Jumat, 28 Desember 2007

Sutan Sjahrir

Politika Bung Kecil

Perdana menteri kita yang pertama, Sutan Sjahrir, tutup usia sebagai tahanan politik oleh Orde Lama tanggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Ia diizinkan berobat ke Zurich sejak Mei 1965 oleh Presiden Soekarno yang dalam izin tertulisnya mengatakan Sjahrir boleh berobat ke mana saja kecuali Belanda. Pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) tahun 1948 itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata tanggal 19 April 1966. Si "Bung Besar" Presiden Soekarno yang sekitar satu bulan sebelumnya dipaksa menandatangani Surat Perintah 11 Maret karena alasan keamanan tidak mungkin menghadiri upacara pemakaman rekan seperjuangannya, Sjahrir, si "Bung Kecil". Hampir semua wakil perdana menteri (waperdam) politik menghadiri upacara pemakaman Sjahrir, termasuk Letjen Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Adam Malik. Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan sambutan di hadapan liang lahat Sjahrir, sementara Menhankam/Kasab Jenderal AH Nasution menjadi inspektur upacara pemakaman.
Ratusan ribu warga Jakarta berjubel di kanan dan kiri jalan ketika jenazah Sjahrir tiba tanggal 18 April di Bandara Kemayoran, maupun saat jenazah diberangkatkan dari rumah duka di daerah Menteng menuju ke TMP Kalibata. Presiden Soekarno saat itu langsung menetapkan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional dan pemerintah menyerukan rakyat menaikkan bendera setengah tiang selama tiga hari sebagai tanda berkabung nasional.
Suami Ny Poppy Sjahrir itu menghabiskan hari-hari terakhirnya di balik jeruji Orde Lama. Penjajah Belanda juga beberapa kali mengasingkan Sjahrir, antara lain ke Boven Digul (Papua) dan Bandarneira (Maluku). Sjahrir ditangkap atas perintah Presiden Soekarno sekitar pukul 04.00 tanggal 18 Januari 1962 di rumahnya di Jalan HOS Cokroaminoto 61, Jakarta Pusat. Sejak itulah ayah dua anak itu berpindah-pindah ke berbagai penjara di Kota Madiun (Jawa Timur), RSPAD (Jakarta Pusat), Jalan Keagungan (Jakarta Utara), dan RTM Budi Utomo (Jakarta Pusat).
Sjahrir, kelahiran Padangpanjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, ditangkap karena dituduh mau menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. Sjahrir diduga ikut terlibat dalam percobaan pembunuhan Presiden Soekarno ketika iring-iringan mobil Kepala Negara dilempari sebuah granat di Makassar tanggal 7 Januari 1962. Hasil pemeriksaan terhadap mereka, yang dituduh menjadi anggota kelompok makar Verenigde Ondergrondse Corps (Korps Bawah Tanah Bersatu) direkayasa seolah-oleh terkait dengan "komplotan Bali".
Sjahrir, yang kerap pergi ke berbagai daerah untuk menyiapkan kader PSI, memang sempat datang ke Pulau Bali. Dan pada tanggal 18 Agustus 1961 di Pulau Dewata itu sedang berlangsung sebuah acara kremasi untuk bekas Raja Gianyar dan Sjahrir diundang oleh anak almarhum sang raja, Anak Agung. Sjahrir datang tidak sendirian karena ada pula undangan lain, yakni Bung Hatta serta sejumlah tokoh PSI lainnya. Entah mengapa, pertemuan yang dihadiri dua tokoh penting Angkatan ’45 dan kalangan politik lainnya itu dicurigai sebagai sebuah persiapan untuk melancarkan makar oleh "komplotan Bali". Adalah Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio yang melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang "komplotan Bali" itu.
Sjahrir yang sempat bercita-cita melamar ke angkatan udara itu menjadi PM memimpin kabinet selama tiga kali dalam periode 1945-1947. Setelah dibebaskan dari penjara Belanda tahun 1942, Sjahrir menjadi "orang nomor tiga" dalam perjuangan Angkatan ’45 untuk mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ketika menempuh pendidikan di Belanda, Sjahrir ikut serta di dalam Perhimpunan Indonesia yang pernah dipimpin oleh Bung Hatta. Ketika kembali ke Hindia Belanda, mereka aktif memimpin Pendidikan Nasional Indonesia yang menempatkan kedaulatan rakyat setinggi-tingginya, sekaligus memberdayakan rakyat jelata melalui pendidikan.
Sjahrir mencapai karier puncak politiknya ketika menulis Perjuangan Kita, sebuah manifesto yang membuat dia berseberangan dengan (juga menyerang) Bung Karno. Jika Soekarno amat terobsesi kepada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, "Setiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan".
Satu lagi kecaman terhadap Bung Karno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis, sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita". Ia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurut dia tidak mendatangkan apa-apa. Beberapa kalangan menilai karier politik Bung Kecil selesai setelah diketahuinya hasil Pemilihan Umum 29 September 1955 yang memperlihatkan bahwa PSI cuma merebut sekitar dua persen suara atau merebut lima kursi di parlemen yang terdiri dari 257 kursi. "Kami, orang-orang Sosialis dalam arti yang tepat, adalah tukang-tukang mimpi profesional," ujar Bung Kecil berseloroh.
Walaupun praktis sudah pensiun dari aktivitas politik pada paruh kedua dekade 1950, Bung Kecil terkena getah kesalahan yang dilakukan PSI. Salah seorang dari jajaran pengurus PSI, Sumitro Joyohadikusumo, pindah ke Singapura untuk mendukung pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1957-1958. Sejak itulah Bung Kecil dan PSI disebut Bung Besar sebagai "cecunguk" yang antipersatuan dan kesatuan yang wajib ditumpas sampai habis.
Charil Anwar, salah seorang pemuda pengikut Sjahrir, menulis sebuah sajak "Mereka yang Kini Terbaring antara Krawang-Bekasi". Bunyinya begini: Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir.
Mereka sudah lama pergi dan tiada meninggalkan harta benda, kecuali kekayaan buah pikiran dan tekad perjuangan demi mencapai kemerdekaan. Masih adakah "bung" di antara kita, itulah pertanyaannya.
Sumber : http://www.kompas.co.id/
Sutan Sjahrir, Nasib Getir Burung Kelana
Ditulis oleh Aulia A Muhammad
SUTAN Sjahrir adalah nama yang dicuplik ibunya dari kegemerlapan kisah Seribu Satu Malam di Istana Baghdad. Tapi kehidupan Sjahrir justru getir dan kelam, sehitam belanga. Dialah orang yang paling jenius dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hanya bermain di belakang gemebyar Soekarno dan memimpin pergerakan di Bandung, Amsterdam, dan Leiden, jiwanya menjadi matang. Dialah pengelana yang hidup untuk kampung halaman: pribadinya matang dalam tempaan cita-cita kemerdekaan. Menghabiskan delapan tahun dalam penjara kolonial dan pembuangan, tiga kali menjadi Perdana Menteri di rezim Soekarno, tapi saat mati, Sjahrir justru berstatus tahanan politik, dari sebuah bangsa yang dengan darah dan airmata yang ia perjuangkan kemerdekaannya.Dialah Don Quixote, sekaligus Kafka; sendiri, pedih, getir, tapi amat mencintai sesama atas nama kemanusiaan. Tak heran, pada hari penguburannya, 18 April 1966, jasadnya yang baru datang dari Zurich, disambut 250 ribu massa, yang mengelu-elukannya dalam tangis, mengantar bunga dukacita ke Kalibata. Helikopter berputar, meraung, menabur wewangian kembang, tembakan salvo pun menggelegar, mengiringi jasad ringkih, pucat, tapi tersenyum, turun ke liang lahat.Pemerintah menginstruksikan mengibarkan bendera setengah tiang, tiga hari, tanda duka, dan jasad yang kering itu pun dibaptis sebagai pahlawan nasional.Tapi apakah arti upacara itu? Adakah kemeriahan penghormatan dan anugerah itu dapat mengobati luka Sjahrir, yang lebih membutuhkannya di hari-hari panjang yang dingin, pengap, meringkuk sakit, sendiri, sepi, di sebuah penjara, di Jakarta. Hidup Sjahrir mungkin sebuah biografi yang tak indah. Tapi, siapa yang bisa melepaskan namanya dari triumvirat Bung, pendiri negara ini? Dalam tahap ini, jelas, Sjahrir berarti, sangat berarti.Dia berjuang untuk memerdekakan negeri ini dengan konsep yang ganjil tentang nasionalisme. Nasionalisme bagi si Bung berdarah Minang ini bukanlah dewa. "Nasionalisme hanya kendaraan yang kita pakai saat ini untuk memerdekakan diri," ucapnya."Sjahrir adalah burung kelana yang mendahului terbang melampaui batas-batas nasionalisme. Dia salah seorang tokoh terbesar dalam kebangkitan Asia," puji Indonesianis, Herbert Feith."Perjalanan hidup Sjahrir," tulis Rudolf Mrazeck dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, adalah gerak universalisme dari satu tradisi sempit. Dia tak pernah membawa bau tradisional, primordial, atau parokial. Ia secara jujur mengaku, tak punya hubungan batin dengan dunia Minang."Dalam posisi itu, Sjahrir amat berbeda dari Soekarno, Hatta, bahkan Tan Malaka. Sjahrir adalah anak panah, melesat dari busurnya, tak pernah kembali.Seperti pemimpin pergerakan lainnya, Sjahrir adalah buah dari politik etis van Deventer. Ia lahir di Padangpanjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909, dan dewasa di Medan. Di kota itulah jiwa muda Sjahrair sudah kenyang melihat penderitaan kaoem koeli, bukti eksploitasi kolonialisme.Dia mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan pustaka dunia, karya-karya Karl May, Don Quixote, dan ratusan novel-novel Belanda. Malamnya dia ngamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk kulit putih, kecuali musisi dan pelayan.1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volkuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.Sebelum Soekarno membentuk Perserikatan Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, Sjahrir telah membentuk Jong Indonesie, yang kelak menjadi Pemoeda Indonesia. Ini organisasi baru yang jauh dari warna kesukuan, dan ia menjadi pemimpin redaksi organisasi itu.Kuliah hukum di Universitas Amsterdam, Sjahrir berkenalan dengan Salomon Tas, ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Sjahrir, meski sebentar.Dari mereka Sjahrir mengenal Marxisme, dan melalui Hatta, dia masuk Perhimpunan Indonesia. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik."Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.Tulisan-tulisan Sjahrir berikutnya, terutama dalam manifestonya, Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.Perjoeangan Kita adalah karya terbesar Sjahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrif itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan."Pujian yang tak berlebihan. Karena melalui Partai Sosialis Indonesia yang melahirkan Soejatmoko, Sutan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar, jejak-jejak Sjahrir sampai kini masih terasa, kuat, masih menggelora. Sumber : http://www.suaramerdeka.com/cybernews/layar/tokoh/tokoh2.html

Tidak ada komentar: