Senin, 21 Januari 2008

M Alwi Dahlan

Doktor Ilmu Komunikasi Pertama
Alwi Dahlan tercatat sebagai doktor ilmu komunikasi pertama Indonesia lulusan Amerika Serikat tahun 1967, tepatnya dari Illionis University, Urbana dengan tesis “Anonymous Disclosure of Government Information as a Form of Political Communication”. Pergi sekolah ke negeri Paman Sam tahun 1958 saat sedang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) berdasarkan beasiswa foreign sudent leadership project di Minnesota, Alwi Dahlan sebelumnya berhasil meraih gelar B.A dari American University, Washington DC tahun 1961. Gelar B.A. ini menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu setara dengan S-1. Di Washington, untuk membiayai kuliah pria kelahiran Padang, Sumatera Barat 15 Mei 1933 ini bekerja sebagai penjaga malam di Kedutaan Besar RI. Sebelum meraih gelar doktor, keponakan sutradara film terkemuka Usmar Ismail ini melanjutkan pendidikan ke Stanford University, di California untuk meraih gelar Master of Arts (M.A.) bidang ilmu komunikasi massa tahun 1962.Selama studi M Alwi Dahlan bukan hanya pernah menjadi penjaga malam di KBRI Washington DC. Sebelum kembali ke tanah air usai meraih doktor masih menyempatkan diri membantu Atase Pendidikan di KBRI Washington, yang waktu itu dirangkap oleh Atase Pertahanan M Kharis Suhud. Dan, sewaktu akan pulang ke tanah air Kharis Suhud berkenan mengajak Alwi agar mau membantu Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) sebagai tenaga ahli, yang lalu dilakoninya sepanjang tahun 1968-1970. Kharis Suhud, mayor jenderal TNI AD terakhir menjabat sebagai Ketua MPR/DPR RI. Alwi Dahlan adalah orang Indonesia pertama yang menggondol gelar doktor ilmu komunikasi dari Amerika Serikat. Bidang komunikasi kiblat dari Amerika adalah bidang baru yang lebih luas pengertian dan definisinya dari ilmu jurnalistik maupun publisistik yang berkiblat ke Jerman. Tak mengherankan, pada waktu itu komunikasi massa belum begitu dipahami di Indonesia sehingga keahlian ilmu komunikasi Alwi belum serta merta memperoleh ruang kerja yang jelas. “Saya lalu melakukan berbagai hal, sekaligus ingin memperlihatkan bahwa sebagai ahli dalam bidang (komunikasi) ini, yang bersifat interdisiplin, dapat berkiprah di berbagai bidang ilmu dan berprofesi,” cerita Alwi, yang butuh waktu lama membuktikan keahliannya sebelum guru besar ilmu komunikasi massa Universitas Indonesia ini dipercaya oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Penerangan tahun 1998. Walau hanya beberapa bulan, antara Maret hingga 21 Mei 1998 sesuai “umur jagung” kabinet terakhir Pak Harto sebelum mengundurkan diri, posisi Menteri Penerangan adalah pembuktian akan kualitas kedoktoran pakar ilmu komunikasi Alwi Dahlan.MerintisM Alwi Dahlan putra Dahlan Sjarif Datuk Djundjung, seorang bupati pada kantor Gubernur Sumatera Tengah, di almamaternya Fisip-UI sejak tahun 1969 hingga 1992 hanya bisa dipercaya sebagai dosen luar biasa alias dosen tidak tetap. Ia harus merintis atau meneruka beberapa bidang kegiatan yang pada waktu itu dianggap masih baru di Indonesia. Seperti, antara tahun 1969-1971 ia menerbitkan dan menjadi pemimpin umum mingguan Chas, sebuah mingguan berkala berita yang pertama tampil dalam bentuk tabloid. Ia juga mendirikan Institute for Social, Commercial & Opinion Research (Inscore) Indonesia, sebuah lembaga riset masalah komersial dan pendapat umum swasta yang pertama di Indonesia. Alwi mendirikan pula Inscore Adcom sebuah perusahaan jasa komunikasi total dan public relation (PR) pertama di Indonesia. Sebagai doktor ilmu komunikasi massa pertama Indonesia lulusan Amerika Serikat banyak hal yang baru yang untuk pertama kalinya dirintisnya, sebelum akhirnya mulai mapan berkiprah di pemerintahan saat Emil Salim tahun 1978 resmi mengajaknya bergabung sebagai asisten menteri. Emil Salim ketika itu diangkat Pak Harto menjadi Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), maka, jadilah Alwi Dahlan tercatat sebagai Asisten Menteri KLH sepanjang tahun 1979 hingga 1993, atau antara era Emil Salim hingga Sarwono Kusumaatmaja.Kepada Alwi Emil Salim membebankan tugas membantu merintis pengembangan bidang yang masih sangat baru di Indonesia pada masa itu, yaitu pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup. Terbiasa mempunyai naluri sebagai perintis tantangan itu ia terima. Alwi resmi diangkat menjadi Asisten Menteri Bidang Pengawasan tahun 1978-1983, kemudian menjadi Asisten Menteri Bidang Keserasian Kependudukan dan Lingkungan tahun 1983-1988, serta menjadi Asisten Menteri Bidang Kependudukan tahun 1988-1993 di bawah Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmaja. Hingga tahun 1990 kepada Alwi Dahlan masih diserahi tugas dan tanggungjawab Kampanye Kesadaran Lingkungan Hidup, tugas yang antara lain berhasil menelorkan kebijakan pemberian penghargaan tahunan Kalpataru, Neraca Lingkungan Daerah, dan berbagai kebijakan lingkungan hidup lainnya. Untuk semua pengabdiannya yang tercatat hingga saat itu Presiden Soeharto menganugerahi Alwi Dahlan penghargaan Bintang Jasa Utama, yang disematkan langsung oleh Pak Harto pada 17 Agustus 1994.Penulis SkenarioSelain pakar dan guru besar komunikasi massa, pejabat kementerian lingkungan hidup, mantan Wakil Kepala BP-7, dan Menteri Penerangan, banyak sisi menarik lain kehidupan Alwi Dahlan yang belum pernah terangkat ke permukaan. Dalam usia muda 16 tahun, misalnya, pria yang menamatkan pendidikan SR di Padang (1946) sedangkan SMP (1950) dan SMA (1953) keduanya di Bukit Tinggi, ini sudah menunjukkan bakat luar biasa. Ia ketika itu sudah aktif mengarang cerita di majalah Kisah dan Mimbar Indonesia terbitan Jakarta. Di koran lokal sendiri, Padang Nippo dan Detik terbitan Buktitinggi ia malah hanya sesekali menulis. Duduk di bangku SMP di Batusangkar ia sudah menerbitkan sendiri koran lokal sekolah.“Di Mimbar Indonesia, selain menulis cerita pendek saya juga membuat sketsa atau vignet dengan tinta Cina,” aku suami dari Elita Rivai sama-sama berasal dari Kabupaten Tanah Datar. Di majalah Siasat, sebagai koresponden ia membuat reportase, esei, dan cerita pendek mengisi rubrik kebudayaan Gelanggang. Ketika duduk di bangku SMA Alwi sudah berkesempatan menulis rangkaian reportase perjalanan kaki menjelajahi pedalaman Alas, Gayo, serta Aceh untuk Siasat. Masih di bawah usia 20 tahun Alwi menulis di Zenith sebuah majalah kebudayaan yang diterbitkan oleh Mimbar Indonesia. Ketika diterima kuliah di FE-UI, ketika itu belum dibuka jurusan ilmu komunikasi, Alwi menyalurkan bakat dan keahlian tulis-menulisnya di penerbitan kampus Forum dan Mahasiswa. Bersama sahabatnya Emil Salim, Teuku Jacob, dan Nugroho Notosusanto, tahun 1958 ia mendirikan Ikatan Pers Masiswa Indonesia.Bakat kepengarangan putera Padang Panjang ini boleh dikata menurun dari pamannya Usmar Ismail, sutradara film terkemuka yang juga dikenal sastrawan angkatan ‘45. Alwi Dahlan pernah mencatat prestasi gemilang menulis sembilan skenario film sepanjang tahun 1953-1958. Ia bersama pamannya Usmar Ismail menulis skenario untuk film Harimau Campa, yang pada Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1958 merebut piala Citra sebagai skenario film terbaik. Demikian pula untuk film Tiga Dara hasil kerja bareng paman-keponakan itu. Sebuah film Usma Ismail lainnya, Jenderal Kancil dibuat justru berdasarkan novel karangan Alwi Dahlan berjudul Pistol Si Kancil terbitan Balai Pustaka. Alwi Dahlan ketika masih disibukkan tugas-tugas eksekutif di pemerintahan, terakhir menjabat Wakil Kepala BP-7 sebelum diangkat Menteri Penerangan oleh Pak Harto, masih menyempatkan diri mengembangkan diri di bidang ilmu komunikasi massa sebagai akademisi menjabat Guru Besar Fisip UI. Ia banyak diminta berbicara dalam berbagai seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Cina, Singapura, Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Rusia, dan lain-lain. Ia akhirnya tergolong sebagai pembicara seminar yang laris, berbeda ketika ia masih harus menjelaskan posisi dan peran ilmu komunikasi massa sebagai ilmu yang baru di Indonesia.Tentang istrinya, Elita Rivai sama-sama asal Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat ia katakan diketemukan di Jakarta. “Ceritanya, waktu saya di Amerika, beberapa tahun sebelum pulang saya melihat wajah Elita dalam foto di antara banyak orang. Waktu pulang, saya mencarinya sampai dapat di Jakarta,” tutur Alwi Dahlan, yang selalu berpenampilan tenang dan simpatik dengan tutur bahasa santun bersahaja. ►ht*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Nama: M. Alwi Dahlan
Pendidikan:
- SR Adabiah I Padang (1946)
- SMP Bukittinggi (1950)
- SMA Bukittinggi (1953)
- Fakultas Ekonomi UI Jakarta (Tidak selesai, 1958)
- Universitas Stanford, California, AS (meraih gelar M.A, 1962)
- Universitas Illionis, AS (meraih doktor, 1967)

Karir:
- Penulis Skenario Film (1953-1958)
- Pembantu Atase Pendidikan KBRI di Washington DC (1967-1968)
- Tenaga Ahli Markas Besar Angkatan Darat (1968-1970)
- Dosen Seskoad dan Kursus Atase Pertahanan (1968-1971)
- Dosen Fisip UI (1969-sekarang)
- Pemimpin Umum Mingguan “Chas” (1969-1971)
- Pemimpin Umum Majalah “M&M” (1971-1978)
- Direktur Inscore Indonesia (1971-1979)
- Direktur Inscore Adcom (1974-1979)
- Asisten Menteri KLH (1979-1993)
- Wakil Kepala BP-7 (1993-1998)
- Menteri Penerangan RI (Maret-21 Mei 1998)

Organisasi:
- Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI, 1983-1995)
- Ketua Umum Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (Hipiis, 1984-1995)
- Anggota Dewan Kehormatan PWI (1984-1995)

Penghargaan: Bintang Jasa Utama oleh Presiden Soeharto, 17 Agustus 1994 Alamat

Rumah: Jalan Mutiara III Cipete, Jakarta 12410 Telepon: (021) 769.1931 Sumber: Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang,BK3AM, 1995, hlm.313-316

Etty Sunarti Nuay

Etty Sunarti Nuay Berkaca pada Minyak
Siapa bilang berada jauh di belantara hutan atau di tengah lautan, bisa membuat seseorang jauh dari Yang Mahakuasa? Justru sebaliknya, kebesaran Allah SWT semakin tampak dan Sang Khalik terasa makin dekat. Itulah yang dirasakan wanita geolog pertama Indonesia, Ir Etty Sunarti Nuay.
Begitu dinyatakan lulus sebagai sarjana dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 10 Juni 1973, sesuai bidang ilmunya, ia terjun ke dunia perminyakan. Selama lebih dari 25 tahun ia bekerja di perusahaan pertambangan milik Amerika Serikat, Hufco dan Vico.
''Saya tertarik kepada alam. Dengan kita berkecimpung di alam lebih banyak, kita bisa dekat sama Allah. Kita semakin menyadari manusia sangat kecil kalau dibanding alam yang mahabesar,'' ujarnya.
Dari kecil, pertanyaan tentang alam menjadi pertanyaan yang tak berujung bagi Etty. Bagaimana alam bisa sebesar ini? Siapa yang menciptakan? Alam terbentang ini mau diapakan dan kenapa sampai terjadi begini? Itulah pertanyaan yang selalu berlalu tanpa jawaban. ''Dari seringnya mengamati, saya menyenangi alam. Semakin lama semakin keterusan,'' ujarnya kepada Republika, Selasa (3/5).
Kecintaan istri Nuay Sutan Maradjo ini terhadap alam makin mengental saat duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Ia mengaku, pada masa itu, ia sering mendaki gunung, turun ke ngarai, dan menyusuri sungai-sungai. ''Begitu tahu ada jurusan geologi di fakultas Teknik Geologi ITB, saya langsung mendaftar ke sana,'' tambahnya.
Semasa kuliah, seangkatannya hanya ada dua perempuan yang menekuni bidang itu. Ini berlanjut hingga ia memasuki dunia kerja. Ia menjadi satu-satunya perempuan di tengah-tengah kaum lelaki dan kebanyak pekerja asing pula. Karena itu, tak mengherankan bila ia kadang harus bersikap seperti laki-laki.
Ada satu pengalaman menarik yang tak bakal dilupakannya. ''Kalau ke pengeboran, seorang wanita dilarang datang ke lokasi itu. Karena harus bertugas ke sana akhirnya saya berpakaian seperti laki-laki dengan menggunakan pakaian dinas lapangan (PDL) lengkap pula,'' ujarnya terbahak.
Pertama kali bekerja, ia ditempatkan sebagai paleontolog. ''Dengan mengidentifikasi fosil, kita akan tahu umur bumi,'' ujarnya tentang korelasi displin bidangnya itu.
Kalau umur bumi diketahui, katanya, maka akan bisa dikolerasikan satu tempat ke tempat lain yang umurnya sama. Misalnya umur batuan yang terdapat di tempat A bertemu lagi di tempat B karena fosilnya sama. ''Nah, itu sangat penting dalam ilmu perminyakan. Karena kalau satu lapisan yang mengandung minyak kita hubungkan di tempat yang lain dia akan mengandung minyak juga.''
Ia benar-benar menekuni dari bawah hingga akhirnya menduduki jabatan manajer eksplorasi di Vico. ''Waktu itu usia saya 26 tahun, mulai dari bawah sebagai junior karena saya lulus sebagai geologis. Tepatnya junior paleontologist yang merupakan cabang dari ilmu geologi,'' ujarnya.
Ia sendiri mengaku sangat tertarik dengan dunia perminyakan. Bahkan, ia semakin mengagumi kebesaran Allah SWT juga setelah berkecimpung di dunianya itu. Allah, di mata perempuan yang kemudian memilih untuk berbusana Muslimah dalam kesehariannya ini, adalah creator yang luar biasa dan sangat teliti. ''Dalam proses terjadinya minyak, sampai sekarang tak ada satu makhluk pun yang menandingi. Hingga saat ini manusia belum ada yang mampu membuat minyak,'' ujarnya.
Minyak, kata dia, terdiri dari unsur hidrokarbon. Hidro karbon adalah senyawa antara hidrogen dan oksigen dan itu banyak sekali turunannya. Di dalam tanah, zat itu akan terbentuk kalau dia sudah jutaan tahun terkubur. Manusia, bagaimana pun caranya tidak akan mampu membuat hidrokarbon, minyak, dan bahan tambang lainnya. ''Dengan begitu kita semakin yakin kebesaran Allah. Jadi, benar usia bumi sudah jutaan tahun,'' ujarnya menambahkan.
Saat mencapai posisi manajer di Vico, Etty memilih untuk lengser. ''Saya ingin lebih banyak bisa beribadah dan bersama keluarga. Kebetulan, kantor membuka peluang untuk pensiun dini,'' ujarnya. Kini, ia bergabung dengan perusahaan pertambangan minyak milik pengusaha dalam negeri. Selain waktunya lebih fleksibel, ia juga bisa mendapatkan apa yang diingininya; lebih banyak beribadah dan dekat dengan keluarga.

Ir Etty Sunarti Nuay
Panggilan : Etty
Tanggal Lahir : Bukittinggi, 5 Februari 1947
Suami : Nuay Sutan Maradjo
Anak : Wahyu Maulana MSc, Annisa Fabiola (almarhumah)
Pendidikan : Fakultas Teknik Geologi ITB Tahun 1973
Jabatan : Presiden Direktur/CEO Easco Petroleum (Holding)
(dam )
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=197506&kat_id=376

Mufidah Jusuf Kalla

Penopang Karir Suami
Wanita bersuara lembut yang berusaha menjaga sikap untuk selalu tampil setenang mungkin, Mufidah Miad Saad, ini seorang ibu yang setia menopang karir suami, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Keberhasilan JK dalam dunia usaha dan dunia politik tak terlepas dari dukungan wanita Minangkabau kelahiran Sibolga 12 Februari 1943, ini.

Bak kata pepatah asam di gunung ikan di laut bertemu dalam kuali, itulah yang terjadi pada pasangan Muhammad Jusuf Kalla dan Mufidah. Sebagai khasnya orang Minang yang berjiwa perantau, begitulah jua keluarga Mufidah (ayah H Buya Mi'ad dan ibu Sitti Baheram serta sebelas orang anak saudara sekandung. Dari Sumatera Barat merantau ke Sibolga, umatera Utara hingga ke Sulawesi Selatan.

Di kota Angin Mamiri Makassar, Mufiodah akhirnya bertemu jodoh Jusuf Kalla. Mufidah yang biasa cukup dipanggil dengan Ida saja, adalah gadis muda belia yang untuk pertamakalinya bertemu pandang dengan Jusuf Kalla saat menginjak bangku SMA Negeri III Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai siswi baru.

Di masa-masa sekolah inilah awal mula persemaian kisah cinta Mufidah dengan seorang anak muda Muhammad Jusuf Kalla (MJK), pria suku Bugis kelahiran Watampone 15 Mei 1942, putra pengusaha tradisional Bugis Haji Kalla dan Hajjah Athirah pendiri dan pemilik NV Hadji Kalla Trading Company, bersemi. Jusuf Kalla dan Mufidah mulai saling menaruh hati pada tahun 1962 saat Jusuf Kalla duduk di bangku kelas dua dan Ida adalah siswi baru kelas satu SMA Negeri III Makassar. Mufidahlah yang menyebutkan kalau Jusuf Kalla sudah menunjukkan ketertarikan kepadanya sewaktu SMA. Namun Ida menanggapi ketertarikan Kalla dengan bersikap tenang dan biasa-biasa saja, sepertinya tanpa ada gejolak apapun. Walau berakhir happy ending kisah cinta dua anak bangsa Jusuf Kalla-Mufidah memang sepertinya mirip dengan kisah Siti Nurbaya, sebuah cerita klasik dari Minangkabau. Ketika Jusuf Kalla sudah sedang berada di puncak hasrat asmara bahkan hendak melamar, Ida kepada Kalla mengaku terus terang kalau dirinya sudah dijodohkan oleh kedua orangtua kepada pria lain.

Pengakuan langsung itu menjadi konfirmasi final atas kabar perjodohan Mufidah yang sebelumnya telah terembus ke telinga Jusuf Kalla. Kabar atau “mimpi buruk” yang muncul justru di saat Jusuf Kalla hendak melamar Ida. Pria yang dijodohkan ke Mufidah disebut-sebut pula ganteng dan sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat.

Namun, nyali Jusuf Kalla tak surut. Dan, akhirnya mereka menikah. Buah kasih mereka telah melahirkan lima orang anak, yakni Muchlisah Jusuf, Muswirah Jusuf, Imelda Jusuf, Solichin Jusuf, dan Chaerani Jusuf, serta tujuh orang cucu.Penari Serampang 12Ketenangan dan selalu bersikap biasa, sejak gadis belia hingga sudah menjadi nenek tujuh orang cucu adalah ciri khas pembawaan Mufidah, wanita yang di usia senja 61 tahun masih saja mengguratkan tanda-tanda kecantikan dan kesegaran. Sebagai misal, walau nyonya rumah di sebuah keluarga kaya raya, yang berdasar laporan KPKN Jusuf Kalla memiliki kekayaan Rp 134,2 miliar, penampilan Mufidah tampak biasa-biasa saja. Sehari-hari di rumah, misalnya, ia cukup mengenakan setelan busana muslimah yang sangat bersahaja. “Ya biasa-biasa saja. Sejak bapak mundur dari kabinet, saya memilih tinggal di rumah bersama satu cucu atau ikut bapak keluar daerah jika menginap. Soal kegiatan saya, sebut saja saya menjadi ibu rumah tangga,” kata Mufidah, tersenyum kepada Indo Pos bercerita perihal kegiatan hariannya berikut status barunya sebagai Ibu Rumah Tangga. Ibu Rumah Tangga biasa sederhana yang bukan lagi dikenal Nyonya Menteri namun malah naik menjadi Nyonya Wakil Presiden karena kebersahajaannya. Tutur kata Mufidah terkesan ramah dan akrab. Sama seperti sang suami Jusuf Kalla, yang konglomerat dari Indonesia Timur yang juga sangat bersahaja dan sederhana sekali sebab jarang sekali mengenakan pakaian jas lengkap, kecuali untuk acara resmi yang sangat penting itupun terkadang paling-paling cukup mengenakan baju batik saja. Keseharian Jusuf Kalla lebih suka mengenakan baju lengan pendek tanpa dasi, atau jika ingin lebih sederhana cukup kenakan baju koko berlengan pendek.Jusuf Kalla menyemai bibit kasih sayangnya kepada Mufidah dengan sesekali datang bertandang ke rumah Ida. Ia datang bersama kawan-kawan sesama mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar. Tujuannya “bukan” untuk bertemu Ida melainkan asyik bermain halma dan mengobrol dengan sang “Camer” alias calon mertua. Mufidah suatu ketika harus menempuh ujian akhir SMA di Medan sebab bersamaan waktunya dengan penyelengaraan sebuah kejuaraan tari di Medan. Ida yang pandai menarikan tarian Melayu Serampang Duabelas, demikian pula tarian Minang dan Aceh, dipercaya mewakili Propinsi Sulawesi Selatan mengikuti kejuaraan tari di Medan. Bukti bahwa Mufidah seorang penari handal tercermin pada putri bungsunya, Chaerani, yang mewarisi bakat penari. Di Medan Mufidah berhasil tampil sebagai juara tiga. Cinta jarak jauh Makassar-Medan diisi Jusuf Kalla dengan kerap menanyakan dan mencari tahu kabar tentang Ida, sambil sesering mungkin berkirim kartu pos.Kembali ke Makassar Mufidah berkesempatan bekerja di bank BNI 1946 atas permintaan ibu dan koneksi ayahnya dengan direktur utama bank yang kini bernama Bank BNI itu. Dengan bekerja Ida menyimpan hasrat lama kuliah di Universitas Hasanudin, tempat dimana Jusuf Kalla kuliah dan aktif sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Walau gagal masuk Unhas sekampus dengan Kalla Ida tak ingin melunturkan niat besarnya menempuh pendidikan tinggi. Ia lalu masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Selepas bekerja sebagai teller bank Ida rajin kuliah sore.Mengetahui Mufidah bekerja dan sambuil kuliah ada dua hal yang segera dilakukan Jusuf Kalla. Yakni, menabung di BNI 1946 dan melamar menjadi asisten dosen di UMI Makassar. Tujuannya tak lain ingin selalu bertemu pujaan kekasih hati. Seringkali bahkan terjadi setiap hari, dari bangkunya bekerja sebagai teller bank, “Dari jauh saya sudah lihat Bapak datang. Ia langsung ke tempat saya dan menabung. Tiap hari menabung,” kenang Ida, penuh tawa mengenang peristiwa puluhan tahun silam itu saat berbicara kepada Suara Pembaruan. Dan, pada peristiwa berbeda sebagai mahasiswi UMI Makassar yang diajar oleh Jusuf Kalla, pada suatu ketika Ida lupa membawa pulpen dan sang asisten dosen langsung saja menawarinya sebuah pulpen berwarna keemasan. Ida menerima dengan perasaan senang namun malu-malu.Diuji berkali-kaliBaik teman-teman Jusuf Kalla maupun teman-teman Mufidah sama-sama sudah mengetahui bahwa ada sesuatu antara kedua sejoli itu. Namun terhadap Jusuf Kalla Ida selalu bersikap biasa-biasa. Ida lalu dijuluki “jinak-jinak merpati”. Isi hati Ida pernah diuji berkali-kali oleh teman-teman Jusuf Kalla. Misalnya, pada suatu ketika Ida diminta untuk memilih kartu bertuliskan “ARA”, kartu nama kelompok belajar Jusuf Kalla. Tak mengerti apa maksudnya yang sesungguhnya, Ida mau saja mengambil kartu itu. Ida lalu diberitahu bahwa kartu yang berhasil diambilnya yang bertuliskan “ARA”, itu berarti tanda jadi hubungan mereka berdua. Jusuf Kalla dan empat orang sahabatnya bersorak kegirangan lalu merayakannya berkeliling kota dengan dokar. Walau sudah diuji demikian dan terbukti berhasil mengetahu isi hati Mufidah, sikap Ida masih saja sama tak berubah sedikitpun. Demikian pula dalam keseharian tak pernah diisi dengan berpacaran, misalnya. Hingga tiba pada ujian selanjutnya, Jusuf Kalla memberanikan diri sering memperlihatkan diri berboncengan dengan seorang teman wanita sekampus Unhas yang memang ada menaruh hati pada Kalla. Ida kemudian mengetahui kejadian itu dari tetangga. Tak pernah terjadi sebelumnya Mufidah segera saja menelepon Jusuf Kalla untuk meminta datang ke rumah. “Saya bilang ke Bapak, saya berterima kasih ke Bapak. Selama ini, saya berat mengatakannya, maklum saya ini orang Minang, dan ayah-ibu saya berat melepas saya untuk orang Bugis. Jadikan sajalah yang dibonceng di kampus itu,” kenang Ida, mengawali hendak berkata pisah pada Jusuf Kalla.Mufidah lalu menyebutkan merasa bersyukur Jusuf Kalla bisa menemukan pengantinnya, meminta agar hubungan mereka tetap terjaga seperti saudara, pintu rumah Ida selalu terbuka untuk Jusuf Kalla, dan jangan sampai Jusuf Kalla melupakan Ida. Akhirnya tibalah waktunya Ida mengulurkan tangan bersalaman untuk yang terakhir kali.

Tentu saja Jusuf Kalla menolak bersalaman dan menggagas bahwa Ida telah salah paham. “Saya tidak suka sama orang itu, dan saya betul-betul sudah salah. Saya cuma ingin memanas-manasi Ida,” kata Ida, menirukan ucapan Kalla. Ketika itu Ida merasakan cemburu yang sesungguhnya namun tak sedikitpun mau memperlihatkannya. Ia tetap saja tenang seperti biasa. Jusuf Kalla berlalu dengan lunglai disaksikan oleh seluruh saudara Ida. Mereka pun menaruh rasa iba terhadap pria yang sesungguhnya sudah mereka kenal baik dan akrab. Teman-teman Jusuf Kalla ikut menyaksikan kesedihan di wajah sohib dekatnya itu. Mereka lalu menghabiskan malam dengan duduk-duduk di tepi Pantai Losari tanpa perlu bicara sebab semua telah kehilangan selera humor. Kesedihan Jusuf Kalla semakin lengkap saat pulang ke rumah di subuh hari ditemuinya seorang adiknya sedang memutarkan gramofon yang mendendangkan lagu “Patah Hati” dari Rachmat Kartolo. DijodohkanJusuf Kalla sesungguhnya tidaklah sungguh-sungguh patah hati. Ia menemui Paman Mufidah bertanya kemungkinan melamar Ida. Paman itu malah menyarankan agar Kalla langsung melamar ke orangtua Ida. Namun justru pada saat itulah Jusuf Kalla merasakan pukulan berat kedatangan “mimpi buruk” yang sangat menakutkan. Jusuf Kalla mengetahui kalau Ida ternyata sudah dijodohkan dengan seorang pria lain asal Minang, yang sedang menempuh pendidikan di Amerika. Kalla panik dan segera ingin mendengar kesungguhan kabar langsung dari mulut Ida.Jusuf Kalla menemui Mufidah yang sudah dipromosikan menjadi Wakil Pimpinan BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassar. “Saya memang dijodohkan dan orangnya gagah sekali. Ia sekarang bersekolah di Amerika,” kata Ida terus terang tetap dengan nada tenang dan biasa-biasa saja. “Jadi, kamu terima tidak? Ia gagah dan saya tidak?”“Saya tidak terima perjodohan itu.” “Lalu, bagaimana saya ini? Kamu terima saya ya?,” Jusuf Kalla mendesak. “Kita lihat sajalah nanti,” jawab Ida pelan. Beberapa hari kemudian Jusuf Kalla memberanikan diri segera melamar Mufidah. Lamaran Kalla tak begitu saja ditolak apalagi diterima oleh Buya Mi'ad dan Sitti Baheram, orangtua Ida, sebab mereka telah menyiapkan jodoh untuk putri tunggalnya. Mengingat Buya Mi'ad dan Sitti Baheram sudah lama merantau dan memilki pikiran yang terbuka dan modern mereka sepakat menyerahkan persoalan sepenuhnya kepada Ida. Namun sebagaimana tipikal wanita Minang kebanyakan yang sangat menghormati orangtua, Ida yang putri tunggal dari sebelas bersaudara balik menyerahkan pengambilan keputusan kepada Emak dan Ayahnya. Dengan hanya sedikit beretorika, kalau seandainya lamaran Kalla diterima ya alhamdulillah, dan seandainya tidak juga tidak apa-apa. “Saya bilang, terserah Emak dan Ayah. Kalau seandainya diterima, alhamdulillah. Kalau seandainya tidak, ya tidak apa-apa juga. Orangtua saya berpikir, 'oh, Ida mau'. Dan lamaran itu pun diterima,” kata Mufidah. Sekretaris Pribadi Retorika itulah yang berhasil ditangkap kedua orangtua Ida, ‘oh, Ida mau’, sehingga lamaran Kalla diterima. Keduanya bertunangan tahun 1966 lalu menikah setahun kemudian menunggu hingga tuntas masa kuliah. Dua minggu menjalani masa bulan madu Mufidah yang semestinya harus sudah bekerja sebagai Wakil Pimpinan Bank BNI 1946, urung pergi ke kantor sebab Kalla yang seharusnya mengantar tak mau beranjak pergi. Kalla ingin Ida berada di rumah pada setiap kali Kalla pulang kerja. Ida pun berhenti bekerja. Jusuf Kalla yang kala itu sudah terkemuka seorang seorang politisi muda Golkar, mantan aktivis KAMMI, anggota DPRD Sulawesi Selatan, pendiri Sekber Golkar Sulawesi Selatan.Walau karir politik Jusuf Kalla sedang menanjak namun untuk urusan bisnis keluarga suaminya itu justru diultimatum oleh ayah mertuanya untuk memutuskan pilihan, apakah mau meneruskan usaha NV Hadji Kalla Trading Company, atau tidak. Saat itu Mufidah sedang mengandung anak kedua. NV Hadji Kalla sejak tahun 1965 mulai mengalami kesulitan setelah Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan sanering, berupa pemangkasan nilai mata uang rupiah seribu kali lebih rendah, misal dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Jusuf Kalla memilih meneruskan usaha keluarga NV Hadji Kalla. Di tangan Jusuf Kalla usaha NV Hadji Kalla berkembang dari sebelumnya bergerak di bidang hasil bumi menanjak ke usaha distributor mobil. Mufidah tergolong berperan besar di awal-awal kebangkitan NV Hadji Kalla ini. Ida yang ketika kuliah menekuni bidang akuntan, menjadikan ilmunya itu sebagai modal di bidang keuangan. Ida berperan sebagai sekretaris pribadi Jusuf Kalla merangkap mengelola keuangan perusahaan. Tahun 1969 perusahaan keluarga NV Hadji Kalla terbangkitkan di bidang transportasi dengan modal awal sepuluh unit kendaraan. “Saat itu, saya masih bekerja sebagai juru keuangan perusahaan," ujar Ida. Penopang suamiKini NV Hadji Kalla sudah lebih dikenal sebagai sebuah konglomerasi usaha dari Kawasan Timur Indonesia bernama Kalla Group, merambah beragam bidang usaha seperti jasa transportasi, telekomunikasi, otomotif, properti, kontraktor bangunan, perkapalan, jembatan, tambak udang, perikanan, kelapa sawit, dan lain-lain. Ketika Jusuf Kalla diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Gus Dur satu per satu pengelolaan unit usaha diwariskan kepada anak-anak. Mufidah fokuskan diri menopang karir politik sang suami dengan menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Jusuf Kalla yang mundur dari Kabinet Megawati memilih berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Wakil Presiden. Pasangan inipun terpilih menjadi orang nomor satu dan nomor dua di bumi Republik Indonesia.Sukses pasangan SBY-JK adalah juga sukses topangan Kristiani Herrawati Yudhoyono dan Mufidah Jusuf Kalla. Seringkali Ida bersama Jusuf Kalla semasa sebagai calon wakil presiden berkunjung ke berbagai kota di tanah air. Jika perjalanan satu hari saja pergi dan pulang biasanya Ida tak perlu diikutkan dalam rombongan agar tidak merasa capek. Namun jika kunjungan lebih dari satu hari Ida pasti diikutkan. “Bapak bilang, nanti saya capek ikut dia. Sebab, kalau tidak menginap, pergi jam delapan pagi, pulang jam delapan malam. Padahal, secapek apa pun saya selalu siap mendampingi, kata Ida. Frekuensi kunjungan ke daerah mencapai puncaknya saat menjelang dan pada saat kampanye Pemilu Presiden 2004. Topangan Mufidah bukan cuma itu. Rumah mereka yang terletak di Jalan Brawijaya Raya Nomor Enam, Jakarta Selatan, kerapkali kedatangan tamu perseorangan atau rombongan terdiri kolega atau tim sukses Jusuf Kalla. Ida selalu menyiapkan segalanya untuk menjamu tamu-tamu itu. Ida sudah bertekad untuk mendampingi Jusuf Kalla sebagai cawapres di rumah ataupun di luar rumah. Mufidah merasa bangga setiap beban berat suaminya, apakah itu urusan bisnis dan politik, orang rumah tak perlu kena getahnya. Ida sudah paham tabiat Jusuf Kalla yang tak pernah mau membawa-bawa urusan kantor dan luar rumah ke rumah seberat apapun tanggungjawab suaminya di urusan itu. Segala urusan luar rumah harus selalu diselesaikan di luar rumah. Tak sekalipun boleh mampir ke rumah. Rumah diperuntukkan sepenuhnya untuk keluarga. Sikap hidup yang menjadi dasar dan legitimasi untuk menanamkan prinsip anti KKN terhadap seluruh anggota keluarga.“Bahkan, bicara soal pekerjaannya pun di rumah sangat jarang. Sebab, kalau ditanya, dia selalu bilang besok saja. Saya bingung,” kata Ida, yang di rumah tinggal bersama anak keduanya Muswira. Anak pertama mereka, Muchlisa alias Lisa berdomisili di Balikpapan, Kalimantan Timur yang melanjutkan manajerial lembaga pendidikan Athirah yang dulu dikelola Mufidah. Sementara, anak ketiga dan keempat Imelda dan Solichin berdomisili di Makassar. Si bungsu Chaerani pewaris bakat menari Mufidah, usai menyelesaikan studi di Amerika Serikat kembali berada di Tanah Air.Sikap hidup sederhana, bersahaja, berusaha untuk selalu tenang, bersuara lembut, tak menampakkan diri sebagai sosok keluarga pengusaha yang kaya raya, agaknya sudah menjadi ciri khas Mufidah yang tak dibuat-buat. Mengerti benar suaminya akan menjadi orang kedua di Bumi Nusantara, Ida justru berharap agar suaminya bisa memenuhi semua janji-janji politik yang pernah dilontarkan suami dan pasangannya Susilo Bambang Yudhoyono. Ida tentu ingat apa saja yang pernah dijanjikan orang kesatu dan kedua Indonesia itu. Selain berharap janji itu jangan sampai melesat, Ida bahkan berdoa cita-cita suaminya menyejahterakan rakyat, mewujudkan keadilan dan keamanan bagi negeri, bisa terpenuhi.Jika pun tak terpenuhi Mufidah telah memutuskan akan menjadi orang pertama yang mengingatkan dan menagih kepada Kalla. Ida memang percaya penuh atas kegigihan dan keikhlasan suaminya dalam bekerja. “Saya yakin, bapak tidak mencari kedudukan. Kalau hanya kedudukan, buat apa? Sejak awal, niat bapak memang untuk ibadah,” kata Ida pasti.Mufidah juga mengerti area bermain suaminya adalah area politik yang penuh resiko. Sebagai misal, walau sudah menjadi kader Golkar selama 39 tahun, terlama dibanding kader-kader Golkar lainnya namun harus menjalani proses penonaktifan sebagai anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar, Ida merasakan sangat penting kehadirannya selalu di sisi Jusuf Kalla. Kalau ada fitnah dari pihak lain terhadap Kalla, misalnya, Ida bisa segera menenangkan sekaligus mengingatkan untuk bersabar.Ida menopang suami juga dengan iman. Seperti, mendoakan perjalanan karir politik Jusuf Kalla dengan ikut majelis pengajian, wirid, serta zikir secara berjamaah di kediaman mereka. Ida selalu berzikir didampingi empat dari lima anaknya Muchlisah, Muswirah, Solichin, dan Chaerani. Demikian pula dua cucu dari anak pertamanya, Ahmad Fikri dan Masyitah selalu ikut dalam kebersamaan keluarga Jusuf Kalla di hari-hari terakhir menjelang hari pencoblosan 20 September 2004. Jusuf Kalla dikenal sangat akrab dan berbahagia sekali jika sedang bersama cucu-cucu.Malam menjelang hari pencoblosan 20 September 2004 Mufidah mengaku tak pernah tertidur. Bersama seorang ustad ia berzikir di sebuah majelis zikir. Di hari pencoblosan Ida yang berlatar Muhammadiyah memutuskan berpuasa padahal tak ikut makan sahur. Niat berpuasa terjadi malam harinya. Jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan suaminya pemenang Pemilu Presiden, Ida penolong suami yang sepadan ini berniat membayar nazar yang pernah diucapkan sebelumnya yakni berpuasa tiga hari. ►ti-haposan*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Nama:Mufidah Jusuf Kalla
Lahir:Sibolga, 12 Februari 1943
Agama:Islam
Pekerjaan:Ibu Rumah Tangga
Suami:Muhammad Jusuf Kalla

Anak:
1. Muchlisah Jusuf
2. Muswirah Jusuf
3. Imelda Jusuf
4. Solichin Jusuf
5. Chaerani Jusuf

Cucu:Tujuh orang

Orangtua:
Ayah H Buya Mi'ad dan Ibu Sitti Baheram
Saudara Kandung:Sebelas orang
Pendidikan:
SMA Negeri III Makassarn Fakultasn Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Pengalaman Kerja: Teller Bank BNI 1946 Cabang Sarinah,n Makassar Wakil Pimpinan Bank BNI 1946 Cabang Sarinah, Makassarn
Kepalan Bagian Keuangan NV Hadji Kalla Trading Company
Hobi:Menari
Alamat Rumah:Jalan Brawijaya Raya No. 6 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Sumber:Berbagai sumber, antara lain Suara Pembaruan dan Indo Pos

Delsy Syamsumar

Delsy Syamsumar (1935 – 2001)

Delsy Syamsumar seorang pelukis “Neoklasik” Indonesia berasal dari Sungai Puar. Pelukis kelahiran 7 Mei 1935 ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Diwaktu revolusi keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi dimana Delsy melalui sekolah dasar dan menengah umum bahkan pendidikan agama Islam, ia selalu menonjol dalam pelajaran seni lukis dan menjadi juara pertama setiap sayembara di sekolah sekolah di Sumatera Barat. Dalam usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis komik berdasarkan sejarah dan karangan sendiri serta dikirimkan per pos ke majalah ibukota. Komik “Mawar Putih” tentang “Bajak Laut Aceh” dimuat di majalah “Aneka” membuat ia terkenal diseluruh Indoensia dalam usia muda. Kalau perantau-perantau Minang umumnya mengadu nasib sebagai pedagang, maka Delsy di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup. Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan Delsy jadi “terkenal(ahli gambar)” seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. (Karena Delsy sejak di SD sudah dibelikan cat minyak oleh ayahnya yang pengukir Rumah Gadang) Meskipun Delsy terkenal sebagai pelukis komik, sejarah illustrator, Pers dan Penata visual dari sekian banyak Film nasional, ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak. Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai pembuat kartun pers dan cover cover novel Indonesia dan di perfilman sebagai Art Director senior, memenangkan penghargaan Festival Nasional dan Asia. Disanggarnya selain mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran tunggal delsy di tahun 1985 di Balai Budaya dianggap kejutan nasional karena gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif dan ekstensial dan selalu di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam “Suara Pembaharuan”) Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya melukiskan wanita. Namun sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-tokohnya yang komunikatif dengan pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita, pengamat karyanya itu mengambil kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas Delsy bagai menemukan “medan yang tepat dan kuat” menangkap daya hidup. Sudut pandang lukisan Delsy terkadan filmis, karena ia juga orang film. Komposisisnya terletak enak seperti sudut kamera. Pameran tunggal Delsy pernah di Hotel Indonesia, gedung Kesenian. Ia juga pernah surprise dengan lukisan termahal di TIM. Pada pameran-pameran bersama di Balai Budaya pada pra reformasi, lukisan-lukisan Delsy selalu rekor dalam diminati para kolektor. 1992 pernah pameran bersama dengan Basuki Abdullah.Dunia film telah membenamkan delsy cukup lama dalam kreatifitasnya dan puncaknya menjadi Art director di beberapa film legenda Indonesia, antara lain “Saur Sepuh”. Terlalu lama mendalami dunia film yang bertema legenda sejarah mendorong kreativitas Delsy didalam melukis banyak bertemakan legenda dan sejarah, termasuk didalamnya merekam perjuangan bangsa Indonesia disekitar tahun 1945. Karya beliau antara lain: Sentot Alibasya Prawiradirdja (cergam), Gadjah Mada (Cergam), Christina Maria Tiahahu (cergam) dan beberapa lukisan yang menggambarkan Heroisme Cut Mutia, Kereta Api terakhir Yogyakarta, Sepasang mata bola, Dapur Umum dan karya terakhirnya ditahun 2000 diakui kolosal “Gelar Perang Sentot Alibasya Prawiradirdja.Bio Data DELSY SYAMSUMAR7 mei 1935 : Lahir di Medan Asal Minang (Sungai Pua) 1945 - 1949 : Basis pendidikan dari guru Arifin Zainun Exs INS Kayu Tanam 1950 – 1954 : Bergabung dalam SEMI (seniman Muda Indonesia) d/p Zetka dan a.A. Navis. Menjuarai berturut turut lomba melukis 1954 : Dipanggil ke Jakarta oleh penerbit, untuk mengarang dan melukis komik 1955 – 1959 : Mendapat sambutan baik dariinstansi PP&K seluruh Indonesia mengenai komik sejarah Pahlawan. Tergabung dalam “Seniman Senen” orang orang Film, teater dan pers melibatkannya kerja di panggung, dapur film dan kewartawanan sekaligus illustrasi di berbagai majalah dan Surat Kabar. Mendapat sambutan baik Instansi PP&K dan Japen hampir dari seluruh Indonesia mengenai serial “Komik Sejarah Pahlawan Tanah Air 1960 : Pertama sekali sebagai Art Director film 1961 : Mendapat penghargaan kritisi melukis credit title film perfini “Pejuang” dalam bentuk sketsa 1962 : Sebagai Art director film “Holiday in Bali”. Persari memenangkan dekor tata warna terbaik dalam Festival Film Asia, Tokyo. Memenangkan hadiah I sayembara karikatur PWI. 1964 – 1966 : Dekorator Hotel Indonesia d/p Teguh Karya. 1966 – 1970 : Sebagai wartawan dan illustrator tetap majalah “caraka” Ditpom, Memperoleh predikat “I’exellent Dessinateur” (lecture seni Paris) 1970 – 1978 : Kembali sebagai Art Director Film. Mempelopori teknik cetak poster film dan majalah (“Lavita”, “Variasi” dan “Kartini”) 1978 – 1982 : Terpilih jadi wakil ketua kelompok seluruh Art Director Film dan Televisi (KFT), sebagai art director film “Buaya Deli” yang mendapat penghargaan latar belakang sejarah. 1982 : Terpilih jadi wakil ketua “Yayasan Bengkel Seni” 1983 : Menata artistic 3 film (Jayaprana” dll). Ikut pameran ikatan illustrator Indonesia, Menjadi Art Director untuk Film legenda Saur Sepuh (seri 3,4,5) 1985 - 1986 : Pameran tunggal di Balai Budaya – Sarinah – TIM (surprise nasional) 1991 : Masuk nominasi artistic film “Saur Sepuh” bersama El Badrun (FFI 1991) 1992 - 1994 : Training animasi film kartun. Pameran lukisan bersama Basuki Abdullah. Pameran Tunggal Hotel Indonesia, Gedung kesenian. 1995 : Sebagai Production Designer beberapa sinetron Televisi. 1996 : Supervisor artistic dan arkeologi film kolosal Fatahilah. 1997-1998 : Pameran-pameran bersama di balai budaya – Menteng Parada dan lain lain. 1999 - : Diusia 64 menyatukan kreasi pada melukis cat minyak. 2000 - : Menyelesaikan karya kolosal : Gelar Perang Sentot Prawirodirjo. 2002 : Awal tahun 2002 sebagai aksi sosial bantuan bencana alam di Bengkulu dengan meneruskan goresanan Abdul Rahman Wahid (Gusdur) dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Reformasi. Dimana lukisan ini dilelang sebagai sumbangan bencana Bengkulu. 2002 : tepat tanggal ........... 2002 Delsy Syamsumar dipanggil Yang Maha Kuasa, dimakamkan di TPU KlenderDelsy Syamsumar adalah pelukis dengan segudang prestasi mulai dari cergamis Unggul, Art Director Film Legenda Indonesia seperti Saur Sepuh dan film sejenisnya, yang terakhir berpredikat sebagai pelukis neo klasik. Predikat ini muncul karena kecendrungannya melukis dengan tema klasik dan teknik modern.
Sekilas Latar Komplikasi Artistik Delsy.Dimulai Dengan Komik.Bergaya, ekspresip dan romantik. Itulah cirri lukisan-lukisan komik ciptaan Delsy Syamsumar di awal kariernya yang sekaligus mengkatrol popularitasnya dalam usia masih belasan. Pasukan Sentot Alibasya bermonouver mengacaukan resimen Jenderal Vol Jett dekat selarong, sementara pasukan besar Diponegoro menyerbu Yogyakarta. Atau Srikandi Ambon Martha Tiahahu berhasil menbakar kapal Belanda, lalu dengan gesitnya berayun di tempali sambil “menggigit pedang”. Apa boleh buat fantasi Delsy dengan argumentasi sejarah cukup cukupan dan kecanduannya nonton film-film Amerika semacam “Aphace atau “ The buccaneer” mungkin, telah menghadirkan suatu temperamen yang khas dalam pertumbuhan ilustrasi penerbitan kita kemudian, menjadikannya “applied illustrator” pertama yg digandrungi begitu banyak publik pembaca di Tanah Air. Namun tentu saja didukung oleh bakat dan kemampuan ber improvisasi melukiskan ekspresi dan situasi yang merupakan dinamika cirri lukisan-lukisannya hingga di akhir hayatnya, ilustrasi maupun cat minyak.Seniman SenenDelsy alias Dalasi Syamsumar asal minang hinggap di senen Jakarta sekitar 1955, bukannya berdagang di kaki lima, malah melongo sepanjang malam di warung kopi menyimak diskusi-diskusi “Seniman Senen” berkepanjangan, melalui tahun-tahun yang panjang pameo kelompok seniman gondrong yang terusir dari warung ke warung itu, hingga berkali-kali terpaksa mangkal di trotoar dan pom bensin. Agaknya tidak diharapkan oleh guru-gurunya melukis cat minyak ex. INS kayu tanam di Sumatera Barat yang menjagoinya untuk terus di ASRI jogja agar menjadi Delacroix atau Goya yang “ momentum schilderij” kata gurunya. Delsy sendiri tidak mengerti apa itu. Malah ia lebih faham kemudian omongan rekan-rekan senior orang-orang film dan teater atau wartawan di senen seperti ceramah Misbach tentang neo realisme Italia, teater Ibsen dan Lorca bahas W. Sihombing, Sukarno M. Noor dan Wim Umboh, lalu hal pers film oleh Zulharmans sampai debat keras mengenai batu cincin Wahid Chan. Biasanya Delsy memang jarang bicara apa-apa, cukup mojok dengan sobatnya Harmoko dan Khaidir sambil corat-coret di kertas bekas atau balikin bungkus rokok. “Awas ada BKM liwat!” semua terkesima, melihat satu keluarga dalam beca, bapak, ibu, anak semua berkaca mata. “Barisan kaca Mata” kata Harmoko. Suasana Riuh. “Senen…Senen tercinta!” tulis bait sajak Misbach atau memori sketsa Delsy ini merekam ekspresi Alm. Bintang Film Wahid Chan dan kesibukan pedagang sayur pukul empat pagi di kertas bekas yang dikorek dari Lumpur stasiun. “Inilah neo realisme Indonesia, lukisan-lukisan Lumpur!” teriak sobatnya lagi.Story BoardGatal tangannya bikin sketsa dari sketsa masyarakat dan mungkin ikut berkubang di lumpurnya, barangkali telah makin memantapkan Delsy pada pelukisan karakter bangsa sendiri yang juga penuh “Action”, keuletan, kesatrian, sok jago, licik atau kecantikan yang pasrah dan bebal. Namun komplikasi gatal tangannya telah meningkat pada realismu bahkan karikatural, seperti komiknya sesudah itu mengangkat drama sobatnya seperguruan Motinggo Busye “Malam Jahanam” yang senafas dan ketika itu masih mondar mandir Malioboro-Pasar Senen. Pengulangan versi Pangeran Diponegoro dalam komik berwarna Delsy kemudian percuma saja. Pangeran itu sebenarnya memang tidak menyerah di Magelang, tapi kalah total di pemasaran komik menyaingi “Pangerannya Cinderella” atau pahlawan baru “Superman”. Tetap dalam lingkaran rekan yang itu-itu juga dalam diskusi nasib Delsy pernah di ajak Sihombing dan Sukarno M. Noor bikin dekor panggung musical, lalu Sitompul suruh bikin kritik film dalam karikatur artis buat Koran mingguan sampai 1963. Teguh Karya kemudian menarik Delsy ke sanggar Karya Hotel Indonesia untuk dekor entartaiment sampai 1966. Namun Misbach lah yang menobatkan jadi Art director film mulai “Holiday in Bali” yang memenangkan dekor tata warna terbaik festival Asia, Tokyo. Ini diteruskan oleh sobatnya Motinggo Busye lagi, yang sutradara mulai 1969, dan mencoba sistim story-board Delsy (semacam komik) untuk pengarahan yang tepat adegan penting di Film. Ini sangat membantu rekan-rekannya sutradara lain pula.
IlustrasiMeledaknya novel-novel Motinggo Busye sekitar tahun 70 an membuat Delsy ikut membludak kata pers gossip di Tanah Air. Bila lektur-lektur di Perancis mengenai pengarang-pengarang di Indonesia, tak luput menyebut “I’exellent dessinatur Delsy Syamsumar” terutama untuk illustrasi-illustrasi untuk Motinggo Busye sesuai dengan tuntutan cerita, maka penerbitan gossip yang tadinya menyorot artis film, dengan popularitas Delsy melihat peluang lain untuk meningkatkan oplag. Disinyalir bahwa illustrasi-illustrasi Delsy yang sexy identik dengan wanita-wanita, isteri atau modelnya yang silih berganti meninggalkannya. Beberapa Koran dan majalah mingguan saling mengutip, dan polemik tak dapat dihindarkan termasuk karikatur Delsy sendiri mempertahankan diri. Dia bukan artis film, malah kuli film, katanya. Ia bukan milioner Picasso yang mampu memelihara banyak model bantahnya. Setelah kegaduhan ranjangnya ini memuncak pula jadi problem kode etik pers nasional (ditutup oleh topik majalah “Tempo” Desember 1973), maka kehidupan Delsy yang selalu stabil dalam kesulitan, suksesnya itu malah sebagai pelengkap penderita.Pra DesignKegatalan Tangan membuat poster film langsung oleh Delsy telah dimulai sejak ikut mendekor Film. Usmar Ismail Sendiri juga memesan langsung poster pertama “Pejuang” kepada Delsy untuk diteruskan oleh studio poster biasa. Dengan sanggar pertama bekas garasi sepeda yang terletak di pusat republik ini, di Menteng Raya untuk bekerja, Delsy lebih tertarik membuat eksperimen-eksperiment poster, kerja artistic, dan sebagainya, daripada membuat biro reklame yang selalu gagal. Namun ciptaan-ciptaan merek terkenal seperti logo pesawat terbang “Bouraq”, majalah jantung “Sartika” dan yang paling terkenal logo huruf majalah “Kartini” adalah gaya Delsy dalam eksperiment huruf. Eksperimen huruf berbentuk rumah minang yang dikirimnya buat Koran “Singgalang” di padang ditiru mulai dari hotel, restoran-restoran Padang, para tailor sampai gerobak-gerobak sate Padang diseluruh pelosok Tanah Air. Untuk kalender dan poster temple serta brosur, gaya Delsy dikenali di puskesmas dari peringatan digigit nyamuk sampai burut dan penyakit kaki gadjah. Imaginasi lukisannya “”penggunaan minyak pertama dalam pertempuran laut Aceh” untuk pertamina dibicarakan sampai kini dalam peringatan ditemuinya minyak pertama di Indonesia. Teristimewa dalam eksperimen poster film (1 sheet), dalam peralihan dari cetak klise timah ke offset 1970. Delsy muncul dengan poster pertamanya yang di offset “Biarkan Musim Berganti” Penyutradaraan Motinggo Busye” Konon 1975 rekannya sejak di senen binta film komedi Alm, Mansursyah mengajaknya bikin perusahaan poster film secara serius. Tapi lapangan yang disediakan Mansur untuk Studio di Sention sering Banjir dan banyak kambing penduduk.Tata Artistik FilmSuatu hari masih tahun 70 an, sebuah ledakan menembus genteng sanggarnya, percobaan untuk ledakan “sedang” yang harusnya dilakukan Rano Karno untuk film Busye “Usia Tujuh Belas” ternyata terlalu “keras” melenyapkan sepotong tangan staff Delsy di produksi Film. Jika tahun 50 – 60 an sanggar ini sering didatangi seniman senen, seniman ATNI dan pangkalan seniman dari Yogja seperti Idrus Ismail, M.Nizar, Sumantri, apalagi Motinggo Busye, maka sesudah 1970 sejumlah kader artistic film seperti Iman Tantaowi, El Badrun, Taslim dan lain-lain mulai belajar praktek disini dengan segala eksperimen. Terutama di film-film nasional sejak 1965, Delsy sebagai art director yang membawahi juru rias, decorator, penata pakaian, dan efek-efek tipuan, selalu lebih tekun untuk film-film realisme sepereti “biarkan musim berganti” atau film sejarah “buaya deli” dan lain-lain. Namun Delsy akhirnya bukanlah art director yang banyak di minta oleh produser. Terakhir di Bali 1983 untuk film “Jayaprana” versi baru, terlalu banyak menyita kesedihannya, katanya. Sebuah set perkampungan bali yang siap untuk adegan kebakaran, lebih dahulu harus diruntuhkan, karena ternyata izin shooting dari Deppen Jakarta belum di urus produser. Ketika itu sebuah telegram dari Padang menyatakan ibunya meninggal, kemudian dari KFT kehadiran anaknya sendiri sebagai juru rias dan mengawalnya karena sakit sakitan tidak dibenarkan karena status “Elsa” masih magang juru Rias, meskipun berbakat dan telah banyak magang di film. Dalam rapat KFT kemudian yang memutuskan skorsing buat Delsy, diakuinya ini suatu kesalahan dalam profesi. Melukis dan melukis selalu tumpuan Delsy merekam segala kegembiraan, ketegangan atau kesedihan. Itu berlaku sejak dulu coret coret di senen, lalu dipindahkan ke canvas cat minyak. Periode demi periode secara kronologis reproduksi lukisan-lukisan yang mewakilinya sebisanya ditampilkan disini.Komentar pengamat seni rupa Agus Dermawan T di Suara Pembaharuan. Menjelang tahun 1970 Dunia seni rupa Indonesia pernah diguncang dengan munculnya manifestasi ilustrasi yang tertampilkan dengan ekpresif dan penuh gerak. Ilustrasi itu adalah karya Delsy Syamsumar. Seorang illustrator dan pelukis kelahiran Bukittinggi yang mengadu nasib keberuntungan seni di Jakarta. Dan karya ilustrasinya nampak di berbagai majalah serta buku cerita bahkan dalam bentuk komik.Jojing Lukisan ini bisa dianggap terbaik Delsy dalam karya cat minyaknya, bukan Cuma pada kebinalan wanita montok berjoget yang digambarkan, tetapi juga pada isi yang ingin disampaikan. Seperti sebuah karya realisme sosial. Jojing bercerita tentang seorang lurah yang sedang mengadakan pesta hura-hura untuk menyertai penandatanganan surat tanah seharga ratusan juta rupiah. Disini segala keseronokan wanita wanita Delsy bagai menemukan medan yang kuat menggenggam daya hidup. Tak tepat benar apabila mau membandingkan dengan realisme Sudjojono yang berani terus terang menguak dunia kelam seperti itu. Kehidupan yang unik dalam bidang kanvas Seni Rupa Indonesia.. Bila dikaitkan dengan gaya penuturan spontan serta ekspresitas-kegarisan yg menggebu, sekilas pintas ada satu dua lukisan potert wanitanya dengan manifestasi Antonio Balnco, pelukis kelahiran Spanyol yg menetap di Bali. Namun Delsy Syamsumar masih kuat berdiri pada dirinya sendiri. Dengan terus mengorek dan menekuni gaya tutur yang dibawa dunia ilustrasinya, lukisan lukisannya berusaha memadatkan pribadi khas, penuh gerak dan kemelut tersebut.Tepat pada tanggal 7 Juni 2001 Delsy Syamsumar di panggil menghadap yang mahakuasa, Indonesia kehilangan seorang seniman besar.

