Kamis, 27 Desember 2007

Abdul Muis

Abdul Muis Masa kecil Abdul Muis dikenal sebagai pemberani seperti ayahnya, tetapi ia juga membandel, hingga tak jarang kena disiplin orang tua. Pernah suatu ketika ia harus menjalani hukuman tendang sang ayah dan kerja bakti membersihkan kotoran kerbau di jalan. Si terhukum tetap tenang tanpa mengeluh. Demikian tutur petani desa Kapalo Koto Sungai Puar, 8 km dari Bukit Tinggi, tempat kelahiran Abdul Muis.
Ayahnya Sulaiman. Orang tua yang keras mendidik itu terkenal di Luhak (kabupaten) agam dengan gelar Datuk Tumanggung Gadang. Ia Laras untuk kelarasan Sungai Pua yang mencakup empat nagari yaitu : Sariak, Sungai Pua, Batagak dan Batu Palano. Pemangku adat inipun konon pernah ditindak Belanda gara-gara menolak pemungutan pajak (belasting) di desanya. Karena Penolakannya itu diasingkan ke Pulau Bangka.Abdul Muis merupakan anak desa Minangkabau yang pertama sampai di negeri Belanda secara terhormat dan langsung menghadap ratu Wilhelmina (raja Belanda) dengan barbagai usul, bagi pembangunan tanah air. Hasilnya antara lain, berdirinya Technische Hoge Scholl di Bandung, kini terkenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB). Abdul Muis berangkat ke negeri Belanda bersama Danu Sugondo, Leo D Van Hinloopen, Sunan Solo dan lainnya. Mereka utusan Dewan Rakyat (Volksraad) pertama di negeri Jajahan dengan nama Nederlandsch Indie (Indonesia) Tujuan mereka ke negeri Belanda ialah ingin memamfaatkan Perang Dunia Pertama, karena saat itu kerajaan Belanda bersikap lunak terhadap jajahannya. Menghadapi “etische politik” penguasa tersebut, mereka mengusulkan perubahan undang-undang agraria dan persamaan hak kaum pribumi dengan kulit putih di Indonesia. Hanya sayang perang cepat usai, hingga realisasinya tidak berjalan mulus, namun pengalaman berkeliling Eropa sangat mengesankan.Kesempatan keluar negeri baginya muncul setelah di perantauan, yaitu setelah ia di Bandung. Diperantuan inilah karir perjuangan Abdul Muis terus menanjak, hingga mencapai puncaknya sekitar 1928. Puncak karirnya itu ditandai dengan lahirnya karya sastra dalam bentuk novel “Salah Asuhan”. Selain itu, merantau ini membuat Abdul Muis sempat ikut memimpin Central Sarekat Islam (CSI). CSI ini disukung cabang-cabang Sarekat Islam yang tumbuh subur menjadi organisasi sosial politik di hampir seluruh peosok Indonesia ketika itu. Abdul Muis yang nasionalis ini sebenarnya telah lama menjadi orang Jawa Barat. Ini terjadi sejak gagalnya ia meneruskan belajar di Stovia (Betawi) 1906. Sebab keseluruhan putra-putrinya sebanyak 15 orang, lahir dari ibu mereka yang orang Sunda. Malah di bumi Parahyangan yang indah inilah Abdul Muis pergi untuk selama-lamanya pada tahun 1959, sebagai putra terbaik kelahiran Sungai Puar.
Wartawan dan SastrawanSebagai Pahlawan nasional Abdul Muis sejajar dengan HOS Cokroaminoto, Dr. Sutomo, H. agus Salim, Ki Hajar Dewantoro, Dr. Setia Budi, Dr. Ratulangi dll. Tanda kehormatan bintang maha Putra kelas III diberikan Pemerintah padanya 30 Agustus 1959. Disisi lain sebagai satrawan, ia sekelompok dengan Prof. Dr. Hamka, Nur Sutan Iskandar, Rustam Efendi dan Marah Rusli. Selain karya “Salah Asuhan” yang mengantarnya ke predikat “Sastrawan Indonesia Utama”, iapun menghasilkan serangkaian karya tulis lain, misalnya “Pertemuan Jodoh” (1930) dan Surapati (1950) Abdul Muis di bidang jurnalistik pun termasuk generasi pelopor di tanah air. Ia pernah menjabat redaktur surat kabar terkemuka di Jawa Barat, saat Budi Utomo berusia 7 tahun. Karir kewartawanan ini agaknya punya relevansi dengan sisi yang terkandung dalam roman “Salah Asuhan”, yaitu “Pembelaan terhadap martabat bangsa”. Harkat kebangsaan inilah kemudian menyuburkan tulisannya di koran. Selanjutnya perjuangan berat di bidang ini menyebabkan jalan pajang yang ditempuhnya, memerlukan ketabahan tersendiri. Abdul Muis menyadari jeleknya penjajahan ketika berhadapan dengan orang Belanda Indo yang sombong dang angkuh di tempat kerjanya di Jakarta. Pengalaman berharga ini muncul disebabkan Abdul Muis tamatan Europesche Lagere School Padang tersebut gagal melanjutkan kuliahnya di Stovia di Jakarta, lalu bekerja di Departemen Pengajaran (Department van Onderwijs & Eredienst). Selanjutnya terwujudlah pergaulan luas dari berbagai kalangan. Ini mulai dari elemen yang menimbulkan kebencian sampai ke kerabat menyenangkan, hingga satu saat nalurinya menuliskan segalanya itu sampai puncaknya. Maka Abdul Muis pun berhenti kerja dan tahun 1909 munculah karya tulisanya, sebagai orang pers pada majalah “Bintang Hindia” di Bandung. Abdul Muis di Bandung 1910 karena ingin menanjak pindah ke surat kabar berbahasa Belanda “Preanger Bode” namum profesinya disini terasa runyam, karena lingkungan orang Belanda selalu memandang rendah orang pribumi. Kecewa di reanger Bode, iapun hijrah pada tahun 1914 ke surat kabar “Kaum Muda” dan Abdul Muis menjadi pimpinan. Belakangan ini koran tersebut populer dengan “ruang pojok” nya yang berjudul “Keok” (artinya kalah). Ruang itu sebagai tempat menuangkan kecaman tajam Abdul Muis terhadap Pemerintahaan jajahan waktu itu. Keok nya Abdul Muis pun mati, karena “Kaum Muda” nya di breidel. Lalu Abdul Muis diterima memimpin surat kabar “Neraca”, yang merupakan organ Sarekat Islam. Didukung pertumbuhan yang baik, bagi Abdul muis sekaligus berarti menaiki tangga karir yang dimpikan. Sebab Sarekat Islam sendiri adalah wadah perjuangan menuju kemerdekaan bangsa. Pahlawan nasional ini sejak tiga perempat abad yang silam telah menyadari perlunya pembinaan kesadaran nasional. Terutama dalam menghadapi bahaya pengaruh asing di Indonesia, dan telah berbuat tanpa pamrih.
Sumber : Abdul Muis, Pejuang Berhasil di Perantauan, Oleh : Fauzi Aziz, Buletin Sungai Puar No. 14 – April 1986 Disadur Oleh : Erwin Moechtar

Tidak ada komentar: