirnya menjadi salah satu anggota direksi (Dewan Gubernur - sekarang) pada tahun 1988-1993. Kemudian selepas bertugas sebagai Direktur BI selama 5 tahun, ia melamar ke Bank Dunia (World Bank) di Washington DC, USA dan diterima sebagai Senior Financial Economist untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara dengan masa dinas 3 tahun.
Setelah habis masa tugas di Bank Dunia, ia memutuskan kembali ke Indonesia. Rencananya ia hendak beristirahat dulu dari berbagai kegiatan. Tiket pesawat sudah ditangan, dijadwalkan berangkat 24 Desember 1997. Namun, sebelum tanggal keberangkatan, datang telepon dari seorang pejabat penting di Jakarta. Pejabat itu menyampaikan bahwa akan ada rencana pergantian jajaran dewan direksi BI. Syahril diminta untuk kembali ke Bank Indonesia. Kaget dan penasaran, ia pun balik bertanya, "Saya kembali sebagai apa?" Pejabat itu menjawab bahwa ia akan ditempatkan sebagai direktur, yang kemungkinan pada dua atau tiga bulan mendatang diangkat menjadi gubernur.
Satu posisi yang oleh banyak orang diperebutkan dengan berbagai cara kini terbuka dihadapannya. Namun, ia tidak dengan serta-merta menyetujuinya. Ia minta waktu untuk berpikir. Paling tidak membicarakannya dengan istri tercinta, Murni. Tapi, istrinya menyerahkan sepenuhnya kepadanya. Istrinya menyatakan akan mendukung apa yang paling baik menurut pertimbangan Syahril. "Segala pertimbangan, kamulah yang mengetahui baik buruknya," kata istrinya.
Pada waktu itu, ia belum mengatakan ya atau tidak. Lalu karena di dalam Islam diajarkan untuk shalat istikharah ketika memiliki keraguan, maka ia pun shalat. Setelah melaksanakan shalat istikharah, ia kemudian memiliki keyakinan hati. Lalu isterinya bertanya; " Bagaimana?" ia pun menyatakan akan menerima tawaran itu. Karena setelah shalat, ia merasakan betapa besar kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk mengemban sebuah tugas dalam keadaan yang sangat sulit di tengah-tengah Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. Apalagi rencananya dalam 2 sampai 3 bulan ia akan ditempatkan menjadi gubernur. Sebuah amanah tugas yang amat berat.
Lebih jauh ia merenung. Mengapa ia diminta untuk mengatasi masalah yang sangat sulit itu? Berarti ia diharapkan dan dipercayai memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga tidak patut permintaan itu ditolak. Jika ditolak, barangkali ia akan disebut sebagai orang yang amat sombong. Setelah mendapat keyakinan itu, ia pun telepon ke Jakarta menyatakan menerima tugas tersebut.
Akhirnya ia kembali ke Jakarta sesuai jadual penerbangan yang ketat menjelang Natal. Ia tidak dapat mempercepat keberangkatannya, sehingga ketika pelantikan dilaksanakan, ia terlambat. Anggota direksi yang lain sudah dilantik sebelum ia tiba di Jakarta, sedangkan Syahril baru dilantik pada tanggal 29 Desember 1997 sebagai seorang direktur. Lalu pada tanggal 19 Februari 1998, berdasarkan Keppres RI No. 39/M/1998, ia dilantik menjadi Gubernur BI menggantikan J. Soedradjad Djiwandono.
Begitulah perjalanan karier pria kelahiran Bukittinggi, 14 Oktober 1943. kariernya dari bawah dan naik secara berjenjang, sampai menjadi Direktur dan Gubernur.
Meredam Krisis
Sejak menerima tugas tersebut, Syahril berupaya mencurahkan segala kemampuan, waktu dan tenaga, berjuang bersama-sama anggota direksi dan staf BI untuk dapat mengatasi krisis moneter yang tengah melanda Indonesia. Namun, pada permulaan, masih pada masa pemerintahan Pak Harto tahun 1998, keadaan politik saat itu tidak terlalu mendukung, sehingga laju inflasinya meningkat begitu pesat.
Selain akibat kondisi politik, ditambah lagi dengan belum adanya jaminan terhadap nasabah bank pada masa itu sehingga kepercayaan terhadap lembaga bank menurun drastis. Terlebih lagi dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan Nopember 1997, kepercayaan masyarakat terhadap bank makin sulit dibangkitkan kembali.
Untuk mengatasi hal itu, lalu jaminan terhadap nasabah bank dikeluarkan. Namun, pada saat itu tidak serta merta kepercayaan publik bangkit kembali. Publik tampaknya perlu pembuktian tentang benar atau tidak. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan tersebut pulih kembali. Namun sebelum kepercayan itu pulih, hampir semua bank mengalami kesulitan. Jika tidak dibantu, banyak bank itu akan gugur. Maka BI harus membantu dengan likuiditas.
Itulah yang populer disebut dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Satu cara terbaik ketika itu untuk menyelamatkan bank. Jika tidak, mungkin tidak ada lagi bank di Indonesia. Kemudian sulit dibayangkan bagaimana keadaan ekonomi, jika sebuah negara tidak mempunyai bank. Atau jika setidaknya sama sekali tidak ada kepercayaan terhadap bank, seperti halnya terjadi di Argentina beberapa waktu lalu. Dalam kondisi seperti itu, BLBI itulah suatu usaha yang dapat dilakukan BI dengan persetujuan pemerintah ketika itu.
Pada bulan Mei 1998 pemerintah berganti dari Soeharto ke BJ Habibie. Pada masa pemerintahan BJ Habibie inilah terlihat arah yang lebih jelas dan fokus, kendati kondisi politik masih belum kondusif. Tampaknya Habibie memiliki komitmen dalam perbaikan dan perkembangan ekonomi. Ini jelas tercermin dari pidato kenegaraannya yang pertama. Ketika itu Habibie menyatakan akan menempatkan BI sebagai sebuah lembaga bank sentral yang independen. Tak lama kemudian, komitmen ini pun segera diwujudkan dengan diundangkannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Satu landasan hukum yang kuat untuk menjamin independensi Bank Indonesia. Lalu pada masa pemerintahan Habibie ini Syahril diangkat kembali untuk masa jabatan pertama selama empat tahun berdasarkan Keppres Nomor 149/M Tahun 1999 tanggal 17 Mei 1999. Posisinya sebagai Gubernur BI semakin kokoh dengan disahkannya UU No 23 tahun 1999 yang menjamin independensi Bank Indonesia itu.
Komitmen pemerintah waktu itu cukup kuat. Tim ekonominya dibawah koordinasi Ginandjar Kartasasmita sebagai Menko Ekuin. Selepas itu, arus inflasi pun mulai berkurang. Nilai tukar rupiah kembali menguat hingga sempat menyentuh posisi Rp. 7.000 per satu dolar AS dalam waktu yang relatif singkat.
Pada awal ia menjabat sebagai Gubernur BI, bank sentral sempat menjadi sasaran kritikan masyarakat. Sebab, pada masa itu, masa euforia reformasi, banyak pejabat yang mendapat hujatan. Terlebih lagi ketika BI mengeluarkan kebijakan suku bunga tinggi. Kebijakan moneter diperketat. Beberapa pengamat mengkritik kebijakan ini dengan tajam. Tapi Syahril menyarankan kepada segenap jajaran BI untuk tetap sabar, bijak, dan konsisten. Karena jika belum waktunya, kebijakan ini diperlonggar, sama saja seperti memberikan setengah dosis obat kepada pasien. Tidak membuat penyakit sembuh bahkan menjadikan penyakit itu kebal terhadap obat sehingga susah untuk diobati lagi. Tetapi dengan kebijaksanaan ketat itu, berangsur-angsur inflasi menurun dan rupiah menguat. Lalu suku bunga pun berangsur-angsur turun.
Didesak Mundur
Hanya saja hal ini tidak berlangsung lama. Pemerintahan berganti dari BJ Habibie ke Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Pergantian ini ternyata memunculkan masalah baru. Ini bermula pada saat Syahril, akhir tahun 1999, diminta datang ke Bina Graha bersama Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dan Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto. Saat itu yang menjadi berita hangat di media massa adalah kasus Texmaco. Syahril berpikir mungkin masalah ini yang akan dibicarakan. Tetapi ketika sampai di Bina Graha yang dibahas justru masalah penggantian Gubernur BI.
Syahril sempat kaget. Tidak mengerti. Namun ia tetap berpikir tentang independensi BI yang harus dipertahankan. Kepada Presiden Wahid ia menyatakan tidak ada alasan untuk mundur dari jabatannya. Menurut Undang-undang BI, hanya ada tiga alasan yang memungkinkan seorang Gubernur BI mundur dari jabatannya. Pertama, orang yang bersangkutan dengan sukarela mengundurkan diri. Kedua, yang bersangkutan meninggal dunia. Ketiga, yang bersangkutan berurusan dengan kriminalitas atau hukuman pidana. Dari ketiga alasan itu, bagi Syahril, tidak ada satu pun yang bersangkut-paut dengannya sehingga ia harus mundur dari jabatan Gubernur BI.