Penyair Tariganu Memberikan kado sebuah kaca di ulang tahun ke 50 “Sesekali perlu bung kacai diri sendiri lukislah” kata Tariganu Apakah itu guyon, sindiran atau nasehat seorang sahabat, tampa pikir lagi Delsy langsung melakukannya, yaitu menatap dirinya di kaca berpulunh kali yang jarang dilakukannya sehari hari termasuk sesudah mandi. “Sudah tua bangka rupanya saya ini” kata Delsy sambil coret coret melukiskan wajahnya di kanvas. “He…he…he..” sastrawan Gerson Poyk tertawa datar dan nyeletuk “Saya pun sudah tua Beliton, mengapa Bangka”

Kenangan masa kecil di punggung kerbau dengan desir air mengalir ditengah suasana tentram sekitar desa kelahirannya, jauh sebelum ini tema yang sama pernah dilukis Delsy dalam Versi lain “Barangkali ini suatu bukti bahwa Delsy tak selalu lupa diri” Ujar seorang rekan.

Lagi kenangan masa kecil tapi terlalu pahit, bahkan pernah lama memukul jiwanya. Kebalikan dari ketentraman. Bukan lagi berdesir tapi rentetan peluru peluru militer Belanda membantai puluhan pejuang kemerdekaan di depan Rumah gadang Orang tuanya, 4 januari 1949 rasanya punahlah kemanusian, hancurlah peradaban dan robek robeklah hati yang masih terlalu muda (waktu itu 13 tahun) katanya

Salah satu dari penuangan sketsa-sketsa berlumpur Delsy dizaman “Seniman Senen” mencari identitas diri dalam seni lukis, sambil mengikuti diskusi diskusi warung kopi para seniman angkatan muda dari segala penjuru tanah Air hampir setiap malam melalui tahun tahun panjang dan melibatkan Delsy bekerja di dapur film, pers dan Panggung.Sumber tulisan : 1. Buklet Pameran Lukisan Neoklasik Indonesia di Istana Anak Anak TMII 16-23 April 2000. 2. Buklet Pameran tunggal 50 tahun Delsy Syamsumar Tahun 1985.

Jumat, 18 Januari 2008

Zukri Saad


Oleh: Nabiel Makarim

Memilih jalur aktifitas yang konfrontatif, bertempo tinggi dan dalam waktu yang lama, menghadirkan pribadi dan pola pikir unik dalam menyikapi berbagai hal. Katakanlah, mainstream berpikir cenderung ke kanan, ia malah kritis melihat kekiri. Hidup penuh waspada, perlu berhati-hati dan tetap dalam koridor keberpihakan kepada rakyat dalam suasana dikotomis pemerintah – rakyat di era Orde Baru (state and society dichotomy), telah membuahkan anak manusia dengan cara pandang yang senantiasa berbeda. Berlainan dari logika umum.
Kesenjangan kaya miskin, disparitas kota – desa, perbedaan tajam pembangunanJawa - luar Jawa dan santiri versus sanbari telah menginspirasi penulis buku unik ini untuk menghadirkan pikiran-pikiran alternatif serta menawarkan berbagai solusi dalam mengatasi problem kemasyarakatan.Bila umum menganggap urusan lahan ulayat menghambat investasi, ia punya resep jalan keluarnya. Idenya tentang jajanan pasar dan sistem pemasaran dapat diindikasikan sebagai pikiran perlawanan terhadap hegemoni produk makanan global. Bila logika awam berinvestasi hanya di lahan daratan, ia menawarkan alternatif berproduksi di bawah permukaan laut.
Intinya, bila dulu pembangunan terpusat di tangan pemerintah, ia sebagaimana aktifis LSM zaman orde baru lainnya, mengusung tema pembangunan berbasis rakyat (community based development – people centered development). Benang merah dari seluruh kolom yang dihadirkan dalam buku ini adalah bagaimana porsi terbesar dari pembangunan haruslah dinikmati oleh rakyat banyak sesuai amanah konstitusi serta menjamin ketersediaannya untuk generasi mendatang.
Saya mengenal penulis sudah cukup lama. Sepak terjangnya dalam dunia advokasi di bidang lingkungan hidup dan pembangunan telah memberinya banyak pengalaman panjang dan pemahaman praktis di lapangan. Perjalanan hidupnya di dunia penggalangan kantong-kantong masyarakat dalam memperjuangkan lingkungan hidup lebih dari 20 tahun telah memberinya kesempatan untuk menggali berbagai fenomena kehidupan di berbagai pelosok Indonesia.
Saya yakin, sebagai konsekwensi dari beban mengelola jaringan LSM se Indonesia, ia hadir ditiap kasus lingkungan dan perlawanan masyarakat dimana-mana. Konflik di taman nasional, pencaplokan lahan atas nama pembangunan industri atau properti, pencemaran oleh industri dan konfrontasi terbuka penduduk lokal dengan pemilik konsesi yang adakalanya membuatnya harus berhadap-hadapan dengan pemerintah dan senjata kekuasaan tentu sangat mewarnai jalan hidupnya.
Pengalaman langka demikian makin diperkaya pada fase kepulangannya ke kampung halaman Sumatera Barat, yang telah memberinya peluang pula untuk berkontemplasi dan menghadirkan kembali jejak langkah petualangannya. Karena punya banyak waktu untuk merefleksi seluruh pengalaman itu dalam suasana yang tenang pegunungan, terlepas dari hiruk pikuk pergerakan yang ditinggalkannya di Jakarta, ia tentu dapat memformulasi berbagai percabangan pikiran dalam bentuk yang jernih dan jelas sarat renungan.
Logika berpikir alternatif dan cara pandang yang senantiasa berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak dan lingkungan hidup yang mewarnai tulisannya itu disajikan kehadapan pembaca dalam bahasa yang mengalir, bertutur untuk masalah demi masalah. Terkadang dapat ditangkap cepat maknanya di bagian awal, namun tak urung menghadirkan solusi tak terduga di ujung kisah. Berbagai pilihan skenario ditawarkannya, yang rasanya memudahkan siapapun untuk memahami permasalahan kemasyarakatan, lingkungan hidup dan pembangunan. Sepelik apapun.
Kami masih berhubungan erat sampai saat ini karena ia masih tetap berada pada jalur beraktifitas di dunia lingkungan. Jarak Padang – Jakarta tidak terlalu mempengaruhi aktifitasnya ditengah-tengah maraknya persaingan moda transportasi udara. Ia selalu dapat datang dan muncul disaat diperlukan. Paling-paling yang akan menundanya hadir di Jakarta, kalau ia kebetulan sedang memanen kentang dan hortikultura lain yang ditanamnya di lahan sewa yang cukup luas di pedalaman Sumbar.
Tawarannya dalam wujud Partai Lokal sejalan dengan pemikiran saya akan pentingnya posisi tawar masyarakat dalam berbagai pengambilan keputusan publik, khususnya menyangkut pelestarian lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Kami sependapat, posisi legislatif lokal di DPRD Kota dan Kabupaten sangat strategis dalam merusak atau melestarikan lingkungan. Perusakan sumberdaya alam dimungkinkan terjadi di era reformasi ini salah satunya tidak terwujudnya kontrol legislatif yang efektif.
Untuk itu institusionalisasi Environmental Parliament Watch (EPW) di Kabupaten Kota perlu dilakukan dan kelak diperkuat. Lembaga itu diperkirakan akan efektif mengontrol sepak terjang legislatif, sekaligus bisa pula menegosiasikan agenda lokal di bidang lingkungan untuk diperjuangkan kedalam bentuk kebijakan publik bervisi jauh kedepan.
Mengingat luasnya lingkup perenungan yang dihadirkan oleh buku ini, membuat ia perlu dibaca oleh berbagai kalangan, terutama mereka yang memiliki simpati mendalam kepada rakyat Indonesia yang masih belum mampu keluar dari krisis multi-dimensi yang dialami. Langkah-langkah kecil dan mikro adakalanya dapat berdampak makro bila disinergikan. Langkah-langkah kecil adalah bagian dari perjalanan yang panjang.
Jakarta, 11 Maret 2004

Zukri Saad: Manusia Merdeka
Oleh Adi Sasono
Saya sebagai kawan lintas generasi, mengenalnya dan menghormatinya sebagai aktifis mahasiswa di Bandung yang menolak membungkuk pada kekuasaan otoriter di paro dua tahun 70-an. Orang semacam dia sungguh tidak banyak, apalagi di puncak kekuasaaan rejim yang menganut paham pemusatan kekuasaan politik dan ekonomi.
Pada umumnya orang cenderung membungkuk pada kekuasaan, lantaran risiko nyata yang akan menghadangnya kalau seseorang menolak menyesuaikan diri. Sebagian kaum terpelajar bahkan condong mendukung dengan kepakarannya, karena itulah jalan selamat meniti karir, atau sekadar untuk memperoleh kehidupan sebagai “abdi dalem”, hamba kekuasaan.
Kaum terpelajar inilah yang kemudian berjasa membuat “pembenaran ilmiah” tentang teori pembangunan ekonomi yang memihak kepentingan modal besar yang menghasilkan makin kokohnya persekutuan pusat-pusat kekuatan ekonomi dan politik mapan.
Pada gilirannya lingkungan hidup menjadi korban karena keserakahan modal besar dan ketidakpedulian sosial, seiring dengan makin kuatnya paham yang materialistis, penyembahan benda. Kita menyaksikan kemudian kesenjangan sosial yang melebar, yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah anak. Nilai-nilai kebersamaan cenderung tergusur, dalam kehidupan sosial yang makin sulit dan kompetitif.
Ada tiga model reaksi dari mereka yang menolak ikut arus. Pertama, kaum oposisionalis, yang dengan geram menolak dan marah, yang menghasilkan pendekatan hitam-putih. Merekalah yang dengan kepala tegak menolak kerjasama dalam bentuk apapun dengan penguasa.
Sayang sekali pendekatan ini sungguhpun amat berjasa untuk menjaga standar moral kebenaran, dan dengan tegas membedakan yang salah dan yang benar, menjadi tidak efektif di tengah kecenderungan sosial yang membungkuk kepada kekuasaan.
Namun demikian, saya berpendapat kelompok inilah yang paling berjasa memelihara api idealisme. Mereka memilih “berjuang dari luar”. Menolak membungkuk. Jasanya tidak bisa diukur dalam jangka pendek, sebab perubahan politik ke arah sistem yang demokratis, dari masyarakat yang agraris feodalistis, adalah proses belajar sosial yang panjang. Tanpa kelompok ini, gerakan untuk meluaskan kesadaran kolektif ke arah perubahan sulit dibayangkan.
Kedua, kelompok institusionalis. Logika kelompok ini bertolak dari anggapan kokoh tegarnya stuktur kekuasaan yang ada. Ia tidak hanya didukung oleh kekuatan monopolistik modal besar dan aparat represi, tapi juga oleh budaya sosial yang feodalistik-paternalistik. Karena itu, kelompok ini berpendapat perlunya berjuang “dari dalam”, merubah dari dalam.
Dalam kelompok ini memang tidak dapat dihindarkan masuknya orang-orang yang dasarnya lemah-hati dan mungkin juga oportunistik, yang menggunakan logika ini untuk sekedar membenarkan rasa ketidakberdayaannya terhadap keperkasaan kekuasaan. Kita menyaksikan memang banyak dari mereka yang “berjuang dari dalam” tetap idealistis.
Namun, agaknya lebih banyak lagi yang larut dalam mekanisme penundukan, karena alasan material maupun karena mengejar pangkat. Tiga dasawarsa kehidupan kebangsaan kita memang mengajarkan “yang ingin merubah dari dalam ternyata banyak yang dirubah didalam”.Kedua kelompok di atas, bertolak dari pandangan bi-polar. Kita-mereka, lawan-kawan, berjuang dari luar atau dari dalam. Memang dari semula selalu muncul pertanyaan, benarkah berjuang dari luar lebih efektif dibanding berjuang dari dalam?
Saya tidak bermaksud membuat penilaian. Kebenaran pilihan politik memang perkara relatif, dan biarlah nurani masing-masing pelaku yang menjawab.
Dalam situasi inilah, memang sejak semula selalu ada orang-orang yang sulit untuk dikategorisasi. Kritik terhadap dua kategori tersebut adalah, sifat pengelompokannya yang dipandang menyederhanakan msalah dalam pendekatan bi-polar, “berjuang dari luar atau dari dalam”, takkala kenyataan hidup tercampur dalam berbagai peristiwa dinamis yang sungguh kompleks.
Karena itu muncul cara melihat dari kacamata kesinambungan pikiran dan tindakan seseorang, suatu pendekatan dari sudut konsistensi seseorang, yang bisa saja ia berada “diluar” atau “didalam” sistem. Inilah yang saya sebut pendekatan ”uni-polar”. Pendekatan ketiga ini tidak mendikotomi seseorang di dalam atau di luar sistem. Yang diuji adalah konsistensinya. Dalam bahasa agama, istiqamah.
Seseorang dalam kehidupan duniawi yang singkat ini, senantiasa dalam ujian godaan pangkat, popularitas maupun rangsangan material. Seseorang bisa dinilai dalam proses waktu, apakah ia membungkuk kepada kekuasaan politik atau keperkasaan uang atau gabungan keduanya, atau ia seseorang yang istiqamah.
Saya berpendapat Zukri adalah tipe manusia isqtiqamah. Perjalanan hidup selama lebih dari dua dasawarsa, yang penuh warna, menjelaskan kepada kita, tentang garis jalan lurus, sikap istiqamah yang membuatnya menjadi manusia merdeka. Ia bisa merdeka karena tidak tunduk kepada godaan duniawi, mungkin dalam perjalanan yang tidak senantiasa berwujud garis lurus, namun arahnya jelas.
Buku ini berkisah tentang warna warni soal hidup dalam perspektif pemihakan kemanusiaan yang kritis namun dengan ide positif. Zukri bicara dari soal sampah sampai ke perkara E-town. Itulah wajah manusia merdeka, Zukri Saad. Saya merasa terhormat untuk memberi pengantar buku rekan muda saya yang istimewa ini. Zukri selamat berjuang !
Jakarta, 17 September 2001

