tag:blogger.com,1999:blog-5314473582091890952024-03-13T03:10:22.917-07:00Urang MinangIs Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.comBlogger52125tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-331411143062983862008-01-21T22:04:00.000-08:002008-01-21T22:07:26.389-08:00M Alwi Dahlan<strong>Doktor Ilmu Komunikasi Pertama</strong><br />Alwi Dahlan tercatat sebagai doktor ilmu komunikasi pertama Indonesia lulusan Amerika Serikat tahun 1967, tepatnya dari Illionis University, Urbana dengan tesis “Anonymous Disclosure of Government Information as a Form of Political Communication”. Pergi sekolah ke negeri Paman Sam tahun 1958 saat sedang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) berdasarkan beasiswa foreign sudent leadership project di Minnesota, Alwi Dahlan sebelumnya berhasil meraih gelar B.A dari American University, Washington DC tahun 1961. Gelar B.A. ini menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu setara dengan S-1. Di Washington, untuk membiayai kuliah pria kelahiran Padang, Sumatera Barat 15 Mei 1933 ini bekerja sebagai penjaga malam di Kedutaan Besar RI. Sebelum meraih gelar doktor, keponakan sutradara film terkemuka Usmar Ismail ini melanjutkan pendidikan ke Stanford University, di California untuk meraih gelar Master of Arts (M.A.) bidang ilmu komunikasi massa tahun 1962.Selama studi M Alwi Dahlan bukan hanya pernah menjadi penjaga malam di KBRI Washington DC. Sebelum kembali ke tanah air usai meraih doktor masih menyempatkan diri membantu Atase Pendidikan di KBRI Washington, yang waktu itu dirangkap oleh Atase Pertahanan M Kharis Suhud. Dan, sewaktu akan pulang ke tanah air Kharis Suhud berkenan mengajak Alwi agar mau membantu Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) sebagai tenaga ahli, yang lalu dilakoninya sepanjang tahun 1968-1970. Kharis Suhud, mayor jenderal TNI AD terakhir menjabat sebagai Ketua MPR/DPR RI. Alwi Dahlan adalah orang Indonesia pertama yang menggondol gelar doktor ilmu komunikasi dari Amerika Serikat. Bidang komunikasi kiblat dari Amerika adalah bidang baru yang lebih luas pengertian dan definisinya dari ilmu jurnalistik maupun publisistik yang berkiblat ke Jerman. Tak mengherankan, pada waktu itu komunikasi massa belum begitu dipahami di Indonesia sehingga keahlian ilmu komunikasi Alwi belum serta merta memperoleh ruang kerja yang jelas. “Saya lalu melakukan berbagai hal, sekaligus ingin memperlihatkan bahwa sebagai ahli dalam bidang (komunikasi) ini, yang bersifat interdisiplin, dapat berkiprah di berbagai bidang ilmu dan berprofesi,” cerita Alwi, yang butuh waktu lama membuktikan keahliannya sebelum guru besar ilmu komunikasi massa Universitas Indonesia ini dipercaya oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Penerangan tahun 1998. Walau hanya beberapa bulan, antara Maret hingga 21 Mei 1998 sesuai “umur jagung” kabinet terakhir Pak Harto sebelum mengundurkan diri, posisi Menteri Penerangan adalah pembuktian akan kualitas kedoktoran pakar ilmu komunikasi Alwi Dahlan.MerintisM Alwi Dahlan putra Dahlan Sjarif Datuk Djundjung, seorang bupati pada kantor Gubernur Sumatera Tengah, di almamaternya Fisip-UI sejak tahun 1969 hingga 1992 hanya bisa dipercaya sebagai dosen luar biasa alias dosen tidak tetap. Ia harus merintis atau meneruka beberapa bidang kegiatan yang pada waktu itu dianggap masih baru di Indonesia. Seperti, antara tahun 1969-1971 ia menerbitkan dan menjadi pemimpin umum mingguan Chas, sebuah mingguan berkala berita yang pertama tampil dalam bentuk tabloid. Ia juga mendirikan Institute for Social, Commercial & Opinion Research (Inscore) Indonesia, sebuah lembaga riset masalah komersial dan pendapat umum swasta yang pertama di Indonesia. Alwi mendirikan pula Inscore Adcom sebuah perusahaan jasa komunikasi total dan public relation (PR) pertama di Indonesia. Sebagai doktor ilmu komunikasi massa pertama Indonesia lulusan Amerika Serikat banyak hal yang baru yang untuk pertama kalinya dirintisnya, sebelum akhirnya mulai mapan berkiprah di pemerintahan saat Emil Salim tahun 1978 resmi mengajaknya bergabung sebagai asisten menteri. Emil Salim ketika itu diangkat Pak Harto menjadi Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), maka, jadilah Alwi Dahlan tercatat sebagai Asisten Menteri KLH sepanjang tahun 1979 hingga 1993, atau antara era Emil Salim hingga Sarwono Kusumaatmaja.Kepada Alwi Emil Salim membebankan tugas membantu merintis pengembangan bidang yang masih sangat baru di Indonesia pada masa itu, yaitu pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup. Terbiasa mempunyai naluri sebagai perintis tantangan itu ia terima. Alwi resmi diangkat menjadi Asisten Menteri Bidang Pengawasan tahun 1978-1983, kemudian menjadi Asisten Menteri Bidang Keserasian Kependudukan dan Lingkungan tahun 1983-1988, serta menjadi Asisten Menteri Bidang Kependudukan tahun 1988-1993 di bawah Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmaja. Hingga tahun 1990 kepada Alwi Dahlan masih diserahi tugas dan tanggungjawab Kampanye Kesadaran Lingkungan Hidup, tugas yang antara lain berhasil menelorkan kebijakan pemberian penghargaan tahunan Kalpataru, Neraca Lingkungan Daerah, dan berbagai kebijakan lingkungan hidup lainnya. Untuk semua pengabdiannya yang tercatat hingga saat itu Presiden Soeharto menganugerahi Alwi Dahlan penghargaan Bintang Jasa Utama, yang disematkan langsung oleh Pak Harto pada 17 Agustus 1994.Penulis SkenarioSelain pakar dan guru besar komunikasi massa, pejabat kementerian lingkungan hidup, mantan Wakil Kepala BP-7, dan Menteri Penerangan, banyak sisi menarik lain kehidupan Alwi Dahlan yang belum pernah terangkat ke permukaan. Dalam usia muda 16 tahun, misalnya, pria yang menamatkan pendidikan SR di Padang (1946) sedangkan SMP (1950) dan SMA (1953) keduanya di Bukit Tinggi, ini sudah menunjukkan bakat luar biasa. Ia ketika itu sudah aktif mengarang cerita di majalah Kisah dan Mimbar Indonesia terbitan Jakarta. Di koran lokal sendiri, Padang Nippo dan Detik terbitan Buktitinggi ia malah hanya sesekali menulis. Duduk di bangku SMP di Batusangkar ia sudah menerbitkan sendiri koran lokal sekolah.“Di Mimbar Indonesia, selain menulis cerita pendek saya juga membuat sketsa atau vignet dengan tinta Cina,” aku suami dari Elita Rivai sama-sama berasal dari Kabupaten Tanah Datar. Di majalah Siasat, sebagai koresponden ia membuat reportase, esei, dan cerita pendek mengisi rubrik kebudayaan Gelanggang. Ketika duduk di bangku SMA Alwi sudah berkesempatan menulis rangkaian reportase perjalanan kaki menjelajahi pedalaman Alas, Gayo, serta Aceh untuk Siasat. Masih di bawah usia 20 tahun Alwi menulis di Zenith sebuah majalah kebudayaan yang diterbitkan oleh Mimbar Indonesia. Ketika diterima kuliah di FE-UI, ketika itu belum dibuka jurusan ilmu komunikasi, Alwi menyalurkan bakat dan keahlian tulis-menulisnya di penerbitan kampus Forum dan Mahasiswa. Bersama sahabatnya Emil Salim, Teuku Jacob, dan Nugroho Notosusanto, tahun 1958 ia mendirikan Ikatan Pers Masiswa Indonesia.Bakat kepengarangan putera Padang Panjang ini boleh dikata menurun dari pamannya Usmar Ismail, sutradara film terkemuka yang juga dikenal sastrawan angkatan ‘45. Alwi Dahlan pernah mencatat prestasi gemilang menulis sembilan skenario film sepanjang tahun 1953-1958. Ia bersama pamannya Usmar Ismail menulis skenario untuk film Harimau Campa, yang pada Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1958 merebut piala Citra sebagai skenario film terbaik. Demikian pula untuk film Tiga Dara hasil kerja bareng paman-keponakan itu. Sebuah film Usma Ismail lainnya, Jenderal Kancil dibuat justru berdasarkan novel karangan Alwi Dahlan berjudul Pistol Si Kancil terbitan Balai Pustaka. Alwi Dahlan ketika masih disibukkan tugas-tugas eksekutif di pemerintahan, terakhir menjabat Wakil Kepala BP-7 sebelum diangkat Menteri Penerangan oleh Pak Harto, masih menyempatkan diri mengembangkan diri di bidang ilmu komunikasi massa sebagai akademisi menjabat Guru Besar Fisip UI. Ia banyak diminta berbicara dalam berbagai seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Cina, Singapura, Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Rusia, dan lain-lain. Ia akhirnya tergolong sebagai pembicara seminar yang laris, berbeda ketika ia masih harus menjelaskan posisi dan peran ilmu komunikasi massa sebagai ilmu yang baru di Indonesia.Tentang istrinya, Elita Rivai sama-sama asal Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat ia katakan diketemukan di Jakarta. “Ceritanya, waktu saya di Amerika, beberapa tahun sebelum pulang saya melihat wajah Elita dalam foto di antara banyak orang. Waktu pulang, saya mencarinya sampai dapat di Jakarta,” tutur Alwi Dahlan, yang selalu berpenampilan tenang dan simpatik dengan tutur bahasa santun bersahaja. ►ht*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)<br /><br />Nama: M. Alwi Dahlan<br />Pendidikan:<br />- SR Adabiah I Padang (1946)<br />- SMP Bukittinggi (1950)<br />- SMA Bukittinggi (1953)<br />- Fakultas Ekonomi UI Jakarta (Tidak selesai, 1958)<br />- Universitas Stanford, California, AS (meraih gelar M.A, 1962)<br />- Universitas Illionis, AS (meraih doktor, 1967)<br /><br />Karir:<br />- Penulis Skenario Film (1953-1958)<br />- Pembantu Atase Pendidikan KBRI di Washington DC (1967-1968)<br />- Tenaga Ahli Markas Besar Angkatan Darat (1968-1970)<br />- Dosen Seskoad dan Kursus Atase Pertahanan (1968-1971)<br />- Dosen Fisip UI (1969-sekarang)<br />- Pemimpin Umum Mingguan “Chas” (1969-1971)<br />- Pemimpin Umum Majalah “M&M” (1971-1978)<br />- Direktur Inscore Indonesia (1971-1979)<br />- Direktur Inscore Adcom (1974-1979)<br />- Asisten Menteri KLH (1979-1993)<br />- Wakil Kepala BP-7 (1993-1998)<br />- Menteri Penerangan RI (Maret-21 Mei 1998)<br /><br />Organisasi:<br />- Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI, 1983-1995)<br />- Ketua Umum Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (Hipiis, 1984-1995)<br />- Anggota Dewan Kehormatan PWI (1984-1995)<br /><br />Penghargaan: Bintang Jasa Utama oleh Presiden Soeharto, 17 Agustus 1994 Alamat<br /><br />Rumah: Jalan Mutiara III Cipete, Jakarta 12410 Telepon: (021) 769.1931 Sumber: Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang,BK3AM, 1995, hlm.313-316Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-75397523599087650412008-01-21T22:02:00.000-08:002008-01-21T22:03:41.107-08:00Etty Sunarti NuayEtty Sunarti Nuay Berkaca pada Minyak<br />Siapa bilang berada jauh di belantara hutan atau di tengah lautan, bisa membuat seseorang jauh dari Yang Mahakuasa? Justru sebaliknya, kebesaran Allah SWT semakin tampak dan Sang Khalik terasa makin dekat. Itulah yang dirasakan wanita geolog pertama Indonesia, Ir Etty Sunarti Nuay.<br />Begitu dinyatakan lulus sebagai sarjana dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 10 Juni 1973, sesuai bidang ilmunya, ia terjun ke dunia perminyakan. Selama lebih dari 25 tahun ia bekerja di perusahaan pertambangan milik Amerika Serikat, Hufco dan Vico.<br />''Saya tertarik kepada alam. Dengan kita berkecimpung di alam lebih banyak, kita bisa dekat sama Allah. Kita semakin menyadari manusia sangat kecil kalau dibanding alam yang mahabesar,'' ujarnya.<br />Dari kecil, pertanyaan tentang alam menjadi pertanyaan yang tak berujung bagi Etty. Bagaimana alam bisa sebesar ini? Siapa yang menciptakan? Alam terbentang ini mau diapakan dan kenapa sampai terjadi begini? Itulah pertanyaan yang selalu berlalu tanpa jawaban. ''Dari seringnya mengamati, saya menyenangi alam. Semakin lama semakin keterusan,'' ujarnya kepada Republika, Selasa (3/5).<br />Kecintaan istri Nuay Sutan Maradjo ini terhadap alam makin mengental saat duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Ia mengaku, pada masa itu, ia sering mendaki gunung, turun ke ngarai, dan menyusuri sungai-sungai. ''Begitu tahu ada jurusan geologi di fakultas Teknik Geologi ITB, saya langsung mendaftar ke sana,'' tambahnya.<br />Semasa kuliah, seangkatannya hanya ada dua perempuan yang menekuni bidang itu. Ini berlanjut hingga ia memasuki dunia kerja. Ia menjadi satu-satunya perempuan di tengah-tengah kaum lelaki dan kebanyak pekerja asing pula. Karena itu, tak mengherankan bila ia kadang harus bersikap seperti laki-laki.<br />Ada satu pengalaman menarik yang tak bakal dilupakannya. ''Kalau ke pengeboran, seorang wanita dilarang datang ke lokasi itu. Karena harus bertugas ke sana akhirnya saya berpakaian seperti laki-laki dengan menggunakan pakaian dinas lapangan (PDL) lengkap pula,'' ujarnya terbahak.<br />Pertama kali bekerja, ia ditempatkan sebagai paleontolog. ''Dengan mengidentifikasi fosil, kita akan tahu umur bumi,'' ujarnya tentang korelasi displin bidangnya itu.<br />Kalau umur bumi diketahui, katanya, maka akan bisa dikolerasikan satu tempat ke tempat lain yang umurnya sama. Misalnya umur batuan yang terdapat di tempat A bertemu lagi di tempat B karena fosilnya sama. ''Nah, itu sangat penting dalam ilmu perminyakan. Karena kalau satu lapisan yang mengandung minyak kita hubungkan di tempat yang lain dia akan mengandung minyak juga.''<br />Ia benar-benar menekuni dari bawah hingga akhirnya menduduki jabatan manajer eksplorasi di Vico. ''Waktu itu usia saya 26 tahun, mulai dari bawah sebagai junior karena saya lulus sebagai geologis. Tepatnya junior paleontologist yang merupakan cabang dari ilmu geologi,'' ujarnya.<br />Ia sendiri mengaku sangat tertarik dengan dunia perminyakan. Bahkan, ia semakin mengagumi kebesaran Allah SWT juga setelah berkecimpung di dunianya itu. Allah, di mata perempuan yang kemudian memilih untuk berbusana Muslimah dalam kesehariannya ini, adalah creator yang luar biasa dan sangat teliti. ''Dalam proses terjadinya minyak, sampai sekarang tak ada satu makhluk pun yang menandingi. Hingga saat ini manusia belum ada yang mampu membuat minyak,'' ujarnya.<br />Minyak, kata dia, terdiri dari unsur hidrokarbon. Hidro karbon adalah senyawa antara hidrogen dan oksigen dan itu banyak sekali turunannya. Di dalam tanah, zat itu akan terbentuk kalau dia sudah jutaan tahun terkubur. Manusia, bagaimana pun caranya tidak akan mampu membuat hidrokarbon, minyak, dan bahan tambang lainnya. ''Dengan begitu kita semakin yakin kebesaran Allah. Jadi, benar usia bumi sudah jutaan tahun,'' ujarnya menambahkan.<br />Saat mencapai posisi manajer di Vico, Etty memilih untuk lengser. ''Saya ingin lebih banyak bisa beribadah dan bersama keluarga. Kebetulan, kantor membuka peluang untuk pensiun dini,'' ujarnya. Kini, ia bergabung dengan perusahaan pertambangan minyak milik pengusaha dalam negeri. Selain waktunya lebih fleksibel, ia juga bisa mendapatkan apa yang diingininya; lebih banyak beribadah dan dekat dengan keluarga.<br /><br />Ir Etty Sunarti Nuay<br />Panggilan : Etty<br />Tanggal Lahir : Bukittinggi, 5 Februari 1947<br />Suami : Nuay Sutan Maradjo<br />Anak : Wahyu Maulana MSc, Annisa Fabiola (almarhumah)<br />Pendidikan : Fakultas Teknik Geologi ITB Tahun 1973<br />Jabatan : Presiden Direktur/CEO Easco Petroleum (Holding)<br />(dam )<br />http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=197506&kat_id=376Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-51136096206856785532008-01-21T21:55:00.000-08:002008-01-21T22:00:12.502-08:00Mufidah Jusuf Kalla<strong>Penopang Karir Suami<br /></strong> Wanita bersuara lembut yang berusaha menjaga sikap untuk selalu tampil setenang mungkin, Mufidah Miad Saad, ini seorang ibu yang setia menopang karir suami, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Keberhasilan JK dalam dunia usaha dan dunia politik tak terlepas dari dukungan wanita Minangkabau kelahiran Sibolga 12 Februari 1943, ini.<br /><br />Bak kata pepatah asam di gunung ikan di laut bertemu dalam kuali, itulah yang terjadi pada pasangan Muhammad Jusuf Kalla dan Mufidah. Sebagai khasnya orang Minang yang berjiwa perantau, begitulah jua keluarga Mufidah (ayah H Buya Mi'ad dan ibu Sitti Baheram serta sebelas orang anak saudara sekandung. Dari Sumatera Barat merantau ke Sibolga, umatera Utara hingga ke Sulawesi Selatan.<br /><br />Di kota Angin Mamiri Makassar, Mufiodah akhirnya bertemu jodoh Jusuf Kalla. Mufidah yang biasa cukup dipanggil dengan Ida saja, adalah gadis muda belia yang untuk pertamakalinya bertemu pandang dengan Jusuf Kalla saat menginjak bangku SMA Negeri III Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai siswi baru.<br /><br />Di masa-masa sekolah inilah awal mula persemaian kisah cinta Mufidah dengan seorang anak muda Muhammad Jusuf Kalla (MJK), pria suku Bugis kelahiran Watampone 15 Mei 1942, putra pengusaha tradisional Bugis Haji Kalla dan Hajjah Athirah pendiri dan pemilik NV Hadji Kalla Trading Company, bersemi. Jusuf Kalla dan Mufidah mulai saling menaruh hati pada tahun 1962 saat Jusuf Kalla duduk di bangku kelas dua dan Ida adalah siswi baru kelas satu SMA Negeri III Makassar. Mufidahlah yang menyebutkan kalau Jusuf Kalla sudah menunjukkan ketertarikan kepadanya sewaktu SMA. Namun Ida menanggapi ketertarikan Kalla dengan bersikap tenang dan biasa-biasa saja, sepertinya tanpa ada gejolak apapun. Walau berakhir happy ending kisah cinta dua anak bangsa Jusuf Kalla-Mufidah memang sepertinya mirip dengan kisah Siti Nurbaya, sebuah cerita klasik dari Minangkabau. Ketika Jusuf Kalla sudah sedang berada di puncak hasrat asmara bahkan hendak melamar, Ida kepada Kalla mengaku terus terang kalau dirinya sudah dijodohkan oleh kedua orangtua kepada pria lain.<br /><br />Pengakuan langsung itu menjadi konfirmasi final atas kabar perjodohan Mufidah yang sebelumnya telah terembus ke telinga Jusuf Kalla. Kabar atau “mimpi buruk” yang muncul justru di saat Jusuf Kalla hendak melamar Ida. Pria yang dijodohkan ke Mufidah disebut-sebut pula ganteng dan sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat.<br /><br />Namun, nyali Jusuf Kalla tak surut. Dan, akhirnya mereka menikah. Buah kasih mereka telah melahirkan lima orang anak, yakni Muchlisah Jusuf, Muswirah Jusuf, Imelda Jusuf, Solichin Jusuf, dan Chaerani Jusuf, serta tujuh orang cucu.Penari Serampang 12Ketenangan dan selalu bersikap biasa, sejak gadis belia hingga sudah menjadi nenek tujuh orang cucu adalah ciri khas pembawaan Mufidah, wanita yang di usia senja 61 tahun masih saja mengguratkan tanda-tanda kecantikan dan kesegaran. Sebagai misal, walau nyonya rumah di sebuah keluarga kaya raya, yang berdasar laporan KPKN Jusuf Kalla memiliki kekayaan Rp 134,2 miliar, penampilan Mufidah tampak biasa-biasa saja. Sehari-hari di rumah, misalnya, ia cukup mengenakan setelan busana muslimah yang sangat bersahaja. “Ya biasa-biasa saja. Sejak bapak mundur dari kabinet, saya memilih tinggal di rumah bersama satu cucu atau ikut bapak keluar daerah jika menginap. Soal kegiatan saya, sebut saja saya menjadi ibu rumah tangga,” kata Mufidah, tersenyum kepada Indo Pos bercerita perihal kegiatan hariannya berikut status barunya sebagai Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga biasa sederhana yang bukan lagi dikenal Nyonya Menteri namun malah naik menjadi Nyonya Wakil Presiden karena kebersahajaannya. Tutur kata Mufidah terkesan ramah dan akrab. Sama seperti sang suami Jusuf Kalla, yang konglomerat dari Indonesia Timur yang juga sangat bersahaja dan sederhana sekali sebab jarang sekali mengenakan pakaian jas lengkap, kecuali untuk acara resmi yang sangat penting itupun terkadang paling-paling cukup mengenakan baju batik saja. Keseharian Jusuf Kalla lebih suka mengenakan baju lengan pendek tanpa dasi, atau jika ingin lebih sederhana cukup kenakan baju koko berlengan pendek.Jusuf Kalla menyemai bibit kasih sayangnya kepada Mufidah dengan sesekali datang bertandang ke rumah Ida. Ia datang bersama kawan-kawan sesama mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar. Tujuannya “bukan” untuk bertemu Ida melainkan asyik bermain halma dan mengobrol dengan sang “Camer” alias calon mertua. Mufidah suatu ketika harus menempuh ujian akhir SMA di Medan sebab bersamaan waktunya dengan penyelengaraan sebuah kejuaraan tari di Medan. Ida yang pandai menarikan tarian Melayu Serampang Duabelas, demikian pula tarian Minang dan Aceh, dipercaya mewakili Propinsi Sulawesi Selatan mengikuti kejuaraan tari di Medan. Bukti bahwa Mufidah seorang penari handal tercermin pada putri bungsunya, Chaerani, yang mewarisi bakat penari. Di Medan Mufidah berhasil tampil sebagai juara tiga. Cinta jarak jauh Makassar-Medan diisi Jusuf Kalla dengan kerap menanyakan dan mencari tahu kabar tentang Ida, sambil sesering mungkin berkirim kartu pos.Kembali ke Makassar Mufidah berkesempatan bekerja di bank BNI 1946 atas permintaan ibu dan koneksi ayahnya dengan direktur utama bank yang kini bernama Bank BNI itu. Dengan bekerja Ida menyimpan hasrat lama kuliah di Universitas Hasanudin, tempat dimana Jusuf Kalla kuliah dan aktif sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Walau gagal masuk Unhas sekampus dengan Kalla Ida tak ingin melunturkan niat besarnya menempuh pendidikan tinggi. Ia lalu masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Selepas bekerja sebagai teller bank Ida rajin kuliah sore.Mengetahui Mufidah bekerja dan sambuil kuliah ada dua hal yang segera dilakukan Jusuf Kalla. Yakni, menabung di BNI 1946 dan melamar menjadi asisten dosen di UMI Makassar. Tujuannya tak lain ingin selalu bertemu pujaan kekasih hati. Seringkali bahkan terjadi setiap hari, dari bangkunya bekerja sebagai teller bank, “Dari jauh saya sudah lihat Bapak datang. Ia langsung ke tempat saya dan menabung. Tiap hari menabung,” kenang Ida, penuh tawa mengenang peristiwa puluhan tahun silam itu saat berbicara kepada Suara Pembaruan. Dan, pada peristiwa berbeda sebagai mahasiswi UMI Makassar yang diajar oleh Jusuf Kalla, pada suatu ketika Ida lupa membawa pulpen dan sang asisten dosen langsung saja menawarinya sebuah pulpen berwarna keemasan. Ida menerima dengan perasaan senang namun malu-malu.Diuji berkali-kaliBaik teman-teman Jusuf Kalla maupun teman-teman Mufidah sama-sama sudah mengetahui bahwa ada sesuatu antara kedua sejoli itu. Namun terhadap Jusuf Kalla Ida selalu bersikap biasa-biasa. Ida lalu dijuluki “jinak-jinak merpati”. Isi hati Ida pernah diuji berkali-kali oleh teman-teman Jusuf Kalla. Misalnya, pada suatu ketika Ida diminta untuk memilih kartu bertuliskan “ARA”, kartu nama kelompok belajar Jusuf Kalla. Tak mengerti apa maksudnya yang sesungguhnya, Ida mau saja mengambil kartu itu. Ida lalu diberitahu bahwa kartu yang berhasil diambilnya yang bertuliskan “ARA”, itu berarti tanda jadi hubungan mereka berdua. Jusuf Kalla dan empat orang sahabatnya bersorak kegirangan lalu merayakannya berkeliling kota dengan dokar. Walau sudah diuji demikian dan terbukti berhasil mengetahu isi hati Mufidah, sikap Ida masih saja sama tak berubah sedikitpun. Demikian pula dalam keseharian tak pernah diisi dengan berpacaran, misalnya. Hingga tiba pada ujian selanjutnya, Jusuf Kalla memberanikan diri sering memperlihatkan diri berboncengan dengan seorang teman wanita sekampus Unhas yang memang ada menaruh hati pada Kalla. Ida kemudian mengetahui kejadian itu dari tetangga. Tak pernah terjadi sebelumnya Mufidah segera saja menelepon Jusuf Kalla untuk meminta datang ke rumah. “Saya bilang ke Bapak, saya berterima kasih ke Bapak. Selama ini, saya berat mengatakannya, maklum saya ini orang Minang, dan ayah-ibu saya berat melepas saya untuk orang Bugis. Jadikan sajalah yang dibonceng di kampus itu,” kenang Ida, mengawali hendak berkata pisah pada Jusuf Kalla.Mufidah lalu menyebutkan merasa bersyukur Jusuf Kalla bisa menemukan pengantinnya, meminta agar hubungan mereka tetap terjaga seperti saudara, pintu rumah Ida selalu terbuka untuk Jusuf Kalla, dan jangan sampai Jusuf Kalla melupakan Ida. Akhirnya tibalah waktunya Ida mengulurkan tangan bersalaman untuk yang terakhir kali.<br /><br />Tentu saja Jusuf Kalla menolak bersalaman dan menggagas bahwa Ida telah salah paham. “Saya tidak suka sama orang itu, dan saya betul-betul sudah salah. Saya cuma ingin memanas-manasi Ida,” kata Ida, menirukan ucapan Kalla. Ketika itu Ida merasakan cemburu yang sesungguhnya namun tak sedikitpun mau memperlihatkannya. Ia tetap saja tenang seperti biasa. Jusuf Kalla berlalu dengan lunglai disaksikan oleh seluruh saudara Ida. Mereka pun menaruh rasa iba terhadap pria yang sesungguhnya sudah mereka kenal baik dan akrab. Teman-teman Jusuf Kalla ikut menyaksikan kesedihan di wajah sohib dekatnya itu. Mereka lalu menghabiskan malam dengan duduk-duduk di tepi Pantai Losari tanpa perlu bicara sebab semua telah kehilangan selera humor. Kesedihan Jusuf Kalla semakin lengkap saat pulang ke rumah di subuh hari ditemuinya seorang adiknya sedang memutarkan gramofon yang mendendangkan lagu “Patah Hati” dari Rachmat Kartolo. DijodohkanJusuf Kalla sesungguhnya tidaklah sungguh-sungguh patah hati. Ia menemui Paman Mufidah bertanya kemungkinan melamar Ida. Paman itu malah menyarankan agar Kalla langsung melamar ke orangtua Ida. Namun justru pada saat itulah Jusuf Kalla merasakan pukulan berat kedatangan “mimpi buruk” yang sangat menakutkan. Jusuf Kalla mengetahui kalau Ida ternyata sudah dijodohkan dengan seorang pria lain asal Minang, yang sedang menempuh pendidikan di Amerika. Kalla panik dan segera ingin mendengar kesungguhan kabar langsung dari mulut Ida.Jusuf Kalla menemui Mufidah yang sudah dipromosikan menjadi Wakil Pimpinan BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassar. “Saya memang dijodohkan dan orangnya gagah sekali. Ia sekarang bersekolah di Amerika,” kata Ida terus terang tetap dengan nada tenang dan biasa-biasa saja. “Jadi, kamu terima tidak? Ia gagah dan saya tidak?”“Saya tidak terima perjodohan itu.” “Lalu, bagaimana saya ini? Kamu terima saya ya?,” Jusuf Kalla mendesak. “Kita lihat sajalah nanti,” jawab Ida pelan. Beberapa hari kemudian Jusuf Kalla memberanikan diri segera melamar Mufidah. Lamaran Kalla tak begitu saja ditolak apalagi diterima oleh Buya Mi'ad dan Sitti Baheram, orangtua Ida, sebab mereka telah menyiapkan jodoh untuk putri tunggalnya. Mengingat Buya Mi'ad dan Sitti Baheram sudah lama merantau dan memilki pikiran yang terbuka dan modern mereka sepakat menyerahkan persoalan sepenuhnya kepada Ida. Namun sebagaimana tipikal wanita Minang kebanyakan yang sangat menghormati orangtua, Ida yang putri tunggal dari sebelas bersaudara balik menyerahkan pengambilan keputusan kepada Emak dan Ayahnya. Dengan hanya sedikit beretorika, kalau seandainya lamaran Kalla diterima ya alhamdulillah, dan seandainya tidak juga tidak apa-apa. “Saya bilang, terserah Emak dan Ayah. Kalau seandainya diterima, alhamdulillah. Kalau seandainya tidak, ya tidak apa-apa juga. Orangtua saya berpikir, 'oh, Ida mau'. Dan lamaran itu pun diterima,” kata Mufidah. Sekretaris Pribadi Retorika itulah yang berhasil ditangkap kedua orangtua Ida, ‘oh, Ida mau’, sehingga lamaran Kalla diterima. Keduanya bertunangan tahun 1966 lalu menikah setahun kemudian menunggu hingga tuntas masa kuliah. Dua minggu menjalani masa bulan madu Mufidah yang semestinya harus sudah bekerja sebagai Wakil Pimpinan Bank BNI 1946, urung pergi ke kantor sebab Kalla yang seharusnya mengantar tak mau beranjak pergi. Kalla ingin Ida berada di rumah pada setiap kali Kalla pulang kerja. Ida pun berhenti bekerja. Jusuf Kalla yang kala itu sudah terkemuka seorang seorang politisi muda Golkar, mantan aktivis KAMMI, anggota DPRD Sulawesi Selatan, pendiri Sekber Golkar Sulawesi Selatan.Walau karir politik Jusuf Kalla sedang menanjak namun untuk urusan bisnis keluarga suaminya itu justru diultimatum oleh ayah mertuanya untuk memutuskan pilihan, apakah mau meneruskan usaha NV Hadji Kalla Trading Company, atau tidak. Saat itu Mufidah sedang mengandung anak kedua. NV Hadji Kalla sejak tahun 1965 mulai mengalami kesulitan setelah Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan sanering, berupa pemangkasan nilai mata uang rupiah seribu kali lebih rendah, misal dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Jusuf Kalla memilih meneruskan usaha keluarga NV Hadji Kalla. Di tangan Jusuf Kalla usaha NV Hadji Kalla berkembang dari sebelumnya bergerak di bidang hasil bumi menanjak ke usaha distributor mobil. Mufidah tergolong berperan besar di awal-awal kebangkitan NV Hadji Kalla ini. Ida yang ketika kuliah menekuni bidang akuntan, menjadikan ilmunya itu sebagai modal di bidang keuangan. Ida berperan sebagai sekretaris pribadi Jusuf Kalla merangkap mengelola keuangan perusahaan. Tahun 1969 perusahaan keluarga NV Hadji Kalla terbangkitkan di bidang transportasi dengan modal awal sepuluh unit kendaraan. “Saat itu, saya masih bekerja sebagai juru keuangan perusahaan," ujar Ida. Penopang suamiKini NV Hadji Kalla sudah lebih dikenal sebagai sebuah konglomerasi usaha dari Kawasan Timur Indonesia bernama Kalla Group, merambah beragam bidang usaha seperti jasa transportasi, telekomunikasi, otomotif, properti, kontraktor bangunan, perkapalan, jembatan, tambak udang, perikanan, kelapa sawit, dan lain-lain. Ketika Jusuf Kalla diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Gus Dur satu per satu pengelolaan unit usaha diwariskan kepada anak-anak. Mufidah fokuskan diri menopang karir politik sang suami dengan menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Jusuf Kalla yang mundur dari Kabinet Megawati memilih berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Wakil Presiden. Pasangan inipun terpilih menjadi orang nomor satu dan nomor dua di bumi Republik Indonesia.Sukses pasangan SBY-JK adalah juga sukses topangan Kristiani Herrawati Yudhoyono dan Mufidah Jusuf Kalla. Seringkali Ida bersama Jusuf Kalla semasa sebagai calon wakil presiden berkunjung ke berbagai kota di tanah air. Jika perjalanan satu hari saja pergi dan pulang biasanya Ida tak perlu diikutkan dalam rombongan agar tidak merasa capek. Namun jika kunjungan lebih dari satu hari Ida pasti diikutkan. “Bapak bilang, nanti saya capek ikut dia. Sebab, kalau tidak menginap, pergi jam delapan pagi, pulang jam delapan malam. Padahal, secapek apa pun saya selalu siap mendampingi, kata Ida. Frekuensi kunjungan ke daerah mencapai puncaknya saat menjelang dan pada saat kampanye Pemilu Presiden 2004. Topangan Mufidah bukan cuma itu. Rumah mereka yang terletak di Jalan Brawijaya Raya Nomor Enam, Jakarta Selatan, kerapkali kedatangan tamu perseorangan atau rombongan terdiri kolega atau tim sukses Jusuf Kalla. Ida selalu menyiapkan segalanya untuk menjamu tamu-tamu itu. Ida sudah bertekad untuk mendampingi Jusuf Kalla sebagai cawapres di rumah ataupun di luar rumah. Mufidah merasa bangga setiap beban berat suaminya, apakah itu urusan bisnis dan politik, orang rumah tak perlu kena getahnya. Ida sudah paham tabiat Jusuf Kalla yang tak pernah mau membawa-bawa urusan kantor dan luar rumah ke rumah seberat apapun tanggungjawab suaminya di urusan itu. Segala urusan luar rumah harus selalu diselesaikan di luar rumah. Tak sekalipun boleh mampir ke rumah. Rumah diperuntukkan sepenuhnya untuk keluarga. Sikap hidup yang menjadi dasar dan legitimasi untuk menanamkan prinsip anti KKN terhadap seluruh anggota keluarga.“Bahkan, bicara soal pekerjaannya pun di rumah sangat jarang. Sebab, kalau ditanya, dia selalu bilang besok saja. Saya bingung,” kata Ida, yang di rumah tinggal bersama anak keduanya Muswira. Anak pertama mereka, Muchlisa alias Lisa berdomisili di Balikpapan, Kalimantan Timur yang melanjutkan manajerial lembaga pendidikan Athirah yang dulu dikelola Mufidah. Sementara, anak ketiga dan keempat Imelda dan Solichin berdomisili di Makassar. Si bungsu Chaerani pewaris bakat menari Mufidah, usai menyelesaikan studi di Amerika Serikat kembali berada di Tanah Air.Sikap hidup sederhana, bersahaja, berusaha untuk selalu tenang, bersuara lembut, tak menampakkan diri sebagai sosok keluarga pengusaha yang kaya raya, agaknya sudah menjadi ciri khas Mufidah yang tak dibuat-buat. Mengerti benar suaminya akan menjadi orang kedua di Bumi Nusantara, Ida justru berharap agar suaminya bisa memenuhi semua janji-janji politik yang pernah dilontarkan suami dan pasangannya Susilo Bambang Yudhoyono. Ida tentu ingat apa saja yang pernah dijanjikan orang kesatu dan kedua Indonesia itu. Selain berharap janji itu jangan sampai melesat, Ida bahkan berdoa cita-cita suaminya menyejahterakan rakyat, mewujudkan keadilan dan keamanan bagi negeri, bisa terpenuhi.Jika pun tak terpenuhi Mufidah telah memutuskan akan menjadi orang pertama yang mengingatkan dan menagih kepada Kalla. Ida memang percaya penuh atas kegigihan dan keikhlasan suaminya dalam bekerja. “Saya yakin, bapak tidak mencari kedudukan. Kalau hanya kedudukan, buat apa? Sejak awal, niat bapak memang untuk ibadah,” kata Ida pasti.Mufidah juga mengerti area bermain suaminya adalah area politik yang penuh resiko. Sebagai misal, walau sudah menjadi kader Golkar selama 39 tahun, terlama dibanding kader-kader Golkar lainnya namun harus menjalani proses penonaktifan sebagai anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar, Ida merasakan sangat penting kehadirannya selalu di sisi Jusuf Kalla. Kalau ada fitnah dari pihak lain terhadap Kalla, misalnya, Ida bisa segera menenangkan sekaligus mengingatkan untuk bersabar.Ida menopang suami juga dengan iman. Seperti, mendoakan perjalanan karir politik Jusuf Kalla dengan ikut majelis pengajian, wirid, serta zikir secara berjamaah di kediaman mereka. Ida selalu berzikir didampingi empat dari lima anaknya Muchlisah, Muswirah, Solichin, dan Chaerani. Demikian pula dua cucu dari anak pertamanya, Ahmad Fikri dan Masyitah selalu ikut dalam kebersamaan keluarga Jusuf Kalla di hari-hari terakhir menjelang hari pencoblosan 20 September 2004. Jusuf Kalla dikenal sangat akrab dan berbahagia sekali jika sedang bersama cucu-cucu.Malam menjelang hari pencoblosan 20 September 2004 Mufidah mengaku tak pernah tertidur. Bersama seorang ustad ia berzikir di sebuah majelis zikir. Di hari pencoblosan Ida yang berlatar Muhammadiyah memutuskan berpuasa padahal tak ikut makan sahur. Niat berpuasa terjadi malam harinya. Jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan suaminya pemenang Pemilu Presiden, Ida penolong suami yang sepadan ini berniat membayar nazar yang pernah diucapkan sebelumnya yakni berpuasa tiga hari. ►ti-haposan*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)<br />Nama:Mufidah Jusuf Kalla<br />Lahir:Sibolga, 12 Februari 1943<br />Agama:Islam<br />Pekerjaan:Ibu Rumah Tangga<br />Suami:Muhammad Jusuf Kalla<br /><br />Anak:<br />1. Muchlisah Jusuf<br />2. Muswirah Jusuf<br />3. Imelda Jusuf<br />4. Solichin Jusuf<br />5. Chaerani Jusuf<br /><br />Cucu:Tujuh orang<br /><br />Orangtua:<br />Ayah H Buya Mi'ad dan Ibu Sitti Baheram<br />Saudara Kandung:Sebelas orang<br />Pendidikan:<br />SMA Negeri III Makassarn Fakultasn Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar<br /><br />Pengalaman Kerja: Teller Bank BNI 1946 Cabang Sarinah,n Makassar Wakil Pimpinan Bank BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassarn<br />Kepalan Bagian Keuangan NV Hadji Kalla Trading Company<br />Hobi:Menari<br />Alamat Rumah:Jalan Brawijaya Raya No. 6 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan<br />Sumber:Berbagai sumber, antara lain Suara Pembaruan dan Indo PosIs Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-7342119438468059802008-01-21T21:53:00.000-08:002008-01-21T21:54:52.727-08:00Delsy SyamsumarDelsy Syamsumar (1935 – 2001)<br /><br />Delsy Syamsumar seorang pelukis “Neoklasik” Indonesia berasal dari Sungai Puar. Pelukis kelahiran 7 Mei 1935 ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Diwaktu revolusi keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi dimana Delsy melalui sekolah dasar dan menengah umum bahkan pendidikan agama Islam, ia selalu menonjol dalam pelajaran seni lukis dan menjadi juara pertama setiap sayembara di sekolah sekolah di Sumatera Barat. Dalam usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis komik berdasarkan sejarah dan karangan sendiri serta dikirimkan per pos ke majalah ibukota. Komik “Mawar Putih” tentang “Bajak Laut Aceh” dimuat di majalah “Aneka” membuat ia terkenal diseluruh Indoensia dalam usia muda. Kalau perantau-perantau Minang umumnya mengadu nasib sebagai pedagang, maka Delsy di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup. Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan Delsy jadi “terkenal(ahli gambar)” seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. (Karena Delsy sejak di SD sudah dibelikan cat minyak oleh ayahnya yang pengukir Rumah Gadang) Meskipun Delsy terkenal sebagai pelukis komik, sejarah illustrator, Pers dan Penata visual dari sekian banyak Film nasional, ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak. Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai pembuat kartun pers dan cover cover novel Indonesia dan di perfilman sebagai Art Director senior, memenangkan penghargaan Festival Nasional dan Asia. Disanggarnya selain mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran tunggal delsy di tahun 1985 di Balai Budaya dianggap kejutan nasional karena gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif dan ekstensial dan selalu di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam “Suara Pembaharuan”) Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya melukiskan wanita. Namun sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-tokohnya yang komunikatif dengan pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita, pengamat karyanya itu mengambil kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas Delsy bagai menemukan “medan yang tepat dan kuat” menangkap daya hidup. Sudut pandang lukisan Delsy terkadan filmis, karena ia juga orang film. Komposisisnya terletak enak seperti sudut kamera. Pameran tunggal Delsy pernah di Hotel Indonesia, gedung Kesenian. Ia juga pernah surprise dengan lukisan termahal di TIM. Pada pameran-pameran bersama di Balai Budaya pada pra reformasi, lukisan-lukisan Delsy selalu rekor dalam diminati para kolektor. 1992 pernah pameran bersama dengan Basuki Abdullah.Dunia film telah membenamkan delsy cukup lama dalam kreatifitasnya dan puncaknya menjadi Art director di beberapa film legenda Indonesia, antara lain “Saur Sepuh”. Terlalu lama mendalami dunia film yang bertema legenda sejarah mendorong kreativitas Delsy didalam melukis banyak bertemakan legenda dan sejarah, termasuk didalamnya merekam perjuangan bangsa Indonesia disekitar tahun 1945. Karya beliau antara lain: Sentot Alibasya Prawiradirdja (cergam), Gadjah Mada (Cergam), Christina Maria Tiahahu (cergam) dan beberapa lukisan yang menggambarkan Heroisme Cut Mutia, Kereta Api terakhir Yogyakarta, Sepasang mata bola, Dapur Umum dan karya terakhirnya ditahun 2000 diakui kolosal “Gelar Perang Sentot Alibasya Prawiradirdja.Bio Data DELSY SYAMSUMAR7 mei 1935 : Lahir di Medan Asal Minang (Sungai Pua) 1945 - 1949 : Basis pendidikan dari guru Arifin Zainun Exs INS Kayu Tanam 1950 – 1954 : Bergabung dalam SEMI (seniman Muda Indonesia) d/p Zetka dan a.A. Navis. Menjuarai berturut turut lomba melukis 1954 : Dipanggil ke Jakarta oleh penerbit, untuk mengarang dan melukis komik 1955 – 1959 : Mendapat sambutan baik dariinstansi PP&K seluruh Indonesia mengenai komik sejarah Pahlawan. Tergabung dalam “Seniman Senen” orang orang Film, teater dan pers melibatkannya kerja di panggung, dapur film dan kewartawanan sekaligus illustrasi di berbagai majalah dan Surat Kabar. Mendapat sambutan baik Instansi PP&K dan Japen hampir dari seluruh Indonesia mengenai serial “Komik Sejarah Pahlawan Tanah Air 1960 : Pertama sekali sebagai Art Director film 1961 : Mendapat penghargaan kritisi melukis credit title film perfini “Pejuang” dalam bentuk sketsa 1962 : Sebagai Art director film “Holiday in Bali”. Persari memenangkan dekor tata warna terbaik dalam Festival Film Asia, Tokyo. Memenangkan hadiah I sayembara karikatur PWI. 1964 – 1966 : Dekorator Hotel Indonesia d/p Teguh Karya. 1966 – 1970 : Sebagai wartawan dan illustrator tetap majalah “caraka” Ditpom, Memperoleh predikat “I’exellent Dessinateur” (lecture seni Paris) 1970 – 1978 : Kembali sebagai Art Director Film. Mempelopori teknik cetak poster film dan majalah (“Lavita”, “Variasi” dan “Kartini”) 1978 – 1982 : Terpilih jadi wakil ketua kelompok seluruh Art Director Film dan Televisi (KFT), sebagai art director film “Buaya Deli” yang mendapat penghargaan latar belakang sejarah. 1982 : Terpilih jadi wakil ketua “Yayasan Bengkel Seni” 1983 : Menata artistic 3 film (Jayaprana” dll). Ikut pameran ikatan illustrator Indonesia, Menjadi Art Director untuk Film legenda Saur Sepuh (seri 3,4,5) 1985 - 1986 : Pameran tunggal di Balai Budaya – Sarinah – TIM (surprise nasional) 1991 : Masuk nominasi artistic film “Saur Sepuh” bersama El Badrun (FFI 1991) 1992 - 1994 : Training animasi film kartun. Pameran lukisan bersama Basuki Abdullah. Pameran Tunggal Hotel Indonesia, Gedung kesenian. 1995 : Sebagai Production Designer beberapa sinetron Televisi. 1996 : Supervisor artistic dan arkeologi film kolosal Fatahilah. 1997-1998 : Pameran-pameran bersama di balai budaya – Menteng Parada dan lain lain. 1999 - : Diusia 64 menyatukan kreasi pada melukis cat minyak. 2000 - : Menyelesaikan karya kolosal : Gelar Perang Sentot Prawirodirjo. 2002 : Awal tahun 2002 sebagai aksi sosial bantuan bencana alam di Bengkulu dengan meneruskan goresanan Abdul Rahman Wahid (Gusdur) dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Reformasi. Dimana lukisan ini dilelang sebagai sumbangan bencana Bengkulu. 2002 : tepat tanggal ........... 2002 Delsy Syamsumar dipanggil Yang Maha Kuasa, dimakamkan di TPU KlenderDelsy Syamsumar adalah pelukis dengan segudang prestasi mulai dari cergamis Unggul, Art Director Film Legenda Indonesia seperti Saur Sepuh dan film sejenisnya, yang terakhir berpredikat sebagai pelukis neo klasik. Predikat ini muncul karena kecendrungannya melukis dengan tema klasik dan teknik modern.