Juga dijelaskan, kalau saja ia mundur karena tekanan atau terpaksa, maka ia sudah melanggar hukum. Sebab, dalam Undang-undang BI disebutkan, jika Gubernur BI diintervensi, baik yang mengintervensi maupun yang diintervensi, melanggar Undang-undang. Oleh karena itu tidak mungkin baginya untuk mundur. Keadaan itu tentu membuat suasana menjadi tegang. Gus Dur tetap menginginkannya mundur, tapi hingga pertemuan berakhir, Syahril tetap bersikukuh menolak.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa Gus Dur menyuruhnya mundur? Ada dugaan, hal itu terkait dengan salah satu bank yang dilikuidasi dan Gus Dur adalah salah seorang pemegang sahamnya. Selain itu, mungkin juga karena pernah seorang direktur bank, teman dekat Gus Dur, hendak dipromosikan, namun ternyata menurut formula yang ada di BI, yang bersangkutan tidak lulus fit and proper test. Ketika itu, Gus Dur memintanya untuk diluluskan, tapi Syahril Sabirin dan jajarannya mengatakan tidak mungkin. Sebab jika ini dilakukan, kredibilitas BI akan hancur. BI memiliki kebijakan bahwa pengurus bank itu harus diseleksi melalui kriteria tertentu. Ketika seseorang dinyatakan tidak lulus tes, tapi pemerintah menghendaki agar lulus, ini akan membuat segalanya kacau. Padahal modal utama BI adalah kredibilitas institusi.
Setelah itu, pertemuan dengan Gus Dur terus berlanjut dan Presiden tetap bersikeras memintanya mundur. Kalau tidak mau akan diambil tindakan hukum. Hanya ada dua pilihan, mundur atau di usut, dijadikan tersangka dan ditahan. Tapi, Syahril tak bergeming. Ia bertahan. Sampai-sampai Jaksa Agung Marzuki Darusman pun, konon, ikut "menyarankan" agar Syahril mundur saja dari pada ditahan. Tapi Syahril tetap pada pendiriannya, tak mau mundur.
Karena tidak mau mundur juga, pada awal Juni 2000, Syahril dijadikan tersangka dalam kasus Bank Bali. Padahal sudah dijelaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus itu.
Lalu mengapa Syahril tak mau mundur? Bagi Syahril pribadi, ini semata-mata bukan karena ingin tetap bertahan sebagai Gubernur BI. Melainkan karena keinginan untuk tetap mempertahankan independensi BI. Satu pemikiran yang membuatnya bertahan adalah bahwa ketika ia menerima jabatan Gubernur BI, bank sentral ini baru saja mendapat status independen. Karena itu, ia menerimanya sebagai amanah yang luar biasa: mempertahankan dan memperjuangkan independensi BI. Jika saja ia menuruti untuk mundur, dalam tekanan seperti itu, bagaimana jadinya independensi BI. Padahal waktu itu, tugas yang diemban BI sangat penting dalam pemulihan ekonomi bangsa akibat kondisi moneter dan politik yang bergejolak. Dijadikan tersangka, juga tak membuatnya gentar dalam mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
Akhirnya ia resmi ditahan. Saat itu Gus Dur dalam perjalanan pulang dari luar negeri. Sebelum Presiden tiba, ia dipanggil untuk diperiksa di Kejaksaan. Usai pemeriksaan ia resmi ditahan pada hari itu juga. Dan ia sendiri mengatakan siap ditahan. Tapi sebelumnya ia meminta untuk bisa ke kantor guna membereskan dan menyerahkan tugas-tugas agar BI dapat berjalan terus. Permintaan itu ditolak Kejaksaan. Syahril pun pasrah menerima keadaan itu. Namun ia tetap yakin bahwa dirinya tidak bersalah. Penahanan yang pertama berjalan selama 20 hari. Kemudian diperpanjang 40 hari dan 30 hari lagi. Diantara masa-masa penahanan itu, masih ada yang menawarinya untuk mundur dari jabatan Gubernur BI dengan imbalan bebas dari tahanan. Tapi ia tidak melayani permintaan ini. Baginya lebih baik ditahan daripada mundur dari jabatan.
Pada masa-masa penahanannya, ia dan keluarganya mendapat cobaan. Ayahnya, yang sangat ia cintai, meninggal dunia. Usia ayahnya memang sudah 91 tahun, tapi kondisinya sangat sehat sebelum ia ditahan. Pada masa penahanan 20 hari, ayahnya sempat datang dari Bukit Tinggi untuk menjenguknya di tahanan. Sang Ayah tampak sehat dan tegar. Namun saat ia mendengar masa penahanan Syahril diperpanjang, ia pun jatuh sakit. Syahril sempat diperbolehkan menjenguk ayahnya di Bukit Tinggi. Tapi ajal akhirnya datang juga. Ayah beliau wafat. Syahril pun diperbolehkan menghadiri pemakaman ayahnya.
Penahanannya pun terus berlanjut. Bahkan sempat terdengar kabar akan diperpanjang lagi dan dicari kasus-kasus lain. Namun pada suatu hari, ia tiba-tiba diperbolehkan pulang. Statusnya menjadi tahanan rumah. Ia sama sekali tidak menduga akan adanya keputusan itu. Sebuah keputusan yang memberinya sedikit kebebasan dibandingkan sebagai tahanan kejaksaan. Sebab, jika di rumah ia dapat berkomunikasi kemana-mana, sementara ketika dalam tahanan, untuk membaca surat kabar saja dilarang. Mendengarkan radio dan menggunakan telepon apalagi. Larangan membaca koran dan majalah baru dihapuskan setelah lebih 10 hari ia di dalam tahanan. Selain membaca koran, ia juga dilarang membawa laptopnya. Sehingga ketika ia mau menulis sesuatu, ia harus belajar lagi menggunakan tangan.
Kebetulan pada waktu itu Bob Hasan dan Hendrawan juga ditahan. Syahril mengenal mereka. Bob Hasan pernah menjadi menteri dan Hendrawan juga dikenal sebagai bankir dari Bank Aspac. Di tahanan mereka bertemu. Disitu mereka bersama-sama menghibur diri, belajar saja menikmati hidup. Untuk menghilangkan kejenuhan, mereka sering bermain gaple.
Tentulah pengalaman dalam tahanan merupakan pengalaman yang tidak mungkin ia lupakan. Mungkin saja banyak orang bertanya-tanya, "Kok Syahril Sabirin tidak kelihatan stress? " Karena memang ia sama sekali tidak terlihat stress. Ia tampak menerima keadaan apa adanya. Dilalui saja apa yang perlu di lalui. Bahkan sejak masa penahanan, berat badannya malah naik.
Skenario Lain
Tak berhasil memaksa Syahril Sabirin mundur, meski sudah ditahan, lalu kepentingan politik saat itu mencari jalan lain. Ketika itu, ada upaya mengatur mundur, dipaksa atau secara suka rela, seluruh deputi gubernur. Mungkin skenarionya, kalau sekiranya seluruh deputi mundur, berarti kepemimpinan BI kosong. Tidak ada pejabat yang aktif dan gubernurnya dalam tahanan. Jadi ada alasan kuat untuk merombak semua. Tapi untungnya ada diantara deputi yang setia kawan berpihak kepadanya dan independensi BI, tidak mau mundur. Kalau tidak, mungkin independensi BI sudah tamat.
Setelah tidak juga berhasil dengan cara itu, lalu berkembang keinginan untuk mengamandemen UU BI. Tentu keinginan ini tidak lagi sekedar mengganti Gubernur BI, tetapi lebih dari itu yakni mengubur independensi BI. Saat itu, Syahril dan jajaran BI, mendapat tekanan yang paling berat. Ada berbagai pihak menelepon, menyarankan agar ia mundur sebelum UU diubah. Sebab katanya, kalau UU sudah diubah, ia bukan lagi gubernur BI. Sehingga ketika diminta ke pengadilan, mau ngomong apa lagi? Maka lebih baik mundur saja.
Keinginan kepentingan politik mengamandemen UU BI ini tidak hanya pada pemerintahan Gus Dur. Bahkan setelah Gus Dur diganti Megawati Soekarnoputri, masih saja kuat hasrat sebagian politikus untuk mengamandemen UU BI, sebagai pintu masuk kadernya dalam bank sentral. Namun belakangan, kesadaran para politisi akan pentingya independensi BI tampaknya makin berkembang. Sehingga tak terdengar lagi keinginan mengamandemen UU BI untuk mengurangi independensi BI.
Setelah ia menjadi tahanan rumah, keadaan tentu lebih baik. Ia sudah lebih leluasa berkomunikasi dengan dunia luar. Setelah dua bulan sebagai tahanan rumah, berkembang berita bahwa kemungkinan masa penahanannya akan diperpanjang. Hingga suatu hari dua orang jaksa datang menemuinya ke rumah. Ia sempat perpikir, "Ada apa lagi nih?" Ternyata jaksa itu ingin meyampaikan kabar bahwa sejak hari itu ia dibebaskan dari tahanan rumah. Ia pun boleh ke luar rumah. Itu juga berarti ia boleh masuk kantor.
Esok harinya, ia datang kembali ke BI. Ia disambut dengan baik oleh segenap jajaran BI. Staf dan karyawan menyambutnya dengan penuh suka cita. Ia pun merangkul semua jajaran BI, termasuk para deputi yang sempat mengundurkan diri. Peristiwa yang lalu dilupakan saja. Ia mengajak jajaran BI lebih baik melihat ke depan. Apalagi, memang sebagian deputi yang mundur itu, mengaku dipaksa dengan diberikan ancaman, kalau menolak akan "di-Syahril Sabirin-kan."
Itulah sosok Syahril Sabirin. Ia tidak tahu apakah sifat ini merupakan kelemahan atau kekuatan baginya. Ia tidak menyimpan dendam. Ia selalu berpikir bahwa orang bisa berubah. Makanya ia selalu mencoba meneladani Nelson Mandela, dalam lingkungan lebih kecil di BI. Ia buka pintu rekonsiliasi, memaafkan masa lalu. Lalu secara bersama-sama bergandeng tangan menjemput masa depan BI yang lebih baik, bebas dari intervensi politik dan penguasa.
Di tengah sebuah problem berat yang di hadapinya, sebagai pejabat negara, Syahril tetap menunjukkan sosoknya sebagai pekerja keras. Seperti kerasnya ia memperjuangkan independensi BI. Apalagi menurut beberapa karyawan BI, sering Syahril bekerja di kantor hingga hari berganti tanggal. Ia pun dikenal sebagai seorang pemimpin yang sederhana dan mampu menjalin hubungan personal yang menyenangkan dengan siapa saja. Barangkali, sikap inilah yang membuatnya mendapat loyalitas penuh dari bawahannya.
Timnya pun tetap bekerja secara padu dan efektif. Hanya saja, masih ada faktor-faktor eksternal yang mengganggu. Masih ada persepsi yang salah dari beberapa orang diantara orang-orang politik tentang independensi BI. Sepertinya BI harus dikuasai secara politik dengan dipimpin oleh orang-orang politik. Padahal ini merupakan pandangan yang menurutnya salah. Sebetulnya lebih aman bagi orang yang berkuasa atau orang politik jika BI independen. Sebab dengan ini BI akan lebih mampu menjaga kestabilan moneter yang lebih baik. Sementara keadaan moneter yang baik itu merupakan keuntungan dan prestasi bagi pemerintah.
Datangnya Keadilan
Ia pun akhirnya diadili. Majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 13 Maret 2002, memvonisnya terbukti bersalah dengan pidana penjara selama tiga tahun. Sebuah vonis yang sangat tidak diharapkan. Ia dan keluarganya sempat merasa sangat terpukul. Namun, ia tetap tabah dan berharap masih terbuka jalan datangnya keadilan, dengan melakukan upaya hukum naik banding.
Sampai pada suatu hari, pada 12 Agustus 2002, putusan akhirnya datang juga. Sidang majelis hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta memvonisnya bebas. Sidang majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Ridwan Nasution itu membatalkan putusan majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan majelis tingkat banding itu menyatakan terdakwa Syahril Sabirin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana baik dakwaan primer maupun subsider. "Membebaskan terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, merehabilitasi dan memulihkan nama baik, harkat dan martabat terdakwa."
Memang, dari sejak pertama ia diajukan sebagai tersangka dalam kasus Bank Bali hingga hari terakhir persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat, tidak ada satu bukti apapun yang dapat membuktikannya bersalah. Dalam kesaksiannya, baik dari BPPN maupun dari Bank Bali, menyatakan tidak ada hubungannya dengan kasus Bank Bali. Sehingga tak heran bila ia merasa ada sebuah skenario yang sudah diatur.
Sebelumnya ia didakwa terlibat dalam skandal cessie Bank Bali (BB) dan PT Era Giat Prima (EGP) senilai Rp 904, 6 miliar. Adapun dakwaan primernya melanggar pasal 1 ayat 1a jo pasal 28 UU 3/1971 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 KUHP, dakwaan subsider melanggar pasal 1 ayat 1b jo pasal 28 UU 3/1971 jo pasal 55 ayat 1 ke- 2 pasal 64 KUHP.
Atas kebebasannya ia pun menyambutnya dengan syukur. Ia mengatakan vonis ini merupakan pertanda keadilan telah datang. "Keadilan telah datang dari Yang Maha Kuasa," katanya. Ia dan keluarganya pun kembali menikmati hidup. Sesekali ia menikmati musik country kesukaannya, lalu menikmati kesenangan mengemudikan sendiri mobilnya jika keluar kota.
Ia dan keluarganya tetap memilih tinggal dirumahnya sendiri dikawasan Cinere, Depok. Rumah dinas Gubernur BI di kawasan Kebayoran Baru tidak ditempatinya. Sementara untuk menjaga kebugaran tubuhnya, ayah dari Melissa Sari dan Stevano ini memilih olahraga tenis dan fitness yang disediakan di kantor BI. Syahril Sabirin juga menjabat sebagai Gubernur International Monetary Fund ( IMF) dan Gubernur Pengganti Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia. Ia sengaja tidak memilih golf, sebab baginya olahraga ini banyak menghabiskan waktu, yang semestinya bisa untuk keluarga.
Makna terhadap Independensi
Pembebasan Syahril juga bermakna bagi langkah bebasnya BI dari serangan intervensi. Karena memang sudah jelas, apa yang telah terjadi merupakan kegiatan intervensi terhadap BI. Sayangnya, dalam UU BI tersebut tidak ada penjelasan jika terjadi intervensi, pihak manakah yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum. Mungkin untuk hal-hal lain dapat dikerjakan oleh Kejaksaan Agung, namun dalam kasus ini tidak mungkin, tidak ada pengaturan.
Lalu, jika melihat akibat langsung atau tidak langsung penahanannya terhadap pergerakan ekonomi Indonesia, pastilah ada. Besar atau kecil pasti ada pengaruhnya terutama terhadap kepercayaan publik atau dunia internasional terhadap independensi BI. Dunia internasional menilai kredibilitas bank sentral menurun.
Suatu bukti penilaian luar negeri. Sebelum ia ditahan, waktu itu Indonesia adalah calon anggota Bank for Intenational Settlement (bank sentral dari seluruh bank sentral) yang berada di Swiss. Anggotanya biasanya berasal dari negara-negara maju saja. Kemudian diperluas dengan memasukkan bank sentral yang mereka anggap layak dijadikan anggota. Pada waktu itu yang menjadi calon di Asia adalah Thailand, Indonesia, Malaysia dan Singapura, sementara New Zealand yang meminta menjadi anggota tidak diterima.
Namun ketika proses keanggotaan tersebut berjalan, tiba-tiba Syahril dijadikan tersangka. Akibatnya penerimaan keanggotaan BI ditunda. Mereka menilai BI tidak independen, masih dapat di intervensi.
Sampai akhirnya, setelah Syahril Sabirin di vonis bebas, ia berkunjung ke Mexico sebagai undangan. Di sana ia berbicara dengan General Manajer BIS, Mr Andrew Croket. Hasilnya, kemungkinan pada Juni 2003, BI dapat diterima menjadi anggota.
Sementara, timnya pun tampak makin solid. Ini terlihat dari perkembangan rupiah yang relatif stabil. Bahkan dengan guncangan bom di Bali, rupiah hanya terkoreksi sedikit menjadi sekitar Rp 9.300 per dolar AS. Selain dari tingkat kredibilitas BI, sebagai modal utama, tampaknya sikap konsisten dalam mengadakan intervensi ke pasar juga benar-benar nyata sehingga dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Ini tentu tak terlepas dari manajemen SDM di BI. "Saya dari dahulu percaya bahwa SDM di BI lebih baik," kata Doktor bidang Ekonomi Moneter dan Internasional dari Vanderbilt University, USA (1979) ini. Namun, katanya BI juga bersikap tegas dalam menegakkan aturan. Jika ada pelanggaran, langsung ditindak bahkan kalau perlu di pecat. Karena untuk dapat bekerja di bank sentral, kejujuran merupakan modal utama. Maka jika ada pelanggaran yang menyangkut ketidakjujuran itu tidak dapat ditolerir.
Falsafah dan Masa Kecil
Masa kecil Syahril Sabirin yang lahir di Bukit Tinggi, pada 14 Oktober 1943 ini biasa-biasa saja, sebagaimana layaknya anak-anak pada masanya. Tapi pendidikan yang diterimanya ketika kecil memberikan kesan yang mendalam baginya.
Dari tingkat SR (Sekolah Rakyat-Sekolah Dasar sekarang) hingga SMA, ia bersekolah di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ia tinggal bersama orang tuanya. Sang Ayah seorang pegawai di sebuah perusahaan yang sekarang menjadi PLN. Pernah juga mengajar teknik. Belakangan ia membangun perusahaan kecil-kecilan dengan nama Biro Tekhnik yang mengurusi pelayanan jasa instalasi listrik. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga.
Orang tua Syahril menanamkan betul pentingnya kejujuran dan jangan mengambil milik atau hak orang lain. Tanpa disadarinya, petuah orang tuanya itu menjadi salah satu prinsip hidupnya. Jujur dan jangan pernah mengambil milik atau hak orang lain. Walau sekecil apapun milik orang jika diambil adalah salah dan akan menyusahkan hidup. Prinsip ini selalu ia ingat.
Falsafah hidupnya juga sangat sederhana. Bagaimana menjadi orang yang berguna bagi orang lain serta berusaha jangan sampai menyusahkan orang lain. Ia selalu berupaya agar kehadirannya bermanfaat ditengah-tengah kehidupan orang lain.
Obsesi dan ambisinya juga tidak terlalu besar. Seperti pada tahun 1993, ketika berakhirnya masa tugas Adrianus Mooy sebagai Gubernur BI. Saat itu, tokoh-tokoh BI mencari calon pengganti. Salah seorang calon adalah J. Soedradjad Djiwandono. Namun perlu juga ada calon tandingan. Waktu itu BJ Habibie belum mengenalnya. Lalu, Habibie bertanya kepada orang-orang senior di BI. Mereka merekomendasikan Syahril Sabirin. Setelah itu ada orang menghubunginya untuk masuk dalam pencalonan Gubernur BI. Ia hanya mengatakan siap kalau memang untuk kepentingan bangsa. Ketika itu, Djiwandono yang terpilih karena ia memang calon kuat.
Syahril Sabirin mengatakan bahwa dirinya bukan orang yang ambisius terhadap jabatan. Ia hanya punya ambisi dalam pengertian melakukan sesuatu hingga berhasil. Untuk mencapai keberhasilan kerja atau prestasi itu, ia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya.
Semasa kecil Syahril bercita-cita menjadi insinyur. Ia paling suka pada pelajaran matematika dan ilmu ukur. Namun pada masa PRRI (1958-1959), ketika ujian ilmu ukur, terjadi perang, sehingga ia tidak bisa ikut ujian. Padahal itu ujian kenaikan, ke kelas 3 SMA. Saat pembagian jurusan, ada bagian a (jurusan sosial dan budaya) dan B (jurusan ilmu pasti alam). Sempat juga ia berpikir apakah mesti mengulang kembali. Tapi akhirnya ia terima saja, ia masuk ke kelas 3 bagian A.
Setelah lulus SMA tahun 1962, ia bersama dua orang teman berangkat ke Jakarta, naik kapal laut. Pada masa itu transportasi sangat sulit. Mereka hanya dapat membeli tiket dari calo yang harga sudah berlipat-lipat dari harga resmi. Setelah dibayar, tiket tidak diterima. Katanya akan diterima setelah berada dalam kapal. Setelah di atas kapal, mereka pun meminta tiket itu. Tapi setelah itu si calo menghilang tanpa memberikan tiket. Untung waktu itu mereka tidak tertangkap sehingga tidak perlu dihukum mencuci piring atau membersihkan kamar mandi. Pada saat itu memang kondisi kapal sangat memprihatinkan. Untuk dapat menggelar tikar saja sulit sekali saking penuhnya kapal.
Kebijakannya di BIKembali ke soal beberapa kebijakannya dalam memimpin BI, diantaranya ketika menaikkan suku bunga yang sangat tinggi hingga mencapai 60%, yang ketika itu banyak menimbulkan kritikan orang. Ia mengatakan kebijakan itu diambil karena arus likuiditas yang sangat besar, inflasi tinggi dan rupiah melemah. Sehingga ini adalah satu-satunya cara, kecuali kepercayaan publik terhadap upaya-upaya pemulihan ekonomi meningkat.
Tugas petama BI dalam independensinya adalah menjaga kestabilan nilai rupiah. Salah satu ukurannya yaitu inflasi. Seperti ketika inflasi meningkat, sementara pemerintah memerlukan kredit dalam pembangunan tertentu, jika BI memberikan kredit tersebut, akan berakibat inflasi semakin menjadi. Contohnya pada masa pemerintahan Bung Karno. Ketika itu BI terus mencetak uang sehingga inflasi sampai 600%.
BI setiap minggu malakukan langkah-langkah yang perlu diambil dalam menghadapi keadaan moneter yang sedang berlangsung. Terutana dalam kaitanya dengan nilai tukar rupiah, BI selalu siap. Begitu juga ketika hendak melakukan intervensi pasar, benar-benar upaya tersebut dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Tentang isu uang seri ganda, menurutnya itu adalah isu klasik. Sebab, ketika diminta buktinya, ternyata tidak ada. "Lebih marak pemberitaan uang palsu daripada peredaran uang palsu itu sendiri. Kalau kita lihat dari jumlah tidak banyak perubahan dari waktu ke waktu. Namun kami juga sangat berterima kasih dan memberi acungan jempol terhadap usaha yang dilakukan kepolisian yang mampu memecahkan kasus-kasus uang palsu" katanya mengakhiri percakapan.
N a m a:Syahril Sabirin, SE, MA, PhDLahir:Bukittinggi, Sumatera Barat, 14 Oktober 1943Agama : IslamJabatan:Gubernur Bank Indonesia 1998-2003Istri: MurniAnak: - Melissari dan - Stevano
Pendidikan Formal1. Sekolah Dasar pada Sekolah Rakyat No. 15 Bukittinggi, lulus pada tahun 19562. Sekolah Menengah Pertama pada SMP No. 6 Bukittinggi, lulus pada tahun 19593. Sekolah Menengah Umum pada SMA II/C Bukittinggi, lulus pada tahun 19624. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, lulus sebagai Sarjana Ekonomi jurusan Perusahaan pada tahun 19685. Williams College, Williamstown, Massachusetts, USA, lulus pada tahun 1973 dengan memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Ekonomi Pembangunan6. Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, USA, lulus pada tahun 1979 dengan memperoleh gelar Doctor of Philosophy (PhD) dalam bidang ekonomi, dengan spesialisasi ekonomi moneter dan ekonomi internasional
Pendidikan Lainnya1. Mengikuti berbagai pendidikan jangka pendek, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang lainnya, seperti computer programming dll.2. Mengikuti berbagai seminar dan konperensi di dalam dan luar negeri3. Memberikan ceramah/kuliah di berbagai forum, antara lain di konperensi yang diselenggrakan oleh the World Economic Forum, the Asia Society, the Asia Money, dll.
Riwayat Pekerjaan1. Bank Indonesia, Jakarta : 1969 -1993, antara lain sebagai:o Staf Umum Urusan Ekonomi dan Statistik Bank Indonesia (1969)o Kepala Bagian Neraca Pembayaran: 1982-1983o Kepala Bagian Pembinaan Bank-bank: 1983-1984o Penjabat Kepala Urusan Ekonomi dan Statistik: 1985-1987o Penjabat Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi: 1987-1988o Direktur Bank Indonesia: 1988-1993, dengan bidang tugas mencakup Devisa, Luar Negeri. Dan Sumber Daya Manusia (1988-1992) dan Pasar Uang dan Giralisasi, Akunting, dan Sumber Daya Manusia (1992-1993)2. Sebagai tenaga pengajar pada berbagai perguruan tinggi: 1980-1988, antara lain pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN), Universitas Indonesia, dan Universitas Taruma Negara.3. World Bank, Washington, DC, USA: 1993-1996, sebagai Senior Financial Economist di Direktorat Timur Tengah dan Afrika Utara, dengan tugas menangani pembinaan sektor finansial antara lain di negara-negara Mesir, Libanon, dan Jordania.4. Bank Indonesia: Akhir 1997-sekarang:o 29 Desember 1997 - 19 Februari 1998: Direkturo 19 Februari 1998 - sekarang: Gubernur5. Selaku Gubernur Bank Indonesia juga menjabat sebagai:o Gubernur International Monetary Fund (IMF) untuk Indonesia;o Gubernur Pengganti Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia;o Gubernur Pengganti Islamic Development Bank (IDB) untuk Indonesia (sampai tahun 2000).
Tulisan/ Publikasi1. Money, Price, Income and Interest Rates in Indonesia Before and After the Financial Deregulation of June 1983, a paper written jointly with Muljana Soekarni, in Structural Change and Economic Modelling, Sydney: Reserve Bank of Australia, December 1986.
2. Indonesia's Financial Reforms: Challenges in the 1990s for Its Banking and Financial Markets, Journal of Asian Economics, 2/2, Fall 1991, Greenwich, Connecticut and London: JAI Press Inc..
3. Exchange Rate Management in an Open Economy: The Case of Indonesia, Journal of Asian Economics, 4/1, Spring 1993, Greenwich, Connecticut and London: JAI Press Inc.
4. "Capital Account Liberalization", in "Financial Sector Reforms in Asian and Latin American Countries, Lessons of Comparative Experience", The World Bank, Washington. D.C., 1993.
Alamat Kantor:Jl. MH. Thamrin 2 Jakarta 10110 IndonesiaTelp : (62-21) 381-7187 Faks : (62-21) 350-1867
Alamat Rumah:Jalan Ikan Mas No. 96, Blok K, Cinere, Depok , Jawa barat 16514
sumber : http://www.tokohindonesia.com/

