Jumat, 28 Desember 2007

Syahril Sabirin, Ph,D


Pejuang Independensi Bank Indonesia

Bank sentral harus independen. Untuk menegakkan hal ini, Syahril Sabirin, Gubernur Bank Indonesia (BI), harus menghadapi tantangan hebat. Ia dipaksa memilih: mundur atau ditahan! Ia tidak rela BI diintervensi, maka ia tak mau mundur. Akibatnya, Syahril dituduh korupsi, diadili dan mendekam dalam tahanan. Sempat divonis tiga tahun penjara, namun akhirnya dalam pengadilan yang lebih tinggi, ia divonis bebas. Pengagum Nelson Mandela ini berjuang menegakkan independensi BI, lembaga yang dipimpinnya.
Setidaknya ada dua hal yang sangat merisaukan Syahril Sabirin dalam melihat perjalanan bangsa dan negara. Yakni makin maraknya korupsi dan sikap penguasa baru terhadap penguasa lama.
Dalam soal korupsi, saat ini sulit untuk mencari tempat yang tidak ada korupsinya. Korupsi terjadi di mana-mana, dari yang kecil sampai yang besar, dari puluhan ribu hingga triliunan rupiah. ''Meski saya yakin terjadi sangat kecil, tapi itu juga terjadi di BI,'' ujar mantan Senior Financial Economist Bank Dunia (1993-1997) ini. "Kita ingin bebas dari korupsi," katanya dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia.
Perihal sikap penguasa yang baru terhadap penguasa yang lama, ia sangat kagum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Nelson Mandela. Meski masalahnya tidak serumit di Indonesia, tetapi pada intinya adalah sama. Yaitu melupakan masa lalu, pengampunan dosa, dan melangkah ke depan dengan lembaran yang bersih. Prinsip ini, menurutnya, merupakan satu-satunya cara agar negeri ini dapat maju. ''Tapi harus dilandasi dengan tekad yang kuat, juga jangan sampai diulang-ulang lagi,''tuturnya.
Kalau tidak rela mengampuni tanpa pamrih, ampunilah dengan imbalan. Dengan kata lain, ganti rugi terhadap kejahatan yang lalu. Contohnya, jika ada koruptor yang memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu, akan diminta dari hartanya beberapa persen. Dengan demikian negara pun mendapat dana yang besar untuk melangkah kedepan.
Pria lulusan Jurusan Ekonomi Perusahaan, Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada ini, adalah orang pertama yang memimpin Bank Indonesia (BI) setelah diberlakukannya UU No 23 tahun 1999 yang menjamin independensi BI. Ia memang orang karir di instansi ini. Setamat kuliah (sempat menganggur setahun karena pada waktu itu sulit mendapatkan pekerjaan), ia diterima di Bank Indonesia melalui proses tes (1969). Ia mengawali karirnya di Bank Indonesia sebagai staf umum di Urusan Ekonomi dan Statistik.
Beberapa tahun kemudian, Syahril mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Williamstown, USA, pada 1973, untuk mengambil gelar MA bidang pembangunan ekonomi. Kemudian dilanjutkan lagi dengan memperoleh beasiswa dari USAID untuk program doktor (Ph.D) bidang Ekonomi Moneter dan Internasional di Vanderbilt University, USA. Gelar PhD tersebut diperolehnya pada tahun 1979.
Setelah menyelesaikan doktornya, ia kembali bertugas di BI hingga akhirnya menjadi salah satu anggota direksi (Dewan Gubernur - sekarang) pada tahun 1988-1993. Kemudian selepas bertugas sebagai Direktur BI selama 5 tahun, ia melamar ke Bank Dunia (World Bank) di Washington DC, USA dan diterima sebagai Senior Financial Economist untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara dengan masa dinas 3 tahun.