<br />Sekilas Latar Komplikasi Artistik Delsy.Dimulai Dengan Komik.Bergaya, ekspresip dan romantik. Itulah cirri lukisan-lukisan komik ciptaan Delsy Syamsumar di awal kariernya yang sekaligus mengkatrol popularitasnya dalam usia masih belasan. Pasukan Sentot Alibasya bermonouver mengacaukan resimen Jenderal Vol Jett dekat selarong, sementara pasukan besar Diponegoro menyerbu Yogyakarta. Atau Srikandi Ambon Martha Tiahahu berhasil menbakar kapal Belanda, lalu dengan gesitnya berayun di tempali sambil “menggigit pedang”. Apa boleh buat fantasi Delsy dengan argumentasi sejarah cukup cukupan dan kecanduannya nonton film-film Amerika semacam “Aphace atau “ The buccaneer” mungkin, telah menghadirkan suatu temperamen yang khas dalam pertumbuhan ilustrasi penerbitan kita kemudian, menjadikannya “applied illustrator” pertama yg digandrungi begitu banyak publik pembaca di Tanah Air. Namun tentu saja didukung oleh bakat dan kemampuan ber improvisasi melukiskan ekspresi dan situasi yang merupakan dinamika cirri lukisan-lukisannya hingga di akhir hayatnya, ilustrasi maupun cat minyak.Seniman SenenDelsy alias Dalasi Syamsumar asal minang hinggap di senen Jakarta sekitar 1955, bukannya berdagang di kaki lima, malah melongo sepanjang malam di warung kopi menyimak diskusi-diskusi “Seniman Senen” berkepanjangan, melalui tahun-tahun yang panjang pameo kelompok seniman gondrong yang terusir dari warung ke warung itu, hingga berkali-kali terpaksa mangkal di trotoar dan pom bensin. Agaknya tidak diharapkan oleh guru-gurunya melukis cat minyak ex. INS kayu tanam di Sumatera Barat yang menjagoinya untuk terus di ASRI jogja agar menjadi Delacroix atau Goya yang “ momentum schilderij” kata gurunya. Delsy sendiri tidak mengerti apa itu. Malah ia lebih faham kemudian omongan rekan-rekan senior orang-orang film dan teater atau wartawan di senen seperti ceramah Misbach tentang neo realisme Italia, teater Ibsen dan Lorca bahas W. Sihombing, Sukarno M. Noor dan Wim Umboh, lalu hal pers film oleh Zulharmans sampai debat keras mengenai batu cincin Wahid Chan. Biasanya Delsy memang jarang bicara apa-apa, cukup mojok dengan sobatnya Harmoko dan Khaidir sambil corat-coret di kertas bekas atau balikin bungkus rokok. “Awas ada BKM liwat!” semua terkesima, melihat satu keluarga dalam beca, bapak, ibu, anak semua berkaca mata. “Barisan kaca Mata” kata Harmoko. Suasana Riuh. “Senen…Senen tercinta!” tulis bait sajak Misbach atau memori sketsa Delsy ini merekam ekspresi Alm. Bintang Film Wahid Chan dan kesibukan pedagang sayur pukul empat pagi di kertas bekas yang dikorek dari Lumpur stasiun. “Inilah neo realisme Indonesia, lukisan-lukisan Lumpur!” teriak sobatnya lagi.Story BoardGatal tangannya bikin sketsa dari sketsa masyarakat dan mungkin ikut berkubang di lumpurnya, barangkali telah makin memantapkan Delsy pada pelukisan karakter bangsa sendiri yang juga penuh “Action”, keuletan, kesatrian, sok jago, licik atau kecantikan yang pasrah dan bebal. Namun komplikasi gatal tangannya telah meningkat pada realismu bahkan karikatural, seperti komiknya sesudah itu mengangkat drama sobatnya seperguruan Motinggo Busye “Malam Jahanam” yang senafas dan ketika itu masih mondar mandir Malioboro-Pasar Senen. Pengulangan versi Pangeran Diponegoro dalam komik berwarna Delsy kemudian percuma saja. Pangeran itu sebenarnya memang tidak menyerah di Magelang, tapi kalah total di pemasaran komik menyaingi “Pangerannya Cinderella” atau pahlawan baru “Superman”. Tetap dalam lingkaran rekan yang itu-itu juga dalam diskusi nasib Delsy pernah di ajak Sihombing dan Sukarno M. Noor bikin dekor panggung musical, lalu Sitompul suruh bikin kritik film dalam karikatur artis buat Koran mingguan sampai 1963. Teguh Karya kemudian menarik Delsy ke sanggar Karya Hotel Indonesia untuk dekor entartaiment sampai 1966. Namun Misbach lah yang menobatkan jadi Art director film mulai “Holiday in Bali” yang memenangkan dekor tata warna terbaik festival Asia, Tokyo. Ini diteruskan oleh sobatnya Motinggo Busye lagi, yang sutradara mulai 1969, dan mencoba sistim story-board Delsy (semacam komik) untuk pengarahan yang tepat adegan penting di Film. Ini sangat membantu rekan-rekannya sutradara lain pula.<br />IlustrasiMeledaknya novel-novel Motinggo Busye sekitar tahun 70 an membuat Delsy ikut membludak kata pers gossip di Tanah Air. Bila lektur-lektur di Perancis mengenai pengarang-pengarang di Indonesia, tak luput menyebut “I’exellent dessinatur Delsy Syamsumar” terutama untuk illustrasi-illustrasi untuk Motinggo Busye sesuai dengan tuntutan cerita, maka penerbitan gossip yang tadinya menyorot artis film, dengan popularitas Delsy melihat peluang lain untuk meningkatkan oplag. Disinyalir bahwa illustrasi-illustrasi Delsy yang sexy identik dengan wanita-wanita, isteri atau modelnya yang silih berganti meninggalkannya. Beberapa Koran dan majalah mingguan saling mengutip, dan polemik tak dapat dihindarkan termasuk karikatur Delsy sendiri mempertahankan diri. Dia bukan artis film, malah kuli film, katanya. Ia bukan milioner Picasso yang mampu memelihara banyak model bantahnya. Setelah kegaduhan ranjangnya ini memuncak pula jadi problem kode etik pers nasional (ditutup oleh topik majalah “Tempo” Desember 1973), maka kehidupan Delsy yang selalu stabil dalam kesulitan, suksesnya itu malah sebagai pelengkap penderita.Pra DesignKegatalan Tangan membuat poster film langsung oleh Delsy telah dimulai sejak ikut mendekor Film. Usmar Ismail Sendiri juga memesan langsung poster pertama “Pejuang” kepada Delsy untuk diteruskan oleh studio poster biasa. Dengan sanggar pertama bekas garasi sepeda yang terletak di pusat republik ini, di Menteng Raya untuk bekerja, Delsy lebih tertarik membuat eksperimen-eksperiment poster, kerja artistic, dan sebagainya, daripada membuat biro reklame yang selalu gagal. Namun ciptaan-ciptaan merek terkenal seperti logo pesawat terbang “Bouraq”, majalah jantung “Sartika” dan yang paling terkenal logo huruf majalah “Kartini” adalah gaya Delsy dalam eksperiment huruf. Eksperimen huruf berbentuk rumah minang yang dikirimnya buat Koran “Singgalang” di padang ditiru mulai dari hotel, restoran-restoran Padang, para tailor sampai gerobak-gerobak sate Padang diseluruh pelosok Tanah Air. Untuk kalender dan poster temple serta brosur, gaya Delsy dikenali di puskesmas dari peringatan digigit nyamuk sampai burut dan penyakit kaki gadjah. Imaginasi lukisannya “”penggunaan minyak pertama dalam pertempuran laut Aceh” untuk pertamina dibicarakan sampai kini dalam peringatan ditemuinya minyak pertama di Indonesia. Teristimewa dalam eksperimen poster film (1 sheet), dalam peralihan dari cetak klise timah ke offset 1970. Delsy muncul dengan poster pertamanya yang di offset “Biarkan Musim Berganti” Penyutradaraan Motinggo Busye” Konon 1975 rekannya sejak di senen binta film komedi Alm, Mansursyah mengajaknya bikin perusahaan poster film secara serius. Tapi lapangan yang disediakan Mansur untuk Studio di Sention sering Banjir dan banyak kambing penduduk.Tata Artistik FilmSuatu hari masih tahun 70 an, sebuah ledakan menembus genteng sanggarnya, percobaan untuk ledakan “sedang” yang harusnya dilakukan Rano Karno untuk film Busye “Usia Tujuh Belas” ternyata terlalu “keras” melenyapkan sepotong tangan staff Delsy di produksi Film. Jika tahun 50 – 60 an sanggar ini sering didatangi seniman senen, seniman ATNI dan pangkalan seniman dari Yogja seperti Idrus Ismail, M.Nizar, Sumantri, apalagi Motinggo Busye, maka sesudah 1970 sejumlah kader artistic film seperti Iman Tantaowi, El Badrun, Taslim dan lain-lain mulai belajar praktek disini dengan segala eksperimen. Terutama di film-film nasional sejak 1965, Delsy sebagai art director yang membawahi juru rias, decorator, penata pakaian, dan efek-efek tipuan, selalu lebih tekun untuk film-film realisme sepereti “biarkan musim berganti” atau film sejarah “buaya deli” dan lain-lain. Namun Delsy akhirnya bukanlah art director yang banyak di minta oleh produser. Terakhir di Bali 1983 untuk film “Jayaprana” versi baru, terlalu banyak menyita kesedihannya, katanya. Sebuah set perkampungan bali yang siap untuk adegan kebakaran, lebih dahulu harus diruntuhkan, karena ternyata izin shooting dari Deppen Jakarta belum di urus produser. Ketika itu sebuah telegram dari Padang menyatakan ibunya meninggal, kemudian dari KFT kehadiran anaknya sendiri sebagai juru rias dan mengawalnya karena sakit sakitan tidak dibenarkan karena status “Elsa” masih magang juru Rias, meskipun berbakat dan telah banyak magang di film. Dalam rapat KFT kemudian yang memutuskan skorsing buat Delsy, diakuinya ini suatu kesalahan dalam profesi. Melukis dan melukis selalu tumpuan Delsy merekam segala kegembiraan, ketegangan atau kesedihan. Itu berlaku sejak dulu coret coret di senen, lalu dipindahkan ke canvas cat minyak. Periode demi periode secara kronologis reproduksi lukisan-lukisan yang mewakilinya sebisanya ditampilkan disini.Komentar pengamat seni rupa Agus Dermawan T di Suara Pembaharuan. Menjelang tahun 1970 Dunia seni rupa Indonesia pernah diguncang dengan munculnya manifestasi ilustrasi yang tertampilkan dengan ekpresif dan penuh gerak. Ilustrasi itu adalah karya Delsy Syamsumar. Seorang illustrator dan pelukis kelahiran Bukittinggi yang mengadu nasib keberuntungan seni di Jakarta. Dan karya ilustrasinya nampak di berbagai majalah serta buku cerita bahkan dalam bentuk komik.Jojing Lukisan ini bisa dianggap terbaik Delsy dalam karya cat minyaknya, bukan Cuma pada kebinalan wanita montok berjoget yang digambarkan, tetapi juga pada isi yang ingin disampaikan. Seperti sebuah karya realisme sosial. Jojing bercerita tentang seorang lurah yang sedang mengadakan pesta hura-hura untuk menyertai penandatanganan surat tanah seharga ratusan juta rupiah. Disini segala keseronokan wanita wanita Delsy bagai menemukan medan yang kuat menggenggam daya hidup. Tak tepat benar apabila mau membandingkan dengan realisme Sudjojono yang berani terus terang menguak dunia kelam seperti itu. Kehidupan yang unik dalam bidang kanvas Seni Rupa Indonesia.. Bila dikaitkan dengan gaya penuturan spontan serta ekspresitas-kegarisan yg menggebu, sekilas pintas ada satu dua lukisan potert wanitanya dengan manifestasi Antonio Balnco, pelukis kelahiran Spanyol yg menetap di Bali. Namun Delsy Syamsumar masih kuat berdiri pada dirinya sendiri. Dengan terus mengorek dan menekuni gaya tutur yang dibawa dunia ilustrasinya, lukisan lukisannya berusaha memadatkan pribadi khas, penuh gerak dan kemelut tersebut.Tepat pada tanggal 7 Juni 2001 Delsy Syamsumar di panggil menghadap yang mahakuasa, Indonesia kehilangan seorang seniman besar.<br /><br />Penyair Tariganu Memberikan kado sebuah kaca di ulang tahun ke 50 “Sesekali perlu bung kacai diri sendiri lukislah” kata Tariganu Apakah itu guyon, sindiran atau nasehat seorang sahabat, tampa pikir lagi Delsy langsung melakukannya, yaitu menatap dirinya di kaca berpulunh kali yang jarang dilakukannya sehari hari termasuk sesudah mandi. “Sudah tua bangka rupanya saya ini” kata Delsy sambil coret coret melukiskan wajahnya di kanvas. “He…he…he..” sastrawan Gerson Poyk tertawa datar dan nyeletuk “Saya pun sudah tua Beliton, mengapa Bangka”<br /><br />Kenangan masa kecil di punggung kerbau dengan desir air mengalir ditengah suasana tentram sekitar desa kelahirannya, jauh sebelum ini tema yang sama pernah dilukis Delsy dalam Versi lain “Barangkali ini suatu bukti bahwa Delsy tak selalu lupa diri” Ujar seorang rekan.<br /><br />Lagi kenangan masa kecil tapi terlalu pahit, bahkan pernah lama memukul jiwanya. Kebalikan dari ketentraman. Bukan lagi berdesir tapi rentetan peluru peluru militer Belanda membantai puluhan pejuang kemerdekaan di depan Rumah gadang Orang tuanya, 4 januari 1949 rasanya punahlah kemanusian, hancurlah peradaban dan robek robeklah hati yang masih terlalu muda (waktu itu 13 tahun) katanya<br /><br />Salah satu dari penuangan sketsa-sketsa berlumpur Delsy dizaman “Seniman Senen” mencari identitas diri dalam seni lukis, sambil mengikuti diskusi diskusi warung kopi para seniman angkatan muda dari segala penjuru tanah Air hampir setiap malam melalui tahun tahun panjang dan melibatkan Delsy bekerja di dapur film, pers dan Panggung.Sumber tulisan : 1. Buklet Pameran Lukisan Neoklasik Indonesia di Istana Anak Anak TMII 16-23 April 2000. 2. Buklet Pameran tunggal 50 tahun Delsy Syamsumar Tahun 1985.Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-42200960119558551402008-01-18T04:11:00.000-08:002008-01-20T06:02:48.427-08:00Zukri Saad<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3QClKz7QGay2XziHAx7Pyo_dNLBQlu5Qya8SS9hAl_n7raZLE257xI-WJDq-KLKbu5kLYLc3BxkOsMmW4GG6PfaF6gvaoEH27QkVcFQpAu5D0co2CSmVi7j4bSrq8HGXwTdP6hXkS50g/s1600-h/zukri.bmp"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5157558768908593650" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3QClKz7QGay2XziHAx7Pyo_dNLBQlu5Qya8SS9hAl_n7raZLE257xI-WJDq-KLKbu5kLYLc3BxkOsMmW4GG6PfaF6gvaoEH27QkVcFQpAu5D0co2CSmVi7j4bSrq8HGXwTdP6hXkS50g/s320/zukri.bmp" border="0" /></a><br /><div>Oleh: Nabiel Makarim<br /></div><br /><div>Memilih jalur aktifitas yang konfrontatif, bertempo tinggi dan dalam waktu yang lama, menghadirkan pribadi dan pola pikir unik dalam menyikapi berbagai hal. Katakanlah, mainstream berpikir cenderung ke kanan, ia malah kritis melihat kekiri. Hidup penuh waspada, perlu berhati-hati dan tetap dalam koridor keberpihakan kepada rakyat dalam suasana dikotomis pemerintah – rakyat di era Orde Baru (state and society dichotomy), telah membuahkan anak manusia dengan cara pandang yang senantiasa berbeda. Berlainan dari logika umum.<br />Kesenjangan kaya miskin, disparitas kota – desa, perbedaan tajam pembangunanJawa - luar Jawa dan santiri versus sanbari telah menginspirasi penulis buku unik ini untuk menghadirkan pikiran-pikiran alternatif serta menawarkan berbagai solusi dalam mengatasi problem kemasyarakatan.Bila umum menganggap urusan lahan ulayat menghambat investasi, ia punya resep jalan keluarnya. Idenya tentang jajanan pasar dan sistem pemasaran dapat diindikasikan sebagai pikiran perlawanan terhadap hegemoni produk makanan global. Bila logika awam berinvestasi hanya di lahan daratan, ia menawarkan alternatif berproduksi di bawah permukaan laut.<br />Intinya, bila dulu pembangunan terpusat di tangan pemerintah, ia sebagaimana aktifis LSM zaman orde baru lainnya, mengusung tema pembangunan berbasis rakyat (community based development – people centered development). Benang merah dari seluruh kolom yang dihadirkan dalam buku ini adalah bagaimana porsi terbesar dari pembangunan haruslah dinikmati oleh rakyat banyak sesuai amanah konstitusi serta menjamin ketersediaannya untuk generasi mendatang.<br />Saya mengenal penulis sudah cukup lama. Sepak terjangnya dalam dunia advokasi di bidang lingkungan hidup dan pembangunan telah memberinya banyak pengalaman panjang dan pemahaman praktis di lapangan. Perjalanan hidupnya di dunia penggalangan kantong-kantong masyarakat dalam memperjuangkan lingkungan hidup lebih dari 20 tahun telah memberinya kesempatan untuk menggali berbagai fenomena kehidupan di berbagai pelosok Indonesia.<br />Saya yakin, sebagai konsekwensi dari beban mengelola jaringan LSM se Indonesia, ia hadir ditiap kasus lingkungan dan perlawanan masyarakat dimana-mana. Konflik di taman nasional, pencaplokan lahan atas nama pembangunan industri atau properti, pencemaran oleh industri dan konfrontasi terbuka penduduk lokal dengan pemilik konsesi yang adakalanya membuatnya harus berhadap-hadapan dengan pemerintah dan senjata kekuasaan tentu sangat mewarnai jalan hidupnya.<br />Pengalaman langka demikian makin diperkaya pada fase kepulangannya ke kampung halaman Sumatera Barat, yang telah memberinya peluang pula untuk berkontemplasi dan menghadirkan kembali jejak langkah petualangannya. Karena punya banyak waktu untuk merefleksi seluruh pengalaman itu dalam suasana yang tenang pegunungan, terlepas dari hiruk pikuk pergerakan yang ditinggalkannya di Jakarta, ia tentu dapat memformulasi berbagai percabangan pikiran dalam bentuk yang jernih dan jelas sarat renungan.<br />Logika berpikir alternatif dan cara pandang yang senantiasa berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak dan lingkungan hidup yang mewarnai tulisannya itu disajikan kehadapan pembaca dalam bahasa yang mengalir, bertutur untuk masalah demi masalah. Terkadang dapat ditangkap cepat maknanya di bagian awal, namun tak urung menghadirkan solusi tak terduga di ujung kisah. Berbagai pilihan skenario ditawarkannya, yang rasanya memudahkan siapapun untuk memahami permasalahan kemasyarakatan, lingkungan hidup dan pembangunan. Sepelik apapun.<br />Kami masih berhubungan erat sampai saat ini karena ia masih tetap berada pada jalur beraktifitas di dunia lingkungan. Jarak Padang – Jakarta tidak terlalu mempengaruhi aktifitasnya ditengah-tengah maraknya persaingan moda transportasi udara. Ia selalu dapat datang dan muncul disaat diperlukan. Paling-paling yang akan menundanya hadir di Jakarta, kalau ia kebetulan sedang memanen kentang dan hortikultura lain yang ditanamnya di lahan sewa yang cukup luas di pedalaman Sumbar.<br />Tawarannya dalam wujud Partai Lokal sejalan dengan pemikiran saya akan pentingnya posisi tawar masyarakat dalam berbagai pengambilan keputusan publik, khususnya menyangkut pelestarian lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Kami sependapat, posisi legislatif lokal di DPRD Kota dan Kabupaten sangat strategis dalam merusak atau melestarikan lingkungan. Perusakan sumberdaya alam dimungkinkan terjadi di era reformasi ini salah satunya tidak terwujudnya kontrol legislatif yang efektif.<br />Untuk itu institusionalisasi Environmental Parliament Watch (EPW) di Kabupaten Kota perlu dilakukan dan kelak diperkuat. Lembaga itu diperkirakan akan efektif mengontrol sepak terjang legislatif, sekaligus bisa pula menegosiasikan agenda lokal di bidang lingkungan untuk diperjuangkan kedalam bentuk kebijakan publik bervisi jauh kedepan.<br />Mengingat luasnya lingkup perenungan yang dihadirkan oleh buku ini, membuat ia perlu dibaca oleh berbagai kalangan, terutama mereka yang memiliki simpati mendalam kepada rakyat Indonesia yang masih belum mampu keluar dari krisis multi-dimensi yang dialami. Langkah-langkah kecil dan mikro adakalanya dapat berdampak makro bila disinergikan. Langkah-langkah kecil adalah bagian dari perjalanan yang panjang.<br />Jakarta, 11 Maret 2004<br /><br /><a title="Permanent Link: Zukri Saad: Manusia Merdeka" href="http://uwansukri.com/index.php/2006/07/19/78467145/">Zukri Saad: Manusia Merdeka</a><br />Oleh Adi Sasono<br />Saya sebagai kawan lintas generasi, mengenalnya dan menghormatinya sebagai aktifis mahasiswa di Bandung yang menolak membungkuk pada kekuasaan otoriter di paro dua tahun 70-an. Orang semacam dia sungguh tidak banyak, apalagi di puncak kekuasaaan rejim yang menganut paham pemusatan kekuasaan politik dan ekonomi.<br />Pada umumnya orang cenderung membungkuk pada kekuasaan, lantaran risiko nyata yang akan menghadangnya kalau seseorang menolak menyesuaikan diri. Sebagian kaum terpelajar bahkan condong mendukung dengan kepakarannya, karena itulah jalan selamat meniti karir, atau sekadar untuk memperoleh kehidupan sebagai “abdi dalem”, hamba kekuasaan.<br />Kaum terpelajar inilah yang kemudian berjasa membuat “pembenaran ilmiah” tentang teori pembangunan ekonomi yang memihak kepentingan modal besar yang menghasilkan makin kokohnya persekutuan pusat-pusat kekuatan ekonomi dan politik mapan.<br />Pada gilirannya lingkungan hidup menjadi korban karena keserakahan modal besar dan ketidakpedulian sosial, seiring dengan makin kuatnya paham yang materialistis, penyembahan benda. Kita menyaksikan kemudian kesenjangan sosial yang melebar, yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah anak. Nilai-nilai kebersamaan cenderung tergusur, dalam kehidupan sosial yang makin sulit dan kompetitif.<br />Ada tiga model reaksi dari mereka yang menolak ikut arus. Pertama, kaum oposisionalis, yang dengan geram menolak dan marah, yang menghasilkan pendekatan hitam-putih. Merekalah yang dengan kepala tegak menolak kerjasama dalam bentuk apapun dengan penguasa.<br />Sayang sekali pendekatan ini sungguhpun amat berjasa untuk menjaga standar moral kebenaran, dan dengan tegas membedakan yang salah dan yang benar, menjadi tidak efektif di tengah kecenderungan sosial yang membungkuk kepada kekuasaan.<br />Namun demikian, saya berpendapat kelompok inilah yang paling berjasa memelihara api idealisme. Mereka memilih “berjuang dari luar”. Menolak membungkuk. Jasanya tidak bisa diukur dalam jangka pendek, sebab perubahan politik ke arah sistem yang demokratis, dari masyarakat yang agraris feodalistis, adalah proses belajar sosial yang panjang. Tanpa kelompok ini, gerakan untuk meluaskan kesadaran kolektif ke arah perubahan sulit dibayangkan.<br />Kedua, kelompok institusionalis. Logika kelompok ini bertolak dari anggapan kokoh tegarnya stuktur kekuasaan yang ada. Ia tidak hanya didukung oleh kekuatan monopolistik modal besar dan aparat represi, tapi juga oleh budaya sosial yang feodalistik-paternalistik. Karena itu, kelompok ini berpendapat perlunya berjuang “dari dalam”, merubah dari dalam.<br />Dalam kelompok ini memang tidak dapat dihindarkan masuknya orang-orang yang dasarnya lemah-hati dan mungkin juga oportunistik, yang menggunakan logika ini untuk sekedar membenarkan rasa ketidakberdayaannya terhadap keperkasaan kekuasaan. Kita menyaksikan memang banyak dari mereka yang “berjuang dari dalam” tetap idealistis.<br />Namun, agaknya lebih banyak lagi yang larut dalam mekanisme penundukan, karena alasan material maupun karena mengejar pangkat. Tiga dasawarsa kehidupan kebangsaan kita memang mengajarkan “yang ingin merubah dari dalam ternyata banyak yang dirubah didalam”.Kedua kelompok di atas, bertolak dari pandangan bi-polar. Kita-mereka, lawan-kawan, berjuang dari luar atau dari dalam. Memang dari semula selalu muncul pertanyaan, benarkah berjuang dari luar lebih efektif dibanding berjuang dari dalam?<br />Saya tidak bermaksud membuat penilaian. Kebenaran pilihan politik memang perkara relatif, dan biarlah nurani masing-masing pelaku yang menjawab.<br />Dalam situasi inilah, memang sejak semula selalu ada orang-orang yang sulit untuk dikategorisasi. Kritik terhadap dua kategori tersebut adalah, sifat pengelompokannya yang dipandang menyederhanakan msalah dalam pendekatan bi-polar, “berjuang dari luar atau dari dalam”, takkala kenyataan hidup tercampur dalam berbagai peristiwa dinamis yang sungguh kompleks.<br />Karena itu muncul cara melihat dari kacamata kesinambungan pikiran dan tindakan seseorang, suatu pendekatan dari sudut konsistensi seseorang, yang bisa saja ia berada “diluar” atau “didalam” sistem. Inilah yang saya sebut pendekatan ”uni-polar”. Pendekatan ketiga ini tidak mendikotomi seseorang di dalam atau di luar sistem. Yang diuji adalah konsistensinya. Dalam bahasa agama, istiqamah.<br />Seseorang dalam kehidupan duniawi yang singkat ini, senantiasa dalam ujian godaan pangkat, popularitas maupun rangsangan material. Seseorang bisa dinilai dalam proses waktu, apakah ia membungkuk kepada kekuasaan politik atau keperkasaan uang atau gabungan keduanya, atau ia seseorang yang istiqamah.<br />Saya berpendapat Zukri adalah tipe manusia isqtiqamah. Perjalanan hidup selama lebih dari dua dasawarsa, yang penuh warna, menjelaskan kepada kita, tentang garis jalan lurus, sikap istiqamah yang membuatnya menjadi manusia merdeka. Ia bisa merdeka karena tidak tunduk kepada godaan duniawi, mungkin dalam perjalanan yang tidak senantiasa berwujud garis lurus, namun arahnya jelas.<br />Buku ini berkisah tentang warna warni soal hidup dalam perspektif pemihakan kemanusiaan yang kritis namun dengan ide positif. Zukri bicara dari soal sampah sampai ke perkara E-town. Itulah wajah manusia merdeka, Zukri Saad. Saya merasa terhormat untuk memberi pengantar buku rekan muda saya yang istimewa ini. Zukri selamat berjuang !<br />Jakarta, 17 September 2001<br /><br /><a title="Permanent Link: Tentang Zukri Saad" href="http://uwansukri.com/index.php/2006/07/21/78467145-2/">Tentang Zukri Saad</a><br />Oleh: Sarwono Kusumaatmadja<br />Setidaknya ada dua kekurangan dalam pendekatan pendidikan kita. Yang pertama adalah, bahwa orang dididik untuk menghafal. Tentu kemampuan menghafal ada segi positifnya, yaitu membuat orang terlatih ingatannya. Namun segi negatifnya adalah, bahwa pengetahuannya akan terbatas pada apa yang dihafal.<br />Dalam era informasi dimana memori sudah mampu disimpan dalam komputer yang kapasitas simpannya makin besar, sebetulnya orang tak perlu lagi menjadi penghafal. Yang perlu diasah justru ilmu dan seni memanfaatkan informasi tanpa perlu menyimpan informasi itu dalam benak kita.<br />Oleh karena itu, orang yang kemampuan intelektualnya terbatas pada hafalan, cenderung menjadi kolot dan dogmatis karena kemampuan orang menghafal selalu terbatas pada apa yang mampu dan mau diingatnya. Salah satu sebab kemunduran pendidikan di Indonesia adalah justru disebabkan oleh dominasi hafalan ini, yang menjadikan orang beku kreatifitasnya sekaligus menciptakan dogmatisme, kepicikan serta mengurangi kemampuan memanfaatkan informasi baru.<br />Yang juga tragis adalah bahwa, sang penghafal lantas dianggap pintar, sedangkan orang yang suka bertanya dan suka menyangsikan serta berminat pada temuan-temuan baru justru dianggap rewel, urakan atau bahkan bodoh. Ilmu-ilmu sosial yang seharusnya berkembang pesat dan penuh dinamika sejalan dengan dinamika global, menjadi beku dan tidak relevan karena pendekatan ilmu sosial menggunakan pendekatan hafalan. Oleh karena itu, orang-orang yang hafal, sekarang mulai tidak diminati lagi dibanding zaman lalu.<br />Orang kemudian menyangka bahwa kecerdasan diwakili oleh ilmu-ilmu eksakta, yaitu sains dan teknologi. Dalam ilmu-ilmu eksakta, ukuran kecerdasan bukan lagi terletak pada kemampuan menghafal, tapi pada kemampuan berfikir secara runtut, logis, yang ciri utamanya adalah kemampuan menghubungkan sebab dengan akibat. Mungkin itulah sebabnya, mengapa banyak pejabat tinggi kita berasal dari kalangan yang berlatar belakang ilmu eksakta.<br />Tapi amat menarik untuk diperhatikan bahwa mereka yang mampu berfikir logis ternyata tak juga selalu berhasil memecahkan masalah. Ekonomi kita menjadi morat marit antara lain karena kebijakan ekonomi dibuat oleh para ahli ekonomi yang berlatar belakang teknologi. Penyebab kegagalan logika dalam pengambilan keputusan menunjukkan kelemahan pendidikan logika di tanah air kita, yang terbatas mendidikkan logika linear. Dalam sistem ini orang dididik untuk hanya mempertimbangkan hubungan sebab akibat yang mempunyai korelasi langsung, serta membatasi hubungan sebab akibat itu secara vertikal.<br />Oleh karena itu, orang yang hanya mengandalkan logika linear berkurang kemampuannya untuk menghadapi situasi yang kompleks dimana berbagai variabel yang non rasional harus dipertimbangkan, dan dimana hubungan sebab akibat yang terjadi banyak dimunculkan oleh berbagai gejala yang sepintas lalu tidak kelihatan berhubungan.<br />Apa hubungannya ini semua dengan buku Imajinasi Sosial karya Zukri Saad? Karya tulisnya menarik karena menyajikan kepada pembaca observasi dari seorang yang bernama Zukri Saad tentang berbagai kejadian yang dialaminya, yang memberitahukan kepada kita tentang betapa dunia ini menyajikan banyak sekali kesempatan dan kemudahan yang hanya bisa dibatasi oleh imajinasi seseorang.<br />Bagi seorang penghafal serta penganut logika linear, krisis adalah jalan buntu. Bagi seorang Zukri Saad yang berfikir lateral horizontal, krisis adalah peluang terciptanya kesempatan-kesempatan baru. Krisis adalah kesempatan untuk membuang kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk, dan mengembangkan sikap-sikap baru yang lebih sesuai dengan realita hari ini. Demikian pula, krisis sekaligus membantu kita menciptakan realita masa depan.Zukri memperlihatkan kepada kita bahwa sumber-sumber ilham bagi seseorang bisa ditemukan dari pengalaman sehari-hari. Zukri juga memperlihatkan kepada kita bahwa yang terjadi secara lokal, bisa saja berhubungan dengan kejadian lain, nun jauh disana.<br />Zukri Saad dan orang-orang sejenisnya, mulai menarik perhatian saya ketika menjadi pejabat tinggi semasa Orde Baru. Pada waktu itu saya memperhatikan bahwa ada beberapa orang yang kreatif, tampil beda, senantiasa optimistik, teguh dalam pendirian tetapi sekaligus juga sukses. Walaupun banyak hal dari pemerintahan Orde Baru yang tidak mereka sukai, demikian juga dari watak negatif orang Indonesia, mereka tidak menjadi pemberang. Namun sebaliknya, merekapun tidak menyerah untuk menjadi penurut.<br />Yang juga mengagumkan adalah, bahwa mereka produktif dalam bidangnya masing-masing sebagai pendidik, usahawan, seniman dan pegawai negeri. Mereka mempunyai jiwa yang merdeka, kreatif dan oleh karenanya disegani. Mereka juga sangat liat, tahan banting. Ada persamaan watak diantara mereka, senantiasa santun tetapi tidak pernah berusaha menyenangkan hati orang. Saya sangat betah dengan orang-orang semacam ini, dan persahabatan kami tetap lekat sampai sekarang.<br />Mereka sempat saya hadirkan dalam suatu diskusi di Harian Kompas, dimana mereka memperkenalkan karya dan jalan pikir mereka, menjadikan orang terperangah sehingga sejak itu Zukri dan kawan-kawan dikenal sebagai “orang-orang gila”.<br />Indonesia yang sedang sakit memerlukan lebih banyak orang-orang aneh semacam mereka supaya cepat sembuh, dan reformasi dibidang pendidikan diperlukan supaya apa yang hari ini aneh dan gila menjadi kelaziman di masa depan.<br />[Kredit foto: <a href="http://sarwono.net/" target="_blank">Sarwono.Net</a>]<br /><br />Nama: Zukri Saad<br />Gelar Adat: Sutan Majo Basa<br />Tempat/Tanggal Lahir: Bukittinggi – Sumatera Barat - Indonesia, 5 Nopember 1956<br /><br />Status Kawin dengan 3 anak<br />Istri : Irina Mastri Chairani Harahap (41 tahun)<br />Anak : Jaka Kelana Putra (11 tahun)Rindu Aninditha Putri (10 tahun)Dana Putra Kembara (8 tahun)<br /><br />Kebangsaan: Indonesia<br /><br />Alamat<br />Jl. Matematika 13 - PGRI Gunung Pangilun - Padang 25143 – Sumatera Barat - IndonesiaPhone : 62 - 751 - 7053017; 0811663461<br />E-mail : uwansukri [at] yahoo.com dan sukri [at] pelangi.or.id<br />Jl. Konservasi Utara 7A – Tabing – Padang 25171 – Sumatera Barat – Indonesia Phone 62-751-7055465<br /><br />Pendidikan<br />Institut Teknologi Bandung, Jurusan Kimia, lulus 1985<br />SMA I di Padang, Jurusan PAS-PAL, lulus 1974<br />SMP III di Padang, lulus 1971<br />SD 33 di Padang, lulus 1968<br /><br /></div><br /><p>Pelatihan<br />Mengikuti berbagai pelatihan, seminar, lokakarya dalam dan luar negeri<br /></p><br /><p>Bahasa</p><br /><ul><br /><li>Bahasa Minangkabau (bahasa ibu)</li><br /><li>Bahasa Indonesia</li><br /><li>Bahasa Inggris<br /></li></ul><br /><div><strong>Pekerjaan:<br /><br /></div></strong><strong></strong><br /><ul><br /><li>Petani dataran tinggi (sayuran : kentang, kol, brokoli dan buah-buahan : markisah, strawberry)<br /></li><br /><li>Aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia<br /></li><br /><li>Pencinta alam dan lingkungan<br /></li><br /><li>Konsultan Pembangunan<br /></li><br /><li>Penggiat ekonomi rakyat melalui koperasi<br /></li><br /><li>Praktisi wisata bahari, khususnya wisata selancar di Kabupaten Kepulauan Mentawai – Sumatera Barat<br /></li><br /><li>Fasilitator Pengembangan kenelayanan rakyat<br /></li><br /><li>Wartawan dan kolomnis<br /></li></ul><strong></strong><br /><div><br /><strong>Penulis<br />Kualifikasi Profesional:<br /><br /></div></strong><strong></strong><br /><ul><br /><li>Konsultasi Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat<br /></li><br /><li>Rekayasa sosial dan lingkungan (Khususnya perancangan konsep pengembangan Kawasan, perencanaan dan evaluasi partisipatif, Perencanaan skenario, Pengelolaan pembangunan terpadu).<br /></li><br /><li>Energi terbarukan di pedesaan, khususnya pengadaan energi listrik skala mikro dan sumber energi alternatif.<br /></li><br /><li>Ekonomi pedesaan, khususnya lembaga keuangan pedesaan, industri skala kecil, pengembangan institusi koperasi dan merancang pola pemasaran terpadu.<br /></li><br /><li>Pembangunan berbasis masyarakat dan pelestarian, khususnya pembangunan yang berdampak simultan secara ekonomi dan konservasi.<br /></li></ul><br /><div><strong>Fasilitator untuk Pendidikan dan Pelatihan</strong><br /><br /></div><br /><ul><br /><li>Perencanaan skenario, perancangan pengembangan sumberdaya berbasis partisipasi masyarakat.<br /></li><br /><li>Perencanaan strategis, mengembangkan pola implementasi dan detail pelaksanaan pembangunan.<br /></li><br /><li>Pelatihan partisipatif, membangun kesadaran kolektif tentang masa depan .<br /></li><br /><li>Pengembangan kelembagaan, khususnya kelembagaan publik dan peningkatan kinerja lembaga.<br /></li><br /><li>Penyelesaian konflik, rekayasa sosial multi-pihak dan resolusi konflik berbasis skenario masa depan bersama<br /></li><br /><li>Pendidikan alternatif untuk orang dewasa, khususnya dalam membangun kesadaran bersama menuju pola partisipasi yang efektif.<br /></li><br /><li>Perancangan ekonomi masyarakat nelayan menuju kemandirian produksi, distribusi dengan dukungan kemandirian teknologi dan energi.<br /></li><br /><li>Konsultasi Untuk Pengembangan masyarakat madani<br /></li><br /><li>Pengembangan kelembagaan masyarakat sipil dan LSM, khususnya untuk peningkatan posisi tawar masyarakat terhadap para pemangku kepentingan lainnya.<br /></li><br /><li>Membangun jaringan kerja, khususnya sinergi antar kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan bersama<br /></li><br /><li>Merancang kampanye publik, meningkatkan daya offensi komunikasi untuk menghasilkan opini positif masyarakat secara luas.<br /></li><br /><li>Mengelola advokasi, menggalang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.<br /></li></ul><br /><div><br /><strong>Konsultasi Untuk Penyelesaian Konflik</strong><br /><br /></div><br /><ul><br /><li>Konflik di bidang lingkungan hidup, khususnya antara Industri, pelaku investasi dan masyarakat lokal.<br /></li><br /><li>Konflik horizontal antar kelompok masyarakat, antara lain konflik lahan, konflik agama dan budaya.<br /></li></ul><br /><div><strong>Jabatan dan Lembaga<br />Lembaga Swadaya Masyarakat:<br /><br /></div></strong><strong></strong><br /><ul><br /><li>Anggota Dewan Pakar Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan - Bitra Indonesia — LSM yang bergerak dibidang Pengembangan Pertanian dan Sumberdaya Manusia Pedesaan, Medan 2005 – 2008<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pengurus Yayasan Ekowisata Sumatera – YES - LSM yang bergerak dibidang Pariwisata Alam dan Petualangan Rimba, Medan 2003 - 2007<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pertimbangan Lembaga Hukom Adat Laot – Panglima Laot — Jaringan Organisasi tradisional Nelayan dari berbagai resort / Lhok di 18 Kabupaten se Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh 2005 – 2010<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Aksi dan Demokrasi – LPAD - LSM yang bergerak dibidang pengembangan tata pemerintahan yang baik / good governance, peran serta perempuan dan pemantauan pemilu) – Pekanbaru 2004 – 2009<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pakar Lembaga Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (LP2M – AFTA) – (LSM yang bergerak dibidang pengembangan SDM, khususnya di bidang pertanian pedesaan) – Padang 2005 – 2008<br />Ketua Dewan Pertimbangan Komunitas Konservasi Indonesia – KKI WARSI (Jaringan LSM Sumbagsel yang bergerak dibidang Advokasi Hutan, Masyarakat Asli dan Pengembangan Kawasan Koservasi) – Jambi 2004 - 2007<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pengurus Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Desa - Kemasda - LSM yang bergerak di bidang Pengembangan Ekonomi Pedesaan dan Pemberdayaan Perempuan) – Seribandung Sumsel 1999 - 2006<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pembina Yayasan Pelangi Indonesia - LSM yang bergerak dibidang Riset kebijakan Untuk Pembangunan Berkelanjutan – Jakarta 2004 – 2009<br /></li><br /><li>Ketua Dewan Pembina Yayasan PAKTA - LSM yang bergerak dibidang Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Pengembangan Sistem Teknologi Informasi Masyarakat Sipil – Jakarta 2006 – 2009<br /></li><br /><li>Konsultan Senior Environmental Parliament Watch – EPW 2004 – 2008 ( Jaringan Masyarakat Indonesia untuk Pemantauan Parlemen) – Jakarta 2006 - 2011<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pembina Yayasan Bina DesaSadajiwa - LSM yang bergerak di bidang Pengembangan Pedesaan Indonesia, Pengorganisasian Rakyat, Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan – Jakarta 2006 – 2011<br /></li><br /><li>Ketua Dewan Pembina Institut Hukum Sumberdaya Alam - IHSA - LSM yang bergerak di bidang Pemberdayaan Hukum Sumberdaya Alam Indonesia) – Jakarta, 2006 - 2009.<br /></li><br /><li>Anggota dan Pendiri BIOCERT – LSM yang bergerak pengembangan isu pertanian organik / Lembaga Sertifikasi Produk Organik Indonesia – Bogor 2006 - 2009<br /></li></ul><br /><p><strong>Perusahaan Terbatas</strong><br /></p><br /><div><br /></div><br /><ul><br /><li>Komisaris PT. Mentawai Wisata Bahari – Perusahaan yang bergerak di bidang Pariwisata Bahari, khususnya usaha wisata selancar di Kepulauan Mentawai. Berbasis di Padang, sejak tahun 2000<br /></li><br /><li>Presiden Komisaris PT. Ekuator Minang Konsultan – Kantor Hukum Ekuator – Perusahaan yang bergerak di bidang Hukum dan Konsultasi Investasi. Berbasis di Padang, sejak 2002<br /></li><br /><li>Presiden Komisaris PT. Sunia Buana Lestari – Perusahaan Jasa Konsultasi di bidang Konservasi Hutan dan Pelestarian Sumberdaya Alam – Berbasis di Palembang, sejak 2002<br /></li><br /><li>Persero Komanditer CV Limas Bersaudara, Perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan bibit kentang berkualitas dan sayuran dataran tinggi – Berbasis di Alahan Panjang – Kabupaten Solok, sejak 2004<br /></li><br /><li>Komisaris PT. Padma Nusantara, Konsultan profesional untuk pembangunan wilayah di era otonomi daerah, khususnya pengembangan kenelayanan rakyat dan daerah tertinggal, Berbasis di Jakarta, sejak 2006 </li></ul><br /><p><br /><strong>Lain-lain</strong><br /></p><br /><div><br /></div><br /><ul><br /><li>Penerima Beasiswa Ashoka – Washington DC, 1986 – 1990, Associate Member 1986 - sekarang dan Fellow Panel of Ashoka Indonesia - Bandung, 2000 – 2003<br /></li><br /><li></li><br /><li>Ketua Biro Pengabdian masyarakat – Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung - Cabang Sumatera Barat, 1989 – 2002<br /></li><br /><li>Penasehat Kelompok Kreatif Pemanjat tebing – Camp Club – Padang 1989 - 1992<br /></li><br /><li>Komite Pelaksana Yayasan Dana Mitra Lingkungan Indonesia (DML) (01/1995 - 07/1996)<br />Panel Ahli PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) (08/ 1994 - 06/1996)<br /></li><br /><li>Dewan Penasehat Yayasan Bitra Indonesia - Medan (1996 – 2005)<br /></li><br /><li>Anggota Dewan Pleno Sekretariat Bina Desa (1998 – 2000) dan Anggota Badan Pengurus (2000 – 2003)<br /></li><br /><li>Koordinator Advokasi Forum Perjuangan Masyarakat Sumatera Barat untuk Spinn-Off PT. Semen Padang – Padang, (10/2001 – 11/2002)<br /></li><br /><li>Personal Mastery REIKI, Praktisi teknik Penyembuhan menggunakan Energi Alam, Padang, 11/2001 - sekarang<br /></li><br /><li>Ketua Umum Dewan Relawan Anak Nagari Sumatera Barat Pendukung Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Gamawan Fauzi – Marlis Rahman, (04 – 08 / 2005), Padang<br /></li><br /><li>Angota PDDI - Perhimpunan Donor Darah Indonesia, sejak di Bandung sampai sekarang di Padang (1978 – 06/2006 —- 94 X) </li></ul>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-51414043054340345312008-01-16T21:56:00.001-08:002008-01-20T06:09:51.519-08:00Hendra EsmaraHENDRA ESMARA<br />Hendra Esmara menilai bahwa format Repelita yang dipergunakan sekarang belum sepenuhnya dapat menjangkau permasalahan yang semakin kompleks. Ia merasa perlu adanya penyempurnaan dan peningkatan teknik penyusunannya. Pelaksanaan Repelita I sampai III, dan sebagian Repelita IV, diakuinya telah mampu meningkatkan taraf hidup rakyat. Tetapi ada kesan, ''Akibat kelemahan format itu sendiri, hasil-hasil yang telah dicapai belum mencapai titik optimal.'' Peningkatan dan penyempurnaannya dinilainya penting menghadapi tahap tinggal landas dalam Repelita VI, 1994-1999. Penilaian Prof. Hendra Esmara, S.E., ini dikemukakan dalam pidato pengukuhannya selaku guru besar perencanaan pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang, 27 Juli 1985. Pidato pengukuhan itu berjudul ''Politik Perencanaan Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan, dan Prospek''. Hendra meraih gelar sarjana ekonomi di UI, 1961. Ia lalu berangkat ke Amerika untuk memperdalam keahlian di bidang perencanaan pembangunan di dua universitas. Yaitu di Woodrow School of Public & International Affairs Universitas Princeton, dan di Regional Science Department Universitas Pennsylvania.Ia banyak melakukan penelitian, survei, dan loka karya, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu penelitiannya, Perkiraan Pembagian Pendapatan di Indonesia, 1925-1973/1974, dilakukan dengan sponsor menteri riset waktu itu, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Kepala Pusat Penelitian Unand ini diketahui banyak mendalami perekonomian Sumatera Barat. Hendra, yang pernah memegang jabatan Ketua Tim Repelita daerah tersebut, banyak menghasilkan topik karangan tentang Sumatera Barat. Misalnya, Regional Income of West Sumatra 1966-1971. Kerap dimintai pendapatnya di media massa, harian Kompas misalnya, Hendra pernah menjadi penasihat menteri perdagangan. Dalam Council of Asian Manpower Studies yang berkedudukan di Manila, dan di Association of Development Research and Training Institute of Asia and Pacific, ia menjadi anggota pengurus. Hendra menikah dengan Rostina Laut, yang memberinya enam anak<br /><br />Nama :HENDRA ESMARA<br />Lahir :Padang, 13 April 1935<br />Agama/Kepercayaan: Islam<br /><br />Pendidikan :<br />- Fakultas Ekonomi UI, Jakarta (1961)<br />- Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Princeton University (1971-1972)<br />- Visiting Scholar pada Jurusan Regional Science pada Universitas Pennsylvania, AS<br /><br />Karir :<br />- Presidium Universitas Negeri Jambi (1962-1966)<br />- Ketua Tim Repelita Provinsi Sumatera Barat (1968-1972)<br />- Penasihat Menteri Perdagangan untuk Urusan Pembangunan Daerah<br />- Ketua Bidang Sub-Ekonomi, Perumusan dan Evaluasi Program Utama Nasional Riset dan Teknologi pada Menteri Negara Riset dan Teknologi<br />- Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi Regional, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas<br />- Guru Besar FE Univ. Andalas (sejak 1985)<br /><br />Kegiatan Lain :<br />- Anggota Dewan Eksekutif - Council of Asian Manpower Studies (Manila, Filipina)<br />- Anggota Dewan Pengurus pada Association of Development Research and Training Institute of Asia and Pacific<br /><br />Karya :- Regional Income of West Sumatra 1966-1971, Institute for Regional Economic Research, Universitas Andalas, 1972<br />- Perkiraan Pembagian Pendapatan di Indonesia, 1925-1973/1974, Lembaga Penelitian Ekonomi Regional FE Universitas Andalas, 1976<br /><br />Alamat Kantor :Universitas Andalas, PadangIs Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-84856709257917776342008-01-16T21:54:00.000-08:002008-01-20T06:13:35.593-08:00GusnaldiGusnaldi Semula, penata rias bukan cita-cita Gusnaldi. Namun belakangan ia berubah. “Profesi ini menjanjikan bagi masa depan saya,” kata lelaki Minang kelahiran Bukittinggi ini. Dan waktu membuktikan. Selain kini memiliki beberapa salon, ia pun telah meraih pengakuan sebagai The Best Make Up Artist 2000. Lalu apa cita-citanya dulu? “Waktu kecil saya sebenarnya sangat ingin menjadi dokter atau pramugara,” papar Gusnaldi. Sementara orangtuanya menginginkan dia menjadi pegawai negeri. Selain itu, rumahnya di Bukittinggi kebetulan berdekatan dengan gedung olahraga, tempat ia menekuni bulutangkis sampai lulus SMA. Ia sempat mewakili Indonesia pada kejuaraan dunia bulutangkis yunior dan Bimantara Yunior. Tapi kariernya di sini ia lepas. “Di Indonesia olahraga belum bisa dijadikan jaminan hidup, saya kemudian banting setir,” tuturnya memberi alasan.Minat pada rias-merias bermula dari suatu kebetulan. Pada suatu hari ia berdiri di depan sebuah salon kecantikan di kota kelahirannya. Di sana ia mengamati orang-orang yang keluar-masuk salon dan melihat bagaimana seorang penata rias mampu mempercantik orang-orang yang sebelumnya tidak cantik. Saking tertariknya, ia ingin menjajal profesi ini, walaupun orangtuanya menentang niatnya. Ia pun berangkat ke Jakarta. Di Ibu Kota, Gusnaldi bergabung dengan Puspita Martha Tilaar, 1996, sebagai karyawan magang. “Di sana saya mempelajari seluk-beluk penataan rambut dan make up,” tuturnya. Ia digembleng dengan keras oleh para seniornya. “Saya sampai menangis, karena tangan sudah capek merias tapi saya enggak boleh berhenti,” kenangnya. Setelah satu setengah tahun di Martha Tilaar, Gusnaldi memutuskan untuk membuka salon sendiri. Pertama kali di rumahnya, kemudian di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Namanya mulai dikenal luas setelah mendandani peragawati Larasati untuk majalah Rias. “Kemudian, banyak permintaan datang dari majalah dan artis,” kisahnya. Toh ia tidak mengkhususkan diri untuk kalangan artis saja. “Semua kalangan boleh masuk salon saya,” katanya. “Yang penting, bayar.”Bekerja keras, berdisiplin, dan selalu meyakini akan keberhasilan tugasnya merupakan kiat suksesnya sebagai make up artist. Selain di salon, kini Gusnaldi sedang menulis buku tentang tata rias, membuat produk iklan, dan album lagu. Naik haji dan menikah merupakan obsesinya<br /><br />Gusnaldi<br />Lahir :Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Desember 1974<br />Agama :Islam<br /><br />Pendidikan :<br />- SD Negeri 2 Bukittinggi, Sumatera Barat<br />- SMP Negeri 4 Bukittinggi<br />- SLTA Don Bosco Bukittinggi<br /><br />Karir :<br />Make up artist<br />- Bintang iklan dan Presenter<br /><br />Penghargaan :The Best Make Up Artist 2000<br /><br />Keluarga :<br />Ayah : H. Bachtiar St. Rajoame<br />Ibu : Martius Martius Ahmat<br /><br />Alamat Rumah :Jalan Janur Indah VI, LA 18 No. 15, Kelapa Gading, Jakarta Timur<br />Alamat Kantor :ITC Fatmawati, Jakarta SelatanIs Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-79304534132791421382008-01-16T21:46:00.000-08:002008-01-21T21:43:32.308-08:00Adinegoro<a href="http://www.ranah-minang.com/tulisan/201.html"></a><br /><a href="http://www.ranah-minang.com/tulisan/201.html">Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan</a><br /><br /><br />Pada suatu hari, di tahun 1985 menjelang HUT PWI ke-39, saya waktu itu Ketua PWI Cabang Sumatra Barat, akan meresmikan pemberian nama gedung PWI Sumatra Barat sekarang dengan nama Balai Wartawan Djamaluddin Adinegoro. Putra Beliau, Adiwarsita Adinegoro telah berjanji dengan saya akan hadir pada upacara peresmian nama Balai Wartawan Padang tersebut dengan nama ayahnya. Sementara pihak kemenakannya di Talawi (menurut garis ibu) juga telah mengizinkan pemakaian nama pamannya itu yang akrab dipanggilnya dengan Om Djamal.