Sutan Sjahrir

Politika Bung Kecil

Perdana menteri kita yang pertama, Sutan Sjahrir, tutup usia sebagai tahanan politik oleh Orde Lama tanggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Ia diizinkan berobat ke Zurich sejak Mei 1965 oleh Presiden Soekarno yang dalam izin tertulisnya mengatakan Sjahrir boleh berobat ke mana saja kecuali Belanda. Pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) tahun 1948 itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata tanggal 19 April 1966. Si "Bung Besar" Presiden Soekarno yang sekitar satu bulan sebelumnya dipaksa menandatangani Surat Perintah 11 Maret karena alasan keamanan tidak mungkin menghadiri upacara pemakaman rekan seperjuangannya, Sjahrir, si "Bung Kecil". Hampir semua wakil perdana menteri (waperdam) politik menghadiri upacara pemakaman Sjahrir, termasuk Letjen Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik. Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan sambutan di hadapan liang lahat Sjahrir, sementara Menhankam/Kasab Jenderal AH Nasution menjadi inspektur upacara pemakaman.
Ratusan ribu warga Jakarta berjubel di kanan dan kiri jalan ketika jenazah Sjahrir tiba tanggal 18 April di Bandara Kemayoran, maupun saat jenazah diberangkatkan dari rumah duka di daerah Menteng menuju ke TMP Kalibata. Presiden Soekarno saat itu langsung menetapkan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional dan pemerintah menyerukan rakyat menaikkan bendera setengah tiang selama tiga hari sebagai tanda berkabung nasional.
Suami Ny Poppy Sjahrir itu menghabiskan hari-hari terakhirnya di balik jeruji Orde Lama. Penjajah Belanda juga beberapa kali mengasingkan Sjahrir, antara lain ke Boven Digul (Papua) dan Bandarneira (Maluku). Sjahrir ditangkap atas perintah Presiden Soekarno sekitar pukul 04.00 tanggal 18 Januari 1962 di rumahnya di Jalan HOS Cokroaminoto 61, Jakarta Pusat. Sejak itulah ayah dua anak itu berpindah-pindah ke berbagai penjara di Kota Madiun (Jawa Timur), RSPAD (Jakarta Pusat), Jalan Keagungan (Jakarta Utara), dan RTM Budi Utomo (Jakarta Pusat).
Sjahrir, kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, ditangkap karena dituduh mau menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. Sjahrir diduga ikut terlibat dalam percobaan pembunuhan Presiden Soekarno ketika iring-iringan mobil Kepala Negara dilempari sebuah granat di Makassar tanggal 7 Januari 1962. Hasil pemeriksaan terhadap mereka, yang dituduh menjadi anggota kelompok makar Verenigde Ondergrondse Corps (Korps Bawah Tanah Bersatu) direkayasa seolah-oleh terkait dengan "komplotan Bali".
Sjahrir, yang kerap pergi ke berbagai daerah untuk menyiapkan kader PSI, memang sempat datang ke Pulau Bali. Dan pada tanggal 18 Agustus 1961 di Pulau Dewata itu sedang berlangsung sebuah acara kremasi untuk bekas Raja Gianyar dan Sjahrir diundang oleh anak almarhum sang raja, Anak Agung. Sjahrir datang tidak sendirian karena ada pula undangan lain, yakni Bung Hatta serta sejumlah tokoh PSI lainnya. Entah mengapa, pertemuan yang dihadiri dua tokoh penting Angkatan ’45 dan kalangan politik lainnya itu dicurigai sebagai sebuah persiapan untuk melancarkan makar oleh "komplotan Bali". Adalah Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio yang melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang "komplotan Bali" itu.
Sjahrir yang sempat bercita-cita melamar ke angkatan udara itu menjadi PM memimpin kabinet selama tiga kali dalam periode 1945-1947. Setelah dibebaskan dari penjara Belanda tahun 1942, Sjahrir menjadi "orang nomor tiga" dalam perjuangan Angkatan ’45 untuk mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ketika menempuh pendidikan di Belanda, Sjahrir ikut serta di dalam Perhimpunan Indonesia yang pernah dipimpin oleh Bung Hatta. Ketika kembali ke Hindia Belanda, mereka aktif memimpin Pendidikan Nasional Indonesia yang menempatkan kedaulatan rakyat setinggi-tingginya, sekaligus memberdayakan rakyat jelata melalui pendidikan.
Sjahrir mencapai karier puncak politiknya ketika menulis Perjuangan Kita, sebuah manifesto yang membuat dia berseberangan dengan (juga menyerang) Bung Karno. Jika Soekarno amat terobsesi kepada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, "Setiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan".
Satu lagi kecaman terhadap Bung Karno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis, sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita". Ia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurut dia tidak mendatangkan apa-apa. Beberapa kalangan menilai karier politik Bung Kecil selesai setelah diketahuinya hasil Pemilihan Umum 29 September 1955 yang memperlihatkan bahwa PSI cuma merebut sekitar dua persen suara atau merebut lima kursi di parlemen yang terdiri dari 257 kursi. "Kami, orang-orang Sosialis dalam arti yang tepat, adalah tukang-tukang mimpi profesional," ujar Bung Kecil berseloroh.
Walaupun praktis sudah pensiun dari aktivitas politik pada paruh kedua dekade 1950, Bung Kecil terkena getah kesalahan yang dilakukan PSI. Salah seorang dari jajaran pengurus PSI, Sumitro Joyohadikusumo, pindah ke Singapura untuk mendukung pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1957-1958. Sejak itulah Bung Kecil dan PSI disebut Bung Besar sebagai "cecunguk" yang antipersatuan dan kesatuan yang wajib ditumpas sampai habis.
Charil Anwar, salah seorang pemuda pengikut Sjahrir, menulis sebuah sajak "Mereka yang Kini Terbaring antara Krawang-Bekasi". Bunyinya begini: Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir.
Mereka sudah lama pergi dan tiada meninggalkan harta benda, kecuali kekayaan buah pikiran dan tekad perjuangan demi mencapai kemerdekaan. Masih adakah "bung" di antara kita, itulah pertanyaannya.
Sumber : http://www.kompas.co.id/
Sutan Sjahrir, Nasib Getir Burung Kelana
Ditulis oleh Aulia A Muhammad
SUTAN Sjahrir adalah nama yang dicuplik ibunya dari kegemerlapan kisah Seribu Satu Malam di Istana Baghdad. Tapi kehidupan Sjahrir justru getir dan kelam, sehitam belanga. Dialah orang yang paling jenius dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hanya bermain di belakang gemebyar Soekarno dan memimpin pergerakan di Bandung, Amsterdam, dan Leiden, jiwanya menjadi matang. Dialah pengelana yang hidup untuk kampung halaman: pribadinya matang dalam tempaan cita-cita kemerdekaan. Menghabiskan delapan tahun dalam penjara kolonial dan pembuangan, tiga kali menjadi Perdana Menteri di rezim Soekarno, tapi saat mati, Sjahrir justru berstatus tahanan politik, dari sebuah bangsa yang dengan darah dan airmata yang ia perjuangkan kemerdekaannya.Dialah Don Quixote, sekaligus Kafka; sendiri, pedih, getir, tapi amat mencintai sesama atas nama kemanusiaan. Tak heran, pada hari penguburannya, 18 April 1966, jasadnya yang baru datang dari Zurich, disambut 250 ribu massa, yang mengelu-elukannya dalam tangis, mengantar bunga dukacita ke Kalibata. Helikopter berputar, meraung, menabur wewangian kembang, tembakan salvo pun menggelegar, mengiringi jasad ringkih, pucat, tapi tersenyum, turun ke liang lahat.Pemerintah menginstruksikan mengibarkan bendera setengah tiang, tiga hari, tanda duka, dan jasad yang kering itu pun dibaptis sebagai pahlawan nasional.Tapi apakah arti upacara itu? Adakah kemeriahan penghormatan dan anugerah itu dapat mengobati luka Sjahrir, yang lebih membutuhkannya di hari-hari panjang yang dingin, pengap, meringkuk sakit, sendiri, sepi, di sebuah penjara, di Jakarta. Hidup Sjahrir mungkin sebuah biografi yang tak indah. Tapi, siapa yang bisa melepaskan namanya dari triumvirat Bung, pendiri negara ini? Dalam tahap ini, jelas, Sjahrir berarti, sangat berarti.Dia berjuang untuk memerdekakan negeri ini dengan konsep yang ganjil tentang nasionalisme. Nasionalisme bagi si Bung berdarah Minang ini bukanlah dewa. "Nasionalisme hanya kendaraan yang kita pakai saat ini untuk memerdekakan diri," ucapnya."Sjahrir adalah burung kelana yang mendahului terbang melampaui batas-batas nasionalisme. Dia salah seorang tokoh terbesar dalam kebangkitan Asia," puji Indonesianis, Herbert Feith."Perjalanan hidup Sjahrir," tulis Rudolf Mrazeck dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, adalah gerak universalisme dari satu tradisi sempit. Dia tak pernah membawa bau tradisional, primordial, atau parokial. Ia secara jujur mengaku, tak punya hubungan batin dengan dunia Minang."Dalam posisi itu, Sjahrir amat berbeda dari Soekarno, Hatta, bahkan Tan Malaka. Sjahrir adalah anak panah, melesat dari busurnya, tak pernah kembali.Seperti pemimpin pergerakan lainnya, Sjahrir adalah buah dari politik etis van Deventer. Ia lahir di Padangpanjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909, dan dewasa di Medan. Di kota itulah jiwa muda Sjahrair sudah kenyang melihat penderitaan kaoem koeli, bukti eksploitasi kolonialisme.Dia mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan pustaka dunia, karya-karya Karl May, Don Quixote, dan ratusan novel-novel Belanda. Malamnya dia ngamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk kulit putih, kecuali musisi dan pelayan.1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volkuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.Sebelum Soekarno membentuk Perserikatan Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, Sjahrir telah membentuk Jong Indonesie, yang kelak menjadi Pemoeda Indonesia. Ini organisasi baru yang jauh dari warna kesukuan, dan ia menjadi pemimpin redaksi organisasi itu.Kuliah hukum di Universitas Amsterdam, Sjahrir berkenalan dengan Salomon Tas, ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Sjahrir, meski sebentar.Dari mereka Sjahrir mengenal Marxisme, dan melalui Hatta, dia masuk Perhimpunan Indonesia. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik."Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.Tulisan-tulisan Sjahrir berikutnya, terutama dalam manifestonya, Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.Perjoeangan Kita adalah karya terbesar Sjahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrif itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan."Pujian yang tak berlebihan. Karena melalui Partai Sosialis Indonesia yang melahirkan Soejatmoko, Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar, jejak-jejak Sjahrir sampai kini masih terasa, kuat, masih menggelora. Sumber : http://www.suaramerdeka.com/cybernews/layar/tokoh/tokoh2.html

Siti Manggopoh

Ditulis oleh Yurnaldi

Dari Peluncuran Buku Siti Manggopoh Perempuan Minang Itu Layak Diberi Gelar Pahlawan… KETIKA perempuan-perempuan Minangkabau modern yang berpendidikan tinggi sedang mengibarkan bendera perjuangan gender, di mana taraf dan nilai kaum perempuan dengan laki-laki harus diperjuang- kan sama, pada saat itu pulalah muncul buku Siti Manggopoh. DITULIS Abel Tasman, Nita Indrawati, dan Sastri Yunizarti Bakry dengan editor ahli Dr Mestika Zed MA, buku yang diterbitkan Yayasan Citra Budaya Indonesia, Padang, dan diluncurkan tanggal 20 Mei lalu itu menurut Raudha Thaib, pembedah buku yang dalam karya sastra namanya dikenal sebagai Upita Agustine, Siti Mangopoh adalah perempuan pejuang dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. "Perempuan pejuang yang berjuang bersama laki-laki tanpa mengenal perjuangan gender. Seorang tokoh perempuan yang tidak berkaok-kaok terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perem- puan. Perempuan pejuang yang tidak mau melawan kodrat dan fitrahnya sendiri, tetapi sanggup menjadi pemimpin dari sekian laki-laki pejuang lainnya dan sebagai api dalam menggelorakan semangat antipenjajahan," kata dia. Dalam konteks ini, lanjut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh sangatlah berharga. Apalagi ketika orang Minangkabau tengah mencari sosok perempuan Minang, buku ini menjadi terasa semakin penting. Senada dengan itu, sosiolog dari Universitas Andalas Padang, Dr Damsar, mengatakan, Siti Manggopoh merupakan gong perjuangan kebangkitan kaum perempuan dalam kancah politik. "Siti Manggopoh berjasa dalam menegakkan marwah rakyat tertindas. Pantas gelar pahlawan diberikan kepada dia. Gelar tersebut telah diberikan masyarakat Minangkabau, namun belum diberikan oleh Pemerintah Indonesia," katanya. Menurut Damsar, kalau dibandingkan dengan Raden Ajeng Kartini, perjuangan Siti Manggopoh tidak kalah besar sumbangsihnya kepada masyarakatnya. KENAPA Siti Manggopoh layak digelari pahlawan nasional? Selama ini Siti Manggopoh hampir tak pernah disebut dalam buku sejarah nasional. Kalaupun disebut, paling 1-2 alinea. Sama halnya dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hanya disinggung sedikit dan dianggap tak penting. Namun, bagi peneliti dan sejarawan Dr Mestika Zed MA, keberadaan PDRI yang berpusat di Bukittinggi itu bisa menjadi satu buku tebal dan mendapat banyak pujian dari kalangan sejarawan dalam dan luar negeri. Sampai-sampai buku tentang PDRI itu pernah mendapat penghargaan sebagai buku ilmu-ilmu sosial terbaik tiga tahun lalu. Dan cerita soal Siti Manggopoh bisa menjadi buku setebal 98 + xiii halaman. Menurut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh penuh dengan makna tertulis dan tersirat. Dilahirkan bulan Mei 1880, Siti Manggopoh pada tahun 1908 melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan belasting di Manggopoh disebut dengan Perang Belasting. Dalam perspektif rakyat, menurut Dr M Nur MS, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat, belasting merupakan tindakan pemerintah yang menginjak harga diri karena mereka merasa terhina mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau. "Gerakan ini dipimpin seorang perempuan yang sangat berani dan gigih menentang koloni asing, yaitu Siti Manggopoh. Perlawanannya berbentuk reaksi hebat terhadap penetrasi Pemerintah Hindia Belanda," kata dia.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan Belanda adalah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh. Dalam buku Siti Manggopoh disebutkan, dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Menurut Hayati Nizar, juga pembedah buku, sebagai perempuan Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka. "Ia pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain, namun ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat," ujar dia. Tanggung jawabnya sebagai ibu dilaksanakan kembali setelah melakukan penyerangan. Bahkan anaknya, Dalima, dia bawa melarikan diri ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Mungkin karena anaknya masih kecil atau karena alasan lainnya, akhirnya Siti Manggopoh dibebaskan. Namun, suaminya dibuang ke Manado.
Sejarawan Dr M Nur MS berpendapat, Siti Manggopoh adalah satu-satunya perempuan Minangkabau yang berani melancarkan gerakan sosial untuk mempertahankan nagarinya terhadap pengaruh asing. Bahkan tidak jarang gerakan yang dilancarkannya secara fisik. "Antara Siti Manggopoh di Minangkabau dan Cut Nyak Dien di Aceh mungkin dapat ditarik suatu garis lurus dalam persamaan atau mungkin perbedaannya. Akan tetapi, yang jelas, kedua perempuan ini tidak kenal lelah dan berani memimpin di tengah kaum laki-laki. Peristiwa itu dapat dijadikan pedoman dan bukti bahwa kaum perempuan Minangkabau tidak berbeda kemampuan dan haknya dari kaum laki-laki," jelasnya. (YURNALDI sumber KOMPAS)
Sumber : www.kompas.com

TAN MALAKA


GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS Tan Malaka -lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka-menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang -Sumatra Barat-Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya. Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh. Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh "Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner". Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun. Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…." Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya "MADILOG" mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara "Text book thinking", atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang "text book thinking" dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat "Naar de Republiek Indonesia". Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran ("Gerpolek"-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya. Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan "Gerilya Pembela Proklamasi" di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek) BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! (TAN MALAKA) Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June'99, Issue #7. Email: brainwashed@fnmail.comAlamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya .

Rasuna Said


Hajjah Rasuna Said (1910-1965), lahir tanggal 14 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Pendidikan yang dilaluinya adalah sekolah desa di Maninjau, Diniyah School di Padang Panjang, sekolah Thawalib, dan Islamic College. Pergerakannya dimulai dari emansipasi sampai ke agama, pendidikan, pers, dan politik . Seperti juga R.a. Kartini di Jawa, ia memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia memasuki organisasi Sarekat rakyat dan diangkat sebagai Sekretaris Cabang. Pada un 1930 menjadi anggota Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) yang berhaluan Islam dan nasionalisme, dan duduk sebagai anggota Pengurus Besar.
Beliau terkenal sebagai perempuan yang mahir berpidato. Kepintarannya ini dipergunakan untuk mengecam Pemerintah Belanda yang dengan sendirinya tidak menyenangkan pihak yang dikecam. Ia tidak mengindahkan teguran yang dialamatkan padanya, juga tidak pada saat-saat ia sedang menyampaikan pidato. Akhirnya beliau ditangkap dan pada tahun 1932 dijebloskan ke dalam penjara di Semarang. Selesai menjalani pembuangan, ia kembali ke Sumatera Barat. Selanjutnya aktif dalam bidang pendidikan. Ia mendirikan Sekolah Thawalib, Sekolah Kursus Puteri di Padang, lalu pindah ke Medan dan mendirikan Perguruan Puteri. Disamping itu aktif pula dalam bidang pers dengan mendirikan Majalah Manara Puteri.
Zaman pendudukan Jepang ia mendirikan "Pemuda Nippon Raya" di Padang, menggembleng para pemuda agar berjuang untuk memperoleh kemerdekaan tanah air dan bangsa. Organisasi ini dibubarkan Jepang.
Zaman kemerdekaan beliau tetap aktif, ia pernah duduk dalam Komite Nasional Pusat, DPR-RIS, DPR Sementara dan anggota Dewan Pertimbangan Agung. Beliau meninggal pada tanggal 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. (18 Mar 2004)(Tulisan diambil dari buku : Baluwarti. Relief Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta; Jayakarta Agung)
Sumber : http://www.dwp.or.id/article.php?id=241
HR Rasuna Said (1910-1965)
Orator, Srikandi Kemerdekaan
HR Rasuna Said (Hajjah Rangkayo Rasuna Said) seorang orator, pejuang (srikandi) kemerdekaan Indonesia. Pahlawan nasional Indonesia ini lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 September 1910 dan wafat di Jakarta, 2 November 1965 dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Seorang puteri terbaik bangsa yang tak hanya sekadar memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita.HR Rasuna Said diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. Selain itu, sebagai penghormatan atas perjuangannya, namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, termasuk bagian segi tiga emas Jakarta. Dia pejuang yang berpandangan luas dan berkemauan keras. Sejak muda berjuang melalui Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris Cabang. Kemudian aktif sebagai anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Dia seorang orator yang sering kali mengecam tajam kekejaman dan ketidakadilan pemerintah Belanda. Dia tak gentar kendati akibatnya harus ditangkap ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.Ketika pendudukan Jepang, Hajjah Rangkayo Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang. Organisasi ini pun kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.Setelah Proklamasi Kemerdekaan dia aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat. Kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Tahun 1959, kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai akhir hayatnya 1965. Dia meninggalkan seorang putri Auda Zaschkya Duski dan 6 cucu: Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain. ► ti/mlp

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia
Nama:HR Rasuna Said
Nama Lengkap:Hajjah Rangkayo Rasuna Said
Lahir:Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 September 1910
Meninggal:Jakarta, 2 November 1965
Agama:Islam
Jabatan Terakhir:Anggota DPA
Anak:Auda Zaschkya Duski (putri)
Cucu:Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain.
Perjuangan:
- Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris Cabang
- Anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
- Orator, ditangkap dan dipenjara Belanda di Semarang, 1932
- Ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang
- Anggota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS).
- Anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1959-1965.
Penghargaan:
Pahlawan Nasional (Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974).