Setelah habis masa tugas di Bank Dunia, ia memutuskan kembali ke Indonesia. Rencananya ia hendak beristirahat dulu dari berbagai kegiatan. Tiket pesawat sudah ditangan, dijadwalkan berangkat 24 Desember 1997. Namun, sebelum tanggal keberangkatan, datang telepon dari seorang pejabat penting di Jakarta. Pejabat itu menyampaikan bahwa akan ada rencana pergantian jajaran dewan direksi BI. Syahril diminta untuk kembali ke Bank Indonesia. Kaget dan penasaran, ia pun balik bertanya, "Saya kembali sebagai apa?" Pejabat itu menjawab bahwa ia akan ditempatkan sebagai direktur, yang kemungkinan pada dua atau tiga bulan mendatang diangkat menjadi gubernur.
Satu posisi yang oleh banyak orang diperebutkan dengan berbagai cara kini terbuka dihadapannya. Namun, ia tidak dengan serta-merta menyetujuinya. Ia minta waktu untuk berpikir. Paling tidak membicarakannya dengan istri tercinta, Murni. Tapi, istrinya menyerahkan sepenuhnya kepadanya. Istrinya menyatakan akan mendukung apa yang paling baik menurut pertimbangan Syahril. "Segala pertimbangan, kamulah yang mengetahui baik buruknya," kata istrinya.
Pada waktu itu, ia belum mengatakan ya atau tidak. Lalu karena di dalam Islam diajarkan untuk shalat istikharah ketika memiliki keraguan, maka ia pun shalat. Setelah melaksanakan shalat istikharah, ia kemudian memiliki keyakinan hati. Lalu isterinya bertanya; " Bagaimana?" ia pun menyatakan akan menerima tawaran itu. Karena setelah shalat, ia merasakan betapa besar kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk mengemban sebuah tugas dalam keadaan yang sangat sulit di tengah-tengah Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. Apalagi rencananya dalam 2 sampai 3 bulan ia akan ditempatkan menjadi gubernur. Sebuah amanah tugas yang amat berat.
Lebih jauh ia merenung. Mengapa ia diminta untuk mengatasi masalah yang sangat sulit itu? Berarti ia diharapkan dan dipercayai memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga tidak patut permintaan itu ditolak. Jika ditolak, barangkali ia akan disebut sebagai orang yang amat sombong. Setelah mendapat keyakinan itu, ia pun telepon ke Jakarta menyatakan menerima tugas tersebut.
Akhirnya ia kembali ke Jakarta sesuai jadual penerbangan yang ketat menjelang Natal. Ia tidak dapat mempercepat keberangkatannya, sehingga ketika pelantikan dilaksanakan, ia terlambat. Anggota direksi yang lain sudah dilantik sebelum ia tiba di Jakarta, sedangkan Syahril baru dilantik pada tanggal 29 Desember 1997 sebagai seorang direktur. Lalu pada tanggal 19 Februari 1998, berdasarkan Keppres RI No. 39/M/1998, ia dilantik menjadi Gubernur BI menggantikan J. Soedradjad Djiwandono.
Begitulah perjalanan karier pria kelahiran Bukittinggi, 14 Oktober 1943. kariernya dari bawah dan naik secara berjenjang, sampai menjadi Direktur dan Gubernur.
Meredam Krisis
Sejak menerima tugas tersebut, Syahril berupaya mencurahkan segala kemampuan, waktu dan tenaga, berjuang bersama-sama anggota direksi dan staf BI untuk dapat mengatasi krisis moneter yang tengah melanda Indonesia. Namun, pada permulaan, masih pada masa pemerintahan Pak Harto tahun 1998, keadaan politik saat itu tidak terlalu mendukung, sehingga laju inflasinya meningkat begitu pesat.
Selain akibat kondisi politik, ditambah lagi dengan belum adanya jaminan terhadap nasabah bank pada masa itu sehingga kepercayaan terhadap lembaga bank menurun drastis. Terlebih lagi dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan Nopember 1997, kepercayaan masyarakat terhadap bank makin sulit dibangkitkan kembali.
Untuk mengatasi hal itu, lalu jaminan terhadap nasabah bank dikeluarkan. Namun, pada saat itu tidak serta merta kepercayaan publik bangkit kembali. Publik tampaknya perlu pembuktian tentang benar atau tidak. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan tersebut pulih kembali. Namun sebelum kepercayan itu pulih, hampir semua bank mengalami kesulitan. Jika tidak dibantu, banyak bank itu akan gugur. Maka BI harus membantu dengan likuiditas.
Itulah yang populer disebut dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Satu cara terbaik ketika itu untuk menyelamatkan bank. Jika tidak, mungkin tidak ada lagi bank di Indonesia. Kemudian sulit dibayangkan bagaimana keadaan ekonomi, jika sebuah negara tidak mempunyai bank. Atau jika setidaknya sama sekali tidak ada kepercayaan terhadap bank, seperti halnya terjadi di Argentina beberapa waktu lalu. Dalam kondisi seperti itu, BLBI itulah suatu usaha yang dapat dilakukan BI dengan persetujuan pemerintah ketika itu.
Pada bulan Mei 1998 pemerintah berganti dari Soeharto ke BJ Habibie. Pada masa pemerintahan BJ Habibie inilah terlihat arah yang lebih jelas dan fokus, kendati kondisi politik masih belum kondusif. Tampaknya Habibie memiliki komitmen dalam perbaikan dan perkembangan ekonomi. Ini jelas tercermin dari pidato kenegaraannya yang pertama. Ketika itu Habibie menyatakan akan menempatkan BI sebagai sebuah lembaga bank sentral yang independen. Tak lama kemudian, komitmen ini pun segera diwujudkan dengan diundangkannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Satu landasan hukum yang kuat untuk menjamin independensi Bank Indonesia. Lalu pada masa pemerintahan Habibie ini Syahril diangkat kembali untuk masa jabatan pertama selama empat tahun berdasarkan Keppres Nomor 149/M Tahun 1999 tanggal 17 Mei 1999. Posisinya sebagai Gubernur BI semakin kokoh dengan disahkannya UU No 23 tahun 1999 yang menjamin independensi Bank Indonesia itu.
Komitmen pemerintah waktu itu cukup kuat. Tim ekonominya dibawah koordinasi Ginandjar Kartasasmita sebagai Menko Ekuin. Selepas itu, arus inflasi pun mulai berkurang. Nilai tukar rupiah kembali menguat hingga sempat menyentuh posisi Rp. 7.000 per satu dolar AS dalam waktu yang relatif singkat.
Pada awal ia menjabat sebagai Gubernur BI, bank sentral sempat menjadi sasaran kritikan masyarakat. Sebab, pada masa itu, masa euforia reformasi, banyak pejabat yang mendapat hujatan. Terlebih lagi ketika BI mengeluarkan kebijakan suku bunga tinggi. Kebijakan moneter diperketat. Beberapa pengamat mengkritik kebijakan ini dengan tajam. Tapi Syahril menyarankan kepada segenap jajaran BI untuk tetap sabar, bijak, dan konsisten. Karena jika belum waktunya, kebijakan ini diperlonggar, sama saja seperti memberikan setengah dosis obat kepada pasien. Tidak membuat penyakit sembuh bahkan menjadikan penyakit itu kebal terhadap obat sehingga susah untuk diobati lagi. Tetapi dengan kebijaksanaan ketat itu, berangsur-angsur inflasi menurun dan rupiah menguat. Lalu suku bunga pun berangsur-angsur turun.
Didesak Mundur
Hanya saja hal ini tidak berlangsung lama. Pemerintahan berganti dari BJ Habibie ke Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Pergantian ini ternyata memunculkan masalah baru. Ini bermula pada saat Syahril, akhir tahun 1999, diminta datang ke Bina Graha bersama Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dan Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto. Saat itu yang menjadi berita hangat di media massa adalah kasus Texmaco. Syahril berpikir mungkin masalah ini yang akan dibicarakan. Tetapi ketika sampai di Bina Graha yang dibahas justru masalah penggantian Gubernur BI.
Syahril sempat kaget. Tidak mengerti. Namun ia tetap berpikir tentang independensi BI yang harus dipertahankan. Kepada Presiden Wahid ia menyatakan tidak ada alasan untuk mundur dari jabatannya. Menurut Undang-undang BI, hanya ada tiga alasan yang memungkinkan seorang Gubernur BI mundur dari jabatannya. Pertama, orang yang bersangkutan dengan sukarela mengundurkan diri. Kedua, yang bersangkutan meninggal dunia. Ketiga, yang bersangkutan berurusan dengan kriminalitas atau hukuman pidana. Dari ketiga alasan itu, bagi Syahril, tidak ada satu pun yang bersangkut-paut dengannya sehingga ia harus mundur dari jabatan Gubernur BI.
Juga dijelaskan, kalau saja ia mundur karena tekanan atau terpaksa, maka ia sudah melanggar hukum. Sebab, dalam Undang-undang BI disebutkan, jika Gubernur BI diintervensi, baik yang mengintervensi maupun yang diintervensi, melanggar Undang-undang. Oleh karena itu tidak mungkin baginya untuk mundur. Keadaan itu tentu membuat suasana menjadi tegang. Gus Dur tetap menginginkannya mundur, tapi hingga pertemuan berakhir, Syahril tetap bersikukuh menolak.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa Gus Dur menyuruhnya mundur? Ada dugaan, hal itu terkait dengan salah satu bank yang dilikuidasi dan Gus Dur adalah salah seorang pemegang sahamnya. Selain itu, mungkin juga karena pernah seorang direktur bank, teman dekat Gus Dur, hendak dipromosikan, namun ternyata menurut formula yang ada di BI, yang bersangkutan tidak lulus fit and proper test. Ketika itu, Gus Dur memintanya untuk diluluskan, tapi Syahril Sabirin dan jajarannya mengatakan tidak mungkin. Sebab jika ini dilakukan, kredibilitas BI akan hancur. BI memiliki kebijakan bahwa pengurus bank itu harus diseleksi melalui kriteria tertentu. Ketika seseorang dinyatakan tidak lulus tes, tapi pemerintah menghendaki agar lulus, ini akan membuat segalanya kacau. Padahal modal utama BI adalah kredibilitas institusi.
Setelah itu, pertemuan dengan Gus Dur terus berlanjut dan Presiden tetap bersikeras memintanya mundur. Kalau tidak mau akan diambil tindakan hukum. Hanya ada dua pilihan, mundur atau di usut, dijadikan tersangka dan ditahan. Tapi, Syahril tak bergeming. Ia bertahan. Sampai-sampai Jaksa Agung Marzuki Darusman pun, konon, ikut "menyarankan" agar Syahril mundur saja dari pada ditahan. Tapi Syahril tetap pada pendiriannya, tak mau mundur.
Karena tidak mau mundur juga, pada awal Juni 2000, Syahril dijadikan tersangka dalam kasus Bank Bali. Padahal sudah dijelaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus itu.
Lalu mengapa Syahril tak mau mundur? Bagi Syahril pribadi, ini semata-mata bukan karena ingin tetap bertahan sebagai Gubernur BI. Melainkan karena keinginan untuk tetap mempertahankan independensi BI. Satu pemikiran yang membuatnya bertahan adalah bahwa ketika ia menerima jabatan Gubernur BI, bank sentral ini baru saja mendapat status independen. Karena itu, ia menerimanya sebagai amanah yang luar biasa: mempertahankan dan memperjuangkan independensi BI. Jika saja ia menuruti untuk mundur, dalam tekanan seperti itu, bagaimana jadinya independensi BI. Padahal waktu itu, tugas yang diemban BI sangat penting dalam pemulihan ekonomi bangsa akibat kondisi moneter dan politik yang bergejolak. Dijadikan tersangka, juga tak membuatnya gentar dalam mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
Akhirnya ia resmi ditahan. Saat itu Gus Dur dalam perjalanan pulang dari luar negeri. Sebelum Presiden tiba, ia dipanggil untuk diperiksa di Kejaksaan. Usai pemeriksaan ia resmi ditahan pada hari itu juga. Dan ia sendiri mengatakan siap ditahan. Tapi sebelumnya ia meminta untuk bisa ke kantor guna membereskan dan menyerahkan tugas-tugas agar BI dapat berjalan terus. Permintaan itu ditolak Kejaksaan. Syahril pun pasrah menerima keadaan itu. Namun ia tetap yakin bahwa dirinya tidak bersalah. Penahanan yang pertama berjalan selama 20 hari. Kemudian diperpanjang 40 hari dan 30 hari lagi. Diantara masa-masa penahanan itu, masih ada yang menawarinya untuk mundur dari jabatan Gubernur BI dengan imbalan bebas dari tahanan. Tapi ia tidak melayani permintaan ini. Baginya lebih baik ditahan daripada mundur dari jabatan.
Pada masa-masa penahanannya, ia dan keluarganya mendapat cobaan. Ayahnya, yang sangat ia cintai, meninggal dunia. Usia ayahnya memang sudah 91 tahun, tapi kondisinya sangat sehat sebelum ia ditahan. Pada masa penahanan 20 hari, ayahnya sempat datang dari Bukit Tinggi untuk menjenguknya di tahanan. Sang Ayah tampak sehat dan tegar. Namun saat ia mendengar masa penahanan Syahril diperpanjang, ia pun jatuh sakit. Syahril sempat diperbolehkan menjenguk ayahnya di Bukit Tinggi. Tapi ajal akhirnya datang juga. Ayah beliau wafat. Syahril pun diperbolehkan menghadiri pemakaman ayahnya.
Penahanannya pun terus berlanjut. Bahkan sempat terdengar kabar akan diperpanjang lagi dan dicari kasus-kasus lain. Namun pada suatu hari, ia tiba-tiba diperbolehkan pulang. Statusnya menjadi tahanan rumah. Ia sama sekali tidak menduga akan adanya keputusan itu. Sebuah keputusan yang memberinya sedikit kebebasan dibandingkan sebagai tahanan kejaksaan. Sebab, jika di rumah ia dapat berkomunikasi kemana-mana, sementara ketika dalam tahanan, untuk membaca surat kabar saja dilarang. Mendengarkan radio dan menggunakan telepon apalagi. Larangan membaca koran dan majalah baru dihapuskan setelah lebih 10 hari ia di dalam tahanan. Selain membaca koran, ia juga dilarang membawa laptopnya. Sehingga ketika ia mau menulis sesuatu, ia harus belajar lagi menggunakan tangan.
Kebetulan pada waktu itu Bob Hasan dan Hendrawan juga ditahan. Syahril mengenal mereka. Bob Hasan pernah menjadi menteri dan Hendrawan juga dikenal sebagai bankir dari Bank Aspac. Di tahanan mereka bertemu. Disitu mereka bersama-sama menghibur diri, belajar saja menikmati hidup. Untuk menghilangkan kejenuhan, mereka sering bermain gaple.
Tentulah pengalaman dalam tahanan merupakan pengalaman yang tidak mungkin ia lupakan. Mungkin saja banyak orang bertanya-tanya, "Kok Syahril Sabirin tidak kelihatan stress? " Karena memang ia sama sekali tidak terlihat stress. Ia tampak menerima keadaan apa adanya. Dilalui saja apa yang perlu di lalui. Bahkan sejak masa penahanan, berat badannya malah naik.
Skenario Lain
Tak berhasil memaksa Syahril Sabirin mundur, meski sudah ditahan, lalu kepentingan politik saat itu mencari jalan lain. Ketika itu, ada upaya mengatur mundur, dipaksa atau secara suka rela, seluruh deputi gubernur. Mungkin skenarionya, kalau sekiranya seluruh deputi mundur, berarti kepemimpinan BI kosong. Tidak ada pejabat yang aktif dan gubernurnya dalam tahanan. Jadi ada alasan kuat untuk merombak semua. Tapi untungnya ada diantara deputi yang setia kawan berpihak kepadanya dan independensi BI, tidak mau mundur. Kalau tidak, mungkin independensi BI sudah tamat.
Setelah tidak juga berhasil dengan cara itu, lalu berkembang keinginan untuk mengamandemen UU BI. Tentu keinginan ini tidak lagi sekedar mengganti Gubernur BI, tetapi lebih dari itu yakni mengubur independensi BI. Saat itu, Syahril dan jajaran BI, mendapat tekanan yang paling berat. Ada berbagai pihak menelepon, menyarankan agar ia mundur sebelum UU diubah. Sebab katanya, kalau UU sudah diubah, ia bukan lagi gubernur BI. Sehingga ketika diminta ke pengadilan, mau ngomong apa lagi? Maka lebih baik mundur saja.
Keinginan kepentingan politik mengamandemen UU BI ini tidak hanya pada pemerintahan Gus Dur. Bahkan setelah Gus Dur diganti Megawati Soekarnoputri, masih saja kuat hasrat sebagian politikus untuk mengamandemen UU BI, sebagai pintu masuk kadernya dalam bank sentral. Namun belakangan, kesadaran para politisi akan pentingya independensi BI tampaknya makin berkembang. Sehingga tak terdengar lagi keinginan mengamandemen UU BI untuk mengurangi independensi BI.
Setelah ia menjadi tahanan rumah, keadaan tentu lebih baik. Ia sudah lebih leluasa berkomunikasi dengan dunia luar. Setelah dua bulan sebagai tahanan rumah, berkembang berita bahwa kemungkinan masa penahanannya akan diperpanjang. Hingga suatu hari dua orang jaksa datang menemuinya ke rumah. Ia sempat perpikir, "Ada apa lagi nih?" Ternyata jaksa itu ingin meyampaikan kabar bahwa sejak hari itu ia dibebaskan dari tahanan rumah. Ia pun boleh ke luar rumah. Itu juga berarti ia boleh masuk kantor.
Esok harinya, ia datang kembali ke BI. Ia disambut dengan baik oleh segenap jajaran BI. Staf dan karyawan menyambutnya dengan penuh suka cita. Ia pun merangkul semua jajaran BI, termasuk para deputi yang sempat mengundurkan diri. Peristiwa yang lalu dilupakan saja. Ia mengajak jajaran BI lebih baik melihat ke depan. Apalagi, memang sebagian deputi yang mundur itu, mengaku dipaksa dengan diberikan ancaman, kalau menolak akan "di-Syahril Sabirin-kan."
Itulah sosok Syahril Sabirin. Ia tidak tahu apakah sifat ini merupakan kelemahan atau kekuatan baginya. Ia tidak menyimpan dendam. Ia selalu berpikir bahwa orang bisa berubah. Makanya ia selalu mencoba meneladani Nelson Mandela, dalam lingkungan lebih kecil di BI. Ia buka pintu rekonsiliasi, memaafkan masa lalu. Lalu secara bersama-sama bergandeng tangan menjemput masa depan BI yang lebih baik, bebas dari intervensi politik dan penguasa.
Di tengah sebuah problem berat yang di hadapinya, sebagai pejabat negara, Syahril tetap menunjukkan sosoknya sebagai pekerja keras. Seperti kerasnya ia memperjuangkan independensi BI. Apalagi menurut beberapa karyawan BI, sering Syahril bekerja di kantor hingga hari berganti tanggal. Ia pun dikenal sebagai seorang pemimpin yang sederhana dan mampu menjalin hubungan personal yang menyenangkan dengan siapa saja. Barangkali, sikap inilah yang membuatnya mendapat loyalitas penuh dari bawahannya.
Timnya pun tetap bekerja secara padu dan efektif. Hanya saja, masih ada faktor-faktor eksternal yang mengganggu. Masih ada persepsi yang salah dari beberapa orang diantara orang-orang politik tentang independensi BI. Sepertinya BI harus dikuasai secara politik dengan dipimpin oleh orang-orang politik. Padahal ini merupakan pandangan yang menurutnya salah. Sebetulnya lebih aman bagi orang yang berkuasa atau orang politik jika BI independen. Sebab dengan ini BI akan lebih mampu menjaga kestabilan moneter yang lebih baik. Sementara keadaan moneter yang baik itu merupakan keuntungan dan prestasi bagi pemerintah.
Datangnya Keadilan
Ia pun akhirnya diadili. Majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 13 Maret 2002, memvonisnya terbukti bersalah dengan pidana penjara selama tiga tahun. Sebuah vonis yang sangat tidak diharapkan. Ia dan keluarganya sempat merasa sangat terpukul. Namun, ia tetap tabah dan berharap masih terbuka jalan datangnya keadilan, dengan melakukan upaya hukum naik banding.
Sampai pada suatu hari, pada 12 Agustus 2002, putusan akhirnya datang juga. Sidang majelis hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta memvonisnya bebas. Sidang majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Ridwan Nasution itu membatalkan putusan majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan majelis tingkat banding itu menyatakan terdakwa Syahril Sabirin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana baik dakwaan primer maupun subsider. "Membebaskan terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, merehabilitasi dan memulihkan nama baik, harkat dan martabat terdakwa."
Memang, dari sejak pertama ia diajukan sebagai tersangka dalam kasus Bank Bali hingga hari terakhir persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat, tidak ada satu bukti apapun yang dapat membuktikannya bersalah. Dalam kesaksiannya, baik dari BPPN maupun dari Bank Bali, menyatakan tidak ada hubungannya dengan kasus Bank Bali. Sehingga tak heran bila ia merasa ada sebuah skenario yang sudah diatur.
Sebelumnya ia didakwa terlibat dalam skandal cessie Bank Bali (BB) dan PT Era Giat Prima (EGP) senilai Rp 904, 6 miliar. Adapun dakwaan primernya melanggar pasal 1 ayat 1a jo pasal 28 UU 3/1971 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 KUHP, dakwaan subsider melanggar pasal 1 ayat 1b jo pasal 28 UU 3/1971 jo pasal 55 ayat 1 ke- 2 pasal 64 KUHP.
Atas kebebasannya ia pun menyambutnya dengan syukur. Ia mengatakan vonis ini merupakan pertanda keadilan telah datang. "Keadilan telah datang dari Yang Maha Kuasa," katanya. Ia dan keluarganya pun kembali menikmati hidup. Sesekali ia menikmati musik country kesukaannya, lalu menikmati kesenangan mengemudikan sendiri mobilnya jika keluar kota.
Ia dan keluarganya tetap memilih tinggal dirumahnya sendiri dikawasan Cinere, Depok. Rumah dinas Gubernur BI di kawasan Kebayoran Baru tidak ditempatinya. Sementara untuk menjaga kebugaran tubuhnya, ayah dari Melissa Sari dan Stevano ini memilih olahraga tenis dan fitness yang disediakan di kantor BI. Syahril Sabirin juga menjabat sebagai Gubernur International Monetary Fund ( IMF) dan Gubernur Pengganti Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia. Ia sengaja tidak memilih golf, sebab baginya olahraga ini banyak menghabiskan waktu, yang semestinya bisa untuk keluarga.
Makna terhadap Independensi
Pembebasan Syahril juga bermakna bagi langkah bebasnya BI dari serangan intervensi. Karena memang sudah jelas, apa yang telah terjadi merupakan kegiatan intervensi terhadap BI. Sayangnya, dalam UU BI tersebut tidak ada penjelasan jika terjadi intervensi, pihak manakah yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum. Mungkin untuk hal-hal lain dapat dikerjakan oleh Kejaksaan Agung, namun dalam kasus ini tidak mungkin, tidak ada pengaturan.
Lalu, jika melihat akibat langsung atau tidak langsung penahanannya terhadap pergerakan ekonomi Indonesia, pastilah ada. Besar atau kecil pasti ada pengaruhnya terutama terhadap kepercayaan publik atau dunia internasional terhadap independensi BI. Dunia internasional menilai kredibilitas bank sentral menurun.
Suatu bukti penilaian luar negeri. Sebelum ia ditahan, waktu itu Indonesia adalah calon anggota Bank for Intenational Settlement (bank sentral dari seluruh bank sentral) yang berada di Swiss. Anggotanya biasanya berasal dari negara-negara maju saja. Kemudian diperluas dengan memasukkan bank sentral yang mereka anggap layak dijadikan anggota. Pada waktu itu yang