<br />Pada waktu itu, bukan Balai Wartawan Padang saja yang diberi nama “Adinegoro”, tapi juga nama-nama jalan di Sumatra Barat. Selaku Ketua PWI Cabang Sumatra Barat saya menulis surat kepada Walikota Padang, H. Syahrul Udjud, SH, Walikota Bukittinggi, Drs. Umar Gafar dan Bupati KDH Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, H, Noer Bahri Said Pamuncak (Alm) berikut kepada masing-masing Ketua DPRD-nya yang meminta kiranya Pemerintah Daerah yang bersangkutan berkenan memberi nama salah satu jalan di kota atau di wilayahnya dengan nama Djamaluddin Adinegoro. Ternyata permohonan atau permintaan PWI Sumbar tersebut mendapat sambutan hangat dari ketiga Pemda yang tersebut di atas. Pada masing-masing nama jalan tersebut, kami ikut meresmikannya bersama Gubernur Sumbar, H. Azwar Anas Dt. Rajo Suleman. Memilih ke tiga daerah itu agar mengabadikan nama Nestor Pers Indonesia tersebut, punya argumentasi tersendiri. Di kota Padang karena ibu kota provinsi Sumatra Barat. Ruas jalan dari Tabiang arah ke Bukiktinggi diberi nama jalan Adinegoro. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Di Bukiktinggi, karena di kota itu Adinegoro berjuang dan menjadi Komisaris RI untuk Sumatra pada tahun 1945 dan menerbitkan Surat Kabar Harian Kedaoelatan Rakyat dan membangun Kantor Berita “Antara” dengan menggunakan peralatan yang amat sederhana berupa tiang-tiang dari bambu yang dibelinya dari Jorong Bukik Apik, Bukiktinggi. Kemudian untuk memajukan kecerdasan rakyat dan masyarakat yang berilmu untuk mengisi kemerdekaan RI yang telah dipoklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta maka didirikannya “Volksuniversiteit” di kota sejuk Bukiktinggi tersebut pada tahun 1946. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Di kabupaten Sawahlunto Sijunjuang adalah karena Adinegoro putra daerah kabupaten tersebut. Waktu itu Talawi termasuk daerah kabupaten Sawahlunto Sijunjung (sekarang nagari Talawi masuk kota Sawahlunto). Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Dekat harinya menjelang 9 Februari 1985 Hari Ulang Tahun PWI atau Hari Pers Nasional, datanglah telepon dari berbagai kalangan masyarakat kita. Yang saya ingat ada dari Kantor Gubernur, ada dari Bukiktinggi, ada dari mahasiswa Unand, dan lain-lain. Suara dalam telepon itu ada yang bernada ramah, lemah lembut, tapi ada juga yang “manimpalak” saya. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Katanya, kenapa kok nama orang Jawa nama gedung PWI Sumbar? Tak ada lagi nama Tokoh Pers Sumatra Barat? Seperti H. Agus Salim, Rosihan Anwar, Rivai Marlaut, dan lain-lain. Penelpon tersebut sudah jelas orang yang tidak tahu siapakah Adinegoro itu, sebenarnya dari mana asalnya, dan sebagainya. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Saya jawab, tahukah anda bahwa Djamaluddin Adinegoro itu orang Minang? Almarhum lahir di Talawi, Sawahlunto, 14 Agustus 1904. Sejak tahun 1926 sudah menyandang gelar sako adat Datuk Maharadjo Soetan dari pesukuan Patapang Sikundono. Karena percakapan ini via telepon, tentu saja saya tak melihat wajahnya, tapi saya merasakan si penelepon itu “terpurangah”. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Jadi, amat banyak orang Minang yang belum kenal dengan tokoh-tokoh nasional berasal dari Sumatra Barat. Menurut Audrey Kahin, pada tahun 1945-1950, Pemerintah RI di Yogyakarta itu adalah Pemerintahan orang Minangkabau. Lihatlah Wapres RIS dan PM RIS adalah Bung Hatta yang berasal dari Minangkabau. Presiden RI (Yogya) adalah Mr. Assaat Dt. Mudo, orang Kubang Putih. Perdana Menterinya Dr. A. Halim, orang Bukittinggi, Menpen M. Natsir, H. Agus Salim, Mr. Mohd. Yamin kakak Adinegoro satu ayah, Syahrir, dan lain-lain seluruhnya orang Minang. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan<br />*****<br />Djamaluddin Adinegoro adalah adik Maha Putra Prof. Mr. Moh. Yamin yang juga lahir di Talawi, tanggal 23 Agustus 1903. Keduanya adalah putra bangsawan lokal Oesman Bagindo Chatib yang pada mulanya jadi Tuan Pakuih (Vakhuis Meester) kemudian jadi Tuanku Laras (Demang/ districthofd). Sebagai pegawai pemerintah, tentu saja ayahnya sering pindah tugas ke berbagai daerah. Karena itu, setelah memikirkan pendidikan Djamal dan Moh. Yamin, maka disepakatilah bahwa Djamaluddin dan Moh. Yamin di sekolahkan di Palembang diasuh oleh kakaknya satu ayah Moh. Yaman, guru H.I.S di sana. Moh. Yaman adalah kakak tertua dari Djamaluddin Adinegoro dan Moh. Yamin. Ketiganya satu bapak tapi berlain ibunya. Ibu Yaman lain, ibu Yamin lain dan ibu Djamaluddin pun lain. Sedangkan Moh. Yaman (kakak tertua) nikah dengan kakak Djamaluddin yang satu ibu berlain ayah, namanya Rumiah. Tegasnya, oleh sang ayah (Oesman Bagindo Chatib) telah mengawinkan anak kandungnya (Moh. Yaman) dengan anak tirinya (Rumiah). Oesman Bagindo Chatib (ayah Adinegoro) menikahi Sadariah (ibu Rumiah) setelah cerai dengan suaminya, Abdullah yang merantau ke Malaya (Semenanjung Melayu). Maka lahirlah putra Sadariah satu lagi (adik Rumiah) yakni Djamaluddin Adinegoro. Jadi, Rumiah adalah kakak satu ibu berlain bapak oleh Adinegoro dan suami Rumiah adalah kakak satu ayah oleh Adinegoro dan tidak satu ibu. Tegasnya Moh. Yaman adalah kakak tertua Adinegoro satu ayah berlain ibu. Sedangkan Rumiah adalah juga kakak Adinegoro satu ibu berlain ayah. Kedua anak manusia inilah yang kawin mawin. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Moh. Yamin meneruskan pelajarannya ke Sekolah Tinggi Hukum sehingga mendapat titel Meester in de Rechten (Mr) dan adiknya Djamaluddin (Adinegoro) masuk sekolah STOVIA, atau Sekolah Tinggi Kedokteran. Ayahnya memang mengharapkan Adinegoro jadi dokter kelak. Teman Djamaluddin di STOVIA yang sama berasal dari Ranah Minang adalah Bahder Djohan (yang kemudian dikenal sebagai Prof. Dr. Bahder Djohan, mantan Presiden (rektor) Universitas Indonesia dan Menteri P dan K dalam Kabinet Natsir), Ahmad Ramali dan Moh. Hanafiah.<br />Tapi kegiatan Djamaluddin yang sering tenggelam di perpustakaan sekolah melahap buku-buku yang ada, baik dalam bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Dengan melahap buku-buku itu, maka pikirannya semakin berkembang dan sebagiannya dituangkannya ke dalam bentuk tulisan article by line. Tulisan itu dikirimkannnya ke surat kabar “Tjahaja Hindia” yang dipimpin oleh anak Minang yang lain yakni Lanjumin Datuk Tumanggung. Setelah tulisan pertama dimuat, jiwanya semakin terdorong untuk menulis lagi, begitulah seterusnya. Apalagi tulisan Penulis dengan kode “DJ” itu semakin digemari pembaca. Barulah kemudian Djamaluddin dipanggil Lanjumin, Pimpinan Surat Kabar “Tjahaja Hindia”. Ia menyarankan agar setiap menulis hendaklah dengan nama samaran. Setelah dipertimbangkan dapatlah nama samaran Adinegoro yang kemudian lebih terkenal dari nama aslinya Djamaluddin. Sedangkan Lanjumin Dt. Tumanggung dengan nama samaran Nitinegoro. Melihat perkembangan Lanjumin Datuk Tumanggung dengan surat kabar Tjahaja Hindia-nya, maka Pemerintah Hindia Belanda tertarik untuk membantu usahanya itu. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum turun tangan membantunya. Ternyata kemudian Djamaluddin Adinegoro menekuni bakatnya sebagai jurnalis yang membuatnya meninggalkan tanah air menuju ke Eropa memperdalam ilmunya dalam bidang jurnalistik, baik di negeri Belanda maupun di Jerman.<br /><br />*****<br />Sebagai seorang jurnalis (wartawan), Adinegoro memerlukan banyak bahan dalam kepalanya dan catatannya, maka ia mencoba berkeliling di Eropa dan Mesir. Catatan perjalanannya itu dikirimkannya ke tanah air untuk dimuat koran yang terbit di Hindia Belanda dan namanya semakin populer karena tulisannya di samping bahasanya bagus juga dilengkapi dengan latar belakang sejarah dan situasi politik setempat. Bukunya yang amat populer di zaman itu adalah “Melawat ke Barat” dua jilid diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pada tahun 1931 Adinegoro pulang ke tanah air dan bekerja di Panji Pustaka yang terbit dua kali seminggu. Kemudian Surat Kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan meminta Adinegoro, seorang wartawan profesional yang tulisannya ditunggu orang setiap harinya untuk memimpin surat kabar tersebut. Apalagi kupasannya tentang luar negeri yang belum ada duanya pada zaman sebelum perang. Ketika itu baru tiga orang wartawan Indonesia yang profesional, artinya yang khusus belajar di Sekolah Jurnalistik. Yang tiga orang itu adalah Djamaluddin Adinegoro, Tabrani dan Yahya Yakub. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Nestor Wartawan Indonesia itu pada zaman Jepang jadi Sekretaris Tjou Syangi In yang diketuai oleh Moh. Sjafei, Kayu Tanam. Karena suasana penerbitan pers di Zaman Dai Toa Senso itu tidak menggembirakan, maka Adinegoro pulang ke Bukittinggi. Pada awal kemerdekaan, beliau adalah Pejuang Kemerdekaan bersama Mr. Teuku Moh. Hasan, Dr. Moh. Amir (yang masih kerabatnya) dan pernah jadi Residen Sumatra Timur dan anggota BPUPKI. Sedangkan Engku Moh. Sjafei jadi Residen pertama Sumatra Barat (Baca: <a href="http://www.ranah-minang.com/content.php?article.191">Mengenang Seorang Gubernur Lipat</a>). Sementara Adinegoro ditunjuk sebagai Komisaris RI di Sumatra. Mendirikan surat kabar Kedaoelatan Rakjat di Bukittinggi, pemancar radio dan kantor berita Antara. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Ia kemudian meninggalkan Bukittinggi dan menetap di Jakarta serta mendirikan majalah Mimbar Indonesia bersama Mr. Gusti Mayur, Ir. Pangeran Moh. Noer dan PIA (Pers biro Indonesia “Aneta”). Ketika di zaman Nasakomnya Orde Lama di mana PKI sangat berkuasa dan Adinegoro adalah wartawan yang menentang komunisme, maka Adinegoro mulai disingkirkan oleh lawan-lawan politiknya. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Pada 8 Januari 1967, nestor wartawan yang berasal dari Talawi, Sawahlunto itu menutup mata buat selama-lamanya dan dimakamkan di Karet, Jakarta. Pada tahun 1974, Adinegoro diberi penghargaan dan ditetapkan sebagai PERINTIS PERS INDONESIA oleh Pemerintah. Dan untuk mengenang jasanya dalam bidang pers, PWI Jaya mengadakan Hadiah Adinegoro bagi wartawan yang punya prestasi yang pada tahun lalu jatuh ke Ranah Minang, wartawan Khairul Jasmi, Koresponden Republika. Ingatlah pesan Nestor Jurnalistik Adinegoro ketika dulu disampaikan kepada wartawan-wartawan muda yang datang mengunjunginya, antara lain saya dengar dan saya kutip dari wartawan Zakaria Yamin (alm) yang pada tahun 1946 itu anak buah Adinegoro“wartawan adalah kelompok intelektual, karena itu janganlah jadi si to-oh” Soetan Zakaria bertanya: “Apa itu si to-oh?” Adinegoro menjawab, “bebek dungu! Karena itu kalian harus belajar terus! Journalism touches life at all points,” katanya. Jurnalistik menyentuh seluruh segi kehidupan<br /><br />Sumber : <a href="http://www.ranah-minang.com/">http://www.ranah-minang.com/</a><br />Kamardi Rais Dt. Panjang SimulieIs Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-219506321965659682008-01-16T21:42:00.001-08:002008-01-21T21:47:17.502-08:00Deliar NoerDELIAR Noer<br />Dua kali Deliar Noer terpaksa melepas jabatannya. Pada 1964, dari jabatan dosen Universitas Sumatera Utara (USU), karena dituding anti-Nasakom. Pada 1974, seiring dengan larangan pembacaan pidato pengukuhannya selaku guru besar IKIP Jakarta, doktor lepasan Universitas Cornell, AS, itu diberhentikan sebagai rektor institut yang sama. Setelah masa-masa sulit -- tanpa penghasilan tetap dan tinggal di rumah kontrakan -- pria Minang kelahiran Medan ini memutuskan bekerja sebagai peneliti pada Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra. ''Daripada tidak bisa makan di negeri sendiri, lebih baik cari makan di negeri orang,'' kata anak kedua dari tiga bersaudara itu. Ia kemudian mengajar Sejarah dan Ilmu Politik pada Universitas Griffith, Brisbane, hingga saat terakhir ini. Sikapnya yang terkesan keras dan terus terang mungkin karena ia dilahirkan di tengah keluarga kaum pergerakan. Rumah orangtuanya dulu acap menjadi pertemuan para pejuang kemerdekaan dan persinggahan para anggota Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang hendak lari ke Malaya (kini Malaysia). Deliar sendiri, yang acap menjadi juara kelas, sudah gemar membaca surat kabar sejak masih duduk di bangku SD. Maka masuk akallah jika ia kemudian aktif dan menjadi ketua HMI Cabang Jakarta ketika belajar ilmu sosial politik pada Universitas Nasional di Jakarta. Kesempatan belajar di AS diperolehnya atas biaya Yayasan Rockefeller. ''Karena prestasi saya baik, mereka memutuskan untuk membiayai saya sampai meraih doktor,'' ujar bekas redaktur kantor berita PIA itu. Gelar itu digondolnya pada 1962, setelah mempertahankan disertasi berjudul The Rise and Development of the Modernist Moslem Movement in Indonesia, 1900-1942. Ketika menjadi rektor IKIP Jakarta, banyak hal dibenahinya. ''Semuanya serba kacau, tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban,'' kata bekas anggota tim ahli dan staf pribadi Presiden Soeharto itu. Lewat pendaftaran ulang -- di tengah aksi protes -- Deliar berhasil banyak mengurangi jumlah mahasiswa terdaftar tetapi tidak aktif. Ia kemudian mendirikan Sekolah Laboratorium IKIP -- yang menerapkan sistem modul untuk merangsang kreativitas siswa -- yang hingga kini masih bertahan. Deliar juga mempersiapkan tenaga guru untuk murid cacat, yang menurut dia kini telah digiatkan kembali oleh rektor IKIP sekarang, Prof. Dr. Conny R. Semiawan. Bekerja di Australia, ayah dua anak (seorang di antaranya meninggal semasih bayi) itu pulang ke Indonesia setiap enam bulan sekali -- paling lama sebulan setiap kalinya. Ia menghasilkan sejumlah buku, antaranya Ideologi, Politik, dan Pembangunan; Islam, Pancasila dan Asas Tunggal; dan Partai- partai Islam Tahun 1945-1965 -- yang sedang diproses. Ia bertemu dengan istrinya, Zahara, ketika sama-sama belajar di Amerika. Saat hendak menikah, karena uang terbatas, hanya Zahara yang pulang ke Indonesia, yang kemudian dikawinkan dengan diwakilkan.<br /><br />Nama :DELIAR Noer<br />Lahir :Medan, 9 Februari 1926<br />Agama :Islam<br /><br />Pendidikan :<br />-Madrasah Muhammadiyah Tebingtinggi (1932-1939)<br />-SD, Tebingtinggi (1939)<br />-SLP, Medan (1945)<br />-SLA, Jakarta (1947)<br />-Fakultas Sosial Politik Universitas Nasional, Jakarta (B.A., 1958)<br />-Cornell University-Ithaca, AS (M.A., 1959 dan Doktor, 1962)<br /><br />Karir :<br />-Sekretaris Bagian Perdagangan, Perwakilan RI di Singapura (1947-1949)<br />-Pegawai Departemen Luar Negeri di Jakarta (1950-1951)<br />-Guru SMA Muhammadiyah Jakarta (1951-1953)<br />-Redaktur Kantor Berita f48Asisten riset untuk soal-soal Islam (1955-1958)<br />-Dosen Fakultas Hukum USU Medan (1963-1965)<br />-Kepala Biro Hubungan Luar Negeri, Departemen Urusan Riset Nasional Jakarta (1965-1967)<br />-Rektor IKIP Jakarta (1967-1974)<br />-Dosen Luar Biasa FIS UI Jakarta (1965-1974)<br />-Guru Besar pada IKIP Jakarta dan FIS UI Jakarta (1971-1974)<br />-Anggota Tim Ahli, Staf Pribadi Presiden RI (1966-1968)<br />-Dosen Seskoad, Seskoal, Seskoau (1966-1973)<br />-Research Fellow, Australian National University, Canberra (1975)<br />-Dosen Universitas Griffith di Brisbane, Australia (1976- sekarang)<br /><br />Kegiatan Lain :<br />-Ketua HMI Cabang Jakarta (1951-1953)<br />-Ketua Pengurus Besar HMI (1953-1955)<br /><br />Karya :<br />Antara lain:<br />-Pengantar ke Pemikiran Politik, Rajawali, 1983<br />-Ideologi, Politik dan Pembangunan -Islam, Pancasila dan Asas Tunggal -Partai-Partai Islam Tahun 1945-1965 (dalam proses diterbitkan)<br /><br />Alamat Rumah :Jalan Cumi-Cumi Raya 1, Rawamangun, Jakarta Timur Telp: 481910Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-62360128099053261452008-01-16T21:39:00.000-08:002008-01-17T17:05:19.646-08:00Bagindo Aziz Chan<a href="http://www.ranah-minang.com/tulisan/186.html"></a><br /><a href="http://www.ranah-minang.com/tulisan/186.html">Mengenang Pahlawan Nasional Bagindo Aziz Chan</a><br /><br />Tulisan ini berasal dari majalah resmi pemerintah “Madjalah Penerangan Sumatera Tengah” No. 112, 15 Djuli 1953, tahun IV dengan judul tulisan “PAHLAWAN NASIONAL AZIZ CHAN”<br />Melihat judul tulisan di atas serta suara-suara yang berkembang belakangan ini agar beliau diusulkan sebagai “Pahlawan Nasional”, hemat penulis sebelum permintaan itu disampaikan, ada baik diteliti terlebih dahulu mengapa sampai ada judul majalah pemerintah tahun 1953 itu seperti demikian. Walikota Padang Pertama Pemerintah Inggris di London mengumumkan akan menarik pasukannya dari seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 30 Nopember 1946. Sementara itu pihak Belanda atau yang lebih dikenal dengan sebutan NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang semula membonceng pendaratan pasukan Sekutu (baca Inggris) ke Indonesia untuk melucuti serdadu Jepang yang kalah perang, mengambil alih kekuasaan di daerah-daerah yang ditinggalkan pasukan sekutu (Inggris) tersebut. Di antara yang diambil alih itu ialah Kota Padang. Pahlawan Nasional Bagindo Aziz Chan Di kota yang dipenuhi pasukan asing (termasuk serdadu Belanda) inilah Bagindo Aziz Chan ditugaskan sebagai Wali Kota oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sungguh penempatan yang amat berani, penuh resiko, bahkan dapat dikatakan tidak masuk akal. Mengenai dipilihnya Bagindo Aziz Chan selaku Wali Kota Padang ini, buya Hamka mengatakan: Setelah Pemerintah Belanda meluaskan kekuasaan di kota Padang dan sekitarnya, TRI (Tentara Republik Indonesia) mundur ke daerah “darat” (pedalaman), namun tempat-tempat penting masih dalam kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia. Ketika dipertimbangkan siapa yang akan diangkat menjadi Wali Kota Padang, sebab markas tentara dan Pemerintah Republik telah dipindahkan ke Bukit Tinggi, seorang pun tidak ada yang berani. Akhirnya jatuhlah pilihan kepada Bagindo Aziz Chan. Jabatan penting yang berbahaya ini, diterima beliau dengan ucapan Bismillah. Berunding Dengan Sekutu Baru beberapa hari memangku jabatan selaku Wali Kota Padang, atas gagasannya diadakan perundingan dengan pihak sekutu (Inggris). Perundingan mana berlangsung pada tanggal 15 Agustus 1946. Masalah yang dibicarakan ialah mengenai keamanan kota, keselamatan warga kota sehubungan keberadaan pasukan asing tersebut. Pihak Republik diwakili oleh Gubernur Muda Dr. M. Djamil, Kepala Polisi Sumatera Barat Azhari dan Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan. Sedangkan pihak Sekutu oleh Brigadir Thomson , Mayor Fisher dan Kapten Gilman. Dalam perundingan itu pihak Sekutu berjanji akan berkerja sama sepenuhnya dengan pihak Indonesia, terutama dalam menjaga keamanan kota Padang. Dibicarakan pula hal-hal lain seperti pos, perkereta-apian, kepolisian dsb. Pengungsian Besar-Besaran Sungguhpun telah disepakati, pelanggaran demi pelanggaran tetap saja terjadi, terutama dari pihak Sekutu. Rentetan senapan mesin, dentuman mortir, granat tangan serta penangkapan terhadap yang mereka curigai “ekstremis”, sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kejadian sehari-hari yang dialami penduduk kota Padang. Sebagai misal peristiwa tanggal 27-28 Agustus 1946, terjadi bentrokan senjata secara sporadis yang nyaris menghanguskan kota Padang. Semenjak itu terjadilah pengungsian besar-besaran dari kota Padang ke daerah pedalaman. Mulai Dikuasai Nica Sumber: Walau fakta menunjukkan kota Padang adalah daerah Republik Indonesia, dibuktikan dengan duduknya seorang Walikota yang republik pula, namun pihak Sekutu, tetap saja menyerahkan pemeriksaan atau nasib orang-orang republik yang mereka tangkap kepada pihak Belanda. Hal mana terbaca dalam surat sbb:<br />Kepada tuan Aziz Chan. Beberapa orang Indonesia yang dipenjarakan (Sekutu) dihadapkan ke depan pengadilan Belanda pekan ini (6-9-46). Apakah tuan bermaksud akan memberikan mereka hakim pembela? dto - Cooper.<br />Walikota Padang membalas surat tsb sbb:<br />Tuan Cooper Hq Padang BBE. Pemerintah Republik saya tidak mengizinkan pemeriksaan macam manapun oleh Belanda. Pucuk pimpinan tentara Sukutu sepatutnya menyerahkan perkara itu kepada Pengadilan Indonesia. Sesungguhnya saya bersama ini memprotes. Walikota Padang, (dto. Aziz Chan).<br />Protes ini tidak digubris pihak Sekutu. Yang diizinkan hanyalah mengantarkan makanan untuk para tahanan saja. Menjelang Linggarjati Semenjak tanggal 30 Nopember 1946, daerah-daerah yang ditinggalkan (lebih tepat diserah-terimakan) pihak Sekutu, praktis dikuasai sepenuhnya oleh militer Belanda (baca Nica). Sudah barang tentu dalam mencengkramkan kekuasaan lebih dalam dan lebih luas lagi, pihak Belanda tidak segan-segan melakukan teror dan penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang yang mereka anggap berseberangan dengan tuduhan “ekstremis”. Tanggal 9 Desember 1946 Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin, Letnan Jendral Urip dan Dr. AK. Gani tiba di Padang untuk membicarakan garis demarkasi gencatan senjata dll dengan pihak Belanda, sesuai isi naskah Linggarjati yang telah diparap. Bagindo Aziz Chan ikut dalam pembicaraan tersebut. Hasilnya ialah komunike bersama antara lain sebagai berikut:<br />1. Daerah primeter sekeliling kota Padang akan dikosongkan seluruhnya oleh TRI dan Barisan yang bersenjata mulai tanggal 31 Desember 1946 pukul 24.00.<br />2. Semua pos tentara Belanda yang ditambah sesudah tanggal 14 Oktober 1946 akan dicabut.<br />3. Untuk melaksanakan hal tersebut di atas, TRI (Tentara Republik Indonesia) dan tentara Belanda memerintahkan penghentian pertempuran dan menghindarkan segala kemungkinan pertikaian bersenjata.<br />4. Polisi NRI (Negara Republik Indonesia) bersenjata secukupnya di dalam kota Padang akan diperluas kekuasaannya, sehingga dapat menjalankan kewajibannya menjaga keamanan dengan sebaik-baiknya. Untuk mana akan diadakan perundingan lebih lanjut.<br />5. Polisi NRI berhak mengadakan perondaan di daerah perondaan tentara Belanda.<br />6. Opsir penghubung akan diadakan di pihak tentara Republik Indonesia dan pihak Belanda.<br />Perundingan selanjutnya diadakan pada tanggal 17-18 Desember 1946 antara Wali Kota Padang dengan pihak Belanda, tetapi tidak mencapai hasil yang nyata karena pihak Belanda tidak memberikan jawaban yang masuk akal terhadap tiga pokok masalah penting yang menyangkut komunike di atas, yaitu:<br />1. Soal tahanan Indonesia yang harus diserahkan kepada pembesar Indonesia.<br />2. Soal jumlah anggota polisi NRI di Kota Padang.<br />3. Soal persenjataan polisi.<br />Dalam perundingan itu pihak Belanda mengatakan, merekalah yang bertanggung-jawab soal keamanan dalam garis demarkasi. Sedangkan pihak Indonesia mengatakan, soal keamanan warga Indonesia di dalam garis demarkasi hanya oleh polisi NRI dan tidak oleh pihak Belanda.<br />Tanggal 30 Desember 1946 diadakan lagi perundingan tentang “Joint Truce Commission” atau “Komisi Bersama Gencatan Senjata”. Pihak RI diwakili Wali Kota Padang, Letkol Halim, Iskandar Tejasukmana, Kepala Polisi Darwin Karim dan dihadiri pula Gubernur Sumatera Tengah serta beberapa orang lain selaku peninjau. Sedangkan di pihak Belanda De Boer, Letkol van Erp, Mr. van Straten, Kapten Warnaar serta beberapa opsir peninjau. Perundingan ini adalah lanjutan dari perundingan sebelumnya pada tanggal 11 Desember 1946 antara Menteri Pertahanan RI dengan pihak Belanda. Namun dalam kurun waktu antara tanggal 11 dan 31 Desember 1946 itu, pihak Belanda selalu memungkiri dan menyabot pokok-pokok persetujuan yang telah dibuat. Pada perundingan akhir Desember 1946 tsb, pihak Belanda mengatakan soal garis demarkasi tidak ada sangkut pautnya dengan soal memperkuat Pemerintah NRI di kota Padang. Sedangkan pihak Republik menegaskan sebaliknya dengan berbagai bukti. Begitu pula soal kepolisian, pihak Belanda tetap bersikeras menolaknya, walau pihak RI telah mengurangi usulnya yang semula seribu orang yang menjadi lima ratus polisi. Terjadilah dead lock. Pihak Belanda mengultimatum. TRI dan Barisan Rakyat harus keluar dari dalam garis demarkasi sebelum pukul 24.00 malam itu juga, jika tidak akan digempur. Ultimatum itu ditolak oleh pihak RI dengan menegas “jika dijual tetap akan dibeli”. Saat penggantian tahun 1946-1947 kembali berkecamuk pertempuran di sekitar kota Padang. Indaruang dan Lubuk Bagaluang yang dihujani peluru mortir dan meriam. Dan pada siang hari di bom dan ditembaki pula dari udara. Tidak seperti biasanya yakni dengan kembang dan petasan, pesta tahun baru malam itu dimeriahkan dengan detuman peluru meriam, mortir, granat, senapan mesin baik dari pihak Belanda maupun balasan pihak Republik. Tanggal 8 Januari 1947 pihak Belanda meminta agar perundingan dibuka kembali. Untuk menunjukkan goodwill (niat baik), permintaan tersebut diterima pihak Republik. Perundingan dilangsungkan tanggal 10 Januari 1947. Pihak Indonesia diwakili oleh Bagindo Aziz Chan, St. M. Djosan, Dr. M. Djamil, Urangkayo Gantosuaro dan Samsu Anwar. Sedangkan pihak Belanda diwakili De Boer, Van Sraten dan Kapten Warnaar. Masalah yang dibicarakan ialah penghentian tembak menembak, garis demarkasi, polisi NRI serta masalah tahanan. Dalam memaksakan kehendaknya, pada tanggal 11 Januari 1947 pihak Belanda menekan dengan menjatuhkan bom dan menembaki Pasa Usang yang letaknya sekitar 30 km dari kota Padang. Namun delegasi Republik tidak bergeming dengan intimidasi tersebut. Setelah melalui perdebatan sengit, pembicaraan berakhir dengan sebuah rencana kesepakatan. Usul jumlah personil polisi 500 orang diterima pihak Belanda. Tanggal 12 Januari 1947 kesepakatan tsb ditanda tangani, dari pihak RI oleh Bagindo Aziz Chan. Anas Tanggal 18 Januari 1947 berunding lagi untuk cara melaksanakan kesepakatan yang telah ditanda-tangani. Karena masalah yang dibicarakan banyak menyangkut soal kemiliteran, diusulkan untuk diserahkan kepada Komandan Militer masing-masing. Dari pihak RI oleh Kolonel Ismael Lengah, sedangkan di pihak Belanda Kolonel Sluyters. Mengenai masalah sipil seperti kehakiman, diputuskan kedua belah pihak mengirim utusan ke High Level Joint Truce Commission di Jakarta. Linggarjati Ditandatangani Setelah Naskah Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, boleh dikatakan suasana di kota Padang lebih lega dari hari-hari biasa. Lalu pada tanggal 3 April 1947 dirundingkan kembali mengenai penentuan garis demarkasi serta urusan Pemerintahan Sipil. Perundingan mana dilanjutkan lagi pada tanggal 8 April 1947. Hasilnya ialah Pemerintahan Sumatera Barat sejak dari tanggal tersebut dipindahkan kembali ke kota Padang. Residen Sumatera Barat buat sementara 3 hari di Padang dan hari-hari berikutnya di Bukittinggi, karena sebagian besar jawatan keresidenan berada di Bukittinggi. Pihak Belanda menyetujui polisi RI bersenjata lengkap masuk dan sekalian tinggal di kota Padang. Selain itu pihak Belanda menyerahkan kembali sebagian senjata polisi yang dulu dirampas oleh pihak Sekutu (baca Inggris). Sepintas tampaknya perdamaian benar-benar akan terujud. Akan tetapi tak lama kemudian terjadi pula berbagai pelanggaran. Kepala Polisi kota Padang Johny Anwar bersama 4 orang stafnya ditangkap Polisi Militer Belanda. Setelah diprotes Bagindo Aziz Chan, dibebaskan kembali. Dalam perundingan dengan pihak RI yang diketuai Residen SM. Rasyid, dibentuklah sebuah Panitia Kerja yang diketuai oleh Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan. Semenjak itu mulai kembali dilakukan pemungutan pajak-pajak penghasilan kota, seperti pajak tontonan, kendaraan dsb. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1947 kereta api masuk kembali ke stasion Padang. Buat sementara sekali dalam sehari dan akan diatur kembali pada tanggal 1 Mei 1947. Dalam masalah perkereta-apian ini Wali Kota Padang mendapat ucapan selamat dari Menteri Penerangan RI Moh. Natsir yang mengatakan, “hal itu adalah langkah awal dalam melaksanakan Pasal 1 naskah Linggarjati”. Tanggal 3 Mei 1947 diadakan lagi perundingan untuk menetapkan garis demarkasi yang masing-masing pihak diwakili oleh Kolonel Ismail Lengah dan Kolonel Sluyters serta dihadiri pula oleh Wali Kota Padang. Dalam suasana “de facto” itu, kegembiraan masyarakat kota Padang mencapai puncaknya, apalagi saat dikunjungi oleh rombongan Gubernur Sumatera serta Mayor Jenderal Suharjo. Ibarat sebuah kapal dengan dua nahkoda yang saling bermusuhan, pihak Belanda mulai pula mencari gara-gara. Tak salah peribahasa mengatakan “habis berhalur maka beralu”, tampaknya pihak Belanda ingin menyelesaikan soal Indonesia dengan cara kekerasan atau perang. Ini terlihat dengan meningkatnya kekuatan militer Belanda di seluruh daerah Republik Indonesia, tidak terkecuali Kota Padang. Walau suasana muram mulai menyelimuti seluruh daerah Republik Indonesia termasuk kota Padang, tanggal 9 Juni 1947 masih saja diadakan perundingan antara Kolonel Ismail Lengah dan Kolonel Sluyters membicarakan masalah insiden-insiden kecil yang terjadi sekitar garis demarkasi. Perang Kemerdekaan Pertama Kabinet Syahrir jatuh dan pada tanggal 3 Juli 1947 terbentuk Kabinet Amir Syarifuddin yang segera dihadapkan pada tuntutan yang lebih merupakan ultimatum dari pihak Belanda. Mereka menuntut antara lain mengadakan Gendarmerie (sejumlah pasukan yang bertindak sebagai polisi militer atau pengawas) bersama dalam menjaga keamanan di daerah-daerah strategis Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Usul ini ditolak oleh BP-KNIP (Badan Pekerja - Komite Nasional Indonesia Pusat) dan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 17 Juli 1947. Tanggal 17 Juli 1947 Wakil Presiden Moh. Hatta tiba kembali di Bukittinggi setelah mengadakan kunjungan rahasia ke India menemui Pandit Nehru dan M. Ali Jinnah. Aziz Chan Dibunuh Tanggal 19 Juli 1947 hari kedua puasa, militer Belanda menembak mati Bagindo Aziz Chan di kawasan Nanggalo. Hari itu sekitar pukul 5-6 petang dengan berkendaraan mobil Bagindo Aziz Chan bersama keluarga sedang menuju Padang Panjang. Di kawasan Purus mereka dihadang militer Belanda yang dikomandani Letkol Van Erp. Bagindo Aziz Chan diperintahkan naik ke sebuah jeep dan langsung dibawa ke Nanggalo dalam garis demarkasi Belanda. Menurut keterangan pihak Belanda di daerah itu telah terjadi suatu insiden. Sampai di suatu tempat di kawasan itu jeep berhenti, Bagindo Aziz Chan turun untuk memeriksa apa yang dikatakan insiden oleh militer Belanda tsb. Tiba-tiba sebutir peluru menerjang lehernya dan seketika itu juga beliau tersungkur dan menghembuskan nafas yang penghabisan. Segera jenazah Aziz Chan dibawa ke rumah sakit Padang. Mulanya cerita seperti itulah yang terebar di kalangan masyarakat yang ternyata kemudian tidaklah demikian. Tidak ada keterangan pihak Belanda dari pihak mana peluru yang menyebabkan kematian itu berasal. Begitu pula hari itu di kawasan tersebut tidak ada terjadi kontak senjata. SumberJenazah Dikawal KNIL Kematian Wali Kota Padang tersebut segera merambah ke daerah pedalaman (daerah Republik Indonesia). Residen Sumatera Barat St. Muh. Rasyid, Chatib Suleiman, Marzuki Yatim, Dr. Rahim Usman, Jamalus Yahya, Hamka, Mayor A. Thalib bersama keluarga almarhum setelah sahur langsung berangkat menuju Kota Padang. A Sekitar pukul 05.30 pagi sampailah rombongan tsb di setasiun kereta api Tabing. Kepala Polisi T.A. Sani segera mengadakan kontak dengan pos terdepan militer Belanda di seberang garis demarkasi Padang. Sementara itu terdengar gemuruh dentuman meriam dan mortir yang ditembakkan militer Belanda entah dengan maksud apa. Satu jam kemudian, barulah rombongan tsb diizinkan masuk ke dalam kota Padang dengan syarat tidak membawa senjata. Karena itu Mayor Thalib tidak ikut, demikian pula Residen Sumatera Barat Mr. St. M. Rasyid. Rombongan yang dikawal ini dihentikan pula sekitar satu jam di depan markas militer Belanda dan barulah setelah itu diantarkan ke rumah almarhum Bagindo Aziz Chan. Di rumah duka inilah jenazah almarhum disemayamkan dan dikawal pula oleh sepasukan KNIL (serdadu Belanda yang direkrut dari pribumi), tak obahnya seperti pahlawan Belanda yang gugur di medan laga. Tampak di belakang telinga almarhum sebuah lobang bekas terjangan peluru dan kepala beliau pecah seperti dipukul benda keras. Selesai mempersiapkan segala sesuatu, jenazah almarhum dibawa dengan kereta api ke Bukittinggi dan sampai di kota ini pada malam berikutnya. Pukul 06.00 pagi tanggal 21 Juli 1947 Van Mook mengumumkan “aksi polisionil” terhadap RI. Malam itu juga sekitar pukul 21.00, jenazah almarhum diotopsi oleh empat dokter untuk memastikan sebab kematian beliau. Dari hasil pemeriksaan jenazah disebutkan, bahwa kematian almarhum disebabkan oleh pukulan benda berat di kepala. Pukul 2 malam itu juga jenazah almarhum dikebumikan di Taman Bahagia (Taman Pahlawan) Bukittinggi dengan suatu upacara besar penuh haru. Siapa Bagindo Aziz Chan Bagindo Aziz Chan adalah salah seorang murid atau pengikut setia Haji Agus Salim. Setelah menamatkan AMS-B di Betawi, Bagindo Aziz Chan memasuki gerakan politik melalui PSII dan dilanjutkan ke Penyadar bersama Haji Agus Salim. Untuk biaya hidup sehari-hari Bagindo Aziz Chan mengajar di beberapa sekolah partikelir. Beliau menikah dengan seorang gadis teman sekolahnya yang kemudian diboyong ke Sumatera Barat. Selama di Sumatera Barat ia pernah mengajar di Islamic College, Normaal Islam Padang, Balai Pendidikan PSII Batu Hampar dan MIK Bukit Tinggi. Pada awal pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera Barat, ia aktif pada Komite Nasional Sumatera Barat. Kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera. Ketika di Dewan Perwakilan Sumatera inilah beliau ditunjuk menjadi Wali Kota Padang. Mengenai almarhum Bagindo Chan ini Hamka mengatakan lagi:<br />Beliau adalah seorang Muslim yang taat yang boleh dikatakan dekat kepada fanafik. Bila berkata-kata, baik dalam berbagai pertemuan atau berpidato di depan umum, senantiasa keluar dari mulut beliau “Alhamdullah, Bismillah dan Insyaallah”. Demikian pula dalam surat-suratnya selaku Wali Kota Padang, selalu dimulai dengan Assalamualaikum. Agama Islam tidak boleh dilecehkan dihadapannya. Para pemimpin yang mengaku pemuka Islam, tetapi satu kali kelihatan olehnya tidak jujur dihantamnya, bahkan dimakinya. Matanya besar menantang tetapi terbayang kejujuran. Sebelum syahid ia sempat mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia di kota Padang dan ia sendiri menjadi ketuanya. Ia selalu menganjurkan supaya kaum saudagar meramaikan kota Padang dan memulai perjuangan ekonomi, karena pada akhirnya perlawanan dengan Belanda akan berhenti dengan penyelesaian juga.<br />Dalam suatu siaran pers ketika diangkat sebagai Wali Kota Padang, almarhum Bagindo Aziz Chan mengatakan:<br />Tanggal 16 menghadap 17 Ramadhan berdekat dengan turunnya Alquranulkarim sebagai kurnia Allah Subhanahuwata'ala, dalam suatu kerapatan lengkap badan pemerintahan resmi Sumatera Barat, dengan persetujuan suara bulat dari pada hadirin, saya telah diangkat memangku jabatan Wali Kota Padang. Keangkatan ini saya terima dan saya sambut dengan ucapan hati “Allahu Akbar, fi-Sabilillah” atas kepercayaan pemerintah kita telah menyerahkan pimpinan kota Padang kepada saya. Hanya Allah yang lebih mengetahui betapa hebat dan gentingnya keadaan dan saya sungguh banyak-banyak mengucapkan terima kasih. Tegur sapa, nasehat dan bantuan saudara-saudara semuanya lahir dan bahtin saya harapkan dengan sangat. Kepada Allah juga kita mohon taufik hidayat dan kepada-Nya juga kita memulangkan segala jasa dan puji, Insyaallah. Bukit Tinggi, 15 Agustus 1946 - dto. Bgd. Aziz Chan.<br />Dalam suatu wawancara, Bagindo Aziz Chan mengatakan:<br />Masalah kota Padang ini harus dihadapi dengan suatu rencana yang nyata dan perbelanjaan yang cukup. Harus ditambah lagi dengan pegawai-pegawai yang telah diseleksi, tabah dan patuh setia pada perjuangan Republik Indonesia. Semenjak awal bulan Januari 1947, pemerintah telah dapat menjamin makanan untuk penduduk dan pegawai RI di kota Padang yang berjumlah lebih kurang sepuluh ribu jiwa. Makanan itu dibagikan dengan cuma-cuma untuk meringankan kesengsaraanrakyat.<br /><br />Bagindo Aziz Chan Pahlawan Nasional05/11/2005Padang Pemerintah akhirnya akan mengkukuhkan pejuang kemerdekaan di Kota Padang, Bagindo Azis Chan, sebagai Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November mendatang. "Mantan Walikota Padang yang gigih menentang penjajahan Belanda itu dinilai layak menjadi Pahlawan Nasional, sehingga pemerintah pun akan mengukuhkannya," ujar Walikota Padang, Fauzi Bahar, kepada pers di Padang, Sabtu. Pengukuhan Bagindo Azis Chan menjadi Pahlawan Nasional, menurut dia, tidak terlepas dari berbagai usulan, baik melalui seminar maupun tulisan-tulisan atau pemberitaan media massa selama periode kepemimpinan walikota mulai Hasan Basri Durin, Syahrul Wujud, Zuiyen Rais, dan Plt O.S Yerly Asir. "Pengukuhan itu penting untuk menghargai segala sepak terjang dan jasa-jasa Bagindo Azis Chan yang berjuang membela Kota Padang dari cengkraman penjajahan Belanda," katanya. Pada kesempatan itu Fauzi Bahar juga kembali menyebut sumpah Bagindo Azis Chan yang berbunyi; "Langkahi dulu mayatku, baru Belanda boleh masuk Kota Padang". "Sumpah itu ternyata kemudian ia bayar tunai dengan pengorbanan jiwanya," kata dia. Lebih jauh Fauzi menjelaskan, pada 8 November ia berangkat dari Padang menuju Jakarta, pada 9 November ahli waris keluarga Bagindo Azis Chan menerima penghargaan pengukuhan itu dan pada tanggal yang sama dirinya sudah kembali ke Padang. "Kita akan melaksanakan 'long march' atau mengarak pengukuhan Bagindo Azis Chan itu mulai Ladang Padi -Taman Hutan Raya (Tahura) Bung Hatta hingga ke perempatan Jl Bagindo Azis Chan Lapai Padang, guna mengingat sejarah lokasi ditembaknya pembela Kota Padang itu oleh penjajah Belanda," katanya. Selain itu Pemko Padang juga menggelar lomba penampilan berpakaian pejuang 'tempo doeloe' diikuti atribut bambu runcing dan senjata lainnya, akan diikuti puluhan peserta dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sejarah mencatat Bagindo Azis Chan yang belum cukup seminggu menjabat sebagai Walikota Padang telah menunjukkan sepak terjangnya menentang Belanda. Pada 23 Agustus 1946 sekutu melakukan operasi militer untuk menghancurkan pertahanan tentara RI di Gunung Pangilun, namun dapat dipatahkan gerilya.<br />Akibat perjuangan pahlawan-pahlawan Padang itu, sekutu marah, membakar rumah-rumah penduduk dan melakukan pengeledahan besar-besaran. Seluruh penduduk laki-laki ditangkap dan dikumpulkan pada tiga tempat yakni di Padang Pasir, Lapangan Dipo dan Muara Padang. Penangkapan tersebut memicu kemarahan Bagindo Azis Chan, yang bersama Kepala Polisi Kota Padang Jhoni Anwar menerjang markas Belanda dan meminta tahanan dibebaskan. Permintaan Bagindo Azis Chan dikabulkan. Pada kisah lainnya, pada 19 Juli 1947, Bagindo Azis Chan berangkat dari Padang ke Padang Panjang. Tiba di Ulakkarang Padang, kendaraan yang ditumpanginya ditahan tentara Belanda. Pembicaraan antara Belanda dengan Bagindo Azis Chan terjadi dan beberapa detik kemudian datang Komandan tentara Belanda Letnan Kolonel Van Erp. Van Erp mengatakan di Lapai telah terjadi insiden yang dilakukan ektrimis-ekstrimis Indonesia, dan Van Erp meminta Bagindo untuk menentramkan kekacauan itu. Bagindo bersedia tetapi tidak menyadari bahwa itu hanya tipu muslihat Belanda. Malam harinya Bagindo dikhabarkan oleh tentara Belanda meninggal dunia karena ditembak ekstrimis. Tetapi visum dokter di Bukitinggi membuktikan Bagindo meninggal akibat pukulan benda keras pada kepala kanan bagian belakang, sementara tiga lubang di badannya bekas tembakan yang dilakukan Belanda hanya untuk mengelabui masyarakat. Tiap 19 Juli, akhirnya diperingati sebagai hari wafatnya Bagindo Azis Chan. Namanya sendiri sudah diabadikan sebagai nama jalan dan gedung di kota Padang - ( gunawan )<br /><br />Sumber : www.seketika.comIs Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-56570871392852667102008-01-16T21:24:00.000-08:002008-01-20T06:04:58.552-08:00Arwin Rasyid<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJfi6ejhTCaUlF-FOKC26UZR8UCimnA7tbmfFKj6-tjqr05Cc57hdRa8f7hGvZMwwwPQRWZh_9pqBW5v3b30XevhPjD_lN_dko6FYATZrbu6uM4DBvouDwWJBrC0yDdnskH3VBYL4d0lE/s1600-h/arwin_rasyid.