Tentang Zukri Saad
Oleh: Sarwono Kusumaatmadja
Setidaknya ada dua kekurangan dalam pendekatan pendidikan kita. Yang pertama adalah, bahwa orang dididik untuk menghafal. Tentu kemampuan menghafal ada segi positifnya, yaitu membuat orang terlatih ingatannya. Namun segi negatifnya adalah, bahwa pengetahuannya akan terbatas pada apa yang dihafal.
Dalam era informasi dimana memori sudah mampu disimpan dalam komputer yang kapasitas simpannya makin besar, sebetulnya orang tak perlu lagi menjadi penghafal. Yang perlu diasah justru ilmu dan seni memanfaatkan informasi tanpa perlu menyimpan informasi itu dalam benak kita.
Oleh karena itu, orang yang kemampuan intelektualnya terbatas pada hafalan, cenderung menjadi kolot dan dogmatis karena kemampuan orang menghafal selalu terbatas pada apa yang mampu dan mau diingatnya. Salah satu sebab kemunduran pendidikan di Indonesia adalah justru disebabkan oleh dominasi hafalan ini, yang menjadikan orang beku kreatifitasnya sekaligus menciptakan dogmatisme, kepicikan serta mengurangi kemampuan memanfaatkan informasi baru.
Yang juga tragis adalah bahwa, sang penghafal lantas dianggap pintar, sedangkan orang yang suka bertanya dan suka menyangsikan serta berminat pada temuan-temuan baru justru dianggap rewel, urakan atau bahkan bodoh. Ilmu-ilmu sosial yang seharusnya berkembang pesat dan penuh dinamika sejalan dengan dinamika global, menjadi beku dan tidak relevan karena pendekatan ilmu sosial menggunakan pendekatan hafalan. Oleh karena itu, orang-orang yang hafal, sekarang mulai tidak diminati lagi dibanding zaman lalu.
Orang kemudian menyangka bahwa kecerdasan diwakili oleh ilmu-ilmu eksakta, yaitu sains dan teknologi. Dalam ilmu-ilmu eksakta, ukuran kecerdasan bukan lagi terletak pada kemampuan menghafal, tapi pada kemampuan berfikir secara runtut, logis, yang ciri utamanya adalah kemampuan menghubungkan sebab dengan akibat. Mungkin itulah sebabnya, mengapa banyak pejabat tinggi kita berasal dari kalangan yang berlatar belakang ilmu eksakta.
Tapi amat menarik untuk diperhatikan bahwa mereka yang mampu berfikir logis ternyata tak juga selalu berhasil memecahkan masalah. Ekonomi kita menjadi morat marit antara lain karena kebijakan ekonomi dibuat oleh para ahli ekonomi yang berlatar belakang teknologi. Penyebab kegagalan logika dalam pengambilan keputusan menunjukkan kelemahan pendidikan logika di tanah air kita, yang terbatas mendidikkan logika linear. Dalam sistem ini orang dididik untuk hanya mempertimbangkan hubungan sebab akibat yang mempunyai korelasi langsung, serta membatasi hubungan sebab akibat itu secara vertikal.
Oleh karena itu, orang yang hanya mengandalkan logika linear berkurang kemampuannya untuk menghadapi situasi yang kompleks dimana berbagai variabel yang non rasional harus dipertimbangkan, dan dimana hubungan sebab akibat yang terjadi banyak dimunculkan oleh berbagai gejala yang sepintas lalu tidak kelihatan berhubungan.
Apa hubungannya ini semua dengan buku Imajinasi Sosial karya Zukri Saad? Karya tulisnya menarik karena menyajikan kepada pembaca observasi dari seorang yang bernama Zukri Saad tentang berbagai kejadian yang dialaminya, yang memberitahukan kepada kita tentang betapa dunia ini menyajikan banyak sekali kesempatan dan kemudahan yang hanya bisa dibatasi oleh imajinasi seseorang.
Bagi seorang penghafal serta penganut logika linear, krisis adalah jalan buntu. Bagi seorang Zukri Saad yang berfikir lateral horizontal, krisis adalah peluang terciptanya kesempatan-kesempatan baru. Krisis adalah kesempatan untuk membuang kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk, dan mengembangkan sikap-sikap baru yang lebih sesuai dengan realita hari ini. Demikian pula, krisis sekaligus membantu kita menciptakan realita masa depan.Zukri memperlihatkan kepada kita bahwa sumber-sumber ilham bagi seseorang bisa ditemukan dari pengalaman sehari-hari. Zukri juga memperlihatkan kepada kita bahwa yang terjadi secara lokal, bisa saja berhubungan dengan kejadian lain, nun jauh disana.
Zukri Saad dan orang-orang sejenisnya, mulai menarik perhatian saya ketika menjadi pejabat tinggi semasa Orde Baru. Pada waktu itu saya memperhatikan bahwa ada beberapa orang yang kreatif, tampil beda, senantiasa optimistik, teguh dalam pendirian tetapi sekaligus juga sukses. Walaupun banyak hal dari pemerintahan Orde Baru yang tidak mereka sukai, demikian juga dari watak negatif orang Indonesia, mereka tidak menjadi pemberang. Namun sebaliknya, merekapun tidak menyerah untuk menjadi penurut.
Yang juga mengagumkan adalah, bahwa mereka produktif dalam bidangnya masing-masing sebagai pendidik, usahawan, seniman dan pegawai negeri. Mereka mempunyai jiwa yang merdeka, kreatif dan oleh karenanya disegani. Mereka juga sangat liat, tahan banting. Ada persamaan watak diantara mereka, senantiasa santun tetapi tidak pernah berusaha menyenangkan hati orang. Saya sangat betah dengan orang-orang semacam ini, dan persahabatan kami tetap lekat sampai sekarang.
Mereka sempat saya hadirkan dalam suatu diskusi di Harian Kompas, dimana mereka memperkenalkan karya dan jalan pikir mereka, menjadikan orang terperangah sehingga sejak itu Zukri dan kawan-kawan dikenal sebagai “orang-orang gila”.
Indonesia yang sedang sakit memerlukan lebih banyak orang-orang aneh semacam mereka supaya cepat sembuh, dan reformasi dibidang pendidikan diperlukan supaya apa yang hari ini aneh dan gila menjadi kelaziman di masa depan.
[Kredit foto: Sarwono.Net]

Nama: Zukri Saad
Gelar Adat: Sutan Majo Basa
Tempat/Tanggal Lahir: Bukittinggi – Sumatera Barat - Indonesia, 5 Nopember 1956

Status Kawin dengan 3 anak
Istri : Irina Mastri Chairani Harahap (41 tahun)
Anak : Jaka Kelana Putra (11 tahun)Rindu Aninditha Putri (10 tahun)Dana Putra Kembara (8 tahun)

Kebangsaan: Indonesia

Alamat
Jl. Matematika 13 - PGRI Gunung Pangilun - Padang 25143 – Sumatera Barat - IndonesiaPhone : 62 - 751 - 7053017; 0811663461
E-mail : uwansukri [at] yahoo.com dan sukri [at] pelangi.or.id
Jl. Konservasi Utara 7A – Tabing – Padang 25171 – Sumatera Barat – Indonesia Phone 62-751-7055465

Pendidikan
Institut Teknologi Bandung, Jurusan Kimia, lulus 1985
SMA I di Padang, Jurusan PAS-PAL, lulus 1974
SMP III di Padang, lulus 1971
SD 33 di Padang, lulus 1968


Pelatihan
Mengikuti berbagai pelatihan, seminar, lokakarya dalam dan luar negeri


Bahasa



  • Bahasa Minangkabau (bahasa ibu)

  • Bahasa Indonesia

  • Bahasa Inggris

Pekerjaan:



  • Petani dataran tinggi (sayuran : kentang, kol, brokoli dan buah-buahan : markisah, strawberry)

  • Aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia

  • Pencinta alam dan lingkungan

  • Konsultan Pembangunan

  • Penggiat ekonomi rakyat melalui koperasi

  • Praktisi wisata bahari, khususnya wisata selancar di Kabupaten Kepulauan Mentawai – Sumatera Barat

  • Fasilitator Pengembangan kenelayanan rakyat

  • Wartawan dan kolomnis


Penulis
Kualifikasi Profesional:



  • Konsultasi Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat

  • Rekayasa sosial dan lingkungan (Khususnya perancangan konsep pengembangan Kawasan, perencanaan dan evaluasi partisipatif, Perencanaan skenario, Pengelolaan pembangunan terpadu).

  • Energi terbarukan di pedesaan, khususnya pengadaan energi listrik skala mikro dan sumber energi alternatif.

  • Ekonomi pedesaan, khususnya lembaga keuangan pedesaan, industri skala kecil, pengembangan institusi koperasi dan merancang pola pemasaran terpadu.

  • Pembangunan berbasis masyarakat dan pelestarian, khususnya pembangunan yang berdampak simultan secara ekonomi dan konservasi.

Fasilitator untuk Pendidikan dan Pelatihan



  • Perencanaan skenario, perancangan pengembangan sumberdaya berbasis partisipasi masyarakat.

  • Perencanaan strategis, mengembangkan pola implementasi dan detail pelaksanaan pembangunan.

  • Pelatihan partisipatif, membangun kesadaran kolektif tentang masa depan .

  • Pengembangan kelembagaan, khususnya kelembagaan publik dan peningkatan kinerja lembaga.

  • Penyelesaian konflik, rekayasa sosial multi-pihak dan resolusi konflik berbasis skenario masa depan bersama

  • Pendidikan alternatif untuk orang dewasa, khususnya dalam membangun kesadaran bersama menuju pola partisipasi yang efektif.

  • Perancangan ekonomi masyarakat nelayan menuju kemandirian produksi, distribusi dengan dukungan kemandirian teknologi dan energi.

  • Konsultasi Untuk Pengembangan masyarakat madani

  • Pengembangan kelembagaan masyarakat sipil dan LSM, khususnya untuk peningkatan posisi tawar masyarakat terhadap para pemangku kepentingan lainnya.

  • Membangun jaringan kerja, khususnya sinergi antar kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan bersama

  • Merancang kampanye publik, meningkatkan daya offensi komunikasi untuk menghasilkan opini positif masyarakat secara luas.

  • Mengelola advokasi, menggalang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.


Konsultasi Untuk Penyelesaian Konflik



  • Konflik di bidang lingkungan hidup, khususnya antara Industri, pelaku investasi dan masyarakat lokal.

  • Konflik horizontal antar kelompok masyarakat, antara lain konflik lahan, konflik agama dan budaya.

Jabatan dan Lembaga
Lembaga Swadaya Masyarakat:



  • Anggota Dewan Pakar Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan - Bitra Indonesia — LSM yang bergerak dibidang Pengembangan Pertanian dan Sumberdaya Manusia Pedesaan, Medan 2005 – 2008

  • Anggota Dewan Pengurus Yayasan Ekowisata Sumatera – YES - LSM yang bergerak dibidang Pariwisata Alam dan Petualangan Rimba, Medan 2003 - 2007

  • Anggota Dewan Pertimbangan Lembaga Hukom Adat Laot – Panglima Laot — Jaringan Organisasi tradisional Nelayan dari berbagai resort / Lhok di 18 Kabupaten se Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh 2005 – 2010

  • Anggota Dewan Pembina Lembaga Pengembangan Aksi dan Demokrasi – LPAD - LSM yang bergerak dibidang pengembangan tata pemerintahan yang baik / good governance, peran serta perempuan dan pemantauan pemilu) – Pekanbaru 2004 – 2009

  • Anggota Dewan Pakar Lembaga Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (LP2M – AFTA) – (LSM yang bergerak dibidang pengembangan SDM, khususnya di bidang pertanian pedesaan) – Padang 2005 – 2008
    Ketua Dewan Pertimbangan Komunitas Konservasi Indonesia – KKI WARSI (Jaringan LSM Sumbagsel yang bergerak dibidang Advokasi Hutan, Masyarakat Asli dan Pengembangan Kawasan Koservasi) – Jambi 2004 - 2007

  • Anggota Dewan Pengurus Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Desa - Kemasda - LSM yang bergerak di bidang Pengembangan Ekonomi Pedesaan dan Pemberdayaan Perempuan) – Seribandung Sumsel 1999 - 2006

  • Anggota Dewan Pembina Yayasan Pelangi Indonesia - LSM yang bergerak dibidang Riset kebijakan Untuk Pembangunan Berkelanjutan – Jakarta 2004 – 2009

  • Ketua Dewan Pembina Yayasan PAKTA - LSM yang bergerak dibidang Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Pengembangan Sistem Teknologi Informasi Masyarakat Sipil – Jakarta 2006 – 2009

  • Konsultan Senior Environmental Parliament Watch – EPW 2004 – 2008 ( Jaringan Masyarakat Indonesia untuk Pemantauan Parlemen) – Jakarta 2006 - 2011

  • Anggota Dewan Pembina Yayasan Bina DesaSadajiwa - LSM yang bergerak di bidang Pengembangan Pedesaan Indonesia, Pengorganisasian Rakyat, Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan – Jakarta 2006 – 2011

  • Ketua Dewan Pembina Institut Hukum Sumberdaya Alam - IHSA - LSM yang bergerak di bidang Pemberdayaan Hukum Sumberdaya Alam Indonesia) – Jakarta, 2006 - 2009.