Mohammad Natsir


Mohammad Natsir merupakan seorang pejuang yang konsisten dalam memegang prinsip perjuangan, beliau putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat 17, Juli 1908, dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Kiprah Natsir sebagai tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara, maupun tokoh dunia islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa dengan temperamen yang lemah lembut bicara penuh sopan santun dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Sewaktu berusia delapan tahun Mohammad Natsir belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah, padang dan tinggal bersama makciknya. Kemudian Natsir dipindahkan orang tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Disini ia menerima cukup banyak ilmu. Pada malam hari ia belajar Al-Qur'an sedang paginya belajar di HIS. Pada tahun 1923 ia meneruskan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/ setingkat SMP sekarang di Padang di situ ia menjadi anggota JIB (Johg Islamieten Bond) Padang dan bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan pada 1927 ia melanjutkan ke AMS setingkat SMA sekarang di Bandung. Selama di AMS ia sangat tertarik pada ilmu agama waktu luangnnya di gunakan untuk belajar agama di Persatuan Islam (PERSIS) dengan bimbingan pendiri dan pemimpinnya Ustadz a. Hasan. Lulus AMS pada 1930 prestasi yang diperolehnya memungkinkannya ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, sejak di MULO ia sudah mulai mengenal perjuangan. Buktinya selain pernah mengetuai JIB Bandung 1928-1932 Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia PII. Kegiatan politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan tokoh-tokoh gerakan politik seperti H. Agus Salim.Hal itu pula yang membuat Natsir muda menolak setiap tawaran beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk meneruskan Pendidikan Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas Ekonomi Rotterdam Belanda atau menjadi pegawai Pemerintah. Di dunia pendidikan Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam di Bandung sebuah bentuk Pendidikan Islam (Pendis ) moderen yang bernafas agama. Di Pendis ini Natsir menjadi direktur selama sepuluh tahun sejak 1932. Selain itu Natsir pernah pula menjadi anggota Dewan Kabupaten Bandung 1940-1942. Ia pun pernah aktif sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) 1945-1946 dan menjabat sebagai Menteri Penerangan tiga priode pada era kabinet Syahrir dan Hatta 1946-1949. Kemudian menjadi ketua DPP Masyumi 1949-1958. Pada saat Indonesia menjadi negara serikat atau RIS sebagai produk Konfrensi Meja Bundar ( KMB). Natsir menolak tawaran Bung Hatta menjadi Perdana Menteri Negara bagian RI di Yogya. Dalam Pemilu 1956 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota konstituante RI. Pada 1950 -1951 tokoh kita ini mendapat amanah menjadi Perdana Menteri. Hubungannya dengan Presiden Soekarno sempat merenggang selama penyelesaian Irian Barat. Puncaknya terjadi setelah pristiwa Cikini November 1957.Dalam perjalanan selanjutnya, Natsir dan Bung Karno makin sering bersilang pendapat. Sementara Bung Karno semakin perkasa di puncak kekuasaan dan akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Natsir menjaga jarak dengan Soekarno dan kian menyisih sambil tetap memimpin fraksi Masyumi di parlemen 1950-1958. Di samping menjadi anggota konstituante 1956-1958 Pada 17 Agustus 1959,Bung Karno secara sepihak membubarkan Masyumi dan memaklumatkan pengampunan pada Natsir dan kawan-kawan. Natsir terkecoh tiba di Jakarta Natsir dan Sjafrudin serta kawan-kawan lainnya di tangkap atas tuduhan terlibat pemberontakan rakyat RI atau disingkat PRRI Permesta. Natsir di asingkan dengan menjalani karantina politik di Batu Malang Jatim 1950-1962 dan menjadi tahanan politik di rumah tahanan militer atau RTM Keagungan Jakarta 1962-1966 hingga akhirnya pada Juli 1966 Natsir di bebaskan tanpa melaui proses pengadilan. Sementara di luar keadaan telah berubah kemudian politik telah berganti. Orde lama dari Soekarno tumbang Orde Baru lahir dan Soeharto muncul memimpin. Pada tahun 1957 misalnya Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus. Pada Tahun 1967, Natsir bersama Ulama dan Zuama mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta, dan dipercaya menjadi Ketua DDII sejak 1967 sampai masa tuanya.Dan sejak tahun itu pula, Natsir menjabat Wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di Karachi, Pakistan dan Anggota Liga Muslim Dunia bermarkas di Makkah, Saudi Arabia. Lalu sejak 1972, ia menjabat sebagai anggota Majlis A'la al-Alamy lil Masajid, Makkah, Saudi Arabia. Tidak mengherankan bila banyak penghargaan yang diperoleh sepanjang hayatnya. Satu diantaranya adalah "Faisal Award " dari King Faisal, Saudi Arabia, Suatu Penghargaan atas pengabdian Natsir pada Islam. Selain itu beliau juga telah mewariskan ide dan pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam beberapa artikel yang jumlahnya tak terhitung. Untuk buku saja tak kurang dari 20 judul. Mohammad Natsir wafat di Jakarta, Tahun 1993. Sumber foto majalah SABILI*
Pada Januari 1985, Mohammad Natsir jatuh sakit. ''Cuma terserang flu. Menurut dokter, Bapak memang perlu istirahat,'' tutur istrinya, tentang sang suami yang rambutnya sudah memutih. Sudah lama bekas Ketua Umum Partai Masyumi itu tidak lagi berceramah -- biasanya di Masjid Alfurqon, Kramat, Jakarta. Tetapi, Natsir masih membaca, dan malah tetap menulis untuk dua majalah yang dipimpinnya, Media Da'wah dan Suara Masjid.
Bekas Perdana Menteri RI 1950-1951 ini sudah berusia 76 tahun. ''Perbanyaklah ibadah,'' katanya tentang ''resep'' panjang umurnya. ''Yang jelas, orang setua saya ini yang paling tepat mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu Wa Ta'ala,'' tambah Natsir, yang pernah tiga kali menjadi menteri penerangan. Yaitu dalam Kabinet Syahrir I dan II, dan Kabinet Hatta.
Ayah empat anak, hasil pernikahannya dengan Ummi Nur Nahar, dan kakek 15 cucu ini dilahirkan di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Setamat HIS (SMP), ia merantau ke Bandung, dan masuk AMS ''klasik Barat'' yang mengutamakan pelajaran bahasa Inggris, Belanda, dan Latin. Rektor (direktur) AMS bernama Dr. van Bessem, ternyata, sangat progresif. Sebagai segelintir orang Indonesia yang terdidik, kata Van Bessem kepadanya, ''Kamu harus memerdekakan bangsamu!'' Malah, konon, sang rektor memberi kesempatan kapada para murid Indonesia berapat di dalam kelas -- ditamengi Van Bessem dengan berpura-pura mengerjakan sesuatu di depan kelas.
Putra pegawai kecil ini sendiri, waktu itu, aktif di organisasi pemuda Jong Islamieten Bond. Jepang datang, Natsir, yang sudah merampungkan AMS, lalu bekerja di kantor Gubernur di Bandung. Gubernurnya, Jenderal Anea, anehnya, juga bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gubernur Jepang berusia 70 tahun itu suatu hari selepas jam kerja (pukul 16.00) mencegat Natsir ketika ia hendak pulang. ''Gunakanlah waktu luang sebaik-baiknya,'' kata Natsir mengulangi ucapan Anea, yang lalu menambahkan, ''Ini isyarat agar kita menyusun kekuatan.'' Yang mengharukan tokoh ulama Islam ini ialah, anjuran seperti itu justru dikemukakan ketika kekuasaan penjajah sedang tangguh-tangguhnya.
Natsir, yang mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung, 1932, mulai menulis di majalah Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Ia memakai nama samaran A. Moechlis. Pada 1936, lahirlah buku Cultuur Islam, yang ditulisnya bersama Porf. C.P. Wolf Kemal Schoemaker dalam bahasa Indonesia. Lalu Mohammad als Proveet, 1931, Gauden Regels Regels uit den Quran, 1932, dan De Islamietische Vrouw en haar Recht, 1933. Pada 1954, muncul Some Observations concerning the Role of Islam in National and International Affair, yang merupakan bagian dari program Asia Tenggara Universitas Cornell, Ithaca, AS. Tahun- tahun berikutnya terbit Capita Selecta, Islam dan Kristen di Indonesia, dan The New Morality.
Bekas murid ulama Hassan yang terkenal di Bandung ini mengecam pendapat sementara ilmuwan bahwa ilmu fiqih sudah tidak relevan. ''Kepandaian mereka belum cukup untuk menghayati Islam secara benar.'' Untuk mengembalikan Islam ke masa jayanya, seperti di zaman Khalifah Umar, ufuk dakwah harus diperluas, sambil kembali kepada Quran dan Hadis. Natsir gembira dengan semakin banyaknya pemuda Indonesia menggemari buku Islam. ''Lihatlah, para pembeli buku Islam umumnya kaum muda,'' kata penerima hadiah Malik Faisal, Arab Saudi, bidang pengembangan Islam, 1980, itu.
Menjadi menteri penerangan sekarang dinilai Natsir lebih gampang dibandingkan dengan 35 tahun yang silam. ''Menteri penerangan dulu harus keliling, kini cukup duduk-duduk ditemani komputer,'' ujar Ketua Dewan Da'wah Islamiah Indonesia itu. Antara 1961 dan 1966 ia pernah ditahan. Konon, bukan karena Natsir pernah menjadi Deputi Perdana Menteri PRRI, tetapi karena ia konsisten anti-Soekarno

Nama :MOHAMMAD NATSIR
Lahir :Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908
Agama :Islam
Pendidikan :
- HIS, Padang (1923)
- Madrasah Diniyah, Solok (1923)
- MULO, Padang (1927) - AMS, Bandung (1930)
- Studi Islam di Persatuan Islam Bandung (1932)
- Kursus guru diploma LO (1932)

Karir :
- Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung (1928-1932)
- Direktur Pendidikan Islam, Bandung (1932-1942)
- Anggota Dewan Kabupaten Bandung (1940-1942)
- Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho) (1942- 1945)
- Anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946)
- Menteri Penerangan (1950-1951)
- Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958)
- Anggota Parlemen (1950-1958)
- Anggota Konstituante (1956-1958)
- Deputi Perdana Menteri PRRI (1958-1960)
- Dikarantina di Batu, Ja-Tim (1960-1962)
- Ditahan di RTM/Keagungan Jakarta (1962-1966)
- Vice President World Muslim Congress (1967-sekarang)
- Ketua Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah, Jakarta (1967)
- Anggota World Muslim League (Rabithah Alam Islamy) (1969)
- Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia) (1976-sekarang)

Karya :
- antara lain: Cultuur Islam, bersama CP Wolf Kemal Schoemaker, Pendidikan Islam, 1936
- Persatuan Agama dengan Negara, Padang, 1968
- Islam dan Kristen di Indonesia, Pelajar, 1969
- Capita Selecta, Bulan Bintang, 1973
- The New Morality, Disusun bersama SU Bajasut, 1969
- Islam dan Akal Merdeka, Hudaya, 1970