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5157559176930486786" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJfi6ejhTCaUlF-FOKC26UZR8UCimnA7tbmfFKj6-tjqr05Cc57hdRa8f7hGvZMwwwPQRWZh_9pqBW5v3b30XevhPjD_lN_dko6FYATZrbu6uM4DBvouDwWJBrC0yDdnskH3VBYL4d0lE/s320/arwin_rasyid.jpg" border="0" /></a><br /><div>Arwin Rasyid LAHIR di Roma, Italia, ia kemudian melewatkan masa kanak-kanak di Swiss selama enam tahun dan Singapura lima tahun. Ketika ia pulang ke Indonesia, apa yang terjadi? Arwin Rasyid tidak bisa berbahasa Indonesia. “Saya pikir bahasa Indonesia itu bahasa Padang,” tutur Direktur Utama Bank Danamon ini. Karena sehari-hari keluarganya berbahasa Inggris dan bahasa Padang. Ayahnya seorang diplomat asal Sumatera Barat; ibunya berdarah Sumatera Barat pula. Atas dispensasi dari Departemen P&K, Arwin masuk sekolah internasional, The Gandhi Memorial School Jakarta, yang tidak memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Tapi, setelah lulus sekolah internasional itu, ayah dan ibunya menginginkan Arwin kuliah di dalam negeri. Tapi kalau ayahnya menginginkannya masuk fakultas hukum, mau sang ibu agar bungsu dari empat bersaudara itu masuk fakultas kedokteran. Padahal, Arwin berpeluang kuliah di University of New Delhi di New Delhi, India, dengan beasiswa dari The Gandhi Memorial School. Apa yang terjadi, Arwin menentukan sendiri pilihannya. Ia masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sambil mengambil kursus intensif bahasa Indonesia. “Tahun pertama dan kedua kuliah, setiap pertanyaan, saya jawab dengan bahasa Inggris,” papar MBA dari Universitas Hawaii, Honolulu, AS, ini. “Untung dosen UI banyak yang lulusan Amerika, seperti Emil Salim, Sri-Edi Swasono, Miranda Goeltom,” tambahnya. Saat mahasiswa, selain pernah jadi asisten Sumitro Djojohadikusumo, ia sudah aktif di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.Lulus kuliah, 1980, ia bekerja di Bank of America sambil menyebar permohonan beasiswa. Impiannya melanjutkan studi di luar negeri terwujud berkat beasiswa dari HISWA Center untuk kuliah di Universitas Hawaii, AS, selama dua tahun. Baru satu setengah tahun, ia sudah meraih gelar M.A. ekonomi; kemudian sekalian ia memanfaatkan sisa waktu dengan mengambil gelar MBA di universitas yang sama, 1982. Pulang ke Tanah Air, Arwin kembali ke Bank of America. Setelah tujuh tahun di bank tersebut, ia bekerja di Bank Niaga. Sepulang dari naik haji, 1999, ia hijrah ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai staf ahli, sampai akhirnya menjadi Wakil Ketua BPPN. Sejak Oktober 2000, Arwin dipercaya memimpin Bank Danamon.Dalam memimpin perusahaan, ia senantiasa meningkatkan kualitas karyawan, sebagai aset utama perusahaan. Caranya melalui training dan menerapkan budaya profesional, serta mengambil bankir-bankir yang profesional, supaya ada dinamika baru. Prinsip hidupnya: “Saya mau hidup tenang, tapi dengan taraf hidup sesuai dengan zaman sekarang.” Seperti yang diajarkan orangtuanya, Arwin mendidik anak-anaknya agar tidak manja. “Saya tidak pernah dimanja orangtua. Saya harus sekolah yang benar, bekerja yang benar dan keras. Orang tua hanya memberikan nilai-nilai hidup dan itu lebih penting daripada harta,” kata ayah lima anak ini. Untuk itulah, Arwin berupaya memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya, termasuk ingin menyekolahkan mereka di sekolah paling top di dunia.Selain boling, Arwin hobi main squash sejak 1985. Olahraga ini bisa membuatnya berkeringat banyak tanpa mengenal cuaca, peralatannya tidak mahal, dan tidak menyita banyak waktu. Sebagai anggota Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin), ia tentunya gemar berburu. Ia juga pengoleksi berbagai senjata api terdaftar.<br /><br />Bankir Pimpin Telkom<br />Jakarta 25/6/2005: Di luar dugaan mantan Dirut Bank Danamon dan Wakil Dirut BNI Arwin Rasyid dipercaya pemerintah menjadi Direktur Utama PT Telkom Tbk dalam RUPS, yang berlangsung di Kantor Divre II Telkom Jakarta, Jumat (24/6/2005). Alumni S1 FE-UI (1980) dan S2 (MBA) International Business-University of Hawaii, USA, itu menggantikan Kristiono yang semula dijagokan akan tetap menduduki jabatan itu.Terpilihnya Arwin, pria kelahiran Roma, Italia 22 Januari 1957, yang sebelumnya juga dicalonkan dalam bursa Dirut Indosat, di luar dugaan banyak kalangan yang menginginkan dirut Telkom dari orang dalam dan berpengalaman di industri telekomunikasi. Tidak banyak orang yang memprediksi Arwin, bankir yang dekat dengan Sofyan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informasi itu setelah gagal menjadi Dirut Indosat akan dipercaya memimpin Telkom. RUPS juga menetapkan adanya jabatan Wakil Direktur Utama yang dipercayakan kepada mantan Direktur Bisnis dan Jasa Telekomunikasi Garuda Sugardo. RUPS menyetujui susunan Dewan Direksi yang diajukan Dewan Komisaris Telkom untuk menambah jajaran direksi dari lima menjadi tujuh. Sementara susunan Dewan Komisaris tidak berubah, tetap lima orang yang dipimpin Tanri Abeng sebagai Komisaris Utama.<br /><br />Adapun susunan direksi baru PT Telkom Tbk hasil RUPS 24 Juni 2005 adalah: Direktur Utama Arwin Rasyid, Wakil Dirut Garuda Sugardo, Direktur Keuangan dan Investasi Rinaldi Firmansyah, Direktur Infrastruktur dan Jaringan Abdul Haris Matondang, Direktur Korporasi dan Wholesale Aris Yahya, dan Direktur SDM dan Pengempangan John Welly.Di hadapan RUPS, Arwin bersama seluruh anggota direksi yang baru terpilih menyatakan kesediaannya menduduki jabatan ketika ditanya Komisaris Utama PT Telkom Tanri Abeng. Arwin Rasyid mengatakan, dirinya tidak akan pura-pura menjadi orang yang mengetahui segala hal soal telekomunikasi. Namun, sebagai bankir, dia akan bekerja sama dengan seluruh direksi untuk memajukan Telkom sebagai ikon perusahaan Indonesia. Maka dia meminta diberi waktu untuk menjelaskan mengenai misi para direksi. Penjelasan tersebut akan disampaikan bersamaan dengan pengumuman kinerja kuartal II Telkom.Arwin mengatakan, Telkom menghadapi tantangan untuk meningkatkan penetrasi penggunaan telepon, terutama di pedesaan. Saat ini jaringan telepon hanya menjangkau 50 persen pedesaan di Indonesia, padahal di China mencapai 80 persen.Sementara itu, Menteri Negara BUMN Sugiharto mengatakan, Arwin Rasyid diharapkan dapat mendorong Telkom menjadi perusahaan yang memiliki kapitalisasi sebesar 33 miliar dollar AS, dari kapitalisasi saat ini yang hanya 11 miliar dollar AS. Meski tidak berpengalaman di bidang telekomunikasi, Arwin diharapkan mampu menstabilkan keuangan Telkom sebagai perusahaan terbesar yang terdaftar di pasar modal Indonesia.Bagi dividenRUPS juga memutuskan Telkom mengalokasikan dividen Rp3,06 triliun atau 50% dari laba tahun buku 2004. Sedangkan sebanyak 47% atau Rp2,7 triliun digunakan untuk pengembangan perusahaan.Selama 2004, Telkom memperoleh pendapatan operasi Rp33,95 triliun atau tumbuh 25% dibandingkan tahun sebelumnya, Rp27,12 triliun. Pada tahun 2005, Telkom Group mengalokasikan capital expenditure (capex) atau belanja modal Rp6,1 triliun untuk Telkom dan US$700 untuk anak perusahaan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel).<br /><br />PDAT<br />LAHIR di Roma, Italia, ia kemudian melewatkan masa kanak-kanak di Swiss selama enam tahun dan Singapura lima tahun. Ketika ia pulang ke Indonesia, apa yang terjadi? Arwin Rasyid tidak bisa berbahasa Indonesia. “Saya pikir bahasa Indonesia itu bahasa Padang,” tutur Direktur Utama Bank Danamon ini. Karena sehari-hari keluarganya berbahasa Inggris dan bahasa Padang. Ayahnya seorang diplomat asal Sumatera Barat; ibunya berdarah Sumatera Barat pula. Atas dispensasi dari Departemen P&K, Arwin masuk sekolah internasional, The Gandhi Memorial School Jakarta, yang tidak memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Tapi, setelah lulus sekolah internasional itu, ayah dan ibunya menginginkan Arwin kuliah di dalam negeri. Tapi kalau ayahnya menginginkannya masuk fakultas hukum, mau sang ibu agar bungsu dari empat bersaudara itu masuk fakultas kedokteran. Padahal, Arwin berpeluang kuliah di University of New Delhi di New Delhi, India, dengan beasiswa dari The Gandhi Memorial School. Apa yang terjadi, Arwin menentukan sendiri pilihannya. Ia masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sambil mengambil kursus intensif bahasa Indonesia. “Tahun pertama dan kedua kuliah, setiap pertanyaan, saya jawab dengan bahasa Inggris,” papar MBA dari Universitas Hawaii, Honolulu, AS, ini. “Untung dosen UI banyak yang lulusan Amerika, seperti Emil Salim, Sri-Edi Swasono, Miranda Goeltom,” tambahnya. Saat mahasiswa, selain pernah jadi asisten Sumitro Djojohadikusumo, ia sudah aktif di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.Lulus kuliah, 1980, ia bekerja di Bank of America sambil menyebar permohonan beasiswa. Impiannya melanjutkan studi di luar negeri terwujud berkat beasiswa dari HISWA Center untuk kuliah di Universitas Hawaii, AS, selama dua tahun. Baru satu setengah tahun, ia sudah meraih gelar M.A. ekonomi; kemudian sekalian ia memanfaatkan sisa waktu dengan mengambil gelar MBA di universitas yang sama, 1982. Pulang ke Tanah Air, Arwin kembali ke Bank of America. Setelah tujuh tahun di bank tersebut, ia bekerja di Bank Niaga. Sepulang dari naik haji, 1999, ia hijrah ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai staf ahli, sampai akhirnya menjadi Wakil Ketua BPPN. Sejak Oktober 2000, Arwin dipercaya memimpin Bank Danamon.Dalam memimpin perusahaan, ia senantiasa meningkatkan kualitas karyawan, sebagai aset utama perusahaan. Caranya melalui training dan menerapkan budaya profesional, serta mengambil bankir-bankir yang profesional, supaya ada dinamika baru. Prinsip hidupnya: “Saya mau hidup tenang, tapi dengan taraf hidup sesuai dengan zaman sekarang.” Seperti yang diajarkan orangtuanya, Arwin mendidik anak-anaknya agar tidak manja. “Saya tidak pernah dimanja orangtua. Saya harus sekolah yang benar, bekerja yang benar dan keras. Orang tua hanya memberikan nilai-nilai hidup dan itu lebih penting daripada harta,” kata ayah lima anak ini. Untuk itulah, Arwin berupaya memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya, termasuk ingin menyekolahkan mereka di sekolah paling top di dunia.Selain boling, Arwin hobi main squash sejak 1985. Olahraga ini bisa membuatnya berkeringat banyak tanpa mengenal cuaca, peralatannya tidak mahal, dan tidak menyita banyak waktu. Sebagai anggota Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin), ia tentunya gemar berburu. Ia juga pengoleksi berbagai senjata api terdaftar.<br />►e-ti/atur<br /><br />Menjalankan Mission Impossible<br />Arwin Rasyid, Dirut PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dinobatkan sebagai salah seorang Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005 versi Warta Ekonomi. Misinya di Telkom adalah meningkatkan penetrasi telepon, terutama di pedesaan. Di bawah kendalinya, Telkom berhasil mendongkrak pendapatan.<br />Wartawa Ekonomi 28 Desember 2005: Sulit membayangkan seorang bankir kawakan memimpin sebuah perusahaan telekomunikasi kelas dunia. Namun, itulah yang terjadi pada perjalanan karier Arwin Rasyid. Mantan wakil ketua BPPN ini ditunjuk menjadi dirut PT Telkom Tbk. pertengahan tahun ini, menggantikan Kristiono.<br />Terpilihnya Arwin mementahkan prediksi berbagai kalangan. Pasalnya, Kristiono jelas lebih dijagokan memimpin Telkom lantaran mempunyai track record bagus di bisnis telekomunikasi. Bandingkan dengan Arwin yang selama ini identik sebagai bankir karena kariernya yang panjang di Bank Niaga, Bank Danamon, dan Bank BNI. Namun, justru namanyalah yang terpilih menjadi dirut lewat mekanisme RUPS.<br />Kini Arwin memimpin misi meningkatkan peran Telkom dalam penetrasi penggunaan telepon, terutama di pedesaan yang penetrasinya di Indonesia baru 50%. Padahal di Cina sudah 80%. Untuk merealisasikan misi ini, Telkom meluncurkan satelit Telkom 2, menggantikan satelit Palapa B4 yang habis masa tugasnya.<br />Satelit ini akan digunakan untuk mendukung layanan komersial seperti transmisi backbone: SLJJ, SLI, internet, jaringan komunikasi militer; jaringan akses: internet, distance learning, satellite news gathering, bisnis VSAT (perbankan, pertambangan); dan broadcast: TV broadcast, audio broadcast, dan telekonferensi. Misi ini juga membuat 43.000 desa berdering, sebagaimana tertuang dalam program Universal Service Obligation (USO).<br />Dari segi profit, Telkom diperkirakan dapat meraup pendapatan US$468 juta dari bisnis penyewaan Telkom 2. Pendapatan dari Telkom 2 dihitung dari 65% kapasitas transponder, masing-masing disewakan sebesar US$1 juta per tahun. Lalu, 24 transponder yang dimiliki Telkom dapat beroperasi selama 15 tahun dan bisa dioptimalkan menjadi dua kali lipat.<br />Meski baru lima bulan memimpin Telkom, kontribusi kepemimpinan Arwin sudah terasa. Supaya adil, lihat angkanya. Berdasarkan laporan kinerja perusahaan yang di-launch di Jakarta beberapa waktu lalu, pada triwulan ketiga Telkom mengalami kenaikan pendapatan sebesar 20%, dari Rp25,095 triliun pada periode yang sama tahun lalu menjadi Rp30,1 triliun. “Ini dibarengi peningkatan laba bersih dari Rp4,8 triliun pada triwulan ketiga 2004 menjadi Rp5,7 triliun atau naik 19% pada triwulan ketiga 2005,” papar Arwin.<br />Suami Dotty Suraida ini juga bisa mendongkrak pertumbuhan pelanggan selular Telkom. Saat ini total pelanggan Grup Telkom mencapai 36 juta. Peningkatan yang cukup berarti ada di Line in Service (LIS) Flexi yang tumbuh 244%, yakni dari satu juta pelanggan pada triwulan ketiga 2004 menjadi 3,7 pelanggan pada triwulan ketiga 2005. Untuk pelanggan selular, tumbuh 72% menjadi 24 juta. “Hingga kuartal ketiga 2005, Telkomsel masih menguasai pasar selular dengan market share 54%,” ucap Arwin. (harso kurniawan) ►e-ti<br /><br />Nama :Arwin Rasyid<br />Lahir :Roma, Italia, 22 Januari 1957<br />Agama :Islam<br />Pendidikan:<br />- 1973 Sertifikasi Matrikulasi-The Gandhi Memorial School, Jakarta.<br />- 1980 Sarjana Ekonomi-Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jurusan Studi Pembangunan<br />- 1981 MA International Economics-University of Hawaii, USA<br />- 1982 MBA International Business-University of Hawaii, USA<br />- 1984 Chief Executive Program, University of California, Barkeley, AS<br /><br />Karir:<br />- Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1977–sekarang)<br />- Staf peneliti Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1977-1980)<br />- Asisten Vice President, Bank of America, Jakarta (1980-1987)<br />- Asisten Vice President, Kepala Divisi Marketing PT Bank Niaga Tbk cabang Gajah Mada (1987-1989)<br />- Vice President, Kepala Divisi Marketing dan Kredit Grup PT Bank Niaga Tbk. (1989-1990)<br />- Managing Director PT Niaga Factoring Corporation (1990-1994)<br />- Senior Vice President Grup Korporat Perbankan PT Bank Biaga Tbk. (1990-1994)<br />- Komisaris PT Niaga BZW Securities (1991-Maret 1999)<br />- Komisaris PT Niaga Factoring Corporation (1994-Maret 1999)<br />- Direktur Niaga Finance Co. Ltd. Hong Kong (1994-Maret 1999)<br />- Direktur Korporat Perbankan PT Bank Niaga Tbk. (1994-1998)<br />- Wakil Direktur Utama PT Bank Niaga Tbk. (1998-Maret 1999)<br />- Wakil Komisaris Utama Bank Universal (Juni 1999-Desember 2000)<br />- Staf Ahli Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN (Mei 1999-Januari 2000)<br />- Wakil Ketua BPPN (Januari 1999-November 2000)<br />- Direktur Utama Bank Danamon Indonesia (Oktober 2000-2003)<br />- Wakil Dirut PT Bank Negara Indonesia Tbk, 2003-2005<br />- Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia, 2005<br /><br />Kegiatan Lain:<br />- Ketua Ikatan Alumni UI-Fakultas Ekonomi (ILUNI FE), 2003-sekarang<br />- Anggota dari Apec Business Advisory Council (ABAC), 2002-sekarang<br />- Anggota BPPW (Badan Pengembangan dan Pengelolaan Wirausaha) – UI, 2002-sekarang<br />- Wakil ketua bidang dana – Perbakin, 2002-sekarang<br />- Wakil ketua bidang dana – PBSI, 2002-sekarang<br />- Anggota KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), 2001-sekarang<br />- Ketua Bidang Pengkajian Perbankan dari Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional Swasta (Perbanas), 2000-sekarang<br /><br />Penghargaan:<br />- President of India Trophy, 1973<br />- Beasiswa "Supersemar", 1978<br />- East West Center Award, USA, 1981- Beta Sigma Award, USA, 1983<br /><br />Alamat Rumah:<br />Jl. Simprug Golf XIV/D-1 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan<br /><br />Alamat Kantor:<br />PT Telekomunikasi IndonesiaBandung</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-35309749093452830422008-01-14T21:46:00.001-08:002008-01-16T02:48:57.367-08:00Sawir St Mudo<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGCHyAwRJLz5p652CLQdmMPFBzsHxfoWGUNiN3-yGLll-xhWI8pG_8u9S-9IFZe52gjMMkXP2bK6QLHPG67OIwcRzbF_N8Cnh9GhH2bGi9wk6nhLfHlhRhd564lA20JEffsiXJhLTD0Io/s1600-h/Sawir.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155717615213046210" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGCHyAwRJLz5p652CLQdmMPFBzsHxfoWGUNiN3-yGLll-xhWI8pG_8u9S-9IFZe52gjMMkXP2bK6QLHPG67OIwcRzbF_N8Cnh9GhH2bGi9wk6nhLfHlhRhd564lA20JEffsiXJhLTD0Io/s320/Sawir.jpg" border="0" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhu1kE2UONr38edAoVxqCNQXUnaKMGQfaRmjjzYr82jZGQsR51S-BhZ5ezBlrcYAUEMssAVa-D8Qi_3mLWIQQmkUDxhNHcyCOjAsHg2btr4XvD4IPm3-o5oTfmrJ_nG5TefsHKdKNQRAVA/s1600-h/Sawir.jpg"></a><br /><br /><div><a name="4898322791647220360"></a><a href="http://mantagisme.blogspot.com/2008/01/mak-sawir-sang-raja-bagurau.html">Mak Sawir Sang "Raja Bagurau"</a><br /></div><br /><br /><div>Mencari di mana keberadaan seniman tradisi Minang seperti Sawir Sutan Mudo (65) ternyata susah-susah gampang. Sederet informasi tentang keberadaan Sawir bagai menguap saat lokasi-lokasi yang ditunjukkan itu didatangi.<br />Hanya keberuntungan yang akhirnya mempertemukan kami. Setelah pencarian hingga tengah malam gagal ’menemukan’ jejak keberadaan Sawir, keesokan harinya—sesaat sebelum meninggalkan Bukittinggi menuju Padang Panjang untuk kembali ke Jakarta—seorang teman dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang datang memberi saran.<br />"Kita coba mampir dulu ke sebuah rumah makan di Pasar Bawah. Menurut kabar terakhir, belakangan ini dia sering tidur di sana," kata Hanefi, Ketua Jurusan Seni Karawitan pada STSI Padang Panjang.<br />Dugaan Hanefi benar. Setelah menuruni deretan anak tangga yang cukup banyak (ada sekitar 100 anak tangga) dari Pasar Atas Bukittinggi, Jufri—juga dari STSI Padang Panjang—yang tiba lebih dulu di Pasar Bawah dengan mengendarai mobil, mengabarkan lewat telepon seluler bahwa Sawir memang ada di rumah makan itu.<br />"Mak Sawir tadi malam tidur di atas meja makan ini," kata sang pemilik rumah makan ketika kami tiba di sana.<br />Sejak beberapa bulan terakhir, Mak Sawir—begitu ia biasa disapa—memang jarang pulang ke rumahnya di Kampung Tengah Sawah, Bukittinggi. Malam-malam sehabis bagurau (begitulah masyarakat Minang menyebut jenis pertunjukan Mak Sawir dengan lantunan dendang yang diiringi tiupan saluang) memenuhi panggilan orang yang menggelar hajatan, menjelang subuh ia mengetuk pintu rumah makan dan tidur di sana.<br />Meja makan yang pada siang hingga menjelang tengah malam biasanya dipakai untuk tempat hidangan dimanfaatkan Sawir sebagai tempat merebahkan diri melepas lelah. Pagi sebelum pelanggan pertama datang, biasanya Sawir sudah menghilang.<br />Beruntung, pagi itu ia masih ada. Ia sudah berpakaian, bersiap untuk pergi entah ke mana, meski terlihat wajahnya yang lelah tak bisa menyembunyikan kantuk."Saya pesan kopi pahit saja," kata Sawir saat ditawari sarapan. "Ada masalah rumah tangga," ujarnya pendek ketika disinggung mengapa ia tak pulang kepada istrinya, Syakni Deliyarti (52), di Kampung Tengah Sawah, Bukittinggi.<br />Berguru pada kehidupan<br />Sawir Sutan Mudo atau biasa dipanggil Mak Sawir dilahirkan tahun 1942 di Nagari Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tak lama setelah kelahirannya, bungsu dari empat bersaudara ini ditinggal pergi ibunya, Siti Saleha. Pada usia enam tahun, ayahnya, M Isa, juga berpulang.<br />Hidup tanpa kedua orangtua sejak kecil membuat Sawir lebih cepat mandiri. Bahkan pada usia sembilan tahun ia sudah ikut saudaranya merantau ke Palembang dan Lubuk Linggau di Sumatera Selatan.<br />Di samping berjualan buah-buahan dan pakaian di kaki lima, selama di perantauan itu Sawir terus memperdalam kemampuan berdendang, yang sudah ia pelajari di kampung. Berkat kemampuannya berdendang dengan iringan saluang, juga lantaran kebisaan dia bermain randai, Sawir kerap diundang mengisi acara pesta perkawinan atau pertemuan orang Minang di perantauan.<br />Alhasil, bagi Sawir—yang cuma mengenyam pendidikan formal hingga kelas IV sekolah rakyat (SR)—masa-masa di perantauan itu bukan saja bagian dari ’aktivitas pendidikan’ informal untuk menempa kematangan diri dalam mengarungi hidup. Kehidupan di rantau juga ia jadikan medium tempat mengasah kemampuan memperdalam seni tradisi leluhur.<br />Tahun 1968 ia pulang kampung. "Balek ke nagari, kawin (Sawir dua kali menikah, tahun 1968 dan 1972) sekaligus mengembangkan seni budaya tradisi di kampung halaman," ujarnya.<br />Kegiatan berdagang di rantau tak ia tinggalkan. Bedanya, kalau selama di rantau Sawir mangkal di satu tempat, sejak pulang ke kampung halaman di tepian Danau Maninjau ia harus bergerak dari satu pekan (pasar di kampung-kampung yang dilangsungkan sekali dalam seminggu) ke pekan lain.<br />Begitu pun setelah ia memutuskan pindah ke Bukittinggi pada 1970-an, berdagang di kaki lima lalu sesekali pergi ke pekan-pekan tetap merupakan pekerjaan pokoknya. Pakaian-pakaian bekas jadi dagangan utamanya.<br />Di luar kegiatan rutin tersebut, Sawir terus memperdalam kemampuan berdendang saluang secara otodidak. Pengalaman adalah sekolah terbaiknya, dan alam kehidupanlah tempat ia berguru. "Alam takambang jadi guru," kata para cerdik cendekia Minang. Begitu pula jalan hidup Mak Sawir dalam berkesenian.<br />"Berdendang itu harus mengetahui peristiwa-peristiwa pada kehidupan sehari-hari. Itu semua bahan untuk berdendang, untuk menciptakan pantun yang segar tapi berisi. Berpantun itu kan penuh dengan ibarat, penuh nasihat. Karena itu pula berdendang saluang itu lebih sulit daripada memainkan musiknya," tutur Sawir.<br />Sejak bermukim di Bukittinggi, nama Sawir Sutan Mudo mulai dikenal luas. Bukan saja permintaan tampil bagurau datang dari banyak orang yang menyelenggarakan hajatan, perusahaan rekaman pun mulai melirik lantunan suara Mak Sawir.<br />Sejak pertama kali rekaman dalam bentuk kaset dan piringan hitam pada 1972, menurut Sawir, sudah lebih dari 50 album berisi rekaman suaranya beredar di pasar. Bahkan ia pun diminta rekaman dalam bentuk VCD karaoke.<br />Nama Sawir Sutan Mudo kian menjulang. Tak hanya dikenal luas di tanah Minang, tetapi juga di kalangan para perantau Minang di berbagai kota di Tanah Air. Sesekali ia diundang hadir di kota tertentu untuk memuaskan rindu para perantau pada kampung halaman. Setiap Senin malam Sawir mengisi acara khusus dendang saluang di RRI Bukittinggi. Tahun 1999 bersama kelompok musik Talago Buni pimpinan Eddy Utama, Mak Sawir disertakan berpentas di tujuh kota di Jerman pada Festival Musim Panas.<br />Kayakah dia? Tidak! Seperti nasib kebanyakan seniman tradisi di Tanah Air, hidup Sawir jauh dari berkecukupan. Dari hasil rekaman suara, Sawir hanya mampu membangun rumah sederhana untuk anak-istri di Kampung Tengah Sawah, Bukittinggi.<br />Kalaupun ada lebih, pendapatan itu ia gunakan menambal modal usaha yang kerap "bocor" lantaran uang hasil dagang di kaki lima sering terpakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Malah di saat rumah tangganya bermasalah, Sawir harus menumpang tidur dari satu tempat ke tempat lain.<br />Bagaimana mungkin bisa kaya kalau honor yang ia dapat hanya Rp 1 juta sekali rekaman kaset dan Rp 3 juta untuk VCD karaoke. Dengan sistem ’kontrak putus’, tak ada royalti yang ia dapat, sekalipun bila kasetnya laku keras. Adapun bila diundang bagurau paling-paling ia terima honor Rp 300.000 sekali pentas.<br />Akan tetapi, kenyataan ini tidaklah terlalu merisaukan Mak Sawir. Ia justru lebih resah melihat kenyataan akhir-akhir ini banyak lagu dendang saluang yang dirusak oleh lirik-lirik berbau pornografi.<br />Pantun-pantun dendang yang tertib, penuh kiasan dan nasihat tentang kehidupan, kini mulai digantikan lirik yang semata-mata lebih mengedepankan unsur hiburan. Kearifan tentang filosofi hidup di balik seni tradisi itu pun kian tergerus zaman.... (mhd/ken)<br /><br />Biodata<br />Nama: Sawir Sutan Mudo<br />Lahir: Nagari Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tahun 1942<br /><br />Pendidikan: Sampai kelas IV SR<br />Istri: Syakni Deliyarti (52)<br />Anak:<br />- Sumiati<br />- Syafrial<br />- Syarfil<br />- Kurniawati<br />- Rina Rahmadani dan Rini Ramadani (kembar)<br />- Fatimah Zahara<br />- Fajori Rachman<br /><br />Kompas, Sabtu 5 Januari 2008<br /><br />SAWIR SUTAN MUDO<br />Seni Tradisi Dendang Minang<br />Nama : Sawir Sutan Mudo<br />Tempat dan Tanggal Lahir: Nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada tahun 1942<br />Pekerjaan: Berdagang dan Berdendang<br />Pendidikan: Sekolah RakyatAnak: 8 orang<br />Karya dan Pergalaman Kesenian<br />Pada Juli 1999 tampil di tujuh kota di Jerman bersama Kelompok Musik Talago Buni<br />Mengisi Acara Bergurau di RRI Bukittinggi setiap hari Senin.<br />Pada 1968-1970 lagu Talago Biru dan Suntiang Patah Batikam direkam di piringan hitam dan diedarkan ke tengah masyarakat<br />Sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 2000 sudah lebih 100 rekamannya di pita kaset yang beredar luas dan dikoleksi masyarakat Minang di kampung dan perantauan, juga dikoleksi sejumlah peneliti. Antara lain, Danau Mamukek (1985), Hujan Baribuik (1985), Danau Mamukek (1985), Banda Gantuang (1985), Sarasah Aia Badarun, Katangih Sudah Mimpi, Talempong Anam Koto, Ratok Kaki Limo<br />Pernah empat kali juara pertama festival saluang dengan dendang, dan juga pernah jadi dosen tamu di Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang.<br /><br /><strong>Prihatin dengan Isi Dendang</strong><br />Sebagai seorang seniman tradisi di ranah ini, ia menyimpan keprihatinan mendalam akan kondisi kekinian kebudayaan, adat, dan tradisi Minang. Ia menilai, Minang dalam pengertian luas mengalami kemerosotan luar biasa. Kekhawatirannya itu terungkap lewat sampiran penuh peringatan; “Jaan sampai rusak kapa dek nangkhododoh, binaso kayu dek tukang, rusak adat dek pangulu, jalan dialiah dek urang lalu. (Jangan sampai rusak kapal disebabkan oleh nakhoda, hancur kayu karena tukang, rusak adat karena penghulu, jalan digeser orang lewat).<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgI5_aKIwOb4Gk_U6LFxFugn3G-eqlkA0e3Vr12ylALYRFNjU_JB0YT4y0d3pMNp6EDu2cSMqi276y2IRegyzsbPM3HpyEjPq2s_z_9gKA2eWI5DoNJNXuW45_ufd40rVUPnuZCtyuUreg/s1600-h/PDVD_031.jpg"></a>Sebagai seorang pendendang, dia pun resah dengan lagu-lagu dendang yang ada saat ini. Dendang saat ini telah dirusak oleh lirik-lirik yang berbau pornografi yang semata-mata hanya mengedepankan hiburan semata, namun terperangkap dalam selera rendahan. Lagu-lagu dengan judul Kutang Barendo, Rok Baremot dan sejenisnya adalah ekspresi dari makin merosotnya daya cipta seniman Minang saat ini.<br />Itulah keresahan dari Sawir Sutan Mudo—seorang pendendang, seniman tradisi sejati yang hingga saat ini tetap mencipta dan melantunkan dendang. Sawir—bungsu dari empat bersaudara ini lahir di Nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya. Kabupaten Agam pada tahun 1942. Kedua orangtua Sawir adalah petani. Ibunya bernama Siti Saleah dan ayahnya Muhammad Isa. Sawir telah ditinggal kedua orangtuanya sejak ia masih kanak-kanak. Ibunya meninggal dunia tak lama setelah ia lahir. Sedangkan ayahnya berpulang ke rahmatullah saat Sawir berusia enam tahun.<br />Karena ditinggal kedua orangtua sejak masih kanak-kanak, Sawir harus belajar hidup mandiri. Ia tak sempat meniti jenjang pendidikan formal yang tinggi. Ia hanya bersekolah sampai kelas empat Sekolah Rakyat. Putus dari sekolah, Sawir pergi merantau mengikuti saudara-saudaranya. Padang, Palembang, Lubuk Linggau adalah kota-kota tempat Sawir merantau. Sejak umur 13 tahun Sawir sudah berdagang berbagai macam barang dagangan. Pada tahun 1968 barulah Sawir kembali ke kampung halaman. Pada tahun itu pula ia menikah untuk pertama kalinya. Dari pernikahannya yang pertama ini Sawir memunyai seorang putri bernama Sumiati. Pada tahun 1972 Sawir menikah lagi. Dengan istrinya yang kedua Sawir memunyai tujuh orang anak. Sekarang bersama keluarganya ini, Sawir menetap di Bukittinggi.<br />Bakat Sawir sebagai pendendang sudah terasah sejak masih kanak-kanak. Ia bergabung dengan grup randai yang ada di kampungnya sebagai penyanyi randai. Sejak itu pula Sawir belajar pada seorang seniman alam bernama Angku Katik; ”Baguru mangko pandai (berguru makanya pandai),” ungkap Sawir tentang proses belajar yang ia lalui.<br /><strong></strong><br /><strong>Berguru pada Alam<br /></strong>Kemampuannya sebagai seniman makin terasah setelah di perantauan. Pada masa itu para perantau Minang di mana pun berada selalu membangun kelompok-kelompok kesenian sebagai wadah bagi anak-anak rantau untuk memupuk bakat seni yang dimiliki. Namun sekarang, kebiasaan ini sudah hampir hilang, orang Minang pun terdesak dan dipaksa menikmati kesenian populer yang membanjir saat ini. Seni tradisi Minang makin lama makin terpinggir, bahkan di pelosok-pelosok nagari pun, kesenian tradisi Minang hampir musnah sama sekali.<br />Dalam tradisi Minang ada seni yang disebut bagurau. Bagurau dilakukan dengan saluang jo dendang tidak hanya pada acara pernikahan, tetapi juga pada acara sunatan, “Alek Nagari” (acara menghimpun dana untuk pembangunan di kampung), Lebaran, batagak panghulu (pengukuhan gelar adat/kaum) serta pada acara bagurau lamak (dengan kalangan pendengar terbatas, 10-15 orang). Sawir kerap diundang dalam acara-acara demikian<br />Sejak di perantauan Sawir sudah dikenal sebagai pendendang. Dan ketika kembali ke kampung halaman, kemampunnya berdendang tetap diteruskan. Tak hanya menyanyikan lagu-lagu dendang, Sawir juga mencipta puluhan lagu dendang yang sampai sekarang masih sering dibawakan banyak pendendang. Suntiang Patah Batikam (tahun 1970), Talago Biru (1968), Danau Mamukek (1985), Hujan Baribuik (1985), Danau Mamukek (1985), Banda Gantuang (1985), Sarasah Aia Badarun, Katangih Sudah Mimpi, dan Talempong Anam Koto adalah di antara lagu-lagu dendang ciptaan Sawir. Malereang Tabiang salah satu versi lagunya juga merupakan ciptaannya.<br />Sekarang, Sawir tetap berdendang bila diundang. Baik ke acara baralek, batagak pangulu, dan tampil di acara-acara yang diundang orang rantau. Sawir juga sering diundang tampil ke berbagai pertunjukan kesenian, baik di Sumatra Barat, ke berbagai daerah di Sumatra, maupun ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Tak hanya itu, bersama grup Talago Buni, pada bulan Juli 1999 Sawir pernah tampil di tujuh kota di Jerman. Di samping diundang untuk bernyanyi dan berdendang, Sawir juga diminta sebagai pembicara pada beberapa seminar tentang kesenian dan budaya tradisi.<br />Waktu tampil di beberapa pertunjukan dan festival internasional itulah, Sawir merasa bahwa karya seni bisa menjadi alat untuk menjalin komunikasi antarbangsa meski tak mengerti bahasanya. Melalui karya seni kita bisa mengenal karakter dan nilai-nilai yang dimiliki oleh beragam bangsa. Dan ternyata, kekayaan seni tradisi yang dimiliki Minangkabau bisa mendapat tempat penting dalam khazanah seni dunia.<br />Untuk itulah, bagi seorang Sawir, kekayaan seni tradisi Minang harus dipelihara, digali terus menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya. Seni tradisi Minang memiliki keluhuran nilai-nilai yang sangat kuat berpijak pada akar kebudayaan Minang yang senantiasa mengedepankan kebaikan, budi pekerti dan kandungan estetika yang amat tinggi. Seni tradisi merupakan media untuk pendidikan adat istiadat, budaya dan agama. Lewat seni tradisi, ketinggian mutu nilai-nilat keminangkabuan tetap terpelihara dan terwariskan.<br />Sawir tak menolak mentah-mentah kesenian Minang kontemporer yang mencoba berkompromi dengan arus budaya populer. Namun Sawir berharap, jangan terlalu jauh menyimpang. Etika dan prinsip-prinsip adat dan budaya Minang mestinya tetap dijaga. Kalau tidak orang Minang sendiri yang menjaganya, kesenian tradisi Minang akan musnah ditelan zaman yang makin lama makin dikendalikan uang.<br />Kesenian Minang dalam hal ini dendang, menurut Sawir punya bahasa tersendiri untuk menyampaikan pesan. Dendang tak hanya berisikan kepiluan dan problem batin yang dialami seseorang, masyarakat maupun etnik Minang, tapi dendang juga punya idiom dan bahasa tersendiri yang mengisahkan romantika asmara dan gejolak perasaan yang dialami anak muda. Bahasa dendang amat indah, halus dan penuh dengan irama. Jauh dari kata-kata vulgar, kasar dan nuansa pornografi yang menunjukkan kerendahan. Dendang juga punya ruang untuk mengekspresikan kegembiraan yang biasa disebut bagurau. Dalam bagurau, ekspresi keriangan, kelucuan dan kejenakaan disajikan, namun tetap dengan bahasa yang santun, indah dan berpijak pada estetika yang kuat.<br />Bagi Sawir, dendang tak ditentukan oleh kemerduan suara sang pendendang, tapi lebih ditentukan oleh pemahaman yang kuat seorang pendendang tentang adat, budaya, agama dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat yang kemudian disampaikan melalui lirik dan irama dendang dengan penuh perasaan dan imajinasi yang amat tinggi. Dendang juga merupakan tangisan seorang pendendang. Dalam konteks ini, seorang pendendang adalah seorang cerdik cendikia atau intelektual yang mencoba mengingatkan masyarakat dan lingkungannya.<br />Untuk itulah, bagi Sawir seni tradisi harus tetap digali, dikembangkan, dipelahara dan diwariskan pada generasi berikutnya. Adalah omong kosong, slogan baliak ka nagari, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah terus digaungkan, tapi budaya dan seni tradisi diabaikan. Lembaga dan penanggung jawab kesenian harus membantu, mendorong dan memfasilitasi perkembangan kesenian tradisi. Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang kesenian dan kebudayaan mesti diisi orang-orang yang memunyai kompetensi yang memadai di bidang ini. Hampir tak bisa diharapkapkan, seni dan budaya tradisi akan berjaya jika tetap dipimpin orang-orang yang salah tempat dan tak memiliki tanggung jawab.<br />Itulah seorang Sawir Sutan Mudo, seorang maestro dendang yang sampai sekarang tetap berdendang. Di samping berdendang, kesehariannya ia jalani dengan berdagang pakaian seken dari pekan ke pekan di sekitar danau Maninjau. Di setiap Senin malam ia juga mengisi acara dendang di RRI Bukittinggi. Namun berdagang kaki lima pada masa sekarang katanya tak lagi terlalu menguntungkan. Ekonomi masyarakat semakin sulit. Makanya, lewat lagu ciptaannya yang baru, Ratok Kaki Limo, keresahannya itu ia sampaikan.<br />Bagi Sawir, seni tradisi harus tetap dijaga dan diwarisi. Seni tradisi adalah penopang adat. Jika seni tradisi tetap terpelihara, akan terjaga pula adat dan budaya. Jika seni tradisi rusak, rusak pula adat. Jika adat rusak, hilang pusako dan hancurlah budaya.<br />Dendang dan Posisi Pedendang<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeGfZoC2DabSvtlHEC3adbUJ3j5wVe_UTAXUz3u39DriftWpxr_zxw7YiVXqS7Abk4YOW9LTkOoXJJdyHl1f8YxlT-sRFtYH1YVkfHJdZ8yn2SQ4coGmZJTWtDrNUDNYgJonLSJgDeDcI/s1600-h/PDVD_025.jpg"></a>Nada dasar yang dominan dalam saluang dengan dendang adalah ratok, nada-nada yang meratap. Bila pendendang bercerita soal nasib manusia, maka nasib manusia itu disimbolkan pada sesuatu dengan cerdas lewat pantun-pantun. Umumnya pendendang mewakili masyarakat marjinal.<br />Jadi, dalam kesenian saluang dengan dendang, yang sangat berperan sekali adalah pendendang. Dari hitungan jari sebelah tangan pendendang lelaki yang kini masih eksis, hanya ada seorang pendendang yang punya yang kuat dan terkenal di Sumatra Barat dan luar Sumatra Barat, bahkan di mancanegara, yakni Sawir Sutan Mudo.<br />Sawir Sutan Mudo mengaku tidak dengan serta merta menjadi terkenal. Penuh lika-liku dan perjuangan. Bermula dari anak randai (pemain teater tradisional Minangkabau) di Kotokaciak, Kabupaten Agam, pada usia 13 tahun. Saat itu, tugas yang diembannya adalah sebagai pendendang.<br />Tahun 1951, karena tuntutan hidup, ia merantau ke Palembang, Sumatra Selatan. Di rantau, di samping menggalas buah-buahan di kaki lima ia tetap mengembangkan kesenian tradisi. “Saya menyintai kesenian tradisi randai dan saluang jo dendang, karena pantun-pantun atau syair-syair dalam kesenian itu sangat menarik dan mengandung unsur pendidikan. Selain itu saya tertantang untuk membuat pantun-pantun yang bisa membuat penikmat kesenian tradisi itu puas dan terkesan,” kata Sawir.<br />Sebagai pendendang, Sawir belajar dari pengalaman, belajar dari alam: alam takambang jadi guru. Seorang pendendang, menurut dia, harus kaya bahan, kalau tidak tak akan diterima masyarakat. Dari pantun-pantun itu, ada yang berisi nasihat, perasaan hidup, dan asmara muda-mudi. Saking tersentuhnya perasaan para penikmat seni tradisi itu, sering orang menangis spontan karenanya. Itu salah satu kelebihan Sawir. Ia secara spontan mampu mengembangkan improvisasi dalam pantun. Pada sampiran dari pantun, ia selalu bisa mengolah dari lingkungan tempat ia bermain (orang, tempat),” kata Yusrizal KW, pengamat seni dan Ketua Yayasan Citra Budaya Indonesia, menilai.<br />Makanya jangan heran, saking cerdasnya pantun-pantun yang dibuat Sawir ini, baris-baris pantunnya sering diambil untuk inspirasi dan judul-judul lagu-lagu pop Minang dewasa ini. Bahkan ratusan pantun yang ia ciptakan kini sudah menjadi dendang-dendang tradisi, seperti antara lain “Suntiang Patah Batikam”, “Banda Guntuang”, “Hujan Baribuik”, “Danau Mamukek”, dan “Talempong Anam Koto”. (Abel Tasman, dan Tim DKSB)</div></div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-65246967515133978252008-01-14T21:29:00.000-08:002008-01-21T21:51:13.427-08:00Gus Tf Sakai<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9pdRR9wan1j5GG0MX7t1OxPUCJe2M7T1tOXJvq5pG1zcFgEp33_ifF1V8FDszsjamA_nIwhwov7e7aNKhmmkLmmPL-3uqGuEym5GKDHyQfg7TRxJSh6eanNIo7pKn_NItJRf8SqkvLp8/s1600-h/gustfsakai.gif"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155706190600038722" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9pdRR9wan1j5GG0MX7t1OxPUCJe2M7T1tOXJvq5pG1zcFgEp33_ifF1V8FDszsjamA_nIwhwov7e7aNKhmmkLmmPL-3uqGuEym5GKDHyQfg7TRxJSh6eanNIo7pKn_NItJRf8SqkvLp8/s320/gustfsakai.gif" border="0" /></a><br /><div>Gus tf Sakai mungkin adalah sastrawan Indonesia yang “rewel” dan “sulit” apabila ditanya biografinya. Selalu, ia akan balik bertanya, “Sebagai penulis puisi atau prosa?” Ia memang menulis dengan dua nama: Gus tf untuk puisi dan Gus tf Sakai untuk prosa (padahal keduanya tampak seperti tidak berbeda). Tentang dua nama ini, dalam sebuah wawancara di The Jakarta Post ia berkata pendek, “Untuk sugesti, biar keduanya serius pada masing-masingnya.” Lalu, ia akan memberikan biodata terpisah untuk setiap nama, juga sangat pendek.<br />Gus tf Sakai dilahirkan di Payakumbuh, Sumatra Barat, tanggal 13 Agustus 1965 dengan nama asli Gustrafizal. Ayahnya bernama Bustamam dan ibunya Ranjuna. Ayahnya yang petani meninggal ketika sastrawan ini masih kanak-kanak dan bersama sembilan saudaranya ia kemudian dibesarkan oleh ibunya yang hidup sebagai pedagang kecil dengan berjualan makanan tradisional.<br />SD, SMP, dan SMA ia tamatkan di Payakumbuh, kemudian melanjutkan ke Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang, dan lulus 1994. Proses kreatifnya berkembang sejak kanak-kanak, seiring dengan kegemaran berolahraga (di antaranya sepak bola dan bela diri), yang dimulai dari menggambar, lalu menulis puisi dan esai di buku harian. Publikasi pertamanya berupa cerita pendek yang memenangi Hadiah I sebuah sayembara ketika ia duduk di bangku kelas 6 SD tahun 1979. Sejak kemenangan itu dan ia tahu bahwa menulis dapat mendatangkan uang (yang amat membantu bagi kebutuhan sekolahnya), ia tidak lagi dapat berhenti menulis dan sering mengikuti sayembara menulis puisi, cerpen, novelet, novel, dan esai. Seingatnya, sampai tahun 2003, ada sekitar 50 sayembara menulis yang ia menangkan, tetapi yang terdokumentasi dan dapat dicatat hanya 36. Namun, angka 36 itu pun mungkin sudah merupakan rekor yang mencengangkan.<br />Setelah memublikasikan karya dengan berbagai nama samaran sampai tamat SMA tahun 1985, ia pindah ke Padang dan mengambil putusan yang bagi banyak orang mungkin tidak terbayangkan: hidup dari menulis. Sejak itu pulalah, ia menggunakan dua nama: Gus tf dan Gus tf Sakai. Namun, kini terbukti keputusannya tidak keliru. Walaupun tidak dapat dikatakan berkecukupan, ia tampak sangat menikmati profesinya. Ia pun tumbuh sebagai sastrawan Indonesia yang menonjol di generasinya.<br />Agak aneh bahwa hampir tidak ditemukan perbincangan atau kajian terhadap karya Gus tf Sakai sehingga khazanah sastra Indonesia tidak begitu tahu bagaimana (keunggulan) karyanya. Namun, dalam berkas yang dikirimkan Panitia Indonesia, Pusat Bahasa, kepada Panitia The SEA Write Award 2004 di Bangkok, pada kolom isian Tentang diri sendiri (Awardees to write about himsef), Gus tf Sakai menulis: “… Sampai kini berusia 38 tahun ini, kadang saya merasa masih seperti 25 tahun lalu ketika pertama mulai menulis: kecil, gugup, berasal dari keluarga miskin, yang karena keterbatasan finansial dalam ketakterbatasan impian kanak-kanak jadi tumbuh dalam dunia yang paradoks dan banyak ketakmungkinan. Masih seperti itulah saya kini, barangkali. Tegangan antara keterbatasan dan ketakterbatasan telah menjelmakan saya jadi seorang pengarang kecil yang gagap, terus terobsesi untuk keluar – melintasi apa pun. Suku, agama, ras, bahkan antara yang nyata dan tak nyata.” Dari pernyataan itu mungkin dapat kita telusuri bagaimana kecenderungan karya-karya Gus tf Sakai. Hasil karyanya adalah sebagai berikut.<br /><br />A. Novel<br /><br />Segi Empat Patah Sisi (novel remaja, Gramedia, 1990).<br />Segitiga Lepas Kaki (novel remaja, Gramedia, 1991)<br />Ben (novel remaja, Gramedia, 1992)<br />Tambo (Sebuah Pertemuan) (Grasindo, 2000). Novel itu sedang diterjemahan dalam bahasa Inggris dan akan diterbitkan oleh Metafor Publishing.<br />Tiga Cinta, Ibu (Gramedia, 2002)<br />Ular Keempat (Kompas, 2005)<br /><br />B. Kumpulan cerpen<br />Istana Ketirisan ( Balai Pustaka, 1996). Kumpulan cerpen itu berisikan 7 cerpen.<br />Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (Gramedia, 1999). Kumpulan cerpen itu berisi 14 cerpen yang dikelompokkan dalam 4 bagian, yaitu bagian pertama bertajuk "Gadisku" terdiri atas 4 cerpen, bagian kedua bertajuk "Rumah Masa Lalu" terdiri atas 3 cerpen, bagian ketiga bertajuk "Sendiri" terdiri atas 3 cerpen, dan bagian keempat bertajuk "Apatah Bisu" terdiri atas 4 cerpen. Kumpulan cerpen itu, setelah memperoleh Hadiah Sastra Lontar tahun 2001, diterbitkan oleh The Lontar Foundation dalam bahasa Inggris dengan judul The Barber and Other Short Stories (2002).<br />Laba-Laba (Gramedia, 2003). Kumpulan cerpen itu berisi 14 cerpen.<br /><br />C. Kumpulan puisi<br />Sangkar Daging (Grasindo, 1997). Kumpulan puisi itu berisi 60 puisi terpilih yang ditulis Gus tf sepanjang tahun 1980-1995 yang dikelompokkan dalam 2 bagian, yaitu bagian pertama bertajuk "Langkah Batu" terdiri atas 33 puisi dan bagian kedua yang bertajuk "Luka Metamorfosa" terdiri atas 27 puisi.<br />Daging Akar (Kompas, 2005). Kumpulan puisi itu terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian pertama bertajuk "Daging" yang memuat 19 puisi dan bagian kedua bertajuk "Akar" yang juga memuat 19 puisi.<br />Beberapa puisinya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Jerman.<br />Atas kreatifitasnya itu, Gus tf Sakai banyak memenangkan hadiah dan mendapatkan berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.