  • Anggota dan Pendiri BIOCERT – LSM yang bergerak pengembangan isu pertanian organik / Lembaga Sertifikasi Produk Organik Indonesia – Bogor 2006 - 2009

Perusahaan Terbatas





  • Komisaris PT. Mentawai Wisata Bahari – Perusahaan yang bergerak di bidang Pariwisata Bahari, khususnya usaha wisata selancar di Kepulauan Mentawai. Berbasis di Padang, sejak tahun 2000

  • Presiden Komisaris PT. Ekuator Minang Konsultan – Kantor Hukum Ekuator – Perusahaan yang bergerak di bidang Hukum dan Konsultasi Investasi. Berbasis di Padang, sejak 2002

  • Presiden Komisaris PT. Sunia Buana Lestari – Perusahaan Jasa Konsultasi di bidang Konservasi Hutan dan Pelestarian Sumberdaya Alam – Berbasis di Palembang, sejak 2002

  • Persero Komanditer CV Limas Bersaudara, Perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan bibit kentang berkualitas dan sayuran dataran tinggi – Berbasis di Alahan Panjang – Kabupaten Solok, sejak 2004

  • Komisaris PT. Padma Nusantara, Konsultan profesional untuk pembangunan wilayah di era otonomi daerah, khususnya pengembangan kenelayanan rakyat dan daerah tertinggal, Berbasis di Jakarta, sejak 2006


Lain-lain





  • Penerima Beasiswa Ashoka – Washington DC, 1986 – 1990, Associate Member 1986 - sekarang dan Fellow Panel of Ashoka Indonesia - Bandung, 2000 – 2003


  • Ketua Biro Pengabdian masyarakat – Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung - Cabang Sumatera Barat, 1989 – 2002

  • Penasehat Kelompok Kreatif Pemanjat tebing – Camp Club – Padang 1989 - 1992

  • Komite Pelaksana Yayasan Dana Mitra Lingkungan Indonesia (DML) (01/1995 - 07/1996)
    Panel Ahli PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) (08/ 1994 - 06/1996)

  • Dewan Penasehat Yayasan Bitra Indonesia - Medan (1996 – 2005)

  • Anggota Dewan Pleno Sekretariat Bina Desa (1998 – 2000) dan Anggota Badan Pengurus (2000 – 2003)

  • Koordinator Advokasi Forum Perjuangan Masyarakat Sumatera Barat untuk Spinn-Off PT. Semen Padang – Padang, (10/2001 – 11/2002)

  • Personal Mastery REIKI, Praktisi teknik Penyembuhan menggunakan Energi Alam, Padang, 11/2001 - sekarang

  • Ketua Umum Dewan Relawan Anak Nagari Sumatera Barat Pendukung Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Gamawan Fauzi – Marlis Rahman, (04 – 08 / 2005), Padang

  • Angota PDDI - Perhimpunan Donor Darah Indonesia, sejak di Bandung sampai sekarang di Padang (1978 – 06/2006 —- 94 X)

Rabu, 16 Januari 2008

Hendra Esmara

HENDRA ESMARA
Hendra Esmara menilai bahwa format Repelita yang dipergunakan sekarang belum sepenuhnya dapat menjangkau permasalahan yang semakin kompleks. Ia merasa perlu adanya penyempurnaan dan peningkatan teknik penyusunannya. Pelaksanaan Repelita I sampai III, dan sebagian Repelita IV, diakuinya telah mampu meningkatkan taraf hidup rakyat. Tetapi ada kesan, ''Akibat kelemahan format itu sendiri, hasil-hasil yang telah dicapai belum mencapai titik optimal.'' Peningkatan dan penyempurnaannya dinilainya penting menghadapi tahap tinggal landas dalam Repelita VI, 1994-1999. Penilaian Prof. Hendra Esmara, S.E., ini dikemukakan dalam pidato pengukuhannya selaku guru besar perencanaan pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang, 27 Juli 1985. Pidato pengukuhan itu berjudul ''Politik Perencanaan Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan, dan Prospek''. Hendra meraih gelar sarjana ekonomi di UI, 1961. Ia lalu berangkat ke Amerika untuk memperdalam keahlian di bidang perencanaan pembangunan di dua universitas. Yaitu di Woodrow School of Public & International Affairs Universitas Princeton, dan di Regional Science Department Universitas Pennsylvania.Ia banyak melakukan penelitian, survei, dan loka karya, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu penelitiannya, Perkiraan Pembagian Pendapatan di Indonesia, 1925-1973/1974, dilakukan dengan sponsor menteri riset waktu itu, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Kepala Pusat Penelitian Unand ini diketahui banyak mendalami perekonomian Sumatera Barat. Hendra, yang pernah memegang jabatan Ketua Tim Repelita daerah tersebut, banyak menghasilkan topik karangan tentang Sumatera Barat. Misalnya, Regional Income of West Sumatra 1966-1971. Kerap dimintai pendapatnya di media massa, harian Kompas misalnya, Hendra pernah menjadi penasihat menteri perdagangan. Dalam Council of Asian Manpower Studies yang berkedudukan di Manila, dan di Association of Development Research and Training Institute of Asia and Pacific, ia menjadi anggota pengurus. Hendra menikah dengan Rostina Laut, yang memberinya enam anak

Nama :HENDRA ESMARA
Lahir :Padang, 13 April 1935
Agama/Kepercayaan: Islam

Pendidikan :
- Fakultas Ekonomi UI, Jakarta (1961)
- Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Princeton University (1971-1972)
- Visiting Scholar pada Jurusan Regional Science pada Universitas Pennsylvania, AS

Karir :
- Presidium Universitas Negeri Jambi (1962-1966)
- Ketua Tim Repelita Provinsi Sumatera Barat (1968-1972)
- Penasihat Menteri Perdagangan untuk Urusan Pembangunan Daerah
- Ketua Bidang Sub-Ekonomi, Perumusan dan Evaluasi Program Utama Nasional Riset dan Teknologi pada Menteri Negara Riset dan Teknologi
- Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi Regional, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas
- Guru Besar FE Univ. Andalas (sejak 1985)

Kegiatan Lain :
- Anggota Dewan Eksekutif - Council of Asian Manpower Studies (Manila, Filipina)
- Anggota Dewan Pengurus pada Association of Development Research and Training Institute of Asia and Pacific

Karya :- Regional Income of West Sumatra 1966-1971, Institute for Regional Economic Research, Universitas Andalas, 1972
- Perkiraan Pembagian Pendapatan di Indonesia, 1925-1973/1974, Lembaga Penelitian Ekonomi Regional FE Universitas Andalas, 1976

Alamat Kantor :Universitas Andalas, Padang

Gusnaldi

Gusnaldi Semula, penata rias bukan cita-cita Gusnaldi. Namun belakangan ia berubah. “Profesi ini menjanjikan bagi masa depan saya,” kata lelaki Minang kelahiran Bukittinggi ini. Dan waktu membuktikan. Selain kini memiliki beberapa salon, ia pun telah meraih pengakuan sebagai The Best Make Up Artist 2000. Lalu apa cita-citanya dulu? “Waktu kecil saya sebenarnya sangat ingin menjadi dokter atau pramugara,” papar Gusnaldi. Sementara orangtuanya menginginkan dia menjadi pegawai negeri. Selain itu, rumahnya di Bukittinggi kebetulan berdekatan dengan gedung olahraga, tempat ia menekuni bulutangkis sampai lulus SMA. Ia sempat mewakili Indonesia pada kejuaraan dunia bulutangkis yunior dan Bimantara Yunior. Tapi kariernya di sini ia lepas. “Di Indonesia olahraga belum bisa dijadikan jaminan hidup, saya kemudian banting setir,” tuturnya memberi alasan.Minat pada rias-merias bermula dari suatu kebetulan. Pada suatu hari ia berdiri di depan sebuah salon kecantikan di kota kelahirannya. Di sana ia mengamati orang-orang yang keluar-masuk salon dan melihat bagaimana seorang penata rias mampu mempercantik orang-orang yang sebelumnya tidak cantik. Saking tertariknya, ia ingin menjajal profesi ini, walaupun orangtuanya menentang niatnya. Ia pun berangkat ke Jakarta. Di Ibu Kota, Gusnaldi bergabung dengan Puspita Martha Tilaar, 1996, sebagai karyawan magang. “Di sana saya mempelajari seluk-beluk penataan rambut dan make up,” tuturnya. Ia digembleng dengan keras oleh para seniornya. “Saya sampai menangis, karena tangan sudah capek merias tapi saya enggak boleh berhenti,” kenangnya. Setelah satu setengah tahun di Martha Tilaar, Gusnaldi memutuskan untuk membuka salon sendiri. Pertama kali di rumahnya, kemudian di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Namanya mulai dikenal luas setelah mendandani peragawati Larasati untuk majalah Rias. “Kemudian, banyak permintaan datang dari majalah dan artis,” kisahnya. Toh ia tidak mengkhususkan diri untuk kalangan artis saja. “Semua kalangan boleh masuk salon saya,” katanya. “Yang penting, bayar.”Bekerja keras, berdisiplin, dan selalu meyakini akan keberhasilan tugasnya merupakan kiat suksesnya sebagai make up artist. Selain di salon, kini Gusnaldi sedang menulis buku tentang tata rias, membuat produk iklan, dan album lagu. Naik haji dan menikah merupakan obsesinya

Gusnaldi
Lahir :Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Desember 1974
Agama :Islam

Pendidikan :
- SD Negeri 2 Bukittinggi, Sumatera Barat
- SMP Negeri 4 Bukittinggi
- SLTA Don Bosco Bukittinggi

Karir :
Make up artist
- Bintang iklan dan Presenter

Penghargaan :The Best Make Up Artist 2000

Keluarga :
Ayah : H. Bachtiar St. Rajoame
Ibu : Martius Martius Ahmat

Alamat Rumah :Jalan Janur Indah VI, LA 18 No. 15, Kelapa Gading, Jakarta Timur
Alamat Kantor :ITC Fatmawati, Jakarta Selatan