Sumber http://www.pdat.co.id/ dan http://www.manajemenqolbu.com/

Agus Salim


Ketika lahir, orang tuanya memberi nama Masyhudul Haq. Namun, kemudian masyarakat luas lebih mengenalnya sebagai Haji Agus Salim. Ia adalah pahlawan nasional pemegang tiga tanda jasa anumerta: Bintang Mahaputera Tingkat I (1960), Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1961), dan Pahlawan Kemerdekaan Nasional (1961). Panggilan 'Gus' itu Datang dari Pelayan
Ketika lahir, orang tuanya memberi nama Masyhudul Haq. Namun, kemudian masyarakat luas lebih mengenalnya sebagai Haji Agus Salim. Ia adalah pahlawan nasional pemegang tiga tanda jasa anumerta: Bintang Mahaputera Tingkat I (1960), Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1961), dan Pahlawan Kemerdekaan Nasional (1961).
Masyhudul Haq alias Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gedang (Koto Gadang), Sumatera Barat. Ia merupakan putra kelima dari 15 bersaudara anak Sutan Muhammad Salim. Ayahnya ini selama 50 tahun menjabat sebagai Jaksa Kepala di Padang.
Dengan begitu, Masyhudul Haq berasal dari keluarga terpelajar, sebuah status sosial yang memudahkannya menempuh pendidikan di sekolah Belanda. Saat itu, yang bisa bisa menempuh pendidikan di sekolah Belanda adalah anak-anak keturunan Eropa, sedangkan dari pribumi hanyalah anak-anak keturunan bangsawan dan pegawai tinggi.
Jenjang pendidikan pertama yang dilalui Masyhudul Haq adalah ELS (Europesche Lagere School) di desanya. Ia tamat dari sekolah ini pada 1898. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke HBS (Hoegere Burger School) di Jakarta. Di sinilah kemudian muncul panggilan Agus Salim menggantikan nama Masyhudul Haq.
Ceritanya, ketika Masyhudul Haq tiba di Jakarta ia mondok di rumah keluarga Belanda, keluarga orang tua Prof TH Kock. Di rumah ini ia diasuh oleh seorang perempuan pelayan yang berasal dari Jawa.
Menurut kebiasaan di Jawa, seorang pelayan memanggil anak lelaki tuannya denga sebutan 'Gus', yang berarti putera yang bagus. Lama kelamaan, 'Gus' ini menjadi panggilan Masyhudul Haq dengan tambahan huruf a di depannya. Maka jadilah nama 'Agus'. Nama ini kemudian digabungkan dengan nama ayahnya menjadi 'Agus Salim'. Sejak itu nama Masyhudul Haq ia tinggalkan, dan masyarakat kemudian lebih mengenalnya sebagai Agus Salim, sampai kini.
Lantaran kecerdasannya, Agus Salim dapat menyelesaikan pelajarannya di HBS (setingkat SMP-SMU) hanya lima tahun -- dari yang seharusnya enam tahun. Setelah tamat HBS pada 1903, ia bermaksud meneruskan sekolahnya ke Eropa, namun gagal karena pemerintah kolonial Belanda sangat mempersulit jalan bagi anak-anak bumiputera yang ingin belajar ke sana. Kegagalan serupa juga dialaminya ketika guru-gurunya berusaha agar ia dapat meneruskan pelajarannya pada School tot Opleiding van Inlansche (STOVIA) dengan memperoleh beasiswa.
Kegagalan itulah yang tampaknya menyuburkan benih-benih kebencian Agus Salim terhadap pemerintah kolonial Belanda dan sekaligus menjadikannya otodidak. Ia hanya tamat sekolah setingkat SMA. Belum jelas apakah pengalaman hidupnya ini yang menyebabkan Agus Salim tidak menyekolahkan kedelapan anaknya di sekolah-sekolah formal tapi mendidiknya sendiri.
Setelah mencoba bekerja di berbagai tempat, pada 1906 Agus Salim mendapat tawaran bekerja sebagai dragoman (ahli penerjemah) di konsulat Belanda di Jeddah. Pada mulanya ia enggan menerima tawaran itu. Namun, atas saran ibunya, tawaran itu akhirnya ia terima, apalagi ia melihat peluang yang sangat terbuka untuk menimba pengetahuan Islam di negara itu sambil bekerja.
Selama berada di Jeddah, Agus Salim sempat belajar agama dan bahasa Arab kepada para ulama yang mukim di Mekah, termasuk kepada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim di Tanah Haram itu. Lima tahun ia berada di Arab Saudi. Pada 1911 ia pulang ke Indonesia, dengan membawa pengetahuan diplomasi yang tinggi serta menguasai tidak kurang tujuh bahasa asing -- Arab, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Turki, dan Jepang.
Setelah pulang dari Jeddah itulah, boleh dikata, perjuangan Agus Salim menentang penjajahan Belanda dimulai. Berbagai pekerjaan dan jabatan juga ia jalani -- baik di organisasi politik maupun di pemerintahan. Antara lain, ia pernah memimpin surat kabar Neraca dan Ketua PSII (Partai Serikat Islam Indonesia).
Pada masa penjajahan Jepang ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah kemerdekaan, Agus Salim bergabung dalam Partai Masyumi (1945). Selanjutnya ia menjadi Menteri Muda Luar Negeri (Kabinet Syahrir II dan III/1946-1947) dan Menteri Luar Negeri (Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta/1947-1949).
Yang menarik dari Haji Agus Salim adalah perhatian yang besar pada keluarganya -- isteri dan anak-anaknya, sesibuk apapun dia. Ini terlihat misalnya bagaimana ia mendidik sendiri seluruh anak-anaknya. Bahkan isterinya pun ia wajibkan mengikuti pelajaran yang ia berikan di rumah.Agus Salim menikah pada 1912, dengan gadis sedesanya, Zaitun Nahar. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai delapan anak. Mereka adalah Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada masa revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik.
Saat penganten baru, Agus Salim berpesan kepada isterinya agar banyak membaca dan berzikir. Sebab, katanya, setelah mereka mempunyai anak kemudian hari kemungkinan tidak akan disekolahkan formal. Anak-anak kelak akan dididik sendiri.
Apa yang telah diucapkannya kepada isterinya itu ternyata kemudian benar-benar ia laksanakan. Seluruh anaknya tidak ia sekolahkan. Mereka dididiknya sendiri. Tujuannya, menurut Agus Salim, adalah agar anak-anaknya tidak terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan kaum penjajah. Selain itu, ia ingin membentuk sikap dan kepribadian anak-anaknya sesuai dengan keinginannya.
Pelajaran yang ia berikan kepada anak-anaknya antara lain tulis-baca, bahasa, budi pekerti, dan pelajaran agama. Ia juga mendidik mereka agar bersifat kritis dan korektif. Sebab itu Agus Salim tak permah marah bila anak-anaknya membantah pendapatnya. Ia pun mengajak mereka berdiskusi, berargumentasi, agar pikiran mereka tidak membeku dan tidak bersikap nrimo saja.
Mohamad Roem, dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah, menulis:Waktu kami pertama kali datang di Gang Tanah Tinggi (rumah Agus Salim -- Red), kami baru melihat Syauket (anak kelima Agus Salim) yang keluar untuk digaruk gegernya oleh ayahnya. Kemudian datang adiknya yang membawa Syauket masuk lagi. Waktu kami meneruskan perkenalan di Gang Lontar Satu tahun 1927, kita sudah maju dua tahun. Kami sudah heran, Syauket yang umurnya baru empat tahun sudah bicara (bahasa) Belanda yang baik. Dapat menerangkan bahwa badannya gatal dan minta digaruk-garuk oleh ayahnya. Dalam pada itu kami mengetahui Haji Agus Salim bercakap-cakap bahasa Belanda dengan anak-anaknya sejak mereka dilahirkan.
Perhatian Agus Salim kepada anak-anak dan isterinya juga ia berikan ketika berada jauh dari rumahnya. Ketika berada di luar negeri misalnya, ia selalu menulis surat kepada mereka. Sebagai contoh, ketika sibuk berdiplomasi agar kemerdekaan RI diakui oleh Mesir pada 1947, ia masih sempat menulis surat kepada isteri dan anak bungsunya. Surat tersebut ia titipkan kepada AR Baswedan, salah seorang anggota delegasi RI yang pulang lebih dulu. Berikut ini kutipan surat kepada isterinya:
Maace sayang! Surat pendek ini hendak saya tumpangkan kepada Abdurrachman Baswedan, yang besok pagi terbang pulang ke Indonesia...Sangat sibuk kami bekerja di sini, terutama oleh banyaknya kunjung-mengunjung dan menghadiri perjamuan. Kalau hari sudah malam, badan lesu ataupun pikiran bimbang, karena awak bekerja di negeri orang, kabar dari rumah hampir tidak ada. Awak hidup senang, serba cukup, di rumah entah bagaimana hidup anak dan isteri. Rindu hati tak dapat dikatakan... (17 Juni 1947).
Lalu kepada anak bungsunya, Mansur Abdurrahman Sidik, yang pada 1947 berusia delapan tahun, Agus Salim juga menulis surat kerinduannya:Ananda Mansur Sidik! Papa sayang betul dan rindu sama Mansur Sidik, kangen mau pulang. Mansur Sidik musti mendoa biar lekas kita bisa berkumpul pula. Peluk cium papa -- A Salim. (17 Juni 1947).
Menurut Mohamad Roem (yang terkenal namanya lewat perjanjian Roem-Rojen), kehidupan Agus Salim sangat sederhana, termasuk tempat tinggalnya. Agus Salim, katanya, kira-kira enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji A Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.
Kebiasaan itu Haji A Salim tinggalkan sesudah ia tidak kuat lagi untuk melaksanakannya. Sebab meskipun anak-anak membantunya, ia sendiri ikut serta sepenuhnya.
Agus Salim telah lama meninggalkan kita, namun perbuatan yang sesuai dengan perkatannya akan selalu menjadi teladan generasi-generasi setelahnya. Ia wafat 20 hari setelah ulang tahunnya yang ke-70 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan pada 1954. ikhwanul kiram,
Sumber :Republika (Sabtu 27 Oktober 1921)

Mohammad Hatta


Sang Proklamator

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya
Sang Proklamator
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri BelandaPada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra'jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah AirPada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra'jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra'jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul "Krisis Ekonomi dan Kapitalisme".
Masa PembuanganPada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan JepangPada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, "Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
ProklamasiPada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan IndonesiaIndonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul "Lampau dan Datang".
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul "Menuju Negara Hukum".
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980. *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari Buku Makam Bung Hatta 1982 dan berbagai sumber

Nama:Dr Mohammad Hatta(Bung Hatta)
Lahir:Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat:Jakarta, 14 Maret 1980
Istri:Rahmi Rachim (alm)
Anak:Meutia FaridaGemalaHalida Nuriah
Gelar Pahlawan:Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Pendidikan:Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi, 1916
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang, 1919
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta, 1921
Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda (dengan gelar Drs), 1932

Kegiatan:Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Padang, 1916-1919
Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Jakarta, 1920-1921
Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, 1925-1930
Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, di Berlin, 1927-1931
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), 1934-1935
Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang, April 1942
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, Mei 1945
Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 7 Agustus 1945
Proklamator Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945
Wakil Presiden RI pertama, 18 Agustus 1945
Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Januari 1948-Desember 1949
Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari ratu Juliana, 1949
Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet RIS, Desember 1949-Agustus 1950
Mengundurkan diri dari jabatan Wapres, 1 Desember 1956
Dosen di Sesko AD, Bandung, 1951-1961
Dosen di UGM, Yogyakarta, 1954-1959
Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi, 1969
Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila, 1975
Sumber : http://www.tokohindonesia.com/