<br /><br />Hadiah yang dimenangkan<br />Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Cerpen dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Payakumbuh untuk cerpen "Usaha Kesehatan di Sekolahku" (1979)<br />Hadiah Kedua Sayembara Mengarang Cerpen Remaja dari majalah Anita untuk cerpen "Kisah Pinokio dan Cinderella" (1985)<br />Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Novelet dari majalah Kartini untuk novelet "Ngidam" (1986)<br />Hadiah Ketiga Sayembara Mengarang Cerpen dari majalah Kartini untuk cerpen "Nenek" (1986)<br />Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Cerpen dari majalah Tiara untuk cerpen "Tiga Pucuk Surat Buat Muhammad" (1987)<br />Hadiah Ketiga Sayembara Mengarang Cerpen dari majalah Estafet untuk cerpen "Gun" (1988)<br />Hadiah Kedua Sayembara Mengarang novel dari majalah Kartini untuk novel "Buram Berlatar Suram" (1988)<br />Hadiah Kedua Sayembara Mengarang Novelet Remaja dari majalah Anita untuk novelet "Dutch Doll" (1989)<br />Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Puisi dari Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk puisi "Didaktisisme Catur Lima Episode" (1989)<br />Hadiah Harapan Pertama Sayembara Penulisan Puisi dari Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk puisi "Menunggu" (1989)<br />Hadiah Sepuluh Terbaik Sayembara Penulisan Puisi dari Sanggar Minum Kopi Bali untuk puisi "Tentang Tuan Rumah dan Tamu yang Dibunuhnya" (1990)<br />Hadiah Sepuluh Terbaik Sayembara Penulisan Puisi dari Iqranidya Club Cilacap untuk puisi "Bola Salju" (1990)<br />Hadiah nomine Sayembara Mengarang Cerpen dari harian Suara Merdeka untuk cerpen "Urban" (1991)<br />Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Novelet dari majalah Gadis untuk novelet "Ben" (1991)<br />Hadiah Harapan Pertama Sayembara Mengarang Cerpen dari harian Bali Post untuk cerpen "Sebuah Lembah Setelah Lebah Pindah" (1991)<br />Hadiah Ketiga Sayembara Mengarang Novelet dari majalah Kartini untuk novelet "Lembah Berkabut" (1991)<br />Hadiah Sepuluh Terbaik Sayembara Penulisan Puisi dari Sanggar Minum Kopi Bali untuk puisi "Aforisme Anggur" (1992)<br />Hadiah Sepuluh Terbaik Sayembara Penulisan Puisi dari Sanggar Minum Kopi Bali untuk puisi "Perkawinan Mawar" (1992)<br />Hadiah Ketiga Sayembara Penulisan Budaya dari Panitia Pekan Budaya Minangkabau untuk esai "Asketik, Holistik, Pradigma Modernity” (1993)<br />Hadiah Sepuluh Terbaik Sayembara Penulisan Puisi dari Sanggar Minum Kopi Bali untuk puisi "Tak Pernah Kubutuh Sebuah Telepon" (1993)<br />Hdiah Sepuluh Terbaik Sayembara Penulisan Puisi dari Buletin Sastra Budaya Kreatif Batu untuk puisi "Daun yang Baik" (1994)<br />Hadiah Sepuluh Terbaik Sayembara Penulisan Puisi dari Yayasan Taraju Sumatra Barat untuk puisi "Seseorang dalam Lorong Bernama Zaman" (1994)<br />Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Cerpen Remaja dari majalah Matra untuk cerpen "Tak Ada Topeng dalam Diary" (1996)<br />Hadiah Kedua Sayembara Penulisan Esai dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk esai "Bentuk Budaya dalam Masyarakat Multietnik" (1996)<br />Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Cerber dari majalah Femina untuk novel Jilid Laki-laki untuk Ibu (1998)<br />Hadiah nomine Cerpen Terbaik di Koran-koran Indonesia 1998 dari Dewan Kesenian Jakarta untuk cerpen "Lukisan Tua, Kota Lama, Lirih Tangis Setiap Senja" (1999)<br />Hadiah nomine Cerpen Terbaik di Koran-koran Indonesia 1998 dari Dewan Kesenian Jakarta untuk cerpen "Sungguh Hidup Begitu Indah" (1999)<br />Hadiah cerpen pilihan dari harian Kompas untuk cerpen "Ulat dalam Sepatu" (1999)<br />Hadiah Sembilan Terbaik Sayembara Penulisan Puisi Perdamaian dari Panitia Lomba Cipta Puisi Perdamaian Art and Peace untuk puisi "Peristiwa Menanam" (1999)<br />Hadiah Kedua Sayembara Mengarang Cerpen dari Pusat Kajian Humaniora Universitas Negeri Padang dan Program Bahasa Indonesia Universitas Deakin, Melbourne, Australia untuk cerpen "Kupu-Kupu" (1999)<br />Hadiah cerpen pilihan dari harian Kompas untuk cerpen "Laba-Laba" (2000)<br />Hadiah Sepuluh Unggulan Sayembara Mengarang Cerpen dari Pusat Kajian Humaniora Universitas Negeri Padang dan Program Bahasa Indonesia Universitas Deakin, Melbourne, Australia untuk cerpen "Karena Kita tak Bersuku" (2000)<br />Hadiah cerpen pilihan dari harian Kompas untuk cerpen "Upit" (2001)<br />Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Novel Remaja dari Penerbit Mizan untuk novel Garis Lurus, Putus (2002)<br />Hadiah cerpen pilihan dari harian Kompas untuk cerpen "Gambar Bertulisan Kereta Lebaran" (2002)<br />Hadiah Harapan Pertama Sayembara Mengarang Novel dari Dewan Kesenian Jakarta untuk novel Ular Keempat (2003)<br />Hadiah cerpen pilihan Kompas untuk cerpen yang berjudul "Belatung" (2005)<br />Penghargaan yang diterima<br />Penghargaan Sastra Lontar dari Yayasan Lontar untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (2001)<br />Anugerah Sastra dari Fakultas Sastra Universitas Andalas (2002)<br />Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (2002)<br />Sih Award dari Jurnal Puisi untuk puisi "Susi 2000 M" (2002)<br />SEA Write Award dari Kerajaan Thailand untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (2004)<br />Anugerah Seni dari Komunitas Penggiat Sastra Padang dan Dewan Kesenian Sumatra Barat (2004).<br /><br />Tahun 1996 Gus tf Sakai kembali ke Payakumbuh. Bersama istrinya, Zurniati, ia memutuskan untuk hidup dan menetap di kampungnya bersama tiga anaknya: Abyad Barokah Bodi (L), Khanza Jamalina Bodi (P), dan Kuntum Faiha Bodi (P). Walaupun menetap di kota kecil yang dikepung oleh tiga gunung, kemajuan teknologi membuat ia dapat melintas (fisik dan nonfisik) ke mana-mana. Dari kampungnya itulah Gus tf Sakai kini terus menulis puisi, cerpen, novel, dan esai yang kemudian diterbitkan oleh penerbit dan media massa terbitan Jakarta sambil memilih-milih puisi untuk Puisi, sebuah jurnal triwulanan yang memuat segala hal yang berkaitan dengan puisi; jurnal tempat Gus tf diajak bergabung oleh Sapardi Djoko Damono sejak 2002.<br /><br />Alamat: Jalan Sudirman No. 33 Balai Baru, Payakumbuh, Sumatra Barat, Indonesia 26212 Telepon: (0752) 94924<br />Pos-el: gustfsakai@plasa.com dan gustfsakai@yahoo.com<br /><br /><a href="http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/04/seni/291802.htm">Dari Kupu-kupu yang Bermimpi Jadi Swang Tse dan Tambo Gus tf Sakai</a><br />OLEH FADLILLAH<br />ADA kehendak untuk melupakan masa lalu pada setiap orang atau bangsa ketika sejarah masa lalu begitu pahit dan tidak disukai. Kemudian kejadian itu akan berlanjut untuk menghadirkan cerita-cerita yang menghibur hati yang terluka, kekecewaan dan kepedihan, hal ini adalah feno<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0cNRHVuXICwmi22lSt6Nm5kZxUD2L3jFbLeOYG-wmI1kQZ3sD1VFj9M-LaNGB2xK7HLEy2k-MyvYLki37CnTyCipRgvqmjwtb2pUt6MXGRtdtFenJOFjgJ-z3BevPxGoQpWAwJ6TjD0o/s1600-h/ECLO5609.jpg"> </a>mena tragedi patologi sosial. Hadirnya cerita untuk menghibur kekecewaan dan kepedihan adalah dikarenakan ada lara yang hendak dilipur. Dari cerita, ada lara yang dilipur itu, merupakan kehendak untuk lari ke dunia imaji saat didapati realitas begitu buruk dan menyedihkan, persoalan seperti ini adalah realitas yang manusiawi. Jika hal itu terjadi pada diri individu barangkali ia hanya merupakan suatu kasus psikologis, tetapi apabila hal itu terjadi dalam realitas kebudayaan, maka hal ini sudah jadi persoalan tragedi kemanusiaan.<br />Tragik kemanusiaan ini menjadi problematik dalam novel Tambo (Sebuah Pertemuan) karya Gus tf Sakai, kehadirannya adalah akibat dari sebab yang pada hari ini sudah tersembunyi. Adalah kenyataan yang sulit untuk dijelaskan tentang Rido yang bermimpi jadi Datuk Perpatih Nan Sabatang (Sutan Balun), pada kenyataan itu juga (sama) Datuk Perpatih Nan Sabatang (yang ada dalam mimpi Rido itu) bermimpi menjadi Rido. Sebagaimana Swang Tse mengatakan ia bermimpi tentang kupu-kupu dan kemudian selanjutnya ia mengatakan bahwa realitas dirinya adalah mimpi dari kupu-kupu itu, tepatnya; kupu-kupu yang bermimpi jadi Swang Tse, kemudian Swang Tse berpikir dan meyakini bahwa dirinya yang sesungguhnya atau realitas sebenarnya dari dirinya adalah kupu-kupu. Swang Tse berkeyakinan kehidupannya sekarang hanyalah mimpi dari seekor kupu-kupu, karena dirinya sendiri adalah kupu-kupu itu, dan sekarang ia hanya menjalani sebuah mimpi.<br />Cerita tentang Swang Tse ini ditulis oleh Aart van Zoest dalam bukunya Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik, terjemahan Manoekmi Sardjoe, (1990:31). Tidak jauh berbeda persoalan ini juga diungkapkan oleh Hasif Amini dalam tulisannya di jurnal Kalam (4/1995:89,90) dengan judul Seni Baca di Perpustakaan Imajiner Jorge Luis Borges dan (Antara Lain) Sastra Fantasi. Dia mengatakan: "Dalam cerita ’Reruntuhan Melingkar’, seorang rahib pagan tua mendatangi suatu reruntuhan kuil di tengah hutan, demi ’memimpikan’ sesosok anak lelaki yang kelak akan dimasukkannya ke dalam realitas; namun di saat terakhir ketika si anak sudah jadi, mendapatkan wujud fisiknya, rahib itu mulai menyadari bahwa ia juga makhluk ilusi yang diimpikan oleh orang lain…." Borges melalui diskusi atas buku-buku kuno, di mana tak terjadi perpindahan ruang, melainkan perpindahan kognitif yang berlangsung dalam waktu. Borges secara khusus dan berulang, membahas persoalan waktu ini: "memperhadapkan waktu linear yang direkayasa dunia modern, dengan waktu sirkuler (melingkar) yang bersifat mitologis". Hal ini juga barangkali relevan dengan film Vanilla Sky yang disutradarai Cameron Crowe, film yang dirujuk dari film Spanyol berjudul Abre Los Ojos (1997). Fenomena Vanilla Sky adalah fenomena kupu-kupu Swang Tse, yakni tidak berbatasnya imajinasi dan realitas akibat penderitaan yang amat sangat, sebagaimana dimainkan oleh Tom Cruise dan Penelope Cruz.<br />Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang) dalam TSP itu mengatakan bagaimana ia bermimpi jadi Rido, Barangkali ini berhubungan dengan pola narasi kupu-kupu yang bermimpi jadi Swang Tse. Kemudian pada bab 14, Alangkah Banyak Diriku, diceritakan tentang Rido yang tetap tidak tahu beda realitas dengan mimpi. Sebelumnya ada pernyataan yang lebih berat dari persoalan itu adalah Rido (Sakai, 2002:18) mengatakan; "Bagiku mimpi, seperti mimpi, dan kenyataan, nyaris tak ada bedanya." Artinya, Rido tidak lagi dapat membedakan dalam hidupnya antara mimpi dengan realitas hidup, antara imajinasi dan realitas hidup. Selanjutnya dalam kalimat yang sama dikatakan bahwa hal itu adalah fenomena kehidupannya; "… Sering aku tak tahu apakah tengah berada dalam mimpi, ataukah tengah dalam kenyataan." Rido meyakini dirinya adalah Sutan Balun atau Datuk Perpatih Nan Sabatang, dia meyakini dirinya banyak, sebagaimana dikemukakan dalam bab 14 Alangkah Banyak Diriku, (Sakai, 2000:100). Jika disamakan dengan Swang Tse, maka Swang Tse yakin dirinya adalah kupu-kupu, dan realitasnya sebagai Swang Tse dalam alam mimpi kupu-kupu. Jika kupu-kupu berhenti bermimpi, maka ia (Swang Tse) yakin akan kembali ke alamnya yang bahagia itu, yakni alam kupu-kupu. Rido juga menunggu lewat si Tukang Kaba hal itu bertahun-tahun dan terus menunggu.<br />Narasi seperti ini sulit dipahami, tetapi bila ia diletakkan sebagai fenomena metafora atau hakikat kehidupan, maka ia merupakan narasi yang menyembunyikan sesuatu. Dengan demikian akan muncul sesuatu itu, yakni pertanyaan yang sederhana, mengapa hal itu terjadi, dan mengapa begitu? Fenomena Rido tersebut tidak mungkin terjadi begitu saja, ada satu sebab (atau beberapa sebab, banyak sebab) yang mengakibat Rido menjadi suatu fenomena. Adapun perlunya dicari sebab, karena fenomena Rido hanya dianggap sebagai akibat. Tidak mungkin penyebabnya adalah suatu realitas yang menyenangkan dan bahagia, karena jika realitas penyebabnya sesuatu yang baik, menyenangkan, bahagia, maka tentu akan mengakibatkan terjadinya kebaikan dan bahagia, dapat dipahami, serta persoalan menjadi selesai, tidak lagi suatu hal yang problemtis. Fenomena Rido sebagai narasi bukanlah suatu bentuk kebahagiaan, tetapi suatu narasi problematis yang tragis, cerita sedih. Dengan demikian, pada akhirnya fenomena Rido tentu disebabkan oleh suatu penderitaan, sistem yang buruk, kesedihan yang tidak terleraikan, yang menekannya. Ada dua dasar pemikiran untuk mengatakan bahwa fenomena Rido tersebut disebabkan oleh adanya narasi tragik yang terjadi.<br />Pertama, ketika pertanyaan itu dirujuk kepada pemikiran tulisan Pariaman (Brouwer,1984:228), maka apa yang terjadi pada Rido adalah gejala split of personality, dan memang novel ini pada mulanya berjudul Sakit, tetapi menurut Sakai adanya negosiasi dengan redaksi harian Republika (ketika novel ini akan dimuat bersambung di harian itu, sebelum diterbitkan, ungkapan pengarang kepada penulis) dan penerbit Grasindo, maka novel ini akhirnya berjudul Tambo (Sebuah Pertemuan). Fenomena split of personality ini timbul, menurut Pariaman (Brouwer,1984:202) merupakan reaksi terhadap sistem ganda kehidupan yang terlalu berat untuk dihadapi. Pendapat ini barangkali sejalan dengan cerita tentang Sybil karya Schreiber (2001:489-490), yang juga mengungkapkan bahwa keterpecahan kepribadian karena sistem ganda yang terlalu berat untuk dihadapi. Tetapi fenomena yang dihadirkan di sini di samping akibat sistem ganda yang lebih berat adalah dimungkinkan oleh penindasan kekuasaan dan kehancuran jati diri.<br />Kedua, dapat dirujuk sebab mengapa Swang Tse meyakini bahwa dunia nyata dirinya adalah kupu-kupu, dan dirinya hanyalah mimpi dari kupu-kupu, dikarenakan ia mengalami penderitaan dan kesedihan yang tidak terleraikan, yakni istri dan anaknya meninggal, ia tidak bisa menerima atau tidak kuat menerima realitas kesedihan itu, di samping selama ini hidupnya memang menderita dan puncaknya adalah kematian istrinya, sehingga ia pada satu kali bermimpi, dalam mimpinya itu ia menjadi kupu-kupu dan berkumpul dengan anak- anak dan istrinya, terbang sebagai kupu-kupu dalam taman bunga yang indah dan bahagia. Ketika ia terbangun, ia yakin bahwa realitas yang sesungguhnya dari dirinya adalah kupu-kupu, dirinya sebagai Swang Tse hanyalah mimpi buruk dari kupu-kupu. Sebuah narasi tragik dari tragedi kehidupan. Fenomena kupu-kupu Swang Tse disebabkan oleh tragik penderitaan, yang pada hakikatnya memungkinkan juga terjadi pada tragik kesedihan dari diri Rido.<br />Tragik yang terjadi pada Rido sebagai sebab, pertama oleh sistem ganda sosial budaya dan kedua oleh kesedihan dan penderitaan dan ketiga oleh penindasan kekuasaan dan kehancuran jati diri. Pada sebab pertama menurut Pariaman (Brouwer,1984:208) jarang menjadi penyebab utama, ia hanya menjadi landasan sebagai pencetusan. Namun pengaruh yang kuat memang ada pada sistem sosial yang membesarkan seseorang, sistem nilai yang dianut. Rido dibesarkan oleh sistem rumah gadang yang otoritasnya dikuasai oleh nenek tertua dan mamak laki-laki (saudara laki-laki dari ibu) tertua, ia dibesarkan oleh keluarga ibu, sistem membuat ia berjarak dengan ayahnya. Sistem budaya ini memungkinkan untuk tumbuhnya kompleks mother (kompleks ibu) sebagaimana dikatakan Pariaman (Brouwer,1984:215), dan ini terjadi pada Datuk Perpatih Nan Sabatang (Sakai, 2000:69-70). Anak laki-laki dalam sistem sosial Minangkabau setelah akil balig (umur tujuh tahun) harus berpisah dengan ibunya dan tidur di surau, sedangkan masa remajanya dihabiskan di gelanggang, kemudian masa dewasanya di perantauan, ketika berkeluarga ia hanya dapat pulang ke rumah istri pada malam hari (tetapi Rido belum beristri, juga Datuk Perpatih Nan Sabatang), terakhir di masa tua kembali ke surau. Sistem sosial ini yang membuat laki-laki tidak pernah punya kamar pribadi, dalam pengertian lain laki-laki Minangkabau merupakan laki-laki rantau (tidak menetap selalu bepergian). Di samping itu sistem sosial budaya yang dihidupi tersebut bersifat ganda. Pertama, pada satu sisi secara adat tradisi ia dihidupi oleh sistem matrilineal dan di sisi agama ia dihadapkan dengan sistem patrilineal. Kedua, laras Bodi Chaniago dengan laras Koto Piliang mempunyai sistem yang berlawanan, yakni sistem Bodi Chaniago bersistem demokrat dengan Koto Piliang bersistem otokrat. Ketiga, keluarga ayah dengan keluarga ibu, keluarga ibu dengan keluarga istri, yang masing-masing dengan sistem yang berbeda.<br />Namun pada akhirnya persoalan penyebab bukanlah sesuatu yang pasti, ia akan menunjukkan banyak sebab, dan banyak kemungkinan, dan lebih banyak hal baru yang dapat ditemukan dan dipahami. Sebagai novel ia memang akan membukakan pemikiran ke arah itu, mendorong orang untuk bertualang dalam dunia kemungkinan dan dunia mungkin. Ada fenomena cerita dari dua tokoh yang saling bermimpi lebih merupakan persoalan yang lebih memungkinkan banyak alternatif yang akan ditemukan. Paling tidak ada fenomena tokoh yang ganda, dalam pengertian lain juga suatu fenomena berkepribadian ganda, suatu fenomena tokoh yang tidak terintegrasi dalam satu kepribadian, terbelah berserpihan menjadi banyak kepribadian, banyak cerita. Hakikat yang dihadirkannya adalah persoalan identitas jati diri yang hancur, tepatnya persoalan eksistensi yang berserakan.<br />Persoalan hakikat jati diri ini, atau eksistensi, persoalan apakah Rido yang bermimpi jadi Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang), atau apakah Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang) yang bermimpi jadi Rido. Akan tetapi ketika hal ini dibawakan kepada filosofi Buddha, maka ia merupakan kupu-kupu yang bermimpi menjadi Swang Tse, karena pada sisi lain Adityawarman dalam rujukan sejarah merupakan penganut Buddha Bhairawa, dan Minangkabau sebelum Islam adalah bangsa yang beragama Hindu Buddha. Filosofi Swang Tse juga akan berhubungan dengan hakikat reinkarnasi yang sudah hilang di Minangkabau. Persoalan itu tidak berhenti sampai di sini, hal itu hanya rujukan untuk realitas narasi hari ini, karena novel TSP adalah karya sastra dengan kekinian Indonesia, hadir dalam konsep selera estetika multikultural Indonesia. Dalam bahasa pemikiran hari ini, maka TSP berbicara tentang hakikat keterpecahan identitas kepribadian dan ketidakjelasan eksistensi diri manusia Indonesia hari ini dalam konteks banyak bangsa yang tertindas oleh penguasa Indonesia.<br />Keterpecahan kepribadian atau eksistensi Indonesia hari ini, dan pencarian pada masa lalu, pada narasi mitos, sejarah, dan tradisi, adalah kesia-siaan. Memang realitas itu sudah dilakukan pada masa rezim Soekarno dan rezim Orde Baru, memparadigmakan kebudayaan masa lalu sebagai narasi kebudayaan luhur. Pada satu sisi menjadi membelakangi masa depan dan menghadap ke masa lalu. Kemudian hiduplah kembali neofeodalisme yang tidak lebih kentalnya daripada feodalisme di zaman Kerajaan Singosari, Kediri, Majapahit, Mataram, Sriwijaya, Pagaruyung. Neofeodalisme itu mendapat sambutan yang cocok dengan kebudayaan kapitalisme modern. Pada akhirnya rakyat tetap tertindas, miskin, dan menderita, dan sesudah itu karena dalam ketertindasan, penderitaan, dan kesedihan orang akan lari ke dunia cerita, narasi pelarian (apakah narasi kupu-kupu atau narasi Datuk Perpatih Nan Sabatang), maka lahirlah banyak cerita yang dapat melipur lara. ***<br />SUMBER KOMPAS, Minggu, 04 Mei 2003<br />Fadlillah Mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana,Denpasar, staf pengajar<br /><br />Rabu 13 Juni 2007<br /><a name="3198752547551462510"></a><a href="http://sasindo.unand.ac.id/">Melintas dari Sudut Kota Kecil</a><br />OLEH IVAN ADILLA, staf pengajar Fak Sastra Unand<br />Guf tf (Payakumbuh, 13 Agustus 1965) adalah penyair, cerpenis dan novelis. Sastrawan dengan nama asli Gustafrizal Busra ini menjalani pendidikan dasar hingga menengah di kota kelahirannya, Payakumbuh. Ia kemudian melanjutkan studi di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, dan tamat pada 1994. Ia memutuskan untuk menjalani profesi sebagai pengarang dan menetap di Payakumbuh. Dia sering diundang untuk membacakan sajak-sajaknya di Padang, Jakarta serta beberapa kota lain.<br />Pengarang ini menggunakan dua nama yang berbeda untuk dua genre karyanya; untuk karya prosa ia menggunakan Gus tf Sakai, sedangkan untuk karya puisi ia mencantumkan nama Gus tf, sementara nama aslinya hanya dipakai untuk dokumen-dokumen resmi.<br />Sebagai pengarang, Gus telah meraih banyak penghargaan atas karya-karyanya. Sejak 1985-1999, 2 novel, 7 novelet dan 14 cerita pendeknya memenangkan hadiah dan penghargaan dalam sejumlah sayembara penulisan yang diselenggarakan oleh berbagai media, seperti Femina, Gadis, Matra, Hai, juga Pusat Kajian Humaniora-UNP serta beberapa lembaga lainnya. Pada 1996 ia meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, dan Hadiah Sastra Lontar diperolehnya tahun 2001. Pada tahun 2004, dalam usia 39 tahun, Gus meraih SEA Write Award, hadiah sastra untuk pengarang di negara-negara ASEAN. Tahun 2005 Gus dijadwalkan untuk mengikuti International Writing Program di The University of Iowa, Amerika Serikat, tetapi kemudian dibatalkan dengan alasan yang kurang jelas. Informasi yang sampai padanya adalah, “Washington belum bisa menerima Anda tahun ini, mungkin pada kesempatan yang lain”.<br />Gus mulai menulis saat duduk di sekolah dasar pada usia 13 tahun. Karyanya yang telah dipublikasikan berupa sajak, cerpen, novelet dan novel. Sajak-sajak awalnya banyak dimuat di majalah Hai (Jakarta), Ruang Kebudayaan koran Singgalang dan Haluan (Padang), sedangkan prosanya berupa cerita pendek dan novelet diterbitkan pada majalah Gadis, Femina, Matra, dan Hai. Cerpen dan sajaknya kemudian dipublikasikan melalui berbagai surat kabar seperti Republika, Kompas, Media Indonesia, The Jakarta Post, Berita Buana, Suara Karya, Pelita, Mutiara, juga majalah Horison, Kalam, Jurnal Puisi dan Ulumul Quran. Beberapa karya Gus telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, Arab, dan Portugis.<br />Beberapa prosanya telah dibukukan. Novel remaja yang merupakan karya awalnya adalah Segi Empat patah Sisi (Jakarta: Gramedia, 1991), Segitiga Lepas Kaki (Jakarta: Gramedia, 1991), Ben (Jakarta: Gramedia, 1992). Novelnya yang telah dibukukan Tambo (Sebuah Pertemuan) (Jakarta:Grasindo,2000). Antologi cerpennya yang pertama adalah Istana Ketirisan (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), sedangkan antologi cerpennya Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999) meraih hadiah Sastra Lontar 2001 dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, The Barber and Other Short Stories (Jakarta: The Lontar Foundation). Beberapa cerpennya juga dimuat dalam antologi bersama, di antaranya dalam beberapa nomor cerpen pilihan Kompas. Beberapa noveletnya diterbitkan dalam antologi, Tiga Cinta, Ibu ( Jakarta: Gramedia).<br />Kekuatan Gus tf Sakai sebagai penulis prosa terlihat sejak dari beberapa novel remaja dan noveletnya dipublikasikan. Karya awal itu memperlihatkan kesungguhan dan nuansa yang berbeda dari kecenderungan umumnya cerita remaja yang melankolis dan cair. Melalui teknik bercerita yang mengalir ia menyusupkan perenungan menuju ke pendalaman makna kisah. Karyanya yang kemudian menarik perhatian pengamat karena kemampuan bahasa, tema yang dipilih serta teknik penceritaannya. Cerpen-cerpennya merupakan perpaduan antara bahasa puitik dengan teknik penceritaan yang terjaga. Bahasanya efektif, padat serta dipenuhi monolog batin. Ceritanya bergerak melintasi wilayah geografis, gender, sosial dan budaya dengan deskripsi yang detil terhadap aspek visual dan batin tokoh-tokohnya. Cerita dibangun dalam alur yang mengalir dan menggugah rasa ingin tahun pembaca.<br />Sebagian sajaknya dibukukan dalam Sangkar Daging (Jakarta: Grasindo,1997), sedangkan yang lainnya tersebar dalam berbagari antologi bersama yang diterbitkan oleh berbagai lembaga dan organisasi kesenian. Gus merupakan penyair termuda yang karyanya dimuat dalam buku Ketika Kata, Ketika Warna (Jakarta: Yayasan Ananda), sebuah buku yang menghimpun 50 karya penyair Indonesia sejak dari Hamzah Fansuri. Kekuatan sajak Gus tf adalah pada kandungan paradoks dan metaforanya yang efektif dan fungsional. Melalui sajak-sajaknya ia mendeksripsikan paradoks yang dipikirkannya, sehingga sajaknya ibarat medan dialog tentang masalah yang diungkapkannya. Secara persuasif ia mendesak pembaca untuk masuk dan mengalami peristiwa yang ia sajikan dalam sajaknya. Teknik seperti itu mengajak pembaca untuk menyadari dan memberikan kesadaran, bukan pemahaman.<br />Karya terbarunya, Laba-laba (Jakarta:Gramedia), Daging Akar (Jakarta: Penerbit Buku Kompas) dan Ular Keempat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas).</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-64178013086617399012008-01-13T21:50:00.001-08:002008-01-13T21:52:53.384-08:00Fahmi IdrisDipecat Golkar, Jadi Menteri<br />Setelah lebih setahun menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Indonesia Bersatu, politisi dari Partai Golkar ini dipercaya menjabat Menteri Perindustrian menggantikan <a title="Menteri Prendustrian Kabinet Indonesia Bersatu" href="http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/andung-nitimiharja/index.shtml">Andung A. Nitimihardja</a>, pada reshuffle kabinet yang diumumkan 5 Desember 2005 dan dilantik 7 Desember 2005.<br /> <br />Pria kelahiran Gang Kenari, Jakarta Pusat, 20 September 1943, ini sempat dipecat dari keanggotaan dan kepengurusan DPP Partai Golkar, akibat aktivitasnya mendukung SBY-JK menjelang Pilpres putaran kedua. Dia memprakarsai Forum Pembaharuan Partai Golkar dan menentang Koalisi Kebangsaan (hasil Rapim Partai Golkar) yang mendukung Mega-Hasyim.<br /> <br />Namun setelah pasangan SBY-JK terpilih jadi Presiden dan Wakil Presiden, Fahmi diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kemudian setelah Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar, keanggotaannya di Golkar dipulihkan dan diangkat jadi Anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar.<br /> <br />Mantan Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan VII ini di kala kecil dikenal bengal -- senang menantang teman-temannya berkelahi. Kala itu dia bercita-cita menjadi tentara. Pengagum Jenderal De Gaulle itu sangat tertarik melihat kegagahan dan sikap heroik tentara. Cita-cita itu tidak tercapai. Dia malah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tapi tidak rampung. Namun sikap heroiknya terasa tersalurkan ketika dia turut ambil bagian menggusur Orde Lama, 1966. Mantan Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI (1965-1966), ini tidak merampungkan kuliah ekonominya di Universitas Indonesia untuk merintis usaha. Bakat wiraswastanya menurun dari ayahandanya Haji Idris gelar Marah Bagindo, seorang pedagang. Walaupun kemudian dia melanjutkan studinya ke Fakultas Ekonomi Extension UI dan pendidikan Financial Management for Non-Financial Manager (1973).Ketua Laskar Arief Rachman Hakim (1966-1968), ini memulai berusaha bersama rekan-rekan eksponen 66. Mereka mendirikan PT Kwarta Daya Pratama, 1969. Kemudian aktif dalam 10 perusahaan. Di antaranya, PT Kodel (Kelompok Delapan), bersama Soegeng Sarjadi, Ponco Nugro Sutowo, Jan Darmadi, dan Aburizal Bakrie, bergerak di bidang perdagangan, industri dan investasi. menantu KH Hasan Basri, ini juga menjadi direktur di PT Krama Yudha, baik perusahaan patungan mobil dengan Jepang maupun divisi kawat las yang bekerja sama dengan Philips dari Negeri Belanda.Perusahaan lainnya adalah PT Parama Bina Tani, PT Delta Santana, PT Wahana Muda Indonesia, PT Dharma Muda Pratama, PT Ujung Lima, dan CV Pasti. Perusahaan-perusahaan tersebut membidangi usaha agrokimia, perlengkapan industri minyak dan gas bumi, konstruksi dan rekayasa untuk pabrik metanol di Bunyu, pergudangan dan muatan, dan transpor.Kemudian suami dari Kartini Hasan Basri, psikolog di RS Cipto Mangunkusumo, ini berkiprah dalam politik praktis. Pada 3 Maret 1984, bersama sejumlah eksponen 66, bekas tokoh HMI ini meneken pernyataan masuk Golkar, langsung di hadapan ketua umumnya, Sudharmono. Dia memilih Golkar, karena dia melihat adanya aspek kemanusiaan yang menampung semua persamaan pikiran dan hobi di Golkar.<br />TKI Ilegal<br />Seusai serah terima jabatan dari Jacob Nuwa Wea di Kantor Depnakertrans, Jakarta, Kamis (21/10/2004), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris menegaskan segera membentuk tim khusus untuk menangani pemulangan sekitar 700.000 TKI ilegal dari Malaysia. Pemulangan TKI ilegal dari Malaysia, menurut Fahmi, menjadi salah satu prioritas kerjanya. "Saya sudah bicarakan soal TKI ilegal itu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dipanggil sebelum ditetapkan menjadi Mennakertrans (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi)," katanya.Fahmi juga mengatakan, untuk meningkatkan kinerja di lingkungan Depnakertrans, ia akan berkoordinasi dengan seluruh jajarannya. Setelah itu, dia akan melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak menyangkut pemberian tunjangan hari raya, pemutusan hubungan kerja, dan soal penempatan TKI ke luar negeri.Secara bergantian Fahmi berencana mengundang pengusaha, serikat pekerja, empat organisasi perusahaan jasa TKI (PJTKI), serta lembaga swadaya masyarakat.Sebagai program 100 hari, Fahmi juga akan mempelajari Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 yang menuai banyak protes dari pekerja karena dinilai terlalu memihak kepentingan dunia usaha. Seperti pasal yang mengatur pengunduran diri dari perusahaan tidak mendapat uang pesangon kecuali kebijakan dari perusahaan tersebut pekerja itu sudah memiliki masa kerja lama. ►tsl<br />*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)<br /><br />Nama :Fahmi Idris<br />Lahir :Jakarta, 20 September 1943<br />Agama :Islam<br />Isteri:Kartini Hasan Basri<br /><br />Pendidikan :<br />-SD, Jakarta (1956)<br />-SLP, Jakarta (1959)<br />-SLA, Jakarta (1962)<br />-Fakultas Ekonomi UI, Jakarta (1962 tidak selesai)<br />-Melanjutkan ke Fakultas Ekonomi Extension UI<br />-Pendidikan Financial Management for Non-Financial Manager (1973) -LPPM, Jakarta dan Lembaga Managemen FE UI<br /><br />Karir :<br />-Direktur CV Pasti (1967-1968)<br />-Direktur PT Ujung Lima (1968-1969)<br />-Presiden PT Kwarta Daya Pratama (sejak 1969)<br />-Manajer Utama PT Krama Yudha (1973-1976)<br />-Direktur PT Krama Yudha (sejak 1976)<br />-Wakil Presiden PT Parama Bina Tani (sejak 1980)<br />-Direktur PT Dharma Muda Pratama (sejak 1981)<br />-Wakil Ketua PT Wahana Muda Indonesia (sejak 1983)<br />-Ketua PT Delta Santana (sejak 1984)<br />-Presiden PT Kodel (sejak 1979)<br />-Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan VII<br /><br />Kegiatan lain:<br />-Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI (1965-1966)<br />-Ketua Laskar Arief Rachman Hakim (1966-1968)<br />-Anggota DPRGR (1966-1968)<br /><br />Alamat Rumah :<br />Jalan Duren Tiga VII No. 4, Jakarta Selatan<br /><br />Sumber :<br />Pusat Data E-TI dan PDATIs Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-80116257364731189812008-01-13T21:44:00.000-08:002008-01-15T06:10:57.382-08:00Bustanil Arifin<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwmpFUQlGCMUr0lRuoGp9nKMS2xTQu7SepYro98BBwHwOuW7Od2FGz34HztowNv0sKnQsQhkn48r_vojJcHTnsKEAsxVhOOkHtV368n__gFeA3dzFZHEI-IJwEhNDVjsf-VYX9jrxVpZ4/s1600-h/bustanil_arifin.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155705438980761906" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwmpFUQlGCMUr0lRuoGp9nKMS2xTQu7SepYro98BBwHwOuW7Od2FGz34HztowNv0sKnQsQhkn48r_vojJcHTnsKEAsxVhOOkHtV368n__gFeA3dzFZHEI-IJwEhNDVjsf-VYX9jrxVpZ4/s320/bustanil_arifin.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Kisah Anak Gaul Jadi Menteri</strong><br /><br />Bustanil Arifin, mantan Menteri Koperasi dan Kepala Bulog (1983-1993), dikenal sangat akrab dengan wartawan. Dia tak segan-segan merogoh kantong 'mentraktir' di mana pun dia ketemu wartawan. Tatkala aktif sebagai menteri, dia juga tidak segan membawa cucu ke tempat-tempat umum yang terbuka bakan saat berkunjung ke daerah. Masa kecil pria berambut tipis kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat, 10 Oktober 1925, ini tampaknya sangat mempengaruhi kebiasaan gaulnya. Saat kecil, dia anak gaul dan tergolong nakal. Satu-satunya lelaki dari tiga bersaudara, itu sering kali berkelahi.<br /><br />Suatu ketika, Bustanil kecil berkelahi dengan anak yang badannya lebih besar. Tentu saja dia kalah. Lawannya yang berbadan besar itu dengan gampang mengangkat tubuhnya, lalu mengempaskan dan tergores kawat berduri. Bagian dalam lengan Bustanil sobek 10 cm yang berbekas hingga hari tuanya.<br /><br />Maka ketika, anak dan cucunya suka berkelahi, dia pun memaklumi bahkan senang melihatnya. Ayah empat anak ini menyukai suasana keceriaan bersama anak-anak dan cucunya. Bahkan saat aktif sebagai Menteri Koperasi, Bustanil sering membawa cucu berkunjung ke daerah. Dia tidak segan membawa cucu ke tempat-tempat umum yang terbuka. Soal kesenangan bagi-bagi rejeki dan 'mentraktir' wartawan dan siapa saja, tampaknya terbawa dari pengalaman kecilnya jua. Ayahnya, Achmad Idris, seorang pemborong. Ketika ayahnya memperoleh banyak untung, Bustanil sering memperoleh berbagai macam hadiah, berupa mainan dan alat keperluan sekolah. Tetapi, manakala sang Ayah merugi, harus sabar tidak mendapat apa-apa. Bahkan, barang-barang, termasuk rumah, pernah terpaksa dijual. Mantan Dirut PT PP Berdikari ini mengecap pendidikan HIS (1940) dan MULO (1942) di Medan. Dia menyukai pelajaran sejarah, terutama tentang tokoh-tokoh dunia. 'Dia senang menimba pengalaman para tokoh itu. Dia mengagumi Indira Gandhi, Margaret Thatcher, dan HM Soeharto.<br /><br />Dia mengaku banyak belajar dari Pak Harto. Bukan hanya masalah kepemimpinan yanbg timba dari Pak Harto, juga perihal menjaga kesehatan badan dan jiwa. Supaya bisa tenang menghadapi berbagai persoalan. Ketika pendudukan Jepang, saat Bustanil masih 18 tahun, dia ingin mewujudkan cita-citanya menjadi perwira militer. Dia mengikuti latihan militer di Batusangkar, Sumatera Barat. Lalu, sebentar dia ke Aceh, menjadi guru pada Sekolah Pegawai Tinggi. Dia memberi pelajaran kemiliteran. Setelah mengikuti latihan militer itu dan lulus tes bakat dengan hasil baik, Bustanil terpilih menjadi salah seorang prajurit yang akan disekolahkan ke Akademi Militer di Tokyo, 1944. Namun karena Jepang bertekuk lutut pada Amerika Serikat pada Perang Dunia II, Bustanil urung ke Jepang. Lalu dia mengikuti pendidikan khusus tiga bulan di Aceh. Sehingga harapannya menjadi perwira terkabul pada 1946. Dia langsung diterjunkan ke front Medan Area, sebagai komandan peleton. Tergabung dalam Batalyon 3 Resimen Istimewa Medan Area, Sumatera Utara. Setelah itu, karir militernya terus menanjak. Terakhir ia berpangkat letjen (purnawirawan).<br /><br />Teman seperjuangannya ketika berjuang di Binjai, antara lain, Amran Zamzami, pernah menjabat Direktur PT Krama Yudha dan Ketua Gabsi (bridge) dan Rachman Ramly, pernah menjabat Dirut PT Timah dan Dirut Pertamina.<br />Seusai perang, Bustanil yang haus ilmu menyempatkan diri kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, hingga meraih gelar sarjana hukum. Ketika masih mahasiswa tingkat I, Bustanil berkenalan dengan R.A. Suhardani, siswa kelas III SGKP, seorang gadis cantik keturunan Jawa. Tak mau berlama-lama, setahun kemudian, mereka menikah. Keluarga ini dikaruniai emapat anak. Isterinya, yang akrab dipanggil Ibu Dani, aktif sebagai Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia.<br /><br />Bustanil menjabat Danton Inf. Div. Gajah I di Medan Area (1946), Danki Inf. 22 Div. Gajah I di Lhok Seumawe, Aceh (1948) dan Biro Pengajaran PPPLAD (merangkap guru) di Cimahi (1956). Kemudian dipercaya menjabat Kabag Personalia & Pendidikan Palad di Jakarta (1961) dan Deputi Pengadaan & Penyaluran Bulog di Jakarta (1969).<br /><br />Kemudian dia ditugaskan menjabat Konsul Jenderal RI di New York, AS (1972) sebelum diangkat menjabat Kepala Badan Urusan Logistik di Jakarta (1973 -1983) dan Dirut PT PP Berdikari di Jakarta (1973 -1983). Kemudian dia diangkat menjabat Menteri Muda Urusan Koperasi merangkap Kepala Bulog (1978-1983), Menteri Koperasi/Kepala Bulog Kabinet Pembangunan IV (19 Maret 1983-21 Maret 1988) dan Kabinet Pembangunan V (21 Maret 1988-17 Maret 1993).Selain itu, Bustanil juga aktif sebagai Deputi Ketua TMII (1974), Bendahara Yayasan Dharmais (1975), Anggota Dewan Penyantun Yayasan Jantung Indonesia (1978) dan Anggota Dewan Penyantun Universitas Padjadjaran (1978). Juga Ketua Yayasan Pendidikan Koperasi (1982) dan Ketua Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia (1981). ►e-ti/mlp, dari berbagai sumber, di antaranya pdat.*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia<br /><br />Nama:Bustanil Arifin<br />Lahir:Padangpanjang, Sumatera Barat, 10 Oktober 1925<br />Agama:Islam<br />Isteri:R.A. Suhardani<br />Anak:Empat Orang<br />Ayah:Achmad Idris<br /><br />Pendidikan:<br />- HIS, Medan (1940)<br />- MULO, Medan (1942)<br />- Fakultas Hukum Unpad, Bandung (1959)<br />- Sekolah Pegawai Tinggi, Batusangkar (1944)<br />- Kupalda Unifikasi I, Cimahi (1963)<br /><br />Karir:<br />- Danton Inf. Div. Gajah I di Medan Area (1946)<br />- Danki Inf. 22 Div. Gajah I di Lhok Seumawe, Aceh (1948)<br />- Biro Pengajaran PPPLAD (merangkap guru) di Cimahi (1956)<br />- Kabag Personalia & Pendidikan Palad di Jakarta (1961)<br />- Deputi Pengadaan & Penyaluran Bulog di Jakarta (1969)<br />- Konsul Jenderal RI di New York, AS (1972)<br />- Kepala Badan Urusan Logistik di Jakarta (1973 -1983)<br />- Dirut PT PP Berdikari di Jakarta (1973 -1983)<br />- Menteri Muda Urusan Koperasi/Kepala Bulog Kabinet Pembangunan III(1978 -- 1983)<br />- Menteri Koperasi/Kepala Bulog Kabinet Pembangunan IV (19 Maret 1983-21 Maret 1988)<br />- Menteri Koperasi/Kepala Bulog Kabinet Pembangunan V (21 Maret 1988-17 Maret 1993)<br /><br />Kegiatan Lain:<br />- Deputi Ketua TMII (1974)<br />- Bendahara Yayasan Dharmais (1975)<br />- Anggota Dewan Penyantun Yayasan Jantung Indonesia (1978)<br />- Anggota Dewan Penyantun Universitas Padjadjaran (1978)<br />- Ketua Yayasan Pendidikan Koperasi (1982)<br />- Ketua Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia (1981)<br /><br />Alamat Rumah:<br />Jalan Hang Tuah VII/2, Jakarta Selatan Telp: 771550<br /><br />http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/b/bustanil-arifin/index.shtml</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-85107260435547161482008-01-13T21:36:00.000-08:002008-01-15T06:17:54.084-08:00Bachtiar Chamsyah<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgj40JKM6oQHCOTuBmAOD_qGwODT79hT8aHNK-xLeIipiTaSUPY4NugjWjZ717a1WAJM9gKwgp_ePB6Ecc-PwWVf_c2rP1z2z0ci9YBxbMPGMnmhrFsNsGIBa5roH3kkBHnhr1JuCVDaeY/s1600-h/bachtiar_chamsyah.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155707066773367122" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgj40JKM6oQHCOTuBmAOD_qGwODT79hT8aHNK-xLeIipiTaSUPY4NugjWjZ717a1WAJM9gKwgp_ePB6Ecc-PwWVf_c2rP1z2z0ci9YBxbMPGMnmhrFsNsGIBa5roH3kkBHnhr1JuCVDaeY/s320/bachtiar_chamsyah.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Nakhoda Kebangkitan Depsos Baru</strong><br />Ia politisi yang piawai berdiplomasi meminimalisasi konflik untuk mencapai suatu konsensus atau keputusan. Sarjana ekonomi yang mengaku belajar politik dari emaknya (ibunya) ini merintis karir politik dari bawah. Ia seorang kader terbaik Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Terakhir ia didaulat menjadi calon Ketua Umum PPP bersaing dengan Hamzah Haz. Ia kalah namun menyatakan tetap setia kepada garis perjuangan partainya.<br /><br />Namanya mulai makin akrab di lidah publik bak selebriti, saat ia dengan cerdas dan tangkas memimpin Pansus Bulog (2000-2001) yang ketika itu melibatkan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Maka banyak pihak menilai sangat bijak manakala Presiden Megawati mengangkatnya menakhodai kebangkitan Departemen Sosial dari kubur.Pada era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Departemen Sosial (Depsos) ‘dikebumikan’ (dilikuidasi) dengan alasan tidak diperlukan, apalagi karena sebelumnya diduga telah menjadi sarang korupsi, kolusi dan nepotisme. Sekitar 2.500 pegawai Depsos berduka serta jutaan orang dibuat heran dan bingung. Dua tahun kemudian (2001), ketika Gus Dur jatuh tersandung kasus Bulog dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Depsos dihidupkan kembali. Alasannya, masalah sosial yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks dan penangannya belum dapat sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat.Jutaan pengungsi akibat berbagai konflik sosial harus sgera diatasi. Belum lagi masalah fakir-miskin, anak telantar, yatim-piatu, bencana alam dan lain sebgainya. Siapa yang harus mengurusi itu semua? Lalu siapa figur pemimpin yang bertalenta mengatasi itu?<br />Presiden Megawati Sukarnoputri memilih H Bachtiar Chamsyah,SE. Seorang politisi yang piawai bernegoisasi dan berdiplomasi untuk meminimalisasi konflik untuk mencapai tujuan atau konsensus. Ia ‘anak Medan’ yang dinilai tangkas dan cerdas (banyak taktik), sehingga diyakini mampu mengatasi masalah pengungsi dan masalah sosial lainnya yang sangat kompleks itu. Lebih lagi, ia dinilai seorang yang akan mampu memperbaiki citra Depsos dari dugaan sarang KKN.Padahal, lelaki Minang kelahiran Aceh ini tak menduga akan diangkat menjadi menteri, apalagi menjadi Menteri Sosial. Latarbelakang pendidikannya adalah ekonomi. Saat di legislatif (DPR) ia juga tidak membidangi masalah sosial. Ia berada di Komisi V dan VI. Namun, ia tak pernah merasa tidak mampu memimpin departemen ini. Baginya, apapun bidang pekerjaan jika dihayati akan dapat dikerjakan dengan baik.Dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Kamis 19 Juni 2003, Bachtiar Chamsyah mengatakan, sudah terbiasa menghayati setiap pekerjaan yang digumulinya. Kendati ia mengaku sangat banyak masalah yang dihadapinya saat pertama kali masuk kantor sebagai menteri. Namun, katanya, yang namanya memimpin tentu ada persoalan.<br /><br />“Tetapi kita ‘kan dilatih mencari solusi dengan berpikir sistematis. Itu fungsi bersekolah yaitu memecahkan persoalan dengan kerangka yang sitemastis. Orang banyak berpikir masuk perguruan tinggi hanya untuk menjadi pegawai. Tetapi sesungguhnya hakikat bersekolah itu adalah agar kita dapat memecahkan persoalan secara sistematis,” ujar sarjana ekonomi (akuntansi) dari Universitas Medan Area dan mantan mahasiswa tingkat V Jurusan Akuntansi FE Universitas Nommensen ini, menjelaskan.Bahkan ia menyatakan merasa berbahagia menghadapi tugas berat yang dipercayakan di pundaknya. Bayangkan waktu awal-awal menjadi menteri, ia harus menghidupkan dan membangun struktur organisasi yang sebelumnya telah bubar. Kemudian harus bisa meyakinkan DPR untuk meningkatkan budget departemen ini. Lalu memperbaiki citra Depsos yang sebelumnya dikenal sebagai sarang korupsi. Menata anggaran sedemikian rupa. Setelah itu menghadapi berbagai persoalan sosial yang makin kompleks dalam tahun-tahun terakhir. Ia merasa tugas Menteri Sosial itu berat, tetapi mulia. Artinya, itu adalah tugas untuk melaksanakan amanat UUD, kemanusiaan, yang tidak ada profitnya. Kendati tugas ini nonprofit, ia yakin dapat mengembannya dengan mengajak mereka yang berkemampuan dan kalangan LSM untuk menanggu-langinya. Apabila semua potensi di dalam masyarakat diajak, kerja berat it akan menjadi ringan.Untuk itu, sebagai nakhoda, ia sadar harus menjadi teladan. Mulai dari hal kecil hingga yang terbesar. Mulai dari persoalan jam kerja hingga kecepatan bertindak dan mengambil keputusan. Ia memulai dengan disiplin masuk kantor jam tujuh pagi dan pulang rata-rata jam setengah delapan malam.Ia pun berhasil membangkitkan semangat hidup semua jajaran Depsos yang dipimpinnya. Ia mengajak jajaran Depsos melakukan introspeksi untuk membangkitkan eksistensi dan citra Depsos baru. Dua tahun Depsos ‘dikebumikan’ diinspirasikannya menjadi cambuk, semacam pertapaan atau bersemadi, seperti renungan Toynbee dalam A Study of History. Bertapa, bersemadi, diibaratkannya sebagai bibit (biji, tampang) yang ditanam di dalam tanah (mengasingkan diri ke dalam tanah), untuk kemudian tumbuh atau timbul kembali sebagai tanaman baru yang akan berbuah banyak dan berguna. Toynbee menyebut hal itu “withdrawal and return”, bertapa dan kembali dari pertapaan. Jadi bertapa bukan untuk terus bertapa, karena bertapa terus sama artinya dengan bunuh diri. Melainkan bertapa untuk menerima wahyu, inspirasi, dan menghimpun tenaga baru untuk kemudian kembali ke dalam perjuangan masyarakat, menjadi teladan dan penunjuk jalan baru bagi rakyat. Memberi citra baru eksistensi dan perjalanan perjuangan Depsos, yang demikian strategis dan urgen mengatasi persoalan-persoalan sosial yang amat kompleks. Saat peraya-an Proklamasi RI ke-56 di Depsos, ia mengatakan pembubaran Depsos di era Gus Dur merupakan renungan bagi kita untuk introspeksi dan memperhatikan kinerja yang berdaya guna dan bertanggung jawab. “Kita ditunggu setumpuk persoalan sosial, yang semakin hari semakin bertambah,” katanya.Kiprahnya sebagai Menteri Sosial sangat fenomenal dalam membangkitkan kembali Depsos sebagai departemen strategis yang amat diperlukan bangsa ini. Ia berupaya menjadikan Depsos berkemampuan menyelesaikan berbagai masalah sosial, termasuk dampak sosial krisis ekonomi, terutama yang dialami keluarga rentan, anak jalanan dan kaum telantar, guna mengangkat harkat dan martabat sosial-nya, serta dapat mengem-bangkan kesetiakawanan sosial masyarakat.Ia pun menegaskan tidak akan menjadikan Depsos sebagai pemungut limbah sosial akibat pembangunan yang salah arah. Ia dengan tegas mengatakan bahwa pemberdayaan sosial akan menjadi leading sector Depsos baru. Ia sudah bertekad untuk tidak memosisikan departemen ini hanya sebagai pemadam kebakaran yang hanya mengatasi masalah setelah terjadi dan memungut limbah sosial akibat pembangunan yang salah arah. “Apabila kita mampu mengatasi masalah sosial di hulunya, mudah-mudahan di hilir limbahnya akan berkurang,” ujar menteri yang berasal dari keluarga sederhana ini.Dua Juta PengungsiSaat ia memulai tugasnya sebagai Mensos, persoal-an sosial yang paling berat ada-lah pengungsi. Karena ketika itu, pengungsi hampir 2 juta orang yang terserak di 16 propinsi. Mereka pengungsi dari Maluku, Ambon, Poso, Timor Timur, dan Kalimantan Tengah. Semua itu harus diselesaikan dan memakan waktu yang panjang serta penanganan yang tidak sama. Salah satu kasus pengung-si yang masih belum selesai saat ini adalah pengungsi transmigran Madura yang diusir dari Kalimantan Tengah dan sekarang masih berada di Madura. Walaupun secara alamiah sudah ada yang masuk kembali ke Kalteng, tetapi tidak bisa besar-besaran.Belum lagi masalah pengungsi Madura, Poso dan lain-lainnya selesai secara keseluruhan, sudah muncul pula pengungsi di Aceh. Ken-dati dengan situasi dan kon-disi yang berbeda, namun semuanya pasti membutuh-kan kecepatan dan ketepatan bertindak.<br />Begitu diumumkan darurat militer di Aceh, ia dengan cepat mengirimkan bantuan. Untuk mengurusi pengungsi di Aceh ini, ia memang seper-ti tak kenal lelah, bolak-balik ke Aceh, sehingga penangan-annya dapat lebih baik.Ia terlihat sangat menghayati tugas-tugas sosial di departemen yang dipimpinnya. Ia dengan cekatan beradaptasi bahkan melakukan inovasi dengan tantangan masalah sosial yang dihadapinya. Ia memang sudah terlatih menghadapi berbagai tantangan dalam berbagai situasi dan kondisi.SDM DepsosPerihal kesiapan SDM di Depsos, ia mengatakan tidak ada masalah. Menurutnya, SDM Depsos itu sebenarnya terlatih. “Orang banyak mengatakan macam-macam, tetapi sebenarnya mereka ini terlatih. Kita saja bisa kalah. Karena mereka bekerja di bidang ini berpuluh tahun,” katanya.Menurutnya, para pegawai Depsos itu tahu bagaimana permasalahan dan solusi mengatasi pengemis. Mengapa pengemis terjadi dan bagaimana cara mengatasinya, mereka tahu. Bacaan mereka banyak. Maka, katanya, yang perlu adalah kebijakan. Sementara, secara teknis mereka mampu mengerjakan dan bertanggung jawab.“Tetapi kita juga harus menjadi teladan. Misalnya, kita menyuruh orang bekerja jam 7 atau jam 8, tetapi menterinya baru masuk jam 10, mana dia percaya. Atau kita mengatakan kamu harus jujur tetapi menterinya korupsi. Mereka akan bicara di belakang: Ah, korupsi saja, apa bagian kita nih!” kata mantan Ketua Umum Badko HMI Sumatera Utara (1976) ini.Ia pun dengan yakin menyatakan bahwa kini Depsos tidak lagi patut disebut sebagai sarang korupsi. “Jika ada aparat saya korupsi, kasih tahu, supaya saya tindak. Yang penting jangan difitnah. Jadi enak kan?” tegasnya. Bagaimana ia dengan yakin mengatakan di Depsos tidak ada lagi korupsi, sedangkan korupsi itu sudah menjadi semacam budaya? “Kita objektif saja, umpama membeli barang, kita ‘kan tahu ada aturan-aturan bisnis. Kita ijinkan saja harga barang itu naik 5-10 persen. Karena di situ masih ada pajak. Jadi kita fair-fair saja,” katanya. Sementara, mengenai pernyataan ‘makin banyak pengungsi makin banyak korupsinya,’ ia menanggapi-nya sebagai dugaan tak beralasan. Sebab, tidak pernah ada yang berani terang-terangan memberi bukti. Maka, dalam kaitan ini, ia dengan tegas meminta aparat hukum, polisi, jaksa dan hakim agar serius menangani apabila ada kasus penyimpangan bantuan sosial yang melibatkan aparatnya.<br /><br />Pernyataan itu dilontarkannya seusai menyerahkan 4.200 ekor sapi kepada petani di Kuningan, Kamis 3 Juli 2003 lalu. “Enggak usah ragu menangkap pelakunya. Menterinya tidak akan membela koq. Masa saya mau melindungi pelaku korupsi. Tangkap saja kalau sudah ada indikasi korupsi,” tandasnya.Politisi HandalPutra bangsa kelahiran Tiji, Sigli, Aceh, 31 Desember 1945 ini seorang politisi yang sudah punya jam terbang cukup lama di panggung politik nasional. Bahkan, sejak remaja ia sudah aktif di keanggotaan Kepanduan Hizbul Wathan. Kemudian merintis pengalaman berorganisasi di HMI, saat ia kuliah di Akademi Adminitrasi Niaga (AAN) Negeri Medan (1966). Tahun 1967 ia menjadi Ketua Komisariat HMI AAN Negeri Medan. Dua tahun kemudian menjadi Ketua Umum HMI Cabang Medan sampai akhirnya menjabat Ketua Umum Badko HMI Sumatera Utara (1976).Ketika mahasiswa, ia banyak pindah-pindah kuliah. Pertama, ia kuliah di AAN Negeri Medan. Kemudian melanjut ke Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Nomensen sampai tingkat lima. Namun karena masalah keuangan, ia tidak bisa melanjutkannya sampai selesai. Waktu itu uangnya sebesar Rp.300.000 dipinjam orang tapi tidak dikembalikan. Uang sebesar itu pada tahun 1970 sudah cukup besar. Uang kuliah saat itu di Universitas Nommensen tidak sampai Rp 10.000. (Ketika itu, kuliah di Medan, termasuk di Nomensen, masih banyak menggunakan sepeda. Hanya satu-dua saja yang menggunakan Vespa).Uang itu ia peroleh dari hasil objekan. Sebagian ia pakai untuk menikah, dan sisanya Rp.300.000 ditabung. Kemudian, uang Rp.300.000 itu dipinjamkan, dengan tawaran mendapat keuntungan (bagi hasil) Rp. 10.000 per bulan. Namun, akhirnya uang tersebut tidak pernah kembali. Akibatnya, ia tidak bisa menyelesaikan kuliah, berhenti di tingkat lima. Setelah itu ia memulai karir sebagai pegawai harian honorer Pemda Medan, dengan gaji Rp. 1000 per bulan pada tahun 1974. Sadar tidak mungkin bisa hidup dengan gaji sebesar itu, maka ia mengajar di SMA Perguruan Amir Hamzah bidang studi Ekonomi dan Sejarah.Kemudian, ia keluar dari pegawai Pemda (1981) dan masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lalu menjadi anggota DPRD Tk I Sumatera Utara pada tahun 1982, saat ia berumur 37 tahun. Saai itu, ia pun bergabung dengan Parmusi.Pada tahun 1984, ia sempat menjabat Ketua DPW Partai Persatuan Pembanguan (PPP) Sumatera Utara. Saat Musyawarah Wilayah PPP tahun 1984 itu, ia dan Ridwan Rahmat terpilih (menang) untuk memimpin DPW tetapi karena pemerintah dan DPP, terutama Naro, tak suka, ia harus ‘dikalahkan’ dan tidak disetujui. Ia pun melawan. Tetapi karena dulu (era Orde Baru) musimnya tergantung pemerintah, akhirnya ia harus menerima kenyataan pahit itu.Lalu saat Buya Ismail menjadi Ketua Umum DPP PPP, Bachtiar diangkat kembali menjabat Ketua DPW PPP Sumut. Tetapi, lagi-lagi Gubernur Kaharuddin merasa tidak senang, karena kerangka berpikir penguasa saat itu, tidak boleh ada orang pintar dalam partai -- harus Golkar yang besar sedangkan dua partai lain hanya sekadar bunga demokrasi -- sehingga semua cara dilakukan untuk menggagalkannya menjabat Ketua DPW PPP Sumut itu.Dalam masa itu, ia sempat menjabat Wakil Pimpinan Umum Mingguan DEMI MASA, Medan. Tapi, Buya Ismail kemudian menariknya menjadi anggota DPR RI. Ia pun berkantor di Senayan selama 10 tahun. Pernah menjadi Ketua Komisi VI dan terakhir sebagai Ketua Komisi V dan Ketua Pansus Bulog.Tahun 1994-2003 ia menjabat Wakil Sekjen DPP PPP. Setelah itu, pada Muktamar V PPP Mei 2003, ia menghadapi tantangan dalam perjalanan karir politiknya. Ia didaulat mencalonkan diri untuk menjabat Ketua Umum DPP PPP bersaing dengan Hamzah Haz. Muktamar menetapkan tujuh orang anggota formatur dari 34 nama calon yang diusulkan oleh 407 DPC dan 30 DPW. Ketujuh orang formatur tersebut adalah KH Thoyfur (277 suara), Endin AJ Soefihara (264 suara), Bachtiar Chamsyah (256 suara), Hafidz Ma’soem (254 suara), Ali Marwan Hanan (247 suara), Yunus Yosfiah (221 suara), dan Husnie Thamrin (213 suara).Formatur ini dipercayakan menyusun kepengurusan DPP PPP 2003-2008. Namun, terpaksa ia dan dan Husni Thamrin meninggalkan ruang rapat formatur karena perbedaan prinsip dengan formatur lainnya. Pada Muktamar itu, Hamzah Haz, yang tengah menjabat Wakil Presiden, terpilih kembali. Ia ditawari menjabat Wakil Ketua Umum atau Sekretaris Jenderal. Namun, ia tidak bersedia karena merasa akan sulit mengejawantah-kan visinya dalam kepengurusan baru.<br /><br />Pasalnya, beberapa kader partai yang dianggapnya potensial tidak terakomoder dalam kepengurusan. Sehingga banyak kader PPP yang kecewa terhadap hasil Muktamar PPP itu. Mereka ada yang mengusulkan segera dilakukan Muktamar Luar Biasa. Bahkan ada yang melontarkan wacana membentuk partai baru.Namun, ia tetap menunjukkan kematangan berpolitik. Kendati ia dan teman-temannya tidak berada di DPP, ia menyatakan akan tetap setia kepada garis politik partainya. Ia mengingatkan agar para kader partai itu harus tetap di dalam PPP. “Walaupun banyak yang menginginkan mendirikan partai baru, saya bilang jangan. Itu ‘kan membuat kita mundur. Kita harus betul-betul menjadi kader yang baik saja. Nggak usah kita gerasak-gerusuklah,” kata mantan Sekjen PARMUSI (1999-2002) ini.Ia memang seorang politisi yang sudah punya jam terbang cukup tinggi. Ia mengaku mengenal dunia politik dari emaknya (ibunya) yang berbekal pengetahuan dari surat kabar, radio, dan televisi. Ibunya banyak mengisahkan petualangan para politisi bangsa ini dari Soekarno, Hatta, Sjahrir, hingga Natsir. “Dari emaklah aku tahu apa itu politik,” katanya. Emaknya pula yang mengingatkan agar ia selalu ingat pada nasib dan penderitaan rakyat, serta memperjuangkan kepentingan rakyat. Sentuhan kasih sayang ibunya yang kini berusia hampir satu abad (99 tahun) telah menempanya menjadi politisi yang patut diperhitungkan oleh teman dan lawan politiknya.Sang emak mengajarkannya bagaimana bersikap santun tapi tegas. Tegas tak perlu keras, tapi bisa juga berseling humor. Perpaduan karakter ini, sungguh tercermin dalam dirinya. Ia mampu bersikap fleksibel dalam menghadapi setiap kondisi sulit. Kapan harus bersikap tegas dan kapan berperilaku lemah lembut. Ajaran budi pekerti dan perilaku santun pada kawan dan lawan politik tersebut merupakan mutiara pelajaran etika berharga dari perempuan yang melahirkannya itu.Nasihat Sang Emak itu pula yang memperteguh keyakinannya memilih partai berlambang Ka’bah dan berasas Islam ini, sebagai organisasi saluran politiknya. Di Senayan, ia dikenal sebagai salah seorang anggota DPR yang produktif dan aspiratif. Maka tak heran bila para wartawan di DPR/MPR pernah memilihnya sebagai salah seorang dari sepuluh anggota DPR terbaik.Pansus BulogTahun 1999 – 2001 ia menjabat Ketua Komisi V DPR RI. Namanya makin akrab di lidah publik bak selebriti, saat memimpin Pansus (Panitia Khusus) Bulog (2000-2001). Saat itu, ia dengan piawai menun-jukkan kematangan berpolitik. Keberhasilannya memimpin Pansus Bulog telah mengorbitkannya ke puncak popularitas. Banyak buku yang menuliskan peristiwa tersebut, tentang bagaimana ia memimpin Pansus kasus Bulog yang menggelinding dan berakibat turunnya Gus Dur dari tampuk kekuasaan presiden.Bachtiar yang akrab dipanggil Abang ini dipilih menjadi Ketua Pansus tentu dengan pertimbangan matang. Sebab, sebenarnya dalam konvensi DPR, ketua Pansus itu harus dari fraksi terbesar, yaitu PDIP. Tetapi karena ia dinilai mampu dan paling senior, berpengalaman, serta bergaul akrab dengan anggota yang lain, sehingga ia dipilih menjadi ketua.Ketika menangani kasus Bulog itu, ia banyak menghadapi tantang-an, baik intimidasi maupun upaya suap. Kisah itu ada dalam buku Meretas Jalan Berliku. Pada waktu itu tawaran suap dan intimidasi begitu banyak. Tetapi ia tahan menghadapinya. Begitu pula teman-temannya yang lain. “Jadi di situ saya melihat kuatnya solidaritas lintas fraksi, yang dibangun bukan sebentar. Tetapi satu tahun setengah untuk membangun itu. Menjalin kebersamaan itu tidak mudah,” kenang penerima penghar-gaan Satya Lencana Pembangunan Bidang Koperasi 2000 ini.Sejak awal ia menyadari bahwa kasus Bulog yang melibatkan Gus Dur ini bukanlah persoalan biasa. Pendukung Gus Dur yang dikenal fanatik menjadi salah satu yang harus dihadapinya. Saking beratnya tanggung jawab yang diemban, ia pernah mengatakan kerja Pansus ini merupakan pekerjaan ‘orang gila’. Tapi dasar seorang politisi yang sudah terasah. Ia telah pernah mendapat tekanan dan perlakuan diskriminatif dari penguasa Orde baru sejak dirinya aktif di partai berlambang Ka’bah. Maka, ia tidak mau gentar dan surut menerima amanah untuk menelisik kebenaran di balik kasus Bulog dan bantuan Sultan Brunei itu. Ia mengakui pengalamannya selaku Ketua Pansus Bulog merupakan tugas terberat yang dipikulnya selama menjadi politisi. Sekalipun semula ia sempat ragu, tapi ketika rekan-rekannya menunjuknya sebagai ketua, ia pun membulatkan tekad melaksanakan-nya. Apalagi usulan inisiatif Pansus Bulog itu muncul dari Fraksi Persatuan Pembangunan bersama Fraksi Reformasi. Ketika itu sempat ada dilema di kalangan internal partainya sebelum sampai pada putusan Sidang Istimewa (SI), mengingat peran fraksinya yang mendukung pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Tapi, menurutnya, pilihan politik yang diambil fraksinya merupakan konsekuensi dari garis partai yang menjunjung tinggi amar makruf nahi munkar. Jadi bukan persoalan siapa presi-dennya. Tapi konsistensi menolak segala bentuk penyalahgunaan atau penyelewenangan kekuasaan. Menurutnya, PPP konsisten pada garis reformasi, dan tidak mentolerir terulangnya kesalahan di masa lampau. Bukan soal besar-kecilnya jumlah uang penyelewengan, tapi lebih ditekankan pada soal moralitas dan penyalahgunaan kekuasaan.Lagi pula pelaksanaan pemerintahan Gus Dur saat itu sering kali mengeluarkan pernyataan kontroversial dan lain-lain. Dikuatirkan hal itu akan membuat bangsa ini hancur. “Jadi waktu itu motivasi menyelamatkan bangsa mencuat begitu kuat. Tidak tahan kita kalau setiap Jumat, presiden membuat statemen yang kontroversial. Coba bayangkan, di Aceh tentara tidak boleh keluar dari asrama lebih dari 500 meter.<br /><br />Kemudian Presiden pergi ke Aceh membuka selubung refrendum. Di Papua menginjinkan berkibarnya bendera Bintang Kejora asal di bawah bendera merah putih. Kemudian dibantunya pula Kongkres Rakyat Papua. Kongres itu untuk merdeka, memisahkan diri dari NKRI. Suatu tindakan presiden yang tidak masuk akal,” jelasnya.<br />Maka mencuat idealisme untuk menyelamatkan bangsa. Hal yang sama ada di hampir seluruh anggota Pansus. Itu yang membuat Pansus Buloggate tidak mempan disogok. “Ada sekitar 50 teman-teman yang terus bertahan. Karena ketika kami menyampaikan opsi memorandum, itu votingnya tengah malam seperti Pemilu. Sehingga steril dari kemung-kinan upaya sogok. Semuanya setuju,” kata suami Roshidah MS, guru SMU Negeri 8 Jakarta itu. Waktu itu ia amat lincah. Setiap malam harus bekerja dan diskusi. “Bagi saya menjadi pengalaman politik yang paling berkesan, namun berat. Sehingga dari situ saya memetik pelajaran yaitu betapa loby-loby antarpimpinan fraksi sangat menentukan. Menjalin saling kepercayaan antarpimpinan sangat menentukan. Sehingga anggota itu sadar bahwa kebijakan yang diambil Pasus Bulog tidak ada unsur kepentingan pribadi, tetapi yang ada hanya kepentingan bersama. Jadi sangat akrab. Anggota-anggota yang paling vokal di DPR kan itu semuanya rata-rata anggota Pansus Bulog, sehingga garang-garang, tapi semuanya akrab,” kenang ayah tiga anak (Roshi Ika Putri, SE. Ak, Moh. Iqbal, SE. Ak dan Rini Irawati mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Pancasila) ini. Kerja keras Pansus Bulog selama lebih empat bulan akhirnya bisa diterima oleh DPR yang membuah-kan Memorandum I dan II untuk Presiden Abdurrrahman Wahid. Kemudian mendorong diselenggara-kannya Sidang Istimewa MPR yang bermuara pada jatuhnya Gus Dur.Berbenturan dengan kekuasaan memang bukan hal baru baginya. Bukankah ia sudah pernah harus rela melepaskan kursi Ketua DPW PPP Sumatera Utara yang telah diraihnya dengan susah payah. Daya tahan politiknya bahkan sudah teruji semasa mudanya. Ketika marak kasus Komando Jihad, ia sempat diinterogasi aparat Laksus di Medan hanya karena dirinya seorang ketua HMI Badko Sumatera Utara tahun 1976. Maka tak heran jika teror selama menjadi ketua Pansus Bulog dan Brunei tak sampai menggelisahkannya. Apalagi teror yang diterimanya banyak hanya melalui surat kaleng yang dialamatkan ke ruang kerjanya di lantai 15 gedung DPR. Tumpukan surat itu tak pernah dibacanya, karena ia tak ingin kerjanya di Pansus terpengaruh. Sehingga hasil kerja Pansus Bulog telah menjadi salah satu catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.<br />Ia memang dikenal sebagai seorang poltisi yang teguh pada prinsip. Namun bukan berarti tidak bisa diajak berkompromi. Ia seorang yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Terakhir, terlihat dari sikapnya yang tegas dan cepat menunda pelaksanaan undian asuransi kematian atau kupon megakuis olahraga dan kemanusiaan (Oke). Ia menghargai perbedaan pendapat mengenai hal ini. Undian ini dikuatirkan meresahkan masyarakat karena dinilai berbau judi dan bertentangan dengan agama. “Saya melihat ada pro kontra di masyarakat terhadap undian itu. Ini bukan SDSB, namun daripada menambah polemik di tengah masyarakat saya stop. Jangan menambah polemik lagi karena masyarakat sudah bosan,” katanya dengan lepas, tanpa beban. *atur - yusak*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)<br />“Saya Tidak Mengejar Jabatan”<br />Sarjana ekonomi yang kini menjabat Men-teri Sosial ini telah makan asam garam dalam dunia politik. Kepiawaiannya me-mimpin Pansus Bulog (2000-2001) telah mengantarkannya ke jenjang karir politik sebagai nakhoda Departemen Sosial yang sarat dengan berbagai masalah.Kebehasilannya menjaga integritas dan moralitas Pansus Bulog telah menjadi semacam garansi kemampu-annya untuk memimpin sebuah departemen. Presiden Megawati dinilai sangat jeli memilihnya untuk memimpin Departemen Sosial yang semasa pemerintahan Gus Dur dibubarkan karena dianggap tidak perlu dan telah menjadi sarang korupsi, kolusi dan nepotisme. Bachtiar Chamsyah yang berlatar belakang pendidikan akuntansi dan selama di DPR juga bergelut dengan bidang ekonomi dihadapkan pada perubahan harus menangani masalah sosial yang sangat kompleks serta harus memperbaiki citra buruk yang disandang departemen itu. Bayangkan suatu institusi yang telah dibubarkan, kemudian diturunkan statusnya menjadi sebuah badan, lalu setelah menjadi badan dilebur dengan Depkes, setelah itu kembali lagi menjadi departemen. Dalam wawancara dengan Wartawan Tokoh Indonesia DotCom pada Kamis siang 19 Juni 2003 di ruang kerjanya Jalan Salemba Jakarta, ia mengungkap beberbagai hal sehubungan dengan bidang tugasnya sebaga Menteri Sosial dan kiprahnya sebagai seorang politisi. Berikut petikannya.MTI: Bagaimana Anda mengadaptasi perubah-an-perubahan dari suatu bidang ke bidang lain dan dari legislatif menjadi eksekutif untuk mengatasi masalah sosial yang sangat kompleks? Bachtiar: Ketika di DPR, saya di komisi V dan VI yang membidangi industri dan perdagangan, pertam-bangan, energi, investasi dan ekonomi. Kemudian beralih ke hal-hal yang bersifat sosial. Tetapi bagi saya, yang terutama menghayatinya. Apalagi persoalan sosial adalah kasat mata. Maka karena dihayati pekerjaan ini bisa saya kerjakan. Saya masuk kantor jam tujuh pagi dan pulang rata-rata jam setengah delapan malam. MTI: Kesulitan yang paling menonjol dalam membenahi departemen ini? Bachtiar: Yang namanya mempimpin tentu ada persoalan. Tetapi kita kan dilatih mencari solusi dalam hal-hal itu. Berpikir sistematis. Itu fungsi bersekolah yaitu memecah-kan persoalan dengan kerangka yang sitemastis. Orang banyak berpikir masuk perguruan tinggi hanya untuk menjadi pegawai. Tetapi sesungguh-nya hakikat bersekolah itu adalah agar kita dapat memecahkan persolan secara sistematis.Saya merasa berbahagia. Bayangkan, waktu awal-awal saya menjadi menteri, saya harus membangun struktur organisasi. Kemudian, saya harus bisa meyakinkan DPR bahwa budget departemen ini harus baik. Lalu dari anggaran yang ada harus menata departemen ini menjadi nyaman. Setelah itu menghadapi berbagai persoalan sosial. Persoalan sosial yang paling berat adalah pengungsi. Karena pengunsi itu hampir 2 juta orang yang terserak di 16 propinsi. Itu yang harus diselesaikan dan memakan waktu yang panjang serta penanganan yang tidak sama. Salah satu kasus pengungsi yang masih belum selesai saat ini adalah pengungsi transmigrasi Madura yang diusir dari Kalimantan Tengah. Sekarang sebagian masih berada di Madura.MTI: Apakah Depsos tetap juga memfasilitasi mereka untuk kembali? Bachtiar: Tentu, kita tetap membantu mereka. MTI: Ketika Depsos dilikuidasi, tentu dengan pertimbangan tertentu. Dan ketika departemen ini dihidupkan kembali, menurut Anda, apa yang menjadi ugensinya? Bachtiar: Tidak pernah masuk dalam pikiran saya jika departemen ini akan dibubarkan waktu itu. Kalau saya tanya, jika departemen ini tidak ada, pertama, siapa-kah yang akan mengurusi urusan pengungsi? Kedua, bagaimana dengan nasib panti-panti itu? Ketiga, bagaimana dengan orang ca-cat yang banyak itu? Belum lagi persoalan anak jalanan dan fakir miskin. Itu semua bukan persoalan yang kecil.Jadi saya pikir, keliru jika departemen ini dibubarkan. Sebab belum mungkin sepe-nuhnya permasalahan sosial kita serahkan kepada masyarakat. Apalagi dalam masyarakat kita yang sedang dalam tahap membangun, kemudian mengalami perubahan, di mana orang menginterpretasikan kebebasan semaunya. Di dunia saat ini Indonesia yang paling bebas. Orang bisa maki-maki seenaknya, boleh demonstrasi sebebasnya. Bahkan ketika saya masih di DPR, pada masa Gus Dur, saya mendengar ada sekumpulan orang berdemontrasi di Jakarta untuk mendeklarasikan kemerdekaan negara baru dan tidak apa-apa. Saya tidak mengerti, koq seperti itu.Orang Aceh berkumpul minta Aceh merdeka. Lalu orang Papua minta Papua merdeka. Waktu itu negara kita, istilah saya di DPR seakan-akan “masih ada nggak pemerintahnya?” Kadang-kadang terasa ada, kadang-kadang tidak ada. Kita mengalami suatu proses sosial yang luar biasa. Coba bayangkan kejadian orang Dayak memotong kepala orang Madura. Dia tenteng dan dipertunjukan di jalan-jalan. Kalau saya mempuyai waktu, saya mau menulis bagaimana hebatnya masalah sosial itu di dalam kasat mata.Sehingga saya berpikir kenapa ibu ini (seraya menunjuk foto Presiden Megawati) memilih saya. Karena tidak sembarang orang bisa menyelesaikan masalah sosial seperti ini. Ada ciri-ciri tertentu, yang kebetulan saya ini orang Medan. MTI: Tentu ada pengalaman menarik atau menantang saat menangani masalah pengungsi?Bachtiar: Salah satu contohnya, seperti ketika saya berbicara di depan pengungsi di Poso yang ber-ada di camp-camp di tempat penampungan yang sudah menahun. Sebagian mereka sudah merasa tidak nyaman tinggal di penampungan itu karena rindu kampung hala-man. Padahal tiap hari kita berikan 400 gram beras dan Rp.1.500 uang lauk-pauk. Jadi kalau dalam satu KK terdiri dari lima orang, kelu-arga itu mendapatkan 1 Kg beras dan uang Rp.7.500.Tetapi dampaknya, membuat sebagian lagi mereka jadi pemalas dan membuat lingkungan sekitar marah. Karena sekian lama pengungsi itu tidak bekerja tetapi mendapat makanan. Tetapi bagi mereka yang berjiwa baik, dia ingin kembali ke rumahnya. Maka karena itu, kita putuskan dari budget yang seperti tadi, diubah menjadi setiap KK diberikan sebesar Rp.8.750.000 untuk modal mereka kembali. Yakni Rp 5 juta untuk memperbaiki rumah, Rp.1.250.000 untuk kebutuhan hidup selama 3 bulan, Rp.1.250.000 untuk transpor dan Rp.1.250.000 untuk stimulan usaha. Tapi masih saja ada pe-ngungsi yang protes. Lalu kita jelaskan secara transpa-ran. Saya yang telah lama di DPR, tentu bisa saya jelas-kan tentang anggaran belanja negara kita. Saya jelaskan bahwa negara kita ini defisit, kita berutang. Saya ceritakan juga kepada mereka seperti sebuah perusahaan, negara kita ini sedang bangkrut. Anggaran Departemen Sosial sendiri untuk mengurusi orang-orang seperti saudara-saudara ada dua juta orang.“Saudara dengar itu?”“Dengar, Pak”. Kalau namanya orang dari seribu orang kan pasti ada saja yang tidak setuju, protes. Itu saya alami. Dia berkata, “Itu tidak cukup.” Secara psikologis, kalau saya di depan massa, tidak bisa meyakinkan, saya akan hancur. Setelah saya jelaskan, lalu saya tanyakan, “Sudah kau dengar tadi saya bicara?”“Sudah Pak,” jawabnya.“Kau tahu negara kita ini punya banyak utang?” “Tahu Pak”. “Kalau kau sudah tahu kemampuan negara seperti itu, kau terima saja, jangan protes lagi. Kalau negara ini kaya bukan Rp.8.750.000 kalian dikasih. Karena tidak ada lagilah maka hanya bisa dikasih segini.”Baru dia tertegun.“Supaya kalian tahu, ada istilah keras batu lebih keras tidak ada. Kalau keras seperti batu masih bisa kita hadapi, tetapi kalau keras tidak ada, apa yang bisa.” Lalu orang itu mahfum. “Ya, Pak!”Jadi yang terpenting adalah keterbukaan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat mengetahui bahwa inilah keadaan kita yang sebenarnya. Itu kunci saya sukses dalam menyelesaikan masalah pengungsi itu. Dengan keterbukaan dan berbagai penjelasan itu, tidak ada tuduhan korupsi. Tidak ada. Sebab kepada masyarakat dijelaskan secara terbuka berbagai permasalahan dan kesulitan anggaran. Dijelaskan pula bahwa tidak ada menteri (pemerintahan) yang tak ingin rakyatnya kaya. Gila menteri seperti itu. Jadi di situ butuh keterbukaan. Itulah gaya saya dalam meyelesaikan pengungsi.MTI: Bagaimana Anda dengan begitu yakin mengatakan di Depsos tidak korupsi lagi, sedangkan korupsi itu sudah menjadi semacam budaya?Bachtiar: Kita objektif saja. Umpama ia membeli barang, kita kan tahu ada aturan-aturan bisnis. Dan kita ijinkan saja harga barang itu naik 5-10 persen. Tidak apa-apa, karena itu kan memotong pajak. Jadi kita fair-fair saja, nggak usah kita berlagak tetapkan harga. Di depan muka kita, bisa saja ia katakan ya, tetapi di belakang kita entah apa. Dulu orang menganggap kalau di sini ada uang SDSB, waktu saya masuk tidak ada lagi. MTI: Bagaimana tang-gapan Anda terhadap pernyataan “makin banyak pengungsi makin banyak korupsinya”?Bachtiar: Itu bisa saja, tetapi tidak pernah berani terang-terangan. Karena itu sekarang saya menantang, jika ada aparat saya korupsi, kasih tahu, supaya saya tindak, yang penting jangan difitnah. Jadi enak kan?Saya bisa maklum kebebasan pers saat ini. Walaupun seyogianya koran jangan hanya memberitakan yang buruk tetapi sebaiknya juga hal-hal yang bagus. Sebelum jadi menteri, saya di Medan sempat memimpin surat kabar. Saya paham soal anggapan, kalau berita tidak menyudutkan (mengkritik) dianggap tidak enak. Sama dengan ketika saya memberhentikan tim ahli. Dia keberatan dan bilang dipecat. Seorang men-teri boleh saja mengangkat tim ahlinya, dan boleh saja memberhentikan dengan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya. MTI: Apa cara Depsos dalam mengatasi pengungsi yang saat ini begitu besar di Aceh?Bachtiar: Jangan dipandang pengungsi yang ada di Aceh sama dengan pengungsi yang ada di tem-pat lain. Pertama, pengungsi di Aceh tidak jauh dari rumahnya. Kedua, mereka mengungsi untuk menghin-dari operasi keamanan. Jangan sampai mereka terkena, maka mereka mengungsi. Jika keamanan sudah normal mereka kembali, dan biasanya itu tidak sampai dua minggu atau dua bulan. Begitu diumumkan daru-rat militer, kita langsung mengirimkan bantuan barang-barang. Kita belanja di Jakarta dan Medan. Kita disimpan di gudang-gudang dan kemudian distribusikan. Kita atur struktur organisasi, ada tim Satgas yang dikordinasikan dengan pemerintah daerah dan penguasa darurat militer daerah. Semua kegiatan itu di bawah komando penguasa darurat militer daerah. Kita yang beberapa hari sempat kewalahan hanya soal Birun. Birun itu bukan tidak makan, hanya soal sanitasi. Karena di Cergapu, prediksi kita bersama penguasa darurat militer sekitar 7000 pengungsi, maka kita siapkan kebutuhan untuk 7000. Tahu-tahu yang masuk 14.000, dua kali lipat. Maka timbul problem dan yang paling berat sanitasi.Mula pertama kita pasang tenda antara 70-56, tetapi karena masuk 14 ribu sehingga harus memasang 128 tenda pleton. Itu luar bisa sekali. Tetapi akhirnya dapat teratasi. Sementara, sanitasi itu bukan tanggung-jawab Depsos melainkan Kimpraswil. Tetapi karena kita, leading sector operation, maka banyak langkah yang kita lakukan. Contohnya, mengenai kurang tersedianya tong-tong besar penampungan air. Yang ada hanya 15 buah sedangkan yang dibutuhkan 25 buah. Lalu, saya perintahkan kepada Bupati Birun, “Cari akal. Ambil papan buat jadi tong, tutup pakai plastik.” MTI: Bagaimana ke-yakinan Anda mengenai sistem distribusi dapat berjalan baik? Bachtiar: Distribusi kita terhambatnya kadang-kadang kendaraan sulit. Sebenarnya kita punya 3 gudang besar di Medan, Lhoksemawe dan Banda Aceh. Birun itu dekat dengan Banda Aceh, jadi sebenarnya tidak ada kesulitan. Ada kemampuan mendorong barang-barang itu dari Loksumawe. Namun demikian untuk kabupaten-kabupaten yang jauh, itu sudah sekitar 4 hari kita kirim 6 mobil box. Sekarang pertanyaannya, kenapa mengirim 6 mobil box? Karena kita tidak mungkin menyewa di sana. Sebab jika kita menyewa mobil dari Si A, dan ketika kelompok GAM mengetahuinya, Si A akan takut. Soal Aceh ini saya sangat paham, sebab saya sudah berkali-kali pergi ke sana. Jadi kalau orang cerita tentang Aceh, saya tahu. Dan saya ke Aceh bukan saja ke Banda Aceh, tetapi ke Tapaktuan, Meulaboh dan lain-lain. Saya dialog dengan pengungsi. Saya ke Lhoksemawe ke kabupaten-kabupaten daerah hitam, bahkan saya ke pulau Nasi. MTI: Pendapat Anda tentang Hamzah Haz sebagai calon presiden?Bachtiar: Saya kira Muktamar belum memutuskan akan hal itu, karena segala sesuatu itu harus ada aturan mainnya.MTI: Sekarang Anda berada di luar DPP PPP, bagaimana cara agar visi Anda terakomodir dalam partai?Bachtiar: Tentu saja kita tidak bisa memaksakan visi dan misi kita ke depan. Visi mereka-lah yang digunakan. MTI: Jadi, saat ini Anda dalam posisi wait and see?Bachtiar: Ya, kita harus betul-betul menjadi kader yang baik saja. Nggak usah kita gerasak-gerusuklah.MTI: Saat ini ada suara-suara yang menginginkan diadakannya muktamar luar biasa?Bachtiar: Oh, itu tidak kapasitas saya. Tidak mau saya memberikan komentar. Karena kalau saya berko-mentar tentang hal itu, nanti akan ada rumor bahwa saya yang mendorong hal itu. Yang saya sarankan adalah harus selalu menjadi kader partai yang terbaik. MTI: Apa yang menjadi obsesi Anda dalam karir politik?Bachtiar: Yang pertama bagi saya adalah tetap menjaga hubungan yang baik dengan teman- teman, baik yang ada di lingkungan PPP maupun yang di luar PPP. Kedua, dengan hubungan-hubungan yang baik tadi saya bisa memberikan kontribusi pemikiran untuk meghadapi persoalan bangsa dan negara ini. Saya menyadari benar ada teman-teman yang ingin sekali bertukar pikiran. Bahkan banyak mengajak masuk parati A,B dan C. Tetapi saya ingat, saya kader PPP. Kader PPP yang bukan mengejar jabatan saja. Dan jika saya hanya mengejar jabatan, kenapa Sekretaris Jendaral tidak saya ambil? Pada saat ini posisi saya sebagai anggota biasa. Tetapi gerakan saya adalah harus tetap menjalin hubungan dengan teman-teman saya. Teman saya banyak. Dan waktu saya, banyak saya gunakan untuk melakukan tugas-tugas kenegaraan yang berhubungan sosial, dan jika itu diselesaikan dengan baik, alhamdulillah. MTI: Tetapi banyak juga yang kecewa terha-dap hasil muktamar PPP yang lalu, bagaimana Anda mengatasi kekecewaan ini?Bachtiar: Saya meng-ingatkan, bahwa mereka harus tetap di dalam PPP. Walaupun banyak yang menginginkan mendirikan partai baru, saya bilang, jangan. Itu membuat kita mundur, dan menghasilkan partai baru itu repot. MTI: Sudah adakah pendekatan atau silahturahmi dari DPP PPP yang sekarang ini?Bachtiar: Ya, Sekjen menemui saya. Saya diminta untuk memberikan beberapa masukan dan saran serta pengalaman. Saya berikan. Antara lain, jangan DPP menganggap kader di luar DPP itu sebagai lawan.<br /><br />Nama : H. Bachtiar Chamsyah, SE<br />Lahir : P. Tiji Sigli, 31 Desember 1945<br />Jabatan : Menteri Sosial RI<br />Agama : Islam<br />Istri : Roshidah MS (Guru SMU Negeri 8 Jakarta)<br />Anak:Roshi Ika Putri, SE. AkMoh. Iqbal, SE. AkRini Irawati (Fak. Teknik Universitas Pancasila, Jakarta)<br />Pendidikan<br />SD Negeri Kutacane, lulus 1957<br />SMP Negeri Medan, lulus 1961<br />SMA Ngeri Maninjau, Lulus 1964<br />AAN Negeri Medan 1966 s/d 1970<br />Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Nommensen, Tingkat V, tidak lulus<br />Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi pada Universitas Medan Area, lulus 1997<br />Organisasi<br />1966. Anggota KAMI Komisariat AAN Negeri Medan<br />1967. Ketua Komisariat HMI AAN Negeri Medan<br />1969. Ketua Umum HMI Cabang Medan<br />1976. Ketua Umum Badko HMI Sumatera Utara<br />1971. Wakil Ketua Muslimin Indonesia Sumatera Utara<br />1994. Pjs. Ketua DPW Partai Persatuan Pembanguan Sumatera Utara<br />1994 – Sekarang. Wakil Sekjen DPP PPP<br />1999 – 2002 Sekjen Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI)<br />2002. Ketua Umum PARMUSI<br /><br />Pekerjaan<br />1974 – 1981. Pegawai Honorer Pemda Kodya medan<br />1978 – 1980. Guru (Swasta) Perguruan Amir Hamzah Medan<br />1982 – 1987. Anggota DPRD Tk. 1 Sumatera Utara<br />1987 – 1992. Wkl. Pimpinan Umum Mingguan DEMI MASA, Medan<br />1992 – 1997. Angota DPR RI (Wakil Sekretaris FPPP)<br />1997 – 1999. Anggota DPR RI (Sekretaris FPPP DPR)<br />1999 – 2004. Anggota DPR RI<br />1999 – 2001. Ketua Komisi V DPR RI2000 Ketua Pansus BULOG GATE<br />2001 Menteri Sosial RI pada Kabinet Gotong Royong<br /><br />Riwayat Perjuangan Aktif dalam penumpasan G.30 S/PKI dan Penegakan Orde Baru:<br />- Sebagai Ketua KAMI Komisariat AAN Negeri Medan<br />- Aktifis dan Ketua Komisariat HMI MedanTanda Penghargaan Satya Lencana Pembangunan Bidang Koperasi 2000<br /><br />Alamat Rumah: Jl. Widya Candra IV No. 18<br />Alamat Kantor:Jalan Salemba Raya No.28, Jakarta PusatTelp (021) 3103591<br /><br />http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/b/bachtiar-chamsyah/wawancara.html</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-48122639381784150372008-01-13T21:27:00.000-08:002008-01-15T06:20:32.618-08:00Azyumardi Azra, Prof, Dr, MA<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOfso4yGJhim8ESusg1nCC1Wsp1gATNOUHUBeQP8pI4l-S5RcoqY38MGdQ1z7tnkBWTn7dvD8ACXkZZwdDBn0a0Cztvfpxzjd1viuTGTtF1nPZdDznshYjto1dFOLWNJ5Amo-_ajzSLjQ/s1600-h/azyumardi_azra_2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155707844162447714" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOfso4yGJhim8ESusg1nCC1Wsp1gATNOUHUBeQP8pI4l-S5RcoqY38MGdQ1z7tnkBWTn7dvD8ACXkZZwdDBn0a0Cztvfpxzjd1viuTGTtF1nPZdDznshYjto1dFOLWNJ5Amo-_ajzSLjQ/s320/azyumardi_azra_2.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Permata Hijau Pemikir Islam</strong><br />Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, ini perlahan namun pasti semakin kokoh sebagai pemikir Islam pembaharu. Pemilik nama Azyumardi Azra yang mempunyai arti mendalam sebagai “permata hijau”, tak kurang telah menulis sembilan buku tentang Islam. Koleksi bukunya sudah mencapai 15.000 judul buku. Namanya pun diapit lengkap oleh gelar Prof., Dr., dan MA. Menurut pengakuan pria Minangkabau kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955 , ini perjalanan hidupnya mengalir begitu saja, seperti air. Sikap intelektualnya pun bertumbuh alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang dimasukinya. Ketika masih mahasiswa, komunitas intelektualnya adalah Forum Diskusi Mahasiswa Ciputat (Formaci), kemudian HMI di lingkungan Ciputat, lalu meningkat ke LP3ES, bahkan sampai ke LIPI sebelum melanglang buana ke mancanegara. Sekarang daya nalar intelektualnya dibutuhkan dimana-mana sebagai rujukan untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa.Azyumardi Azra kini dikenal pula sebagai profesor yang ahli sejarah Islam dan nilai-nilai hidup Nabi Muhammad. Sejak tahun 1998 hingga sekarang dia adalah rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang sejak Mei 2002 lalu berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Pada awalnya sesungguhnya Azyumardi tidaklah berobsesi atau bercita-cita menggeluti studi keislaman. Sebab, dia lebih berniat memasuki bidang kependidikan umum di IKIP. Adalah desakan ayahnya, yang menyuruh Azyumardi masuk ke IAIN sehingga dia kini dikenal sebagai tokoh intelektual Islam masa depan. Dia lahir dari ayah Azikur dan ibu Ramlah. Azyumardi lulus dari Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta pada tahun 1982. Pada tahun 1986 memperoleh beasiswa Fullbright Scholarship untuk melanjutkan studi ke Columbia University, Amerika Serikat. Dia memperoleh gelar MA (Master of Art) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah pada tahun 1998. Kemudian, memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA lain di tahun 1989, kemudian gelar Master of Philosophy (Mphil) di tahun 1990, serta doktor Philosophy Degree (PhD) di tahun 1992 dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian `Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi ini bahkan telah dipublikasikan oleh Australia Association of Asian Studies bekerjasama dengan Allen Unwin.Kembali ke Jakarta, di tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Kembali melanglang buana, pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia keduanya di tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.Di tahun 2001 Azyumardi Azra memperoleh kepercayaan sebagai profesor tamu internasional pada Deparmen Studi Timur Tengah, New York University (NYU). Sebagai dosen, dia antara lain mengajar pada NYU, Harvard University (di Asia Center), serta pada Columbia University. Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk beberapa disertasi di Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, maupun di University of Leiden.Suami dari Ipah Fariha serta ayah empat orang anak, Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra ini, juga aktif mempresentasikan makalah pada berbagai seminar dan workshop setingkat nasional maupun internasional. Pria yang pernah tercatat sebagai wartawan “Panji Masyarakat” di tahun 1979-1985 ini, telah menulis dan menterbitkan buku antara lain berjudul Jaringan Ulama (Tahun 1994), Pergolakan Poitik Islam (1996), Islam Reformis (1999), Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999), Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim (1999), Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, dan buku Islam Substantif (tahun 2000).Pehobi joging dan menonton pertandingan sepakbola ini awalnya menampik sebagai pimpinan kampus, terutama ketika ditunjuk menjadi Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik. Namun dia sadar, adalah kampusnya itu yang telah membentuk kadar intelektualnya, yang telah pula mengirimnya sekolah kemana-mana sehingga semuanya dianggapnya sebagai utang. Kesediaan menjadi Purek ternyata bermakna lain, menjadi sinyal bagi sejawatnya bahwa jika dipercayakan sebagai rektor dia pasti tidak bisa menolak. “Itu saya sebut sebagai musibah,” katanya suatu ketika, menanggapi penunjukannya sebagai rektor.Dia pun lantas memperlebar makna kampusnya, dari IAIN manjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah sejak Mei 2002 lalu. Perubahan itu disebutkannya sebagai kelanjutan ide rektor terdahulu Prof. Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis, dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja. Itulah sebabnya, kata pemilik 12 ribu mahasiswa itu, untuk mencapai ide tersebut institusinya harus dibenahi agar ilmu umum dan agama bisa saling berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi universitas sehingga muncullah fakultas sains, ekonomi, teknologi, MIPA, komunikasi, matematika, dan lain-lain.Azyumardi juga ingin agar wawasan keislaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keindonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keislaman yang akan kita kembangkan itu adalah keislaman yang konstekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia,” ujarnya. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berfanatisme dan bermadzhab, berbeda dengan anak-anak yang memahami agama secara literer yang cenderung hitam putih. ► ht/ms => <a title="Wawancara" href="http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/azyumardi-azra/wawancara.shtml">Lanjut</a>***<br />TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia<br /><br />Nama:Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA<br />Lahir:Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955<br />Agama:Islam<br />Istri:Ipah Fariha,<br />kelahiran Bogor 19 Agustus 1959 (Menikah: 13 Maret 1983)<br />Anak: Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra<br />Pendidikan:<br />1. Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta, 1982<br />2. Master of Art (MA), Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University, 1998<br />3. Master of Philosophy (Mphil), pada Departemen Sejarah, Columbia University, tahun 19904. Doktor Philosophy Degree, tahun 1992<br /><br />Karir:<br />1. Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985)<br />2. Dosen Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang)<br />3. Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta<br />4. Pembantu Rektor I IAIN Jakarta (1998)<br />5. Rektor IAIN (UIN)Jakarta (1998-sekarang)<br />6. Professor Fellow di Universitas Melbourne, Asutralia (2004-2009)<br />7. Anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad, Pakistan (2004-2009)<br /><br />Kegiatan Lain :<br />1. Ketua Umum Senat Mahasiswa Fak Tarbiyah IAIN Jakarta (1979-1982)<br />2. Ketua Umum HMI Cabang Ciputat (1981-1982)<br />3. Anggota Selection Committee Toyota Foundation & The Japan Foundation (1998-1999)<br />4. Anggota SC SEASREP (1998)<br />5. Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) (1998-sekarang)<br />6. Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS)<br />7. Anggota the International Association of Historian of Asia (1998-sekarang)<br />8. Visiting Fellow pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University (1994-1995)<br />9. Dosen Tamu University of Philippines dan University Malaya (1997)<br />10. External Examiner, PhD Program Universiti Malaya (1998-sekarang)<br />11. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran<br />12. Anggota Dewan Redaksi Islamika<br />13. Pemimpin Redaksi Studia Islamika<br />14. Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Jakarta<br />15. Anggota Redaksi Jurnal Qquranic Studies, SOAS/University of London<br />16. Anggota Redaksi Jurnal Ushuludin Univeristy Malaya, Kuala Lumpur<br />Menulis 18 buku tentang Islam dan memiliki koleksi 15.000<br />judul buku<br />Buku Terbit:<br />1. Jaringan Ulama, terbit tahun 1994<br />2. Pergolakan Poitik Islam, terbit tahun 1996<br />3. Islam Reformis, terbit tahun 1999<br />4. Konteks Berteologi di Indonesia, terbit tahun 1999<br />5. Menuju Masyarakat Madani, terbit tahun 1999<br />6. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, terbit tahun 1999<br />7. Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim,1999<br />8. Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, terbit tahun 19999. Islam Substantif, terbit tahun 2000<br />10. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah (2002)<br />11. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi (2002)<br />12. Reposisi Hubungan Agama dan Negara (2002)<br />13. Menggapai Solidaritas: Tensi antara Demokrasi, Fundamentalisme, dan Humanisme (2002)14. Konflik Baru Antar-Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas<br />15. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (2002)<br />16. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003)<br />17. Disertasi doktor berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries’”, pada tahun 2004 sesudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), di Honolulu (Hawaii University Press), dan di Leiden Negeri Belanda (KITLV Press).<br /><br />Penghargaan: Penulis Paling Produktif, dari Penerbit Mizan, Bandung, tahun 2002<br /><br />http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/azyumardi-azra/index.shtml</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-63858691608060448092008-01-11T21:33:00.000-08:002008-01-15T06:23:50.437-08:00Baihaki Hakim<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhV4zhQ8IGpiKvDbIL0VlFEjUJq1K-A8RyxSYu9-s8lu66SB6Ceube-yhbQC_2Q24noP6iPIRoBgZqzytei5AT6TFWrqUdVbovOy6G6JbQEUlU1DB-tr7iWKaBUNVWqiw5gAogQ1lPvsxo/s1600-h/baihaki_hakim.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155708827709958514" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhV4zhQ8IGpiKvDbIL0VlFEjUJq1K-A8RyxSYu9-s8lu66SB6Ceube-yhbQC_2Q24noP6iPIRoBgZqzytei5AT6TFWrqUdVbovOy6G6JbQEUlU1DB-tr7iWKaBUNVWqiw5gAogQ1lPvsxo/s320/baihaki_hakim.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Pertamina Sekadar Mandor dari Kontraktor</strong><br />Ketika Baihaki Hakim diminta menjadi direktur utama (dirut) di Pertamina pada bulan Februari 2000, Presiden KH Abdurrachman Wahid berpesan agar Pertamina mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan minyak asing. Saat itu, Pertamina bukan saja tidak punya kegiatan produksi di luar negeri, bahkan di dalam negeri pun hanya menjadi "mandor" dari kontraktor bagi hasil (KPS).Waktu itu Baihaki baru menyelesaikan tugasnya sebagai Presiden Direktur PT Caltex Indonesia yang disandangnya sejak tahun 1994, dan Presiden butuh orang berpengalaman perminyakan dan mampu mengangkat perusahaan Pertamina ke kancah internasional. Baihaki diusulkan mengingat pengalamannya selama 31 tahun di perusahaan migas Caltex.Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu sebenarnya tengah bersiap untuk pensiun dari urusan migas. Bahkan, lelaki berpenampilan sederhana yang lahir di Sijunjung, Sumatera Barat ,tanggal 3 Desember 1942 ini sudah mempersiapkan rumah di Cirebon untuk menikmati hari tuanya.Ia mengurungkan niatnya. Ia yang dulu dikenal menghindari bertemu semua mitra Pertamina di kediaman pribadinya, akhirnya bersedia menjadi Dirut Pertamina.Baihaki bertekad membuat Pertamina mendunia dan tuan rumah di negerinya sendiri. Ia ingin Pertamina tak lagi hanya menjadi perusahaan "mandor" yang terima setoran dari perusahaan asing, yang mengeduk "emas hitam" dari perut bumi negeri ini. Bagaimana misi Anda untuk go international?Pertamina sudah punya program yang sudah pakem untuk go international. Greget Pertamina untuk tahun 2003 adalah mematangkan operasi di Vietnam, Irak, dan Myanmar. Tiga area ini cukup berharga untuk ditindaklanjuti. Pertamina mendapat lahan di Blok III Western Desert (Irak), wilayah yang berbatasan dengan Arab Saudi dan Yordania. Kendati suasana di Irak memanas akibat ancaman serangan Amerika Serikat (AS), delegasi Pertamina sudah ada di sana untuk membuka kantor dan memulai melaksanakan komitmennya. Proyek Irak untuk jangka panjang, kita tidak mau kehilangan kesempatan karena lahan-lahan yang diberikan sangat prospektif. Pokoknya, pelan-pelan, Pertamina akan go internasional.Lantas operasi di dalam negeri? Porsi domestik juga luar biasa. Dalam blue print Pertamina ada tiga pilar utama yang memberikan peningkatan yang cukup signifikan, antara lain Proyek Donggi di Sulteng yang prosesnya dalam tahap akselarasi, proyek gas di Sumatera Selatan (Sumsel), dan proyek petrokimia di Jawa Timur (Jatim). Kita sebenarnya bisa mengoptimalkan aset-aset baru yang kita temukan. Maka sering saya mengatakan, Pertamina akan menjadi dominan player, meskipun tidak lagi menjadi regulator, sebab Pertamina memiliki resource base yang cukup banyak dan daya yang cukup besar.Pertamina akan ditempatkan di mana?Secara kualitatif, kalau bicara mengenai miyak mentah, maka Pertamina akan menjadi produser nomor dua di Indonesia, setelah perusahaan Caltex. Jika berbicara mengenai produksi gas, Pertamina berada di nomor empat, setelah Total, ExxonMobil, dan Unocal. Akan tetapi, pada tahun 2005, saat tiga proyek besar sudah berjalan maka peta migas nasional akan berubah. Hal ini terjadi karena perusahaan asing yang ada di Indonesia mulai menurun produksinya. Sebaliknya, Pertamina justru bertambah. Jadi, setidak-tidaknya Pertamina akan berada dalam ranking tiga besar perusahaan minyak, yang beroperasi di Indonesia.SETELAH Baihaiki menapakkan kakinya di Pertamina, ada perbedaan yang cukup signifikan dari perusahaan minyak milik negara ini. Perusahaan ini, tidak hanya akan menjadi mandor bagi kontraktor, dan menerima bagi hasil dari perusahaan-perusahaan asing. Pertamina lebih selektif menyerahkan sumber-sumber migas untuk dikelola oleh pihak asing. Kebijakan ini diambil karena Pertamina sudah mulai percaya diri untuk melakukan kegiatan hulu, yang sebelumnya selalu dihindari karena dianggap membutuhkan investasi yang sangat mahal dan memiliki risiko yang paling tinggi. Bila perlu, menolak tawaran dari perusahaan asing, jika Pertamina memang betul-betul mampu mengelola sendiri sumur atau ladang gas yang ditemukan.Pertamina mampu?Tadi pagi (Kamis, 9/1), saya bicara dengan salah satu wakil perusahaan AS yang termasuk the seven sister (tujuh perusahaan minyak raksasa di AS) yang menawarkan kerja sama. Namun, saya mengatakan tunggu dulu. Pertamina agak pelit sekarang, karena kita sudah menemukan aset dan merasa mampu mengelola sendiri. Saya memberitahu mereka agar menunggu terlebih dahulu sampai kita menyelesaikan kajian dalam proyek-proyek yang akan dikerjakan Pertamina. Bila memang kita membutuhkan partner strategis, tentu kami akan mengharapkan dari Anda. Kerja sama itu bisa dalam hal pendanaan, pemasaran, atau teknologi. Untuk kebutuhan lainnya, Pertamina sudah punya.Jadi saya kira, di sini kita bisa melihat, Pertamina tidak gampang lagi untuk memberikan peluang ke perusahaan asing. Sekarang kita tahu, kalau melakukan joint venture berarti kita berbagi keberuntungan dengan mereka. Padahal, there's no free lunch. Kalau dulu, semua diberikan ke pihak ketiga. Sementara kita hanya cukup jadi mandor besar. Sekarang sudah berbeda keadaannya, makanya kita untuk strategi aliansi musti selektif sekali. Lebih penting lagi strategi yang akan kita pakai itu sudah dipahami oleh semua teman-teman di Pertamina, sehingga kelak Pertamina tidak dirugikan dalam kontrak maupun kerja sama. SELAIN memberikan keuntungan kepada negara, Baihaki juga memikirkan, bagaimana Pertamina dapat menyumbangkan investasi yang lebih besar dalam pembangunan di Indonesia. Oleh sebab itu tidak heran jika tiga proyek besar di Sulteng, Jatim, dan Sumsel, dijadikan tiga pilar utama Pertamina ke depan. Secara khusus ia memberi perhatian langsung kepada tiga proyek ini, agar betul-betul bisa direalisasikan sesuai dengan rencana. Dia bahkan mengaku ngotot untuk menangani tiga proyek ini dengan membentuk tim yang perkembangannya ia pantau langsung.Apa arti tiga proyek besar bagi masyarakat?Bila berbicara Proyek Donggi saja, akan membuka lapangan pekerjaan bagi 1.000 orang, kemudian efek bergandanya bagi lingkungan juga akan luar biasa. Efek domino itu tak hanya di sektor migas, tetapi di sektor hulu manifaktur seperti petrokimia hingga ke hilirnya. Artinya, dari satu titik itu bisa lahir efek ekonomi lima sampai tujuh kali besarannya. Tidak mustahil akan muncul kota-kota baru yang terpadu di sekitar wilayah migas tersebut, seperti Bontang dan Lhok Seumawe, misalnya. Belum lagi, dari tiga proyek besar ini, akan terjadi juga pertumbuhan di sektor hilir, yang bukan porsi Pertamina. Jadi, bisa dibayangkan berapa besar nilai tambah yang bisa diraup dari kegiatan hulu migas tersebut.Berdasarkan pengalaman saya, masalah sumber daya manusia harus sedini mungkin diantisipasi, agar orang di daerah tersebut bisa mendapatkan nilai tambahnya. Rakyat di sekitarnya tidak boleh menjadi sekedar penonton, kalau tidak berpengalaman harus dilatih sejak awal. Langkah ini penting dilakukan karena betapa besarnya potensi pasar Pertamina yang selama ini tidak disadari, karena mungkin kita "tertidur". Sekarang Pertamina adalah raksasa yang sudah bangun, sudah pede, karena sudah menemukan jati dirinya.BAIHAKI memang telah mengubah wajah Pertamina selama tiga tahun ini. Di tangan lelaki yang mengaku "besar" secara otodidak tumbuhlah citra Pertamina di masyarakat, yang lebih transparan. Pertamina tak lagi menjadi "negara dalam negara". Kesan sebagai BUMN yang sering dipakai sebagai "sapi perahan" dan sarat KKN berangsur-angsur dihilangkan. Langkah kecil yang ditempuh Baihaki untuk memperbaiki citra Pertamina antara lain, melarang jajaran pejabatnya untuk menerima bingkisan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Langkah ini bukan baru, tapi juga bukan hal yang mudah.Tujuannya, kata Baihaki, untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran kepada karyawan. Awalnya cuma parcel, akhirnya berlanjut terus. Selain itu, atasan akan menjadi contoh dari bawahannya. Konsekuensi kebijakan itu, tak jarang dirinya dihujat oleh para pedagang parcel yang menganggapnya telah mematikan rejeki mereka.Bagaimana menghilangkan citra KKN?Saya tahu masih ada yang nakal, dan memberikan kesan untuk melakukan KKN. Namun, saya sudah meminta kepada rekanan Pertamina, cukup memberikan harga tender yang terbaik dan melaksanakan tepat waktu. Tidak perlu lagi mengajukan tender ke Pertamina dengan memperkirakan "harga delta" untuk diberikan kepada oknum Pertamina. Pernah saya panggil wakil perusahaan dari Jepang dan Eropa, dan saya beritahu bahwa saya mendengar staf saya memberikan kesan macam-macam. Saya katakan kepada mereka, "no way untuk hal seperti itu". Lalu setelah mereka mengetahui sikap saya, rekanan itu kemudian berjanji memberikan harga yang terbaik kepada Pertamina.Pada waktu bekerja di Caltex, semua mekanismenya sudah terbentuk dengan baik dan tertutup untuk praktik KKN. Namun, kalau di Pertamina, memang hal semacam ini menjadi pekerjaan rumah. Untuk menghilangkan tender bermasalah, saya bekerja sama dengan direktur, saya panggil semua yang terlibat, dan ternyata teman-teman mendukung karena ada komitmen yang tulus.Tindakan Anda terhadap karyawan nakal?Pekerjaan paling sulit! Memang memerlukan waktu untuk perubahan, saya sadar sejak awal untuk tidak pernah melakukan gebrakan. Bahkan, tahun pertama di Pertamina, saya yakinkan bahwa saya akan merangkul seluruh karyawan terlebih dahulu. Padahal, waktu itu orang-orang curiga, saya akan main babat. Namun hal itu coba saya hindari. Saya menyesuaikan diri dan tidak pernah terkontaminasi dengan hal-hal yang negatif.Apalagi perubahan di PertaminaSaya juga melakukan langkah berani, dengan mendorong profesional muda yang ada di Pertamina. Kini, tidak perlu menunggu 10 tahun, tetapi sekarang orang yang berumur di bawah 40 tahun bisa duduk di kursi manajer. Dulunya jabatan itu dapat diduduki setelah seseorang berusia 50 tahun. Dalam hal ini, memang ada kegamangan pada karyawan yang sudah tua dan telah lama berkarier di Pertamina. Namun untuk menghindarkan benturan, saya melakukannya dengan apa yang saya sebut Indonesian way sebagai usaha ekstra. Contohnya ada satu grup, seharusnya kolonel yang memimpin, tetapi hanya ada beberapa letkol, tetapi letkol ini tidak mampu, maka saya carikan tempat lain, sehingga mayor yang ditunjuk bisa bekerja dengan tenang dan yang senior tidak merasa didepak.Apa yang sudah Anda capai?Kalau saya lihat, apa yang sudah dicapai selama tiga tahun di Pertamina, adalah mengubah budaya. Bagaimana kawan-kawan kami dengan semangat we can do it. Saya memang membawa pengalaman yang bagus, apalagi pemerintah mendorong agar pertamina fokus pada bisnis. Saya berharap, pengalaman saya dalam mengelola proyek berskala besar di Caltex dulu, di mana bisa cepat, efisien, dan tepat waktu, dapat ditularkan ke Pertamina. Dengan tim baru Pertamina, saya yakin ini bisa terwujud, sehingga mimpi Pertamina untuk menjadi world class company bisa diwujudkan. Tentu ini masalah waktu, blue print sudah disiapkan, Pertamina pasti akan menuju ke sana. Saya optimis, warga Pertamina sudah sepakat untuk melakukan perubahan. Terbukti saat misi dan visi Pertamina disosialisasikan kepada karyawan, 99 persen memahami tujuan Pertamina di masa depan, mereka setuju dan mendukung perubahan.JIKA kelak Pertamina berhasil ke kancah internasional dan sekaligus mengubah citranya, sebenarnya itu adalah hasil usaha bersama dari seluruh karyawan Pertamina, yang berjumlah 20.000 orang. Namun perlu diingat, yang menggerakkan karyawan adalah cara kerja Baihaki yang memberikan contoh bagaimana tugas yang dibebankan bisa dikerjakan sebaik mungkin dengan penuh tanggung jawab. Dalam arti, tanggung jawab pada waktu, dana, maupun kualitas yang semuanya dilakukan demi kepentingan nasional tanpa meninggalkan fungsi sebagai seorang profesional. Hal itu ditunjukkan Baihaki, ketika akan menerima jabatan Dirut Pertamina. Waktu itu rekan-rekannya memintanya untuk menolak jabatan tersebut, karena kondisi Pertamina yang sulit diperbaiki. Namun, Baihaki tetap "masuk" dengan tekad menghadapi tantangan yang lebih berat ketimbang memimpin Caltex Indonesia. Apa motivasi Anda memimpin Pertamina?Motivasi yang terkuat datang dari pesan almarhum Bapak saya sebelum meninggal pada tahun 1989. Saya masih ingat betul kata-katanya, yang mempertanyakan kapan saya punya waktu untuk membantu negara. Di mata Bapak saya, selama bekerja di Caltex dianggapnya tidak membantu negara. Saya dianggap membantu kepentingan asing untuk memperkaya mereka dengan bekerja di perusahaan asing.Kini saya tidak punya beban bekerja di Pertamina. Paling tidak amanah almarhum sudah saya penuhi untuk membantu negara. Jadi, kini beban pekerjaan itu jauh lebih ringan dan tak lagi musti membawa pulang persoalan kantor ke rumah. Pokoknya semua waktu saya berikan kepada Pertamina, dan fokus kepada agenda Pertamina ke depan.Anda letih menghadapi masalah Pertamina?Memang kalau dilihat, saya seolah-olah capek. Tetapi tidak juga karena mendapat dukungan 200 orang manajer dalam satu tim baru yang sudah satu bahasa. Jadi, sebenarnya saya hanya lebih banyak memikirkan beberapa rencana besar.Apa yang membuat Anda tetap terlihat segar?Saya selalu menyempatkan berolahraga selama 45 menit setiap hari, setelah shalat subuh atau usai pulang kerja. Selain itu melakukan ibadah, karena menjadi pegangan hidup. Bagi orang yang bekerja keras, harus selalu sempatkan olah raga dan ibadah.Apa rencana setelah pensiun?Saya akan menyibukkan diri dalam kegiatan pendidikan sebagai ketua dewan pembina pada Center of Corporate Leadership dan menjadi dewan pembina pada organisasi lingkungan hidup The Natural Concervation. Selain itu, menyumbangkan pikirannya ke The Conference Board, di mana dirinya menjadi salah seorang anggota senior yang kerap memberikan masukan tentang kepemimpinan dalam perusahaan.Setelah pensiun saya juga akan memperdalam ilmu agama, kemudian akan belajar untuk melakukan dakwah agama. Dulu ketika SMA di Medan, sebenarnya saya juga menjadi guru ngaji, dan kini sering diminta berceramah agama di lingkungan Pertamina.KEHIDUPAN Baihaki memang sangat sederhana, sebagai dirut BUMN terkaya, ia memilih tinggal di sebuah apartemen di Jakarta. Alasannya, dia hanya tinggal berdua dengan istri, jadi tidak perlu menempati rumah dinas yang tentunya jauh lebih luas dan memerlukan penjagaan satpam segala.Anak pertamanya Tommy Baihaki menetap di Amerika Serikat setelah menikah dengan wanita berkebangsaan AS dan sudah dikaruniai dua orang anak. Anak keduanya Fiona Baihaki tinggal di Jakarta, juga sudah berkeluarga, dan memiliki seorang anak. "Cucu saya yang di Jakarta inilah yang menjadi pelipur lara," ujar Baihaki.*** e-ti, sumber Kompas Minggu, 12 Januari 2003, Pewawancara: Ida Setyorini Buyung Wijaya Kusuma<br /><br /><br />Nama:Ir. Baihaki Hakim<br /><br />Lahir:Sijunjung, Sumatera Barat 3 Desember 1942<br /><br />Jabatan:Direktur Utama Pertamina 2000<br /><br />Presiden Direktur PT Caltex Indonesia 1994-2000<br /><br /><br /><br />Pendidikan:SMA di MedanInstitut Teknologi Bandung (ITB)<br /><br />Anak:<br /><br />Tommy Baihaki<br /><br />Fiona Baihaki</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-43654486307106363642008-01-11T21:28:00.000-08:002008-01-15T06:26:18.255-08:00Asrul Sani<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEiSLWWkRuNCQWf8k8aoS__izKoaEhxkSGmL1mXryj66e8uojIGiKTf-zjbAMuAPr1vF4Hc4Obl4OQNe1ftceZhalB3F9sOvLmyYcti1aN_UCm8Kz65TcyW3OrhXfwJO9N6Fqsgn_FXMQ/s1600-h/asrul_sani.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155709476250020226" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEiSLWWkRuNCQWf8k8aoS__izKoaEhxkSGmL1mXryj66e8uojIGiKTf-zjbAMuAPr1vF4Hc4Obl4OQNe1ftceZhalB3F9sOvLmyYcti1aN_UCm8Kz65TcyW3OrhXfwJO9N6Fqsgn_FXMQ/s320/asrul_sani.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Seniman Pelopor Angkatan '45</strong><br />Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.<br />Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45. Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani. Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”. Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan’.Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California. Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama. Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya. *hp*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia<br /><br />Nama:Asrul Sani<br />Lahir:Rao, Pasaman, 10 Juni 1927<br />Meninggal:Jakarta, 11 Januari 2004, Pukul 22.15 WIB<br />Istri:(1) Siti Nurani dan (2) Mutiara Sarumpaet<br />Anak:Tiga putra, tiga putri, enam cucu<br />Ayah:Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, gelar Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang<br /><br />Pendidikan:Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia (IPB)Dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California, Amerika Serikat tahun 1955-1957<br />Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun 1951-1952<br />SLTP hingga SLTA di Jakarta<br />SD di Rao, Sumatera Barat<br /><br />Karir Politik:<br />Anggota DPR GR 1966-1971 mewakili Partai Nahdhatul UlamaAnggota DPR RI 1972-1982 mewakili PPPPendiri :“Gelanggang Seniman Merdeka”Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)<br /><br />Kegiatan Pergerakan:Lasjkaer Rakjat Djakarta, Tentara Pelajar di BogorKegiatan<br />Penerbitan:Menerbitkan “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan Majalah” Siasat”, dan wartawan Majalah “Zenith”Konsep Kebudayaan:“Surat Kepercayaan Gelanggang”<br />Penghargaan:Tokoh Angkatan 45Bintang Mahaputra Utama, tahun 2000Enam buah Piala Citra pada Festifal Film Indonesia (FFI)Film Terbaik pada Festival Film Asia tahun 1970<br /><br />Karya Puisi:<br />“Tiga Menguak Takdir” bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin,<br />“Surat dari Ibu”,<br />“Anak Laut”, 19 buah puisi dan lima buah cerpen sebelum penerbitan antologi<br />“Tiga Menguak Takdir” tahun 1950, lalu sesudahnya tujuh buah puisi, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, tiga terjemahan drama, dan puisi-puisi lain yang dimuat antara lain di yang dimuat di majalah<br />“Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.<br />Karya Film:“Titian Serambut Dibelah Tudjuh”, “Apa yang Kau Cari Palupi” “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”<br />Alamat Rumah:Kompleks Warga Indah, Jalan Attahiriyah No. 4E, Pejaten, Kalibata, Jakarta</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-62750592085260758112008-01-11T21:25:00.000-08:002008-01-15T06:29:20.911-08:00Arbi Sanit<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjiRQguK9hEOZWxwcpKFIQAzBS8rMNWhRqtcFrolWhc6rbUs_ZI5DXb2q7Ec1Z9_16nFUnHCcOq06-6deq63cEQo2WtmGjQ2oIzXlKZmx37HsQx_-rK6GsvSAB5EmMugU5seunlFs4pWY/s1600-h/arbi_sanit.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155710124790081938" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjiRQguK9hEOZWxwcpKFIQAzBS8rMNWhRqtcFrolWhc6rbUs_ZI5DXb2q7Ec1Z9_16nFUnHCcOq06-6deq63cEQo2WtmGjQ2oIzXlKZmx37HsQx_-rK6GsvSAB5EmMugU5seunlFs4pWY/s320/arbi_sanit.JPG" border="0" /></a><br /><div><strong>Dosen dan Pengamat Politik</strong><br />Pengamat politik dan dosen Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Indonesia, sebelum dan saat kuliah di FISIP UI, sambil bekerja di perusahaan pelayaran Djakarta Lloyd, hingga menjadi asisten dosen di fakultasnya. Dia Lulus pada 1969, dan menjadi dosen. Setelah itu, barulah Arbi berhenti dari Djakarta Lloyd.<br /><br />Lalu empat tahun kemudian, Anak kelima dari 11 bersaudara ini mengikuti studi bebas mengenai sistem politik Indonesia di Universitas Wisconsin, AS.<br /><br />Pendidikan SD (1954) dan SMP (1957) dijalani di kampung kelahirannya Desa Batangkapas, Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Setamat SD, dia sempat diminta kakaknya agar meneruskan ke sekolah guru (SGB). Tetapi, dia menampik karena ingin seperti ayahnya, menjadi ahli politik atau pelukis. Setelah menamatkan SMA di Medan (1962), ia sempat bermaksud mendaftar di Akademi Seni Rupa, tetapi tidak jadi. Dia lalu masuk FISI UI.<br /><br />Selama sekolah dan kuliah, dia tergolong pendiam. Sifat pendiam itu muncul sepeninggal ayahandanya, wedana Muara Labuh di Sumatera Barat. Sejak itu, dia jarang bermain di luar rumah. Dia menyendiri dan lebih suka belajar. Pada masa kuliah pun, dia tidak terlibat kegiatan kampus. Bahkan dia tidak ikut dan tidak lulus mapram.<br /><br />Soal PKB<br />Arbi menilai keputusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendukung duet Wiranto-Salahuddin Wahid merupakan kemunduran. PKB telah mengkhianati reformasi demi kepentingan kekuasaan. Ia melihat motifnya hanya kekuasaan, tidak ada kepentingan ideologi.<br /><br />Pria kelahiran Painan, 4 Juni 1939, ini mengatakan keputusan PKB mendukung capres Partai Golkar, merupakan pilihan yang pragmatis dari kondisi saat ini. Yakni PKB kini dalam posisi hanya bisa memberikan dukungan karena tidak punya capres sendiri. Ia melihat motifnya hanya kekuasaan, tidak ada kepentingan ideologi. "Masa mendukung militerisme. PKB dan Gus Dur kan dulu blok reformasi," ujarnya.Dalam kesempatan terpisah, pengamat politik ini mengatakan, pemerintahan reformasi telah mengalami perluasan dan pendalaman korupsi sampai ke daerah, yang selama ini mungkin belum tersentuh sehingga berakibat pada kemerosotan kehidupan rakyat."Akibat pendalaman dan perluasan cara korupsi itu membuat Indonesia selalu dianggap negara koruptor tinggi, dan di ASEAN sebagai terkorup sedangkan di Asia kedua terkorup, dan di dunia sebagai ketiga terkorup," kata Arbi Sanit, dalam seminar nasional "Menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa", di Jambi, Senin (28/07).Seminar nasional yang diselenggarakan LSM Tempat Pembicaraan Orang Banyak (Tempoyak) itu, Arbi Sanit mengemukakan, indeks yang disusun UNDP tahun 2001, peringkat pengembangan SDM Indonesia adalah nomor urut 102 di Dunia atau setingkat di bawah Vietnam,dan 19 tingkat di atas Kamboja."Keadaan itu persis sama dengan Indonesia tahun 1966, atau tiga tingkat di atas tahun 1977 dan 1998 dan tujuh tingkat di bawah tahun 1999-2000," katanya, lalu mengemukakan bahwa tingkat korupsi Indonesia sudah tidak diragukan lagi peningkatannya dari tahun ke tahun.Tingkat korupsi itu, lanjut Arbi Sanit, juga membuktikan bahwa kondisi SDM rakyat Indonesia menunjukkan pemerintah dan pemerintahan yang otoriterian, salah urus dan mandul selama lebih empat dekade, yang menghabiskan lebih dari tiga perempat waktu kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.Arbi Sanit mengemukakan pula, agar kondisi itu tidak berlanjut dan berkembang terus menerus, dibutuhkan pemerintahan yang bersih sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang ini.Dia mengakui, secara paradigma ada tiga bentuk pemerintahan di dalam perkembangannya.Pemerintahan birokrat, yaitu bentuk sistem pemerintahan modern, kewenangan untuk memerintah adalah dasar kehadiran dan kinerja dan kewenangan itu diformalkan melalui UUD dan Perundangan lainnya, sehingga pemerintah berkuasa secara syah dan berhak melakukan represi kepada rakyat yang mengingkari."Tapi kecenderungan oligarkhi pemegang kewenangan pemerintah membelokkan pemerintah demokrasi menjadi birokratisasi, sehingga menimbulkan peluang penguasa untuk enyalahgunakan kekuasaan dalam berbagai bentuk yang memuncak menjadi korupsi," katanya.Arbi Sanit tampil pada seminar nasional itu dengan makalah "Tantangan dan Peluang Pemerintahan terbaik", bersama tokoh lainya seperti, Drs Ali Maskur Musa (F-KB DPR-RI) dan Ir Samuel Abdullah Koto (F-Reformasi DPR-RI).Seminar yang dimotori LSM Tempat Pembicaraan Orang Banyak (Tempoyak) Jambi tersebut, bertujuan untuk memberikan wacana dan solusi bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih. ► tsl-ant-dc*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)<br /><br />Nama: Arbi Sanit<br />Lahir: Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 4 Juni 1939<br />Agama: Islam<br />Pendidikan :<br />- SD, Painan (1954)<br />- SMP, Painan (1957)<br />- SMA, Medan (1962)<br />- FISIP UI (1969)<br />- Program nongelar Sistem Politik Indonesia Universitas Wisconcin, AS (1973-1974)<br /><br />Karier:<br />- Kepala Bagian Kemahasiswaan (1970-1971),<br />Sekretaris Departemen Ilmu Politik (1971-1973),<br />Kepala Bagian Administrasi (1971-1973),<br />Kepala Biro Administrasi Pendidikan (1974-1977),<br />dan Pembantu Dekan III FISIP UI (1975-1978)<br />- Dekan Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta (1980-1983)<br />- Ketua Harian Kelompok Kerja Perencanaan Pengembangan FISIP UI (1980-)<br /><br />Kegiatan Lain:<br />- Anggota Redaksi Indonesia Magazine, Jakarta (1978-1979) Anggota Redaksi Majalah Persepsi, Jakarta (1979-sekarang)<br />- Anggota Redaksi Majalah Ilmu dan Budaya, Universitas Nasional (1981-sekarang)<br /><br />Karya:<br />- Antara lain: Sistem Politik Indonesia, Penghampiran dan Beberapa Aspek Lingkungan, YIIS, Jakarta, 1981<br /><br />Alamat Rumah : Kompleks Dosen UI, Ciputat 29, Jakarta Selatan<br /><br />Alamat Kantor : FISIP UI, Rawamangun, Jakarta Timur Telp.: 483547</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-50764091454243362512008-01-11T21:14:00.000-08:002008-01-15T06:33:46.575-08:00Ani Idrus<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAAkdE-GKvnxDnJYlUX5wME71Kg4xkQ9BfIH_SdPqM6IUnKq-4ETOw0jb7qa_mWuIqkgd2aCNo4blB3PDK20ogY7EjZgCiwN-dj_noHmoUF9-i0uEU20JpJ0zJJMjMFWfHju15mReNs5c/s1600-h/ani_idrus.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155711357445695906" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAAkdE-GKvnxDnJYlUX5wME71Kg4xkQ9BfIH_SdPqM6IUnKq-4ETOw0jb7qa_mWuIqkgd2aCNo4blB3PDK20ogY7EjZgCiwN-dj_noHmoUF9-i0uEU20JpJ0zJJMjMFWfHju15mReNs5c/s320/ani_idrus.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Pendiri Harian Waspada</strong><br />Ani Idrus wartawati senior yang lahir di Sawah Lunto, Sumatera Barat, 25 November 1918, mendirikan Harian Waspada bersama suaminya H. Mohamad Said tahun 1947. Ia wafat di Medan, 9 Januari 1999 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Jalan Thamrin - Medan. Terakhir ia menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian WASPADA dan Majalah Dunia Wanita, Medan.Selain berkecimpung dalam dunia jurnalistik, ia juga mendirikan dan memimpin lembaga pendidikan yang bernaung dalam Yayasan Pendidikan Ani Idrus. Pada akhir hayatnya, ia juga menjabat Ketua Umum Sekolah Sepak Bola WASPADA - Medan, Direktur PT. Prakarsa Abadi Press - Medan, dan Ketua Yayasan Asma Cabang Sumatera Utara.Pendidikannya dimulai di Sekolah dasar di Sawah Lunto. Kemudian melanjut ke sekolah madrasah dan mengaji di surau. Selanjutnya, tahun 1928 pindah ke Medan, melanjut di Sekolah madrasah di Jalan Antara Ujung, Medan. Setelah itu masuk Methodist English School, Meisjeskop School, Schakel School, Mulo (Taman Siswa) & SMA sederajat. Kemudian tahun 1962-1965 menjadi mahasiswa pada fakultas hukum UISI Medan, 1975 mahasiswa fisipol di UISU, serta 19 Juli 1990 menyelesaikan ujian meja hijau dalam rangka memperoleh gelar doctoranda untuk jurusan ilmu sosial politik UISUIa memulai profesi sebagai wartawan tahun 1930 dengan mulai menulis di majalah 'Panji Pustaka' Jakarta. Kemudian, tahun 1936 bekerja pada 'Sinar Deli' Medan sebagai pembantu pada majalah 'Politik Penyedar'. Selanjutnya, tahun 1938 ia menerbitkan majalah politik 'Seruan Kita' bersama-sama H. Moh. Said dan 1947 menerbitkan Harian Waspada juga bersama H. Moh. Said. Dua tahun kemudian, 1949, menerbitkan majalah 'Dunia Wanita'Ia menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Nasional 'Waspada', Majalah 'Dunia Wanita' dan edisi Koran Masuk Desa (KMD, dan Koran Masuk Sekolah) sejak tahun 1969 sampai 1999. Pada tahun 1988 ia menerima anugrah 'Satya Penegak Pers Pancasila dari Menteri Penerangan R.I. (H. Harmoko), di Jakarta, dimana hanya diberikan pada 12 tokoh pers nasional. Selain itu, tahun 1990, ia juga menerima penghargaan dari Menteri Penerangan R.I. sebagai wartawan yang masih aktif mengabdikan diri di atas 70 thn di Ujung Pandang.Pada tahun 1990 ia menyampaikan makalah pada seminar Peranan Surat Kabar Sebagai Pers Pembangunan Di Daerah yang di selenggarakan oleh FISIPOL UISU dan diikuti mahasiswa/i dari berbagai perguruan tinggi, dengan pembanding malah Bapak H. Yoesoef Sou'yb.Sebagai wartawati senior, ia juga ikut mendirikan dan membina organisasi PWI. Tahun 1951 turut mendirikan organisasi P.W.I. Medan, dan menjadi pengurus. Tahun 1953 -1963, berturut-turut menjabat sebagai Ketua PWI Kring Medan. Tahun 1959 mendirikan 'Yayasan Balai Wartawan' Cabang Medan, dan dipilih sebagai Ketua, selanjutnya mendirikan 'Yayasan Akademi Pers Indonesia' (A.P.I.) dan menjabat sebagai Wakil Ketua.Tahun 1959 ia mendapat penghargaan dar P.W.I. cabang Sumut/Medan di Grand Hotel, karena telah berkecimpung dalam dunia pers selama kurang lebih 25 tahun. Ia mengambil alih kepemimpinan di Harian Waspada Medan tahun 1969 setelah H. Moh. Said mengundurkan diri.Pada 1979 ia menerima piagam Pembina Penataran Tingkat Nasional dari BP7 Jakarta (NPW:197). Kemudian, tahun 1984, bersamaan dengan hari Pers Nasional menjadi anggota KPB (Kantor Perwakilan Bersama) di Jakarta dari tujuh Surat Kabar terbesar di daerah.Ia banyak melakukan perjalanan Jurnalistik ke Luar Negeri. Tahun 1953 ia mengunjungi Jepang sebagai wartawan Waspada bersama rombongan missi dagang 'Fact Finding' Pemerintah R.I. yang diketuai oleh Dr Sudarsono untuk merundingkan pembayaran Pampasan Perang. Tahun 1954 mengunjungi Republik Rakyat Cina (RRC).Tahun berikutnya, 1955 mengunjungi Belanda, Belgia, Perancis,Italia meliputi perundingan Tunku Abdul Rahman dengan Ching Peng, pimpinan Komunis Malaya, di Baling Malaysia. Tahun 1956 mengunjungi Amerika Serikat, Mesir, Turki, Jepang, Hongkong, dan Thailand. Kemudian, tahun 1961 dan 1962 mengunjungi Inggris dan Jerman Barat serta Paris. Lalu tahun 1963 mengikuti rombongan Menteri Luar Negeri Subandrio ke Manila, Filipina dan mengikuti perjalan Presiden R.I. ke Irian Jaya dalam rangka penyerahan Irian Barat kepangkuan Republik Indonesia. Selanjutnya, tahun 1976 mengikuti rombongan Adam Malik menghadiri KTT Non-Blok di Srilangka.Ia juga mempunyai banyak pengalaman di bidang politik. Tahun 1934 ia memasuki organisasi 'Indonesia Muda', wadah perjuangan pergerakan pemuda, dan pernah duduk sebagai Wakil Ketua. Tahun 1937 menjadi anggota partai 'Gerakan Rakyat Indonesia' (GERINDO) di Medan. Kemudianj 1949, menjadi anggota 'Partai Nasional Indonesia' (PNI), beberapa kali menjabat sebagai Ketua Penerangan, dan pernah menjadi anggota Pleno Pusat PNI di Jakarta.Ia juga menghadiri Kongres Wanita Pertama di Jogya. Lalu, tahun 1950, ia mendirikan 'Front Wanita Sumatra Utara' menjabat sebagai Ketua. Kemudian menjabat Ketua Keuangan Kongres Rakyat seluruh Sumatra Utara, menuntut pembubaran Negara Bagian 'Negara Sumatera Timur' (NST). Selanjutnya menjadi anggota Angkatan-45 tingkat Pusat Jakarta. Ia juga mendirikan 'Wanita Marhaeinis' dan menjadi C.P. (Komisaris Propinsi) 'Wanita Demokrat'.1960-1967 ia menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Propinsi Sumatra Utara dari Golongan Wanita. Tahun 1961 menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jendral 'Front Nasional Sumatra Utara' yang dibentuk Pemerintah R.I. Tahun 1967-1970 menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Sumatra Utara untuk Golongan Karya (Wartawan). Selanjutnya, 1984 diangkat sebagai Penasehat 'Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia'.Selain menggumuli dunia jurnalistik dan politik, ia juga berkecimpung dalam dunia pendidikan. Tahun 1953 mendirikan 'Taman Indria' berlokasi di Jl. S.M. Raja 84, Medan khusus untuk Balai Penitipan Anak, Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.Pada tahun itu juga sempat mendirikan Bank Pasar Wanita selama dua tahun berkantor di Pusat Pasar 125, Medan. Tahun 1960 mendirikan 'Yayasan Pendidikan Democratic' di Medan dengan tujuan mengembangkan dunia pendidikan dengan mendirikan: Democratic English School di Jl. S.M. Raja 195, Medan (kemudian dibubarkan karena adanya larangan sekolah berbahasa asing).Kemudian ia mendirikan S.D. Swasta 'Katlia', di Jl. S.M. Raja 84, Medan. S.D. 'Katlia' ini kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi 'Pembangunan'. Tahun 1978 mendirikan 'Yayasan Pendidikan Democratic' dengan membuka: - T.K., SD, SMP 'Perguruan Eria' di Jl. S.M. Raja 195. Selanjutnya, 1984 mendirikan Sekolah Pendidikan Agama Islam setingkat S.D. yaitu Madrasah Ibtidaiyah 'Rohaniah' di Jl. Selamat Ujung Simpang Limun, serta membangun mesjid disampingnya. Kemudian, 1987 mendirikan 'Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan' (STIKP) dan mendirikan 'Kursus Komputer Komunikasi' (K-3) di Gedung Kampus STIKP.Ia memiliki banyak Karya Tulis, antara lain 1953: 'Buku Tahunan Wanita - 1953', 1974: 'Menunaikan Ibadah Haji Ke Tanah Suci', 1980: 'Wanita Dulu Sekarang Dan Esok'1984: 'Terbunuhnya Indira Gandhi', 1985: 'Sekilas Pengalaman dalam Pers Dan Organisasi PWI di Sumatra Utara' dan 1987: 'Doa Utama dalam Islam'.<br /><br />*** Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), sumber Waspada<br /><br />Nama:Ani Idrus<br />Lahir:Sawah Lunto, Sumatera Barat, 25 November 191821 Syafar 1337 H<br />Wafat:Medan, 9 Januari 199921 Ramadhan 1419 H<br />Dimakamkan:Pemakaman Umum Jalan Thamrin - Medan.<br /><br />Jabatan terakhir:<br />-Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian WASPADA<br />- Medan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah Dunia Wanita<br />- Medan Ketua Yayasan Pendidikan Ani Idrus Ketua Umum Sekolah Sepak Bola WASPADA<br />- Medan Direktur PT. Prakarsa Abadi Press<br />- Medan Ketua Yayasan Asma Cabang Sumatera Utara<br /><br />Pendidikan:<br />Sekolah dasar di Sawah Lunto<br />Sekolah madrasah dan mengaji di surau<br />1928: pindah ke MedanSekolah madrasah di Jalan Antara UjungMethodist English School<br />Meisjeskop SchoolSchakel SchoolMulo (Taman Siswa) & SMA sederajat<br />1962-1965 Mahasiswa pada fakultas hukum UISI Medan<br />1975 Mahasiswa fisipol di UISU<br />19 Juli 1990: Menyelesaikan ujian meja hijau dalam rangka memperoleh gelar doctoranda untuk jurusan ilmu sosial politik UISU<br /><br />Karier/Profesi :<br />1930: Mulai menulis di majalah 'Panji Pustaka' Jakarta.<br />1936: Bekerja pada 'Sinar Deli' Medan Sebagai pembantu pada majalah 'Politik Penyedar'<br />1938: Menerbitkan majalah politik 'Seruan Kita' bersama-sama H. Moh. Said<br />1947: Menerbitkan Harian Waspada bersama H. Moh. Said<br />1949: Menerbitkan majalah 'Dunia Wanita'<br />1969-1999: sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Nasional 'Waspada', Majalah 'Dunia Wanita' dan edisi Koran Masuk Desa (KMD, dan Koran Masuk Sekolah)<br />1988: Menerima anugrah 'Satya Penegak Pers Pancasila dari Menteri Penerangan R.I. (H. Harmoko), di Jakarta, dimana hanya diberikan pada 12 tokoh pers nasional.<br />1990: Penerima penghargaan dari Menteri Penerangan R.I. sebagai wartawan yang masih aktif mengabdikan diri di atas 70 thn di Ujung Pandang.<br />1990: Menyampaikan makalah pada seminar Peranan Surat Kabar Sebagai Pers Pembangunan Di Daerah yang di selenggarakan oleh FISIPOL UISU dan diikuti mahasiswa/i dari berbagai perguruan tinggi, dengan pembanding malah Bapak H. Yoesoef Sou'yb.Organisasi P.W.I.:<br />1951: Turut mendirikan organisasi P.W.I. Medan, dan menjadi pengurus<br />1953 -1963: Berturut-turut menjabat sebagai Ketua PWI Kring Medan<br />1959 Mendirikan 'Yayasan Balai Wartawan' Cabang Medan, dan dipilih sebagai Ketua, selanjutnya mendirikan 'Yayasan Akademi Pers Indonesia' (A.P.I.) dan menjabat sebagai Wakil Ketua.<br />1959: mendapat penghargaan dar P.W.I. cabang Sumut/Medan di Grand Hotel, karena telah berkecimpung dalam dunia pers selama kurang lebih 25 tahun.<br />1969: H. Moh. Said mengundurkan diri, kemudian mengambil alih Pimpinan Harian Waspada Medan<br />1979: Menerima piagam Pembina Penataran Tingkat Nasional dari BP7 Jakarta (NPW:197)1984: bersamaan dengan hari Pers Nasional menjadi anggota KPB (Kantor Perwakilan Bersama) di Jakarta dari tujuh Surat Kabar terbesar di daerahPenugasan Jurnalistik di Luar Negeri:<br />1953: Mengunjungi Jepang sebagai wartawan Waspada bersama rombongan missi dagang 'Fact Finding' Pemerintah R.I. yang diketuai oleh Dr Sudarsono untuk merundingkan pembayaran Pampasan Perang.<br />1954: Mengunjungi Republik Rakyat Cina (RRC)<br />1955: Mengunjungi Belanda, Belgia, Perancis,Italia meliputi perundingan Tunku Abdul Rahman dengan Ching Peng, pimpinan Komunis Malaya, di Baling Malaysia<br />1956: Mengunjungi Amerika Serikat, Mesir, Turki, Jepang, Hongkong, dan Thailand<br />1961: Mengunjungi Inggris dan Jerman Barat<br />1962: Mengunjungi Paris<br />1963: Mengikuti rombongan Menteri Luar Negeri Subandrio ke Manila, Filipina Mengikuti perjalan Presiden R.I. ke Irian Jaya dalam rangka penyerahan Irian Barat kepangkuan Republik Indonesia<br />1976: Mengikuti rombongan Adam Malik menghadiri KTT Non-Blok di Srilangka<br /><br />Karier Politik:<br />1934: Memasuki organisasi 'Indonesia Muda', wadah perjuangan pergerakan pemuda, dan pernah duduk sebagai Wakil Ketua<br />1937: Menjadi anggota parta 'Gerakan Rakyat Indonesia' (GERINDO) di Medan<br />1949: Menjadi anggota 'Partai Nasional Indonesia' (PNI), beberapa kali menjabat sebagai Ketua Penerangan, dan pernah menjadi anggota Pleno Pusat PNI di Jakarta Menghadiri Kongres Wanita Pertama di Jogya<br />1950: Mendirikan 'Front Wanita Sumatra Utara' menjabat sebagai Ketua; Menjabat Ketua Keuangan Kongres Rakyat seluruh Sumatra Utara, menuntut pembubaran Negara Bagian 'Negara Sumatera Timur' (NST); Menjadi anggota Angkatan-45 tingkat Pusat Jakarta; Mendirikan 'Wanita Marhaeinis'; Menjadi C.P. (Komisaris Propinsi) 'Wanita Demokrat'<br />1960-1967: Menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Propinsi Sumatra Utara dari Golongan Wanita<br />1961: Menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jendral 'Front Nasional Sumatra Utara' yang dibentuk Pemerintah R.I.<br />1967-1970: Menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Sumatra Utara untuk Golongan Karya (Wartawan)<br />1984: Diangkat sebagai Penasehat 'Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia'Karier Dunia Pendidikan:<br />1953: Mendirikan 'Taman Indria' berlokasi di Jl. S.M. Raja 84, Medan khusus:- Balai Penitipan Anak- Taman Kanak-kanak- Sekolah Dasar<br />1953: Mendirikan Bank Pasar Wanita selama dua tahun berkantor di Pusat Pasar 125, Medan<br />1960: Mendirikan 'Yayasan Pendidikan Democratic' di Medan dengan tujuan mengembangkan dunia pendidikan dengan mendirikan: Democratic English School di Jl. S.M. Raja 195, Medan (kemudian dibubarkan karena adanya larangan sekolah berbahasa asing)S.D. Swasta 'Katlia', di Jl. S.M. Raja 84, MedanS.D. 'Katlia' kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi 'Pembangunan'<br />1978: 'Yayasan Pendidikan Democratic' kemudian membuka:- T.K.- S.D.- S.M.P. 'Perguruan Eria'di Jl. S.M. Raja<br />1951984: Mendirikan Sekolah Pendidikan Agama Islam setingkat S.D. yaitu Madrasah Ibtidaiyah 'Rohaniah' di Jl. Selamat Ujung Simpang Limun, serta membangun mesjid disampingnya<br />1987: Mendirikan 'Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan' (STIKP); Mendirikan 'Kursus Komputer Komunikasi' (K-3) di Gedung Kampus STIKPKarya Tulis:<br />1953: 'Buku Tahunan Wanita - 1953'<br />1974: 'Menunaikan Ibadah Haji Ke Tanah Suci'<br />1980: 'Wanita Dulu Sekarang Dan Esok'<br />1984: 'Terbunuhnya Indira Gandhi'<br />1985: 'Sekilas Pengalaman dalam Pers Dan Organisasi PWI di Sumatra Utara'<br />1987: 'Doa Utama dalam Islam'<br /><br />http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/ani-idrus/index.shtml</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-25031934357749798432008-01-10T23:47:00.000-08:002008-01-15T06:36:01.806-08:00Abdul Latief<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKcsfFCYdawP6zu3c18ZEJ9Jr3GzXri_Hh6xuz5FvQ4ySrZaYekqTGgHg89kGObBYhYegFNapNjnZ6g_HqNjLpElcrwIiTw_lNRvaq8XSrn0fXRUhIElO3bojJ9V6etD-Qi30Bm5_FTf8/s1600-h/abdul_latief.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155711971626019250" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKcsfFCYdawP6zu3c18ZEJ9Jr3GzXri_Hh6xuz5FvQ4ySrZaYekqTGgHg89kGObBYhYegFNapNjnZ6g_HqNjLpElcrwIiTw_lNRvaq8XSrn0fXRUhIElO3bojJ9V6etD-Qi30Bm5_FTf8/s320/abdul_latief.JPG" border="0" /></a><br /><div><strong>Angkat Harkat Tenaga Kerja</strong><br />Ia sukses sebagai pengusaha toko serba ada yang menampung banyak tenaga kerja dan mempromosikan aneka produksi kerajinan rakyat. Kerja keras yang dimulainya dari bawah membuahkan kepercayaan dari Pak Harto yang mengangkatnya sebagai Menteri Tenaga Kerja tahun 1993-1998. Di masa kepemimpinannya UMR dan THR menjadi akrab ditelinga pekerja dan majikan disepakati bersama untuk dilaksanakan.<br />Kiprah suksesnya sebagai pengusaha toko serba ada (toserba) Pasaraya Sarinah Jaya dikenal banyak orang. Gerai terbesarnya di kawasan Blok M, dan Manggarai keduanya di Jakarta Selatan serta di Puit Jakarta Utara banyak menampung tenaga kerja Indonesia. Produk-produk lokal dan kerajinan tangan khas Indonesia mengisi sudut-sudut gedung perbelanjaannya. Pasaraya Sarinah Jaya menjadi identik pusat perbelanjaan elit kelas menengah atas bagi warga Indonesia, sekaligus pula sebagai toko serba ada standar maksimal bagi para wisatawan mancanegara yang wajib dikunjungi untuk menemukan barang-barang kerajinan khas Indonesia.<br />Abdul Latief, pria Minang kelahiran Banda Aceh 27 April 1940 ini memulai karir sebagai pengusaha toko serba ada terkemuka sungguh-sungguh dari bawah. Khas sifat pedagang perantau Minang yang tak sedikitpun mau menyia-nyiakan sisa lapak emperan toko, Abdul Latief awalnya memulai bisnis besarnya dari sebuah toko kecil yang dibelinya di daerah Grogol, Jakarta Barat.<br />Ceritanya bermula ketika dia bekerja di Toserba Sarinah, milik pemerintah di bawah kendali Departemen Perdagangan yang gedung dan gerainya terletak di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Sambil melanjutkan kuliah mengambil S-1 di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayanan (Unkris), Jakarta, oleh perusahaan Toserba Sarinah ia dikirim ke luar negeri mengikuti studi manajemen toserba di Grup Seibu, sebuah toserba terkenal dari Tokyo, Jepang, tahun 1966. Antara tahun 1963-1971 Abdul Latief adalah Pimpinan Promosi dan Pengembangan Ekspor PT Departement Store Sarinah.<br />Sekembali di Tanah Air, lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Departemen Perindustrian tahun 1963 ini menyodorkan konsep baru tentang pemasaran untuk diterapkan di Toserba Sarinah ya ia dasarkan atas konsep pemasaran yang sudah ia pelajari di Negeri Matahari Terbit, Jepang. Tapi apa lacur idenya membangun konsep pemasaran toko serba ada yang modern kurang berkenan di hati pimpinan yang mengutusnya belajar ke Negeri Sakuran Jepang itu.<br />Sebuah mobil yang dibawanya dari Jepang ia lego untuk segera dibelikan sebuah toko kecil di daerah Grogol, Jakarta Barat. Di situlah untuk pertama kali ia menyiapkan diri menjadi pengusaha sekalian mandi basah turun berdagang di lapangan. “Saya tertarik pada pedagang eceran seperti di Pasar Baru,” ucapnya memberi alasan berdagang dengan membuka toko kecil. Latief kemudian mengajukan diri berhenti dan Sarinah dan mendirikan perusahaan sendiri PT Latief Marda Corporation tahun 1972, dibantu oleh adiknya Abdul Muthalib. Dua tahun kemudian, tahun 1974 berdiri lagi sebuah perusahaan miliknya PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya. Sekarang semua institusi bisnis Abdul Latief yang antara lain bergerak di bidang agrobisnis, buku, periklanan, asuransi, developer, konstruksi, eceran, dan media massa bernaung dalam sebuah nama bendera konglomerasi A’Latief Corporation.<br />Telepon Pak HartoKepiawaian anak keenam dari sembilan bersaudara ini berbisnis dan mengelola sumberdaya manusia, yang setiap hari bersentuhan dengan pengelolaan dan pemberdayaan tenaga kerja, suatu ketika menarik perhatian Pak Harto yang sedang menjabat Presiden.<br />Majalah Matra edisi Juni 1993 menuliskan, menjelang sahur di suatu hari di bulan suci Ramadhan tahun 1993 seorang anaknya menegur Latief agar selekasnya sembahyang tahajud agar bisa makan sahur bersama dengan istri dan keempat anaknya. Anaknya itu berkomentar bahwa Latief jika shalat mesti panjang-panjang berdoa dan banyak benar yang dimintakannya kepada Tuhan.<br />“Eh, gue mau minta sama siapa lagi kalau bukan sama Tuhan, gue kan dirut di atas gue cuma Tuhan,” balas Latief kepada anaknya, yang saban berbicara selalu menggunakan bahasa dan dialek Betawi dari Jakarta sebab merasakan hidup dan besar di bumi Betawi Jakarta. Bukan cuma kepada anak, dalam pembicaraan formal dan dalam kapasitas sebagai petinggi pemerintahan pun ia acapkali menggunakan bahasa Betawi yang lancar dilafalkannya. Usai “berdebat” tak lama kemudian telepon berdering, suara berasal dari seorang ajudan Presiden Soeharto yang lalu memberi sebuah nomor telepon untuk segera dihubungi. Nama yang diminta hendak dihubungi siapa lagi kalau bukan Pak Harto, penguasa Orde Baru ketika itu.<br />“Assalamu’alaikum,” tukas Latief memberi salam pertama. “Wa’laikum salam, apa kabar Saudara Llatief? Saudara akan mendapat tugas dari negara untuk membantu meningkatkan mutu tenaga kerja kita, melakukan perlindungan terhadap tenaga kerja, kemudian memberi latihan dan meningkatkan kesempatan kerja,” kata Pak Harto singkat.<br />Pak Harto sempat pula menanyakan bagaimana nantinya sebagai menteri kelangsungan hidup perusahaan Latief yang dibangun dengan susah payah dari bawah itu. Latief menjelaskan singkat, jika memang ada panggilan tugas negara ia akan meninggalkan bisnisnya itu. “Apa bisa ditinggalkan,” tanya Pak Harto lagi butuh penjelasan lanjut. Latief lalu menyebutkan sudah sejak lama menyiapkan pengganti di setiap bisnisnya, dan kegiatan terakhirnya lebih banyak pada urusan perencanaan dan pengawasan saja. Latief menambahkan pula sudah mendirikan Yayasan Abdul Latief untuk mempersiapkan pendirian Universitas dan Politeknik.<br />Penunjukan Abdul Latief menjadi Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia tahun 1993-1998 oleh Pak Harto berlangsung singkat saja, hanya dalam pembicaraan sederhana berdurasi empat menit. Tapi, tentu saja Pak Harto sebelumnya sudah mengantongi info lengkap berikut jejak rekam pendiri dan mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) tahun 1972-1973 ini.<br />Berbagai prestasi dan kebijakan yang Latief telurkan semasa menjabat masih terasa hingga kini. Misalnya, munculnya istilah upah minimum regional (UMR) yang membatasi setiap pengusaha untuk harus memberi upah paling rendah ke setiap karyawan yang besarnya disesuaikan dengan tingkatan kebutuhan dan taraf hidup di lingkungan regional perusahaan. Demikian pula kebijakan keharusan setiap pimpinan perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada setiap karyawan, tanpa kecuali setiap menjelang perayaan hari besar keagamaan seperti Hari Raya Lebaran diberikan kepada karyawan beragama Islam dan menjelang Hari Natal kepada karyawan beragama Nasrani.<br />Kebijakan UMR dan THR yang dituangkannya menjadi peraturan sehingga hukumnya wajib, itu ia maksudkan untuk mendorong para pengusaha agar lebih memanusiakan para karyawan. Sebelum kehadiran Abdul Latief pemberian THR dianggap sebagai tindakan belas kasihan saja dari majikan kepada buruh tanpa payung hukum yang jelas. Karenanya THR boleh ada dan boleh juga tidak ada. Dalam pandangan Latief THR dimaksudkan untuk mengangkat harkat martabat dan derajat para tenaga kerja.<br />Demikian pula dalam upaya membangun sumberdaya manusia berjangka panjang, Latief memastikan sistem pendidikanlah yang akan menentukan. Sambil menggugat etos bangsa yang sudah seharusnya dipertanyakan, ketika itu Latief menyebutkan, “Hidup santai tidak boleh lagi untuk membangun tenaga kerja siap pakai.”<br />Menjadi menteri bagi mantan aktivis Hipmi dan Kadin Indonesia ini berarti memasuki area politik, sebuah jalur kehidupan baru yang sesungguhnya sudah menjadi cita-citanya semenjak remaja. Cita-cita itu dahulu tidak segera direngkuhnya sebab usai tamat dari SMA Negeri VII Jakarta tahun 1959, ia justru mengikuti jejak langkah ayahnya menjadi pengusaha, kendati ayahnya itu seorang figur yang sesungguhnya hanya sempat dikenalnya hingga berusia empat tahun. Abdul Latief adalah orang Padang. Ayahnya sejak berusia 19 tahun merantau ke Aceh untuk mendalami Islam sekaligus berdagang tekstil. Ibunya, Siti Rahmah adalah aktivis Aisyiah Muhammadiyah di Bumi Serambi Mekkah Aceh itu.<br />Abdul Latief anak keenam dari sembilan bersaudara lahir di Kampung Baru, Kutaraja yang kini dikenal sebagai Banda Aceh. Ketika usianya menginjak empat tahun ayahnya meninggal dunia. Ia sempat diasuh oleh neneknya namun tak lama dua tahun kemudian neneknya ini meninggal dunia pula. Usia sepuluh tahun ia bersama keluarga hijrah ke Jakarta pada tahun 1950. “Ibu dengan penuh kasih memikirkan masa depan kami,” tutur Latief mengenang bentuk pengasuhan ibu kandungnya, Siti Rahmah.<br />Sejak kecil daya pikir otak Abdul Latief sudah dikenal encer. Semasa duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) nilai rapornya selalu rata-rata sembilan membuatnya sering menjadi juara kelas. Latief antara lain menggemari pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan berhitung. Begitu pula dibangku SMP, yang ditempuhnya di SMP Negeri V Jakarta lulus tahun 1956. Letak sekolahnya itu berdekatan dengan bioskop Astoria di Jalan Pintu Air, Jakarta. Masa remaja dikenang Latief yang semasa muda rajin belajar dan membaca sebagai masa-masa yang lumayan meriah senang berkelahi dan menonton.<br />Sebagai pengusaha toko serba ada yang membuka cabang hingga ke Singapura, Abdul Latief telah berkesempatan mengangkat produksi rakyat. Jika awalnya ia melakukan penjualan dalam skala besar dengan menyewa satu lantai gedung Sarinah berlokasi di Jalan Thamrin, Jakarta, maka menjelang akhir kontrak ia membangun gedung sendiri di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Gedung inilah yang membuatnya semakin terkenal sebagai pemilik pusat perbelanjaan modern pertama Pasaraya. Pasaraya Sarinah Jaya Blok M menjadi landmark pusat perbelanjaan modern Indonesia. Hingga kini pusat perbelanjaan miliknya itu masihlah terbesar nomor satu di seantero penjuru tanah air.<br />Menguak kisah suksesnya sebagai pengusaha ia menyebutkan menganut sistem manajemen terbuka. Sebagai pengusaha, menurut pengalamannya ia paham tentang apa dan bagaimana seorang tenaga kerja yang terampil. Di masanya pula sebagai Menteri Tenaga Kerja ia mengoreksi opini sebagian besar orang yang membanggakan biaya tenaga kerja di Indonesia. “Saya tidak sepakat. Dari awal saya jadi menteri saya bilang, kita jangan lagi bermimpi, berfikir tentang tenaga kerja murah. Ini mesti kita buang,” ujarnya, bertentangan dengan keinginan sebagian besar pengusaha yang maunya memanfaatkan keberadaan tenaga kerja semaksimal mungkin namun menyepelekan sumbangsihnya terhadap keberlangsungan perusahaan. Abdul Latief melansir status pekerja bukan sekadar sapi perahan melainkan mitra usaha sejajar bagi para majikan. Ia sempat digosipkan menikah dengan Desy Ratnasari, pemain siteron sekaligus petembang lagu “Tenda Biru” yang terkenal itu. ►ht, sumber “Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang”, halaman 25-28<br />*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia<br /><br />Nama: AbdulLatief<br />Lahir: Banda Aceh, 27 April 1940<br />Ibu: Siti Rahmah<br />Pendidikan:<br />- SMP Negeri V, Jakarta, tahun 1956<br />- SMA Negeri VII, Jakarta, tahun 1959<br />- Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta, tahun 1963<br />- Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, tahun 1965<br />- Kursus Manajemen Toserba, Seibu Group, Tokyo, Jepang tahun 1966<br /><br />Karir:<br />- Pimpinan Promosi Penjualan dan Pengembangan Eskpor PT Department Store Sarinah, tahun 1963-1971<br />- Mendirikan PT Latief Marda Corporation, tahun 1972<br />- Mendirikan PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya, tahun 1974<br />- Direktur Utama Sarinah Jaya Group tahun 1972-1993, yang kini dikenal sebagai A’Latief Corporation<br />- Menteri Tenaga Kerja 1993-1998<br /><br />Kegiatan lain:<br />- Pejabat Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan, Departemen Perindustrian, tahun 1969-1970<br />- Pendiri dan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), tahun 1972-1973<br />- Ketua Dewan Kehormatan Hipmi, tahun 1973 sampai sekarang<br />- Ketua Kompartemen Perdagangan dan Koperasi Kadin Indonesia, tahun 1979-1982<br /><br />Alamat Rumah:<br />Jalan Raya Kalimalang Nomor 77, Pondok Kelapa, Jakarta Timur<br />Telepon: (021) 864.2913, Faksimili: (021) 864.0009</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-81194152511778387332008-01-10T23:44:00.001-08:002008-01-10T23:47:06.043-08:00Ahmad Syafi'i Ma'arif<strong>Bersahaja dan Kritis<br /></strong>Di bawah kepemimpinnya, Muhammadiyah menunjukkan kemitmen keislaman dan kebangsaan yang kuat.<br />Ahmad Syafi'I Ma'arif, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, memang dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya kritis, tegas, dan bersahaja. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.<br />Salah satu yang pernah kena kritik adalah Amien Rais, ketika sedang "berseteru" dengan Gus Dur. Ia mengharapkan kepada Amien supaya dapat bersikap tepo seliro. "Janganlah mengeluarkan kritikan kepada pihak lain, termasuk Gus Dur, dengan kalimat-kalimat yang terlalu tajam," ujarnya, dikutip Kompas, 18 April.<br />Lahir di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keislaman yang kental. Lulus dari Ibtidaiyah Sumpurkudus, ia melanjutkan ke Madrasah Muallim Lintau, Sumbar, kemudian pindah ke Yogyakarta di sekolah yang sama. Ia memang mengambil seluruh pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto, Solo, hingga memperoleh gelar sarjana muda. Kemudian ia melanjutkan ke IKIP Yogyakarta, dan memperoleh gelar sarjana sejarah.<br />Selanjutnya, bekas alktivis HMI ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti program master di Departemen Sejarah Universtias Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi "Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia."<br />Selama di Chicago inilah, anak bungsu di antara empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dibimbing oleh seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.<br />Kini, selain mengurus Muhammadiyah, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu, ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, berjudul "Dinamika Islam" dan "Islam, Mengapa Tidak?", kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian "Islam dan Masalah Kenegaraan", yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985.<br />Menikah dengan Nurkhalifah, ia ayah seorang anak laki-laki. Ia menggemari olah raga tenis meja, bulu tangkis, catur, di samping menonton sepak bola dan menembak burung. (Tokoh Indonesia/dari berbagai sumber, terutama Tempo interaktif<br /><br />Nama : AHMAD SYAFI'I MA'ARIF<br />Tempat, Tgl lahir : Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935<br />Agama : Islam<br />Pendidikan :<br /> :: SD, Sumpurkudus (1947)<br />:: SMP, Lintau/Yogya (1950)<br />:: SMA, Yogyakarta (1956)<br />:: FKIP Cokroaminoto, Surakarta (1964)<br />:: FKIS IKIP, Yogyakarta (1968)<br />:: Universitas Chicago, AS (Doktor, 1982)<br /><br />Karya Tulis :<br />:: Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKIS-IKIP Yogyakarta 1975<br />:: Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984)<br />:: Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984<br />:: Percik-Percik Pemikiran Iqbal (bersama M. Diponegoro), Shalahuddin Press, 1984)<br />:: Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985<br /><br />Karier :<br />:: Anggota Kelompok Pemikir Masalah Agama Departemen Agama (1984-kini)<br />:: Guru Besar IKIP Yogyakarta<br />:: Dosen Pascasarjana IAIN Yogyakarta<br /><br />Organisasi :<br />:: Anggota Muhammadiyah (1955-kini)<br />:: Anggota HMI (1957-1968)<br />:: Pengurus HMI Surakarta (1963-1964)<br />:: Pejabat Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah<br />:: Ketua Umum PP Muhammadiyah 1999 -2004<br /><br />Alamat kantor : Karangmalang, Yogyakarta Telp: 86168Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-16627693972782144952008-01-07T21:52:00.000-08:002008-01-10T04:44:26.629-08:00Rosihan Anwar<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJtDAWFjwjpkQg32Q20ghj4OQeai-E9ZkgCAw7wDGSJ7ntbOIfcX1Sr_zeRtQmuBc2Z4BVpIZ-eilTTyX1XcsWsP8FYRHF_cb2q0SKkKUkAx8nLdijXYsHn7EtsfgPyhHC6mq-LHFiLVU/s1600-h/rosihan-anwar.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5153827795243067282" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJtDAWFjwjpkQg32Q20ghj4OQeai-E9ZkgCAw7wDGSJ7ntbOIfcX1Sr_zeRtQmuBc2Z4BVpIZ-eilTTyX1XcsWsP8FYRHF_cb2q0SKkKUkAx8nLdijXYsHn7EtsfgPyhHC6mq-LHFiLVU/s320/rosihan-anwar.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Symbol Kebebasan Berpikir</strong><br /></div><br /><div>Dia wartawan, penulis, pendidik, seniman dan sejarawan sepanjang hidup. Sosok yang layak disenut sebagai simbol kebebasan berpikir. Rezim Orde Baru dan Lama menyimpan rasa love-hate terhadapnya. Karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan. Tak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya.Banyak yang pernah berhubungan dengan Rosihan atau mengenalnya dari jauh, menganggapnya sebagai pribadi yang arogan. Ada pula yang menggambarkan Rosihan sebagai tokoh yang punya karisma kuat, disayang, tetapi dibenci. Tetapi, sebagian terbesar dari 60 tahun lebih karier jurnalistiknya penuh ambivalensi dalam hubungannya dengan dua rezim pertama negeri ini.<br /><br />Begitu Abdullah Alamudi, Wartawan senior, instruktur pada Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta, menggambarkan sosok Rosihan dalam kolomnya di Kompas (10/5). Berikut penuturan Abdullah perihal profil Rosihan:Rezim Orde Baru dan Lama tampak menyimpan rasa love-hate terhadap Rosihan. Sebagian besar karena dia selalu mengikuti insting jurnalistiknya, menyuarakan isi hatinya, mengungkapkan kebenaran, ketidakadilan, yang tidak satu gembok pun bisa mengunci kebebasan berpikirnya. Seperti kata Virginia Woolf itu. Ketika Jenderal Spoor dan pasukannya melancarkan aksi polisionil Belanda pertama, Juli 1947, mereka menyekap Rosihan di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Lalu, Presiden Soekarno menutup korannya, Pedoman, pada tahun 1961. Pemerintah Orde Baru menghargai pengabdian tiada henti Rosihan sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan menganugerahinya Bintang Mahaputra III, tetapi mereka menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya-termasuk Jakob Oetama. Sekarang pun, sikap kritisnya tidak berubah. Ini tercermin, misalnya, dalam tulisannya di Jakarta Post (4/3/01). Di sana, Rosihan bercerita mengenai pengalaman dan pendapat seorang penulis dan wartawan Belanda, Willem Walraven, tentang pergerakan Indonesia di tahun 1940-an. Walraven meninggal di kamp konsentrasi Jepang di Jawa Timur pada tahun 1943. Dan Rosihan berkomentar: "Oligarki pribumi". "Tanpa ampun terhadap bangsa sendiri". "Penderitaan yang menyedihkan bagi pekerja biasa". "56 tahun merdeka, 15 bulan dalam pemerintahan Gus Dur. Aku melihat sekeliling republik yang luas ini dan semuanya seperti tiada perubahan." Di harian Kompas (26/4), dia mengingatkan pers Indonesia tentang kecenderungan penguasa sekarang dan anggota DPR untuk mengekang kebebasan pers seperti di zaman kolonial. Rosihan mengingatkan wartawan supaya tidak banyak menaruh harapan kepada para anggota DPR dan elite politik kini yang digambarkannya sebagai golddiggers, pemburu harta. Dia berseru kepada masyarakat pers agar mereka "merapatkan barisan untuk siap siaga terhadap datangnya malapetaka pemasungan atas diri mereka." Sikap kerasnya itu merupakan reaksi terhadap golddiggers yang berusaha memasung pers dengan mengajukan rancangan undang-undang tentang Rahasia Negara dan RUU tentang Penyiaran yang lebih banyak berisi larangan ketimbang mengembalikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Ketika memperingati "Hari Kemerdekaan Pers Dunia" (Kompas, 7/5/97), Rosihan mengingatkan, ada suatu masa di zaman Revolusi pers Indonesia menikmati kebebasan, yakni sewaktu Perdana Menteri Mohammad Hatta membiarkan pers mengkritiknya dan koran-koran oposisi mengecamnya. "...Warisan sejarah itu jangan dilupakan," katanya. Pesan ini baik juga diingat oleh golddiggers yang ingin mengembalikan pers Indonesia ke zaman kolonial. Sebagai reporter Asia Raya sejak 1943, redaktur harian Merdeka, pendiri dan pemimpin redaksi majalah Siasat sebelum mendirikan harian Pedoman, Rosihan banyak menulis tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada edisi pertama harian Merdeka 1 Oktober 1945, Rosihan menulis sajak yang pesan-pesannya amat kiri, berjudul, “Kini Abad Rakyat Merdeka.” Sebagian dari sajak itu berbunyi: "... Kami putra abad sekarang/Gairah berjuang terus-menerus/Mewujudkan cita semboyan kudus:/SAMA RASA, SAMA RATA/Tiada lagi bangsa terjajah/Mereka semua berdaulat sendiri/Buat jaminan damai abadi." Ensiklopedi berjalanLahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, Rosihan belajar di sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Dia melanjutkan pendidikannya di AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Ayahnya adalah Asisten Demang Anwar, gelar Maharaja Sutan di Sumatera Barat. Memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, sedikitnya Rosihan sudah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di negeri ini dan di beberapa penerbitan asing. Dia juga bermain dalam beberapa film Indonesia sejak tahun 1950, bahkan dia salah satu pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada tahun 1950 bersama (alm) Usmar Ismail dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang. Rosihan adalah bagian dari sejarah Indonesia. Dia seolah ensiklopedia Indonesia berjalan. Karena itu pula Masyarakat Sejarah Indonesia mengangkatnya menjadi salah seorang anggota kehormatannya. Dalam pengantarnya pada buku H Rosihan Anwar: Wartawan Dengan Aneka Citra, Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi harian Kompas, menggambarkan Rosihan sebagai "...wartawan sejati, bukanlah man of power melainkan man of conscience and of culture, lebih cenderung kepada suara hati dan kebudayaan (baca: kemanusiaan) daripada kekuasaan." Sakit hati Rosihan pada Pemerintah Orde Baru, yang tetap menolak Pedoman terbit kembali meski Menteri Penerangan Mashuri sudah memintakannya kepada Presiden Soeharto. Itu tercermin pada penolakannya menjadi duta besar dan berkuasa penuh untuk Vietnam. Rosihan menolaknya secara halus dengan alasan dia tidak bisa meninggalkan anak-anaknya yang masih duduk di sekolah menengah. Banyak peninjau politik melihat keputusan Rosihan saat itu sebagai tindakan terlalu berani untuk menolak penugasan terhormat dari seorang "Raja Jawa" (baca: Presiden Soeharto). Tetapi, itulah Haji Waang-julukan banyak orang terhadap Rosihan, yang mereka ambil dari nama tokoh lugu dan polos dalam tajuk-tajuk rencana Pedoman setiap Jum'at. Rosihan memang tidak membentak atau menghardik orang, tetapi sentilannya (baca: arogansinya) dalam menghujam di hati, lama mendengung di kuping. Rosihan juga seorang pendidik, fair, dan selalu memberi kesempatan kepada stafnya untuk maju. Keterampilannya menulis menjadikan Rosihan kolumnis yang mungkin terbaik di Indonesia saat ini. Dia bercerita sebagai seorang storyteller dan menunjukkan authenticity artikelnya dengan menampilkan diri dalam tulisannya, menjadi saksi sejarah, sehingga pembaca hanyut dalam arus ceritanya. Bila menulis obituary, Rosihan bercerita tentang the life and work orang bersangkutan dan tempatnya dalam sejarah negeri ini sehingga pembaca bisa meneteskan air mata. Selalu ada warna dalam ceritanya, tetapi tanpa flowery words dan tak ada lubang dalam tulisannya. Penampilan fisik H Rosihan Anwar, yang hari ini berumur 80 tahun, rasanya tidak berbeda dengan penampilannya pada 1968. Bahkan, Rosihan tampak lebih rapi karena dia tidak lagi mengenakan ciri khasnya yang dulu: saputangan di tengkuk untuk melindungi kerah baju dari keringatnya. Namun, betapapun penampilan dan arogansinya, Rosihan adalah panutan para wartawan dalam menghadapi orang-orang yang dia sebut golddiggers. ►e-ti/retno handayani, dari berbagai sumber.<br />*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia<br /><br /><strong>Kesetiaan Wartawan Sejati</strong><br />Bidang jurnalistik yang digelutinya benar-benar dimulai dari bawah. Meskipun korannya dibredel oleh Presiden Soekarno dan Soeharto, ia tak pernah berhenti menulis. Rosihan Anwar boleh dibilang legenda hidup pers Indonesia. Karena itu tak heran jika ia mendapat penghargaan Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan.<br /><br />Penghargaan itu diterima Rosihan di hari ulang tahun ke-40 Kompas. Menurut Aida, anaknya, desas-desus mengenai penghargaan itu sebenarnya sudah lama didengar ayahnya. Tapi, kata Aida, “Bapak sih biasa saja.”<br />Memang seperti itulah adanya Rosihan. Bagaimana pun, ia dinilai konsisten dalam berkarya sebagai wartawan. Karier di bidang jurnalistik ditekuninya dari bawah sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).Tulisan terbaru pria kelahiran Kubang Nan Dua (Sumatera Barat), 10 Mei 1922, itu yang dimuat harian Kompas pada 9 April 2005 adalah laporan kunjungannya dari Afrika Selatan. Tulisan in memoriam terbarunya adalah Mengenang 100 Tahun Adinegoro yang dimuat 14 Agustus 2004. Kalau buku, sudah sekitar 30 jumlahnya. Yang baru, misalnya Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia, terbitan Penerbit Buku Kompas, Juni 2004.Bidang jurnalistik yang digelutinya benar-benar dimulai dari bawah, sebagai reporter surat kabar Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman. Meskipun dibredel oleh Presiden Soekarno dan Soeharto, Rosihan tak pernah berhenti menulis.Pertimbangan lain dari pemberian anugerah itu adalah karena Rosihan seorang wartawan yang bersungguh-sungguh mencari fakta. Ia membingkai fakta itu dalam satu pikiran. Ia menuliskannya dengan teknik penutur kisah tradisional, seperti orang berkabar dengan segala sesuatu dilakukan secara santai, enak, dan ringan. Namun tidak serta-merta menjadi dangkal.Selain kepuasan telah memimpin surat kabar Pedoman, Rosihan merasa pencapaian tingginya adalah ikut membesarkan Kompas. Salah satu yang memberi kepuasan kepadanya adalah ketika sekitar tahun 1966 ia diminta salah seorang pendiri Kompas, PK Ojong, menulis peta bumi politik. Waktu itu adalah zaman dualisme Soekarno-Soeharto sehingga orang ingin tahu perkembangan politik.Cara menulisnya cukup unik, yaitu menulis nomor di setiap fakta, menjadi semacam memo reportase. Antara nomor satu dan dua kadang-kadang tak ada hubungan. Namun fakta itu dibeberkan menjadi mosaik peta bumi politik. “Saya anggap itu pencapaian yang baik. Banyak orang bertanya kepada saya, kenapa dikasih nomor, karena saya menulis reportase. Karena tidak bertele-tele, orang bisa menguji fakta dan analisis saya,” katanya.Sistem kartuPencapaian lain yang dinilai memuaskannya adalah ketika menulis serial reportase kunjungan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev tahun 1960. Ia mengikuti kunjungan Khrushchev itu di Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Maluku selama dua minggu. Ia tahu kantor berita telah menulis fakta. Maka ia menulis kisah di balik fakta dan warna-warnanya, misalnya Bung Karno yang berdansa di Istana Tampak Siring. Ia memberi judul Safari Nikita. Orang pun senang membacanya karena disajikan dengan storytelling (bercerita).Sampai sekarang, Rosihan masih rajin membaca buku. Yang lagi diminatinya sekarang adalah buku setebal 1.200-an halaman karya wartawan Belanda Geert Mak berjudul In Europa, reizen door de twintigste eeuw (Di Eropa, Berjalan-jalan Selama Abad 20). Ia tidak bisa berhenti membacanya karena menarik. Kalimatnya pendek dan bergaya soundbite (kutipan-kutipan pendek yang penting dan menarik).Banyak orang mengira Rosihan hebat karena bisa mengingat berbagai detail peristiwa berpuluh tahun lalu ketika menulis in memoriam. Padahal, menurut dia, detail itu bisa muncul karena dibantu pengetahuan karena membaca buku dan rajin membuat catatan berbagai hal dalam kartu. Sistem kartu itu ditiru dari Soedjatmoko yang baru pulang dari Cornel University, Amerika Serikat, berpuluh tahun lalu. Dalam kartu yang sudah tampak menguning itu, ia mencatat kutipan-kutipan penting dari berbagai buku dan majalah tentang berbagai hal menarik.Baru-baru ini, ketika Roeslan Abdulgani meninggal dunia, ia sempat berpikir apa yang baru dari tokoh ini untuk ditulis in memoriam-nya karena sudah pernah ditulisnya saat Roeslan berusia 90 tahun pada 24 November 2004.Dalam perkembangan zaman, segalanya telah berubah. Teknologi informasi telah demikian maju sehingga wartawan sekarang sebetulnya sudah lebih mudah bekerja. Fenomena tabloidisme sudah tidak bisa terhindarkan karena pengaruh televisi. Tulisan-tulisan harus pendek, tetapi tetap berisi.Kalau di televisi ada soundbite, maka itu sekarang ditransfer ke koran. Untuk kedalamannya, ia mesti berusaha jangan terlalu multifokus, ujar suami Siti Zuraida Sanawi dengan tiga anak itu.Berbeda dengan ketika memutuskan menjadi wartawan tahun 1943 yang idealisme untuk memerdekakan rakyat lebih menonjol, Rosihan dapat memaklumi jika perkembangan pers dewasa ini lebih memenuhi kebutuhan bisnis.Mencermati tulisan-tulisan wartawan muda masa kini, Rosihan secara umum merasa tak puas. Banyak yang tidak menarik baginya. Betapa ruwetnya tulisan dan ada rasa ingin pamer dari si penulis. Harus dikuasai dulu materinya dengan membaca buku, nanti keluarnya mudah. Kalau tidak perlu betul, tak usah pakai bahasa Inggris, kata alumnus Algemeene Middlebare School Bagian A II Yogyakarta tahun 1942 itu.Dari pergaulannya dengan orang-orang sosialis seperti Sjahrir pada zaman revolusi, ia mengenal faham sosialisme demokrat, yang intinya wartawan harus berjuang menegakkan martabat manusia (human dignity). Kalau saya retrospeksi ke belakang, pers sekarang sudah berubah menjadi bisnis. Wartawan menjadi buruh, ujarnya.Meskipun demikian, menurut Rosihan, tak berarti pers sekarang tak punya idealisme karena kalau tak ada idealisme wartawan cuma buruh intelektual.Rosihan berharap, wartawan sekarang mencari kepuasan bekerja, walaupun dia cuma bagian dari pabrik besar. Namun, tetap tidak melupakan sejarah dan tradisi pers Indonesia, yaitu mesti selalu tampil membela wong cilik. ►e-ti/retno handayani, dari berbagai sumber.<br /><br />Nama :H. Rosihan Anwar<br />Lahir:Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922<br />Agama:Islam<br />Isteri:Siti Zuraida Sanawi<br />Anak:Tiga orang<br />Pendidikan:<br />• Sekolah Rakyat (HIS)<br />• SMP (MULO) di Padang<br />• Algemeene Middlebare School (AMS) Bagian A II tahun 1942 di Yogyakarta<br />• Berbagai workshop di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.<br /><br />Pekerjaan:Wartawan Senior<br />Karir:<br />• Reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang (1943)<br />• Redaktur harian Merdeka (1945)<br />• Pemimpin Redaksi Siasat (1947-1957)<br />• Pemimpin Redaksi Pedoman (1948-1961).<br />• Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia/PWI (1968-1974)<br />• Salah satu pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) tahun 1950 bersama (alm) Usmar Ismail.<br />• Kritikus film sampai sekarang.<br /><br />Penghargaan:<br />• Bintang Mahaputra III (1974)<br />• Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan (2005)<br /><br />Alamat Rumah:<br />Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-531447358209189095.post-44489382541257678482008-01-07T16:55:00.000-08:002008-01-10T04:51:36.919-08:00Inu Kencana Syafiie<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6vVPIZdL-xD7BGzWE30crebxugOIFGHJ6JY2ZnqDPDtitQxI-cpwhs7f3774t7gLVJ67ByLmItZUniXD7dtWpRiYrb4OMEMlrpjr6Xc6e7Yq8qr7VtxGvkH1_naO99xJ3A3aSwxFmdHk/s1600-h/inu_kencana.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5153829667848808354" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6vVPIZdL-xD7BGzWE30crebxugOIFGHJ6JY2ZnqDPDtitQxI-cpwhs7f3774t7gLVJ67ByLmItZUniXD7dtWpRiYrb4OMEMlrpjr6Xc6e7Yq8qr7VtxGvkH1_naO99xJ3A3aSwxFmdHk/s320/inu_kencana.jpg" border="0" /></a><br /><div><strong>Kesaksian Nurani Guru Pamong</strong><br /><br />Inu Kencana Syafiie, Lektor Kepala IPDN (Institut Pemerintahan dalam Negeri), menyuarakan kesaksian yang didorong suara nurani seorang guru pamong untuk mengubah pola pendidikan di IPDN agar lebih humanis. Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, itu berani mengambil risiko mengungkap kekerasan yang terjadi di kampus pencetak calon pamong praja itu. Inu, sosok yang memilih hidup dalam kebersahajaan.<br /><br />Ini Kencana, pria kelahiran Payakumbuh, 14 Juni 1952, itu mengungkap kekerasan di IPDN yang menewaskan praja asal Manado, Cliff Muntu. Demi kebenaran, Inu tidak hanya menanggung risiko kehilangan pekerjaan, bahkan juga ancaman nyawa dan keluarganya. Hal yang juga dilakoninya ketika mengungkap kematian praja Wahyu Hidayat 2003 lalu.<br /><br />Kala itu (2003) ia menerima layanan pesan singkat (short message service) yang berisi ancaman pembunuhan. Ancaman itu sempat ditelusuri Mabes Polri. Kemudian, ketika ia mengungkap kematian Cliff Muntu (2007), Inu diberi sanksi larangan mengajar sementara dan diperiksa tim investigasi Depdagri (8/4/2007). Intimidasi lewat SMS diterimanya, antara lain berbunyi: "Guruku sayang, kenapa kau tega memfitnah kami?"<br /><br />bahkan ada 5 April 2007, ia sempat diusir dari ruang kuliah oleh teman sesama pengajar saat hendak mengajar mata kuliah Ilmu Pemerintahan. bahkan Depdagri dan rektorat pun mengeluarkan surat berhenti mengajar sementara untuknya.<br /><br />Dosen Senior IPDN itu tetap bersikukuh membeberkan berbagai perlaku menyimpang di lingkungan IPDN ke publik, setelah kematian Cliff Muntu,20,madya praja asal Sulut, yang semula disebut pihak atasan di IPDN akibat penyakit lever.<br /><br />Inu dengan amat terbuka dan blak-blakan selalu meladeni wawancara dengan wartawan dari berbagai media. Ponselnya berbunyi hampir setiap saat. Seakan tak kenal rasa takut dalam membeberkan kasus kekerasan dalam IPDN, Inu membeberkan satu per satu "ketidakwajaran" di kampus itu pada publik. Sorotan dan perhatian media menjadi salah satu modalnya untuk menentang arus "mayoritas tak bersuara" di kampus itu. Bagi Inu: "Media adalah penyambung demokrasi bagi masyarakat. Biar masyarakat tahu apa yang sesungguhnya terjadi di IPDN. Tidak ada lagi takut jika masyarakat mendukung. Kasus ini harus dituntaskan sekarang atau tidak sama sekali. Ini jika kita ingin ada perubahan."<br />Inu sangat terbuka meladeni wartawan, kendati harus menjadi warga komuter, bolak- balik Jakarta-Sumedang utnuk melayani berbagai stasiun televisi. Di antaranya, ia tak takut bicara dalam acara Kupas Tuntas yang ditayangkan TransTV. Inu juga dengan senang hati datang ke Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, untuk memenuhi panggilan wakil rakyat yang ingin mendalami kasus kekerasan di IPDN.<br /><br />DisertasiKeseriusannya untuk menjadikan IPDN lebih humanis terlihat juga dari judul disertasinyanya : "Pengawasan Kinerja STPDN terhadap Masyarakat Kabupaten Sumedang". Dalam disertasi itu, disebutkan setidaknya 35 praja tewas akibat penganiaayaan selama tahun 1990-2005. Ini juga mengungkap dugaan fenomena seks bebas, penggunaan narkoba dan aborsi di lingkungan asrama IPDN. Disertasi dilengkapi data dan foto-foto mengenai kondisi IPDN, di antaranya data kasus kekerasan dan arogansi praja IPDN serta foto-foto penyiksaan sejumlah praja oleh para senior.<br />Menurut Indah Prasetyati, 45, istri Inu: ”Sekarang ini bapak sibuk sekali sampai tidak ada waktu istirahat. Tapi, saya sudah biasa. Dari dulu bapak memang berusaha menyuarakan kebenaran. Sekarang, ancaman pun sudah tidak saya gubris, sudah imun. Kalau dulu, waktu bapak mengungkap kasus kematian Wahyu Hidayat, saya masih takut dan khawatir.”<br /><br />Indah mendukung apa pa yang dilakukan suaminya. Bahkan ketiga anak mereka (Raka, Nagara, dan Feriska) juga ikut mendukung. Bagi ketiga anak itu, Inu adalah figur ayah yang jujur dan tidak mau menutup-nutupi kesalahan. ”Selama bapak melakukan hal yang benar, anak-anak mendukungnya,” kata perempuan yang dinikahi Inu pada 1984 ini.<br />Inu, alumnus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Cilandak, Jakarta, itu dengan tenang menangggapi larangan mengajar yang dijatuhkan padanya. Ia malah tidak menganggapnya sebagai sanksi atau skorsing. Menurut Inu, keputusan tersebut diambil agar dia bisa mendampingi tim investigasi bekerja membongkar kematian Cliff Muntu. ”Jadi saya masih belum tahu apakah keputusan itu merupakan sanksi. Sekarang kan saya diminta mendampingi tim investigasi,”kata Inu. Inu juga tidak terlalu berpikir akan berkiprah di mana kalau dirinya dilarang mengajar di IPDN. Tekadnya hanya satu agar jangan sampai IPDN dibubarkan. Namun, sistem pendidikannya yang harus dirombak total. Bagi Inu, mengungkap kebenaran suatu keharusan, meski nyawa taruhannya.Inu sadar sikapnya itu bukan tanpa risiko. Ancaman via SMS dan telepon pun kerap diterimanya. Untuk mengantisipasi keadaan yang tak diinginkan dua personel kepolisian berpakaian preman ditugaskan menjaga rumahnya. ’’Saya tidak pernah meminta pengawalan. Tapi, polisi sendiri yang mengirimkan pengawal ke rumah saya,”katanya. Inu, yang berusaha mengungkap kebenaran dengan mengedepankan suara nuraninya sebagai guru pamong praja, menyikapi ancaman itu dengan bijaksana. Penulis buku 4 2 judul buku dan kar ya tulis, di antaranya "Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an" itu tak gentar karena ia yakin atas niat baiknya untuk mengubah pola pendidikan di IPDN agar lebih humanis.<br /><br />"Sesakit apa pun, sekalipun diinjak dan ditindas, insan manusia semestinya tetap menyuarakan kebenaran. Inilah yang berkali-kali coba saya sampaikan lewat kuliah filsafat kepada mahasiswa IPDN. Nyatanya, mereka memang tidak pernah mau memahami," ungkap pria yang suka berdakwah di masjid ini sebagaimana dirilis Kompas 12/4/2007.<br /><br />Semula, Inu tidak percaya di kampus pencetak pamong itu berlangsung kekerasan. "Dia itu sebelumnya enggak pernah percaya kalau ada kekerasan di IPDN," papar istrinya, Indah Prasetyati. "Saat anak teman saya dipukuli sampai babak belur dan lari, ia malah menyuruhnya kembali ke barak. Barulah saat muncul kasus praja putri yang sampai tidak sadar, lalu memilih keluar dan bekerja di bengkel, dia mulai curiga. Kasusnya kok bertubi? Ini ditambah laporan tentang dugaan penganiayaan Wahyu. Dari sini dia mulai percaya." Mendalami Filsafat dan AgamaLulusan Program Magister Administrasi Publik Universitas Gajah Mada (lulus 1990), itu sudah ditinggal ibunya (meninggal) semasih duduk di SMA. Akibat kematian ibunya, Ini sempat bertanya dan menyalahkan Tuhan. "Mengapa Dia tega mengambil orang yang saya kasihi?" gumamnya. Akibatnya, Inu sempat ’lari’ dari Tuhan, meski tak berlangsung lama. Lalu ia sadar, ternyata bersahabat dengan Tuhan itu menyenangkan. Kemudian dalam pergumulannya, Inu banyak mempelajari ilmu filsafat dan keagamaan. Ketertarikan pada dua bidang ini kemudian dituangkannya dalam ide-ide penulisan. Inu telah menulis 42 judul buku dan karya tulis, di antaranya berjudul: Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an. Berbekal pendalaman filsafat dan keagamaan itu, Inu dan keluarganya hingga kini memilih hidup dalam kebersahajaan. Ia bersama istri dan tiga anaknya tinggal di rumah dinas yang sebetulnya merupakan jatah untuk dosen golongan II, bukan golongan IV seperti dirinya. Bepergian ke mana- mana pun dia kerap menggunakan angkutan umum. Baginya, kesederhanaan adalah sebuah pilihan hidup.<br /><br />DPR ProtesDalam suara kebenaran dalam kesendiriannya di kampus IPDN, Inu boleh terhibur, karena di luar kampus ia mendapat dukungan luas. Berbagai elemen mahasiswa juga bernjuk rasa menuntut kekerasan di IPDN dihentikan. Bahkan DPR pun ikut memprotes keras sanksi terhadapnya, karena keterbukaannya membuka kasus-kasus kekerasan mahasiswa di IPDN.Ketua FPDIP Tjahyo Kumolo kepada wartawan di Gedung DPR/MPR, menyatakan, sanksi yang dijatuhkan kepada Inu Kencana Syafiie dengan memberhentikannya dari kegiatan mengajar sekaligus sebagai PNS itu sangat berlebihan dan reaksioner.Sebagai dosen, terang dia, seharusnya Rektor IPDN dan Depdagri berterima kasih dan memberikan penghargaan, sehingga kekerasan itu bisa terbuka kepada masyarakat.“Kekerasan yang terjadi di kampus IPDN akan sangat sulit dihilangkan jika sistem secara keseluruhan tidak diperbaiki. Karena itu agar tujuan pendidikan IPDN yang bertujuan menyiapkan pamong-pamong yang profesional dan bertanggungjawab itu terpenuhi, seharusnya Depdagri berani mengambil langkah revolusioner dengan mengganti semua pimpinan, pengajar, dan staf administrasi di IPDN, ” kata Tjahyo.Menurutnya, IPDN perlu menghentikan penerimaan mahasiswa baru dan meleburkan mahasiswa lama dengan universitas lain, karena mahasiswa IPDN yang ada sekarang sudah terkontaminasi perilaku kriminal yang dilaklukan oleh senior-senior sebelumnya. Setelah itu, baru kembali ke sistem, kurikulum, dan metode pembinaan pengajaran yang sesuai dengan asas pendidikan.“Jadi, semua harus baru. Baik dari pimpinanya maupun kurikulum dan sistemnya, " usul dia.Yang pasti dengan kasus kekerasan tersebut DPR akan mengevaluasi seluruh pendidikan kedinasan yang berada di bawah departemen. Supaya kekerasan ala militer itu tidak berpengaruh terhadap pendidikan tinggi yang lain, sebaiknya dari sekarang IPDN stop menerima mahasiswa baru. Sedangkan mahasiswa yang sudah ada dilanjutkanya dan jika IPDN harus ditutup, mahasiswanya dilebur ke universitas yang lain.Anggota dewan lainnya, Wakil Ketua Komisi X DPR Prof. Dr. Anwar Arifin mengatakan, IPDN harus berhenti menerima mahasiswa baru dan kasus matinya mahasiswa Cliff Muntu harus dijadikan pelajaran dan evaluasi bagi sistem pendidikan yang sesuai dengan UU Sisdiknas.“Yang jelas seluruh pendidikan kedinasan di bawah departemen, selain pendidikan tentara dan polisi, harus dikembalikan ke Depdiknas, yaitu dengan memasukkan calon-calon birokrat tersebut ke universitas-universitas umum, ” tutur Anwar.Dijelaskannya, selama ini IPDN tidak tersentuh dengan disiplin ilmu yang lain sehingga mengakibatkan mereka menjadi arogan dan terbiasa dengan kekerasan fisik yang tidak manusiawi."Depdiknas bersama Komisi X DPR selama ini sudah membahas sekolah kedinasan yang ada dan hasilnya mengarah ke 3 opsi. Yaitu diintegrasikan dengan universitas negeri, berubah menjadi swasta, atau dibubarkan. ”Meski ketiga opsi tersebut belum diputuskan, namun DPR dan Depdiknas cenderung memilih opsi yang pertama, yaitu dilebur atau diintegrasikan ke universitas negeri yang ada. ►e-ti*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia<br /><br />Nama:Inu Kencana Syafiie<br />Lahir:Payakumbuh, 14 Juni 1952<br />Agama:Islam<br />Jabatan:- Lektor Kepala IPDN<br />Isteri:Indah Prasetyati<br />Anak:- Raka Manggala- Nagara Belagama- Periskha Bunda<br /><br />Pendidikan:<br />- Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti (1972-tidak tamat)<br />- Akademi Ilmu Administrasi dan Akuntansi Jayapura (1975-tidak tamat)<br />- Akademi Pmerintahan Dalam Negeri Jayapura (1976-1979)<br />- Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta (1985-1987)<br />- Program Magister Administrasi Publik Universitas Gajah Mada (lulus 1990)<br />- Program Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran (sampai sekarang)<br />- Disertasi berjudul: "Pengawasan Kinerja STPDN terhadap Masyarakat Kabupaten Sumedang".<br /><br />Buku:<br />- Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an</div>Is Sikumbanghttp://www.blogger.com/profile/08248809167707718566noreply@blogger.com0