Adinegoro


Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan


Pada suatu hari, di tahun 1985 menjelang HUT PWI ke-39, saya waktu itu Ketua PWI Cabang Sumatra Barat, akan meresmikan pemberian nama gedung PWI Sumatra Barat sekarang dengan nama Balai Wartawan Djamaluddin Adinegoro. Putra Beliau, Adiwarsita Adinegoro telah berjanji dengan saya akan hadir pada upacara peresmian nama Balai Wartawan Padang tersebut dengan nama ayahnya. Sementara pihak kemenakannya di Talawi (menurut garis ibu) juga telah mengizinkan pemakaian nama pamannya itu yang akrab dipanggilnya dengan Om Djamal.
Pada waktu itu, bukan Balai Wartawan Padang saja yang diberi nama “Adinegoro”, tapi juga nama-nama jalan di Sumatra Barat. Selaku Ketua PWI Cabang Sumatra Barat saya menulis surat kepada Walikota Padang, H. Syahrul Udjud, SH, Walikota Bukittinggi, Drs. Umar Gafar dan Bupati KDH Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, H, Noer Bahri Said Pamuncak (Alm) berikut kepada masing-masing Ketua DPRD-nya yang meminta kiranya Pemerintah Daerah yang bersangkutan berkenan memberi nama salah satu jalan di kota atau di wilayahnya dengan nama Djamaluddin Adinegoro. Ternyata permohonan atau permintaan PWI Sumbar tersebut mendapat sambutan hangat dari ketiga Pemda yang tersebut di atas. Pada masing-masing nama jalan tersebut, kami ikut meresmikannya bersama Gubernur Sumbar, H. Azwar Anas Dt. Rajo Suleman. Memilih ke tiga daerah itu agar mengabadikan nama Nestor Pers Indonesia tersebut, punya argumentasi tersendiri. Di kota Padang karena ibu kota provinsi Sumatra Barat. Ruas jalan dari Tabiang arah ke Bukiktinggi diberi nama jalan Adinegoro. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Di Bukiktinggi, karena di kota itu Adinegoro berjuang dan menjadi Komisaris RI untuk Sumatra pada tahun 1945 dan menerbitkan Surat Kabar Harian Kedaoelatan Rakyat dan membangun Kantor Berita “Antara” dengan menggunakan peralatan yang amat sederhana berupa tiang-tiang dari bambu yang dibelinya dari Jorong Bukik Apik, Bukiktinggi. Kemudian untuk memajukan kecerdasan rakyat dan masyarakat yang berilmu untuk mengisi kemerdekaan RI yang telah dipoklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta maka didirikannya “Volksuniversiteit” di kota sejuk Bukiktinggi tersebut pada tahun 1946. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Di kabupaten Sawahlunto Sijunjuang adalah karena Adinegoro putra daerah kabupaten tersebut. Waktu itu Talawi termasuk daerah kabupaten Sawahlunto Sijunjung (sekarang nagari Talawi masuk kota Sawahlunto). Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Dekat harinya menjelang 9 Februari 1985 Hari Ulang Tahun PWI atau Hari Pers Nasional, datanglah telepon dari berbagai kalangan masyarakat kita. Yang saya ingat ada dari Kantor Gubernur, ada dari Bukiktinggi, ada dari mahasiswa Unand, dan lain-lain. Suara dalam telepon itu ada yang bernada ramah, lemah lembut, tapi ada juga yang “manimpalak” saya. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Katanya, kenapa kok nama orang Jawa nama gedung PWI Sumbar? Tak ada lagi nama Tokoh Pers Sumatra Barat? Seperti H. Agus Salim, Rosihan Anwar, Rivai Marlaut, dan lain-lain. Penelpon tersebut sudah jelas orang yang tidak tahu siapakah Adinegoro itu, sebenarnya dari mana asalnya, dan sebagainya. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Saya jawab, tahukah anda bahwa Djamaluddin Adinegoro itu orang Minang? Almarhum lahir di Talawi, Sawahlunto, 14 Agustus 1904. Sejak tahun 1926 sudah menyandang gelar sako adat Datuk Maharadjo Soetan dari pesukuan Patapang Sikundono. Karena percakapan ini via telepon, tentu saja saya tak melihat wajahnya, tapi saya merasakan si penelepon itu “terpurangah”. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Jadi, amat banyak orang Minang yang belum kenal dengan tokoh-tokoh nasional berasal dari Sumatra Barat. Menurut Audrey Kahin, pada tahun 1945-1950, Pemerintah RI di Yogyakarta itu adalah Pemerintahan orang Minangkabau. Lihatlah Wapres RIS dan PM RIS adalah Bung Hatta yang berasal dari Minangkabau. Presiden RI (Yogya) adalah Mr. Assaat Dt. Mudo, orang Kubang Putih. Perdana Menterinya Dr. A. Halim, orang Bukittinggi, Menpen M. Natsir, H. Agus Salim, Mr. Mohd. Yamin kakak Adinegoro satu ayah, Syahrir, dan lain-lain seluruhnya orang Minang. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan
*****
Djamaluddin Adinegoro adalah adik Maha Putra Prof. Mr. Moh. Yamin yang juga lahir di Talawi, tanggal 23 Agustus 1903. Keduanya adalah putra bangsawan lokal Oesman Bagindo Chatib yang pada mulanya jadi Tuan Pakuih (Vakhuis Meester) kemudian jadi Tuanku Laras (Demang/ districthofd). Sebagai pegawai pemerintah, tentu saja ayahnya sering pindah tugas ke berbagai daerah. Karena itu, setelah memikirkan pendidikan Djamal dan Moh. Yamin, maka disepakatilah bahwa Djamaluddin dan Moh. Yamin di sekolahkan di Palembang diasuh oleh kakaknya satu ayah Moh. Yaman, guru H.I.S di sana. Moh. Yaman adalah kakak tertua dari Djamaluddin Adinegoro dan Moh. Yamin. Ketiganya satu bapak tapi berlain ibunya. Ibu Yaman lain, ibu Yamin lain dan ibu Djamaluddin pun lain. Sedangkan Moh. Yaman (kakak tertua) nikah dengan kakak Djamaluddin yang satu ibu berlain ayah, namanya Rumiah. Tegasnya, oleh sang ayah (Oesman Bagindo Chatib) telah mengawinkan anak kandungnya (Moh. Yaman) dengan anak tirinya (Rumiah). Oesman Bagindo Chatib (ayah Adinegoro) menikahi Sadariah (ibu Rumiah) setelah cerai dengan suaminya, Abdullah yang merantau ke Malaya (Semenanjung Melayu). Maka lahirlah putra Sadariah satu lagi (adik Rumiah) yakni Djamaluddin Adinegoro. Jadi, Rumiah adalah kakak satu ibu berlain bapak oleh Adinegoro dan suami Rumiah adalah kakak satu ayah oleh Adinegoro dan tidak satu ibu. Tegasnya Moh. Yaman adalah kakak tertua Adinegoro satu ayah berlain ibu. Sedangkan Rumiah adalah juga kakak Adinegoro satu ibu berlain ayah. Kedua anak manusia inilah yang kawin mawin. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Moh. Yamin meneruskan pelajarannya ke Sekolah Tinggi Hukum sehingga mendapat titel Meester in de Rechten (Mr) dan adiknya Djamaluddin (Adinegoro) masuk sekolah STOVIA, atau Sekolah Tinggi Kedokteran. Ayahnya memang mengharapkan Adinegoro jadi dokter kelak. Teman Djamaluddin di STOVIA yang sama berasal dari Ranah Minang adalah Bahder Djohan (yang kemudian dikenal sebagai Prof. Dr. Bahder Djohan, mantan Presiden (rektor) Universitas Indonesia dan Menteri P dan K dalam Kabinet Natsir), Ahmad Ramali dan Moh. Hanafiah.
Tapi kegiatan Djamaluddin yang sering tenggelam di perpustakaan sekolah melahap buku-buku yang ada, baik dalam bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Dengan melahap buku-buku itu, maka pikirannya semakin berkembang dan sebagiannya dituangkannya ke dalam bentuk tulisan article by line. Tulisan itu dikirimkannnya ke surat kabar “Tjahaja Hindia” yang dipimpin oleh anak Minang yang lain yakni Lanjumin Datuk Tumanggung. Setelah tulisan pertama dimuat, jiwanya semakin terdorong untuk menulis lagi, begitulah seterusnya. Apalagi tulisan Penulis dengan kode “DJ” itu semakin digemari pembaca. Barulah kemudian Djamaluddin dipanggil Lanjumin, Pimpinan Surat Kabar “Tjahaja Hindia”. Ia menyarankan agar setiap menulis hendaklah dengan nama samaran. Setelah dipertimbangkan dapatlah nama samaran Adinegoro yang kemudian lebih terkenal dari nama aslinya Djamaluddin. Sedangkan Lanjumin Dt. Tumanggung dengan nama samaran Nitinegoro. Melihat perkembangan Lanjumin Datuk Tumanggung dengan surat kabar Tjahaja Hindia-nya, maka Pemerintah Hindia Belanda tertarik untuk membantu usahanya itu. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum turun tangan membantunya. Ternyata kemudian Djamaluddin Adinegoro menekuni bakatnya sebagai jurnalis yang membuatnya meninggalkan tanah air menuju ke Eropa memperdalam ilmunya dalam bidang jurnalistik, baik di negeri Belanda maupun di Jerman.

*****
Sebagai seorang jurnalis (wartawan), Adinegoro memerlukan banyak bahan dalam kepalanya dan catatannya, maka ia mencoba berkeliling di Eropa dan Mesir. Catatan perjalanannya itu dikirimkannya ke tanah air untuk dimuat koran yang terbit di Hindia Belanda dan namanya semakin populer karena tulisannya di samping bahasanya bagus juga dilengkapi dengan latar belakang sejarah dan situasi politik setempat. Bukunya yang amat populer di zaman itu adalah “Melawat ke Barat” dua jilid diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pada tahun 1931 Adinegoro pulang ke tanah air dan bekerja di Panji Pustaka yang terbit dua kali seminggu. Kemudian Surat Kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan meminta Adinegoro, seorang wartawan profesional yang tulisannya ditunggu orang setiap harinya untuk memimpin surat kabar tersebut. Apalagi kupasannya tentang luar negeri yang belum ada duanya pada zaman sebelum perang. Ketika itu baru tiga orang wartawan Indonesia yang profesional, artinya yang khusus belajar di Sekolah Jurnalistik. Yang tiga orang itu adalah Djamaluddin Adinegoro, Tabrani dan Yahya Yakub. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Nestor Wartawan Indonesia itu pada zaman Jepang jadi Sekretaris Tjou Syangi In yang diketuai oleh Moh. Sjafei, Kayu Tanam. Karena suasana penerbitan pers di Zaman Dai Toa Senso itu tidak menggembirakan, maka Adinegoro pulang ke Bukittinggi. Pada awal kemerdekaan, beliau adalah Pejuang Kemerdekaan bersama Mr. Teuku Moh. Hasan, Dr. Moh. Amir (yang masih kerabatnya) dan pernah jadi Residen Sumatra Timur dan anggota BPUPKI. Sedangkan Engku Moh. Sjafei jadi Residen pertama Sumatra Barat (Baca: Mengenang Seorang Gubernur Lipat). Sementara Adinegoro ditunjuk sebagai Komisaris RI di Sumatra. Mendirikan surat kabar Kedaoelatan Rakjat di Bukittinggi, pemancar radio dan kantor berita Antara. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Ia kemudian meninggalkan Bukittinggi dan menetap di Jakarta serta mendirikan majalah Mimbar Indonesia bersama Mr. Gusti Mayur, Ir. Pangeran Moh. Noer dan PIA (Pers biro Indonesia “Aneta”). Ketika di zaman Nasakomnya Orde Lama di mana PKI sangat berkuasa dan Adinegoro adalah wartawan yang menentang komunisme, maka Adinegoro mulai disingkirkan oleh lawan-lawan politiknya. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Pada 8 Januari 1967, nestor wartawan yang berasal dari Talawi, Sawahlunto itu menutup mata buat selama-lamanya dan dimakamkan di Karet, Jakarta. Pada tahun 1974, Adinegoro diberi penghargaan dan ditetapkan sebagai PERINTIS PERS INDONESIA oleh Pemerintah. Dan untuk mengenang jasanya dalam bidang pers, PWI Jaya mengadakan Hadiah Adinegoro bagi wartawan yang punya prestasi yang pada tahun lalu jatuh ke Ranah Minang, wartawan Khairul Jasmi, Koresponden Republika. Ingatlah pesan Nestor Jurnalistik Adinegoro ketika dulu disampaikan kepada wartawan-wartawan muda yang datang mengunjunginya, antara lain saya dengar dan saya kutip dari wartawan Zakaria Yamin (alm) yang pada tahun 1946 itu anak buah Adinegoro“wartawan adalah kelompok intelektual, karena itu janganlah jadi si to-oh” Soetan Zakaria bertanya: “Apa itu si to-oh?” Adinegoro menjawab, “bebek dungu! Karena itu kalian harus belajar terus! Journalism touches life at all points,” katanya. Jurnalistik menyentuh seluruh segi kehidupan

Sumber : http://www.ranah-minang.com/
Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie

Deliar Noer

DELIAR Noer
Dua kali Deliar Noer terpaksa melepas jabatannya. Pada 1964, dari jabatan dosen Universitas Sumatera Utara (USU), karena dituding anti-Nasakom. Pada 1974, seiring dengan larangan pembacaan pidato pengukuhannya selaku guru besar IKIP Jakarta, doktor lepasan Universitas Cornell, AS, itu diberhentikan sebagai rektor institut yang sama. Setelah masa-masa sulit -- tanpa penghasilan tetap dan tinggal di rumah kontrakan -- pria Minang kelahiran Medan ini memutuskan bekerja sebagai peneliti pada Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra. ''Daripada tidak bisa makan di negeri sendiri, lebih baik cari makan di negeri orang,'' kata anak kedua dari tiga bersaudara itu. Ia kemudian mengajar Sejarah dan Ilmu Politik pada Universitas Griffith, Brisbane, hingga saat terakhir ini. Sikapnya yang terkesan keras dan terus terang mungkin karena ia dilahirkan di tengah keluarga kaum pergerakan. Rumah orangtuanya dulu acap menjadi pertemuan para pejuang kemerdekaan dan persinggahan para anggota Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang hendak lari ke Malaya (kini Malaysia). Deliar sendiri, yang acap menjadi juara kelas, sudah gemar membaca surat kabar sejak masih duduk di bangku SD. Maka masuk akallah jika ia kemudian aktif dan menjadi ketua HMI Cabang Jakarta ketika belajar ilmu sosial politik pada Universitas Nasional di Jakarta. Kesempatan belajar di AS diperolehnya atas biaya Yayasan Rockefeller. ''Karena prestasi saya baik, mereka memutuskan untuk membiayai saya sampai meraih doktor,'' ujar bekas redaktur kantor berita PIA itu. Gelar itu digondolnya pada 1962, setelah mempertahankan disertasi berjudul The Rise and Development of the Modernist Moslem Movement in Indonesia, 1900-1942. Ketika menjadi rektor IKIP Jakarta, banyak hal dibenahinya. ''Semuanya serba kacau, tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban,'' kata bekas anggota tim ahli dan staf pribadi Presiden Soeharto itu. Lewat pendaftaran ulang -- di tengah aksi protes -- Deliar berhasil banyak mengurangi jumlah mahasiswa terdaftar tetapi tidak aktif. Ia kemudian mendirikan Sekolah Laboratorium IKIP -- yang menerapkan sistem modul untuk merangsang kreativitas siswa -- yang hingga kini masih bertahan. Deliar juga mempersiapkan tenaga guru untuk murid cacat, yang menurut dia kini telah digiatkan kembali oleh rektor IKIP sekarang, Prof. Dr. Conny R. Semiawan. Bekerja di Australia, ayah dua anak (seorang di antaranya meninggal semasih bayi) itu pulang ke Indonesia setiap enam bulan sekali -- paling lama sebulan setiap kalinya. Ia menghasilkan sejumlah buku, antaranya Ideologi, Politik, dan Pembangunan; Islam, Pancasila dan Asas Tunggal; dan Partai- partai Islam Tahun 1945-1965 -- yang sedang diproses. Ia bertemu dengan istrinya, Zahara, ketika sama-sama belajar di Amerika. Saat hendak menikah, karena uang terbatas, hanya Zahara yang pulang ke Indonesia, yang kemudian dikawinkan dengan diwakilkan.

Nama :DELIAR Noer
Lahir :Medan, 9 Februari 1926
Agama :Islam

Pendidikan :
-Madrasah Muhammadiyah Tebingtinggi (1932-1939)
-SD, Tebingtinggi (1939)
-SLP, Medan (1945)
-SLA, Jakarta (1947)
-Fakultas Sosial Politik Universitas Nasional, Jakarta (B.A., 1958)
-Cornell University-Ithaca, AS (M.A., 1959 dan Doktor, 1962)

Karir :
-Sekretaris Bagian Perdagangan, Perwakilan RI di Singapura (1947-1949)
-Pegawai Departemen Luar Negeri di Jakarta (1950-1951)
-Guru SMA Muhammadiyah Jakarta (1951-1953)
-Redaktur Kantor Berita f48Asisten riset untuk soal-soal Islam (1955-1958)
-Dosen Fakultas Hukum USU Medan (1963-1965)
-Kepala Biro Hubungan Luar Negeri, Departemen Urusan Riset Nasional Jakarta (1965-1967)
-Rektor IKIP Jakarta (1967-1974)
-Dosen Luar Biasa FIS UI Jakarta (1965-1974)
-Guru Besar pada IKIP Jakarta dan FIS UI Jakarta (1971-1974)
-Anggota Tim Ahli, Staf Pribadi Presiden RI (1966-1968)
-Dosen Seskoad, Seskoal, Seskoau (1966-1973)
-Research Fellow, Australian National University, Canberra (1975)
-Dosen Universitas Griffith di Brisbane, Australia (1976- sekarang)

Kegiatan Lain :
-Ketua HMI Cabang Jakarta (1951-1953)
-Ketua Pengurus Besar HMI (1953-1955)

Karya :
Antara lain:
-Pengantar ke Pemikiran Politik, Rajawali, 1983
-Ideologi, Politik dan Pembangunan -Islam, Pancasila dan Asas Tunggal -Partai-Partai Islam Tahun 1945-1965 (dalam proses diterbitkan)

Alamat Rumah :Jalan Cumi-Cumi Raya 1, Rawamangun, Jakarta Timur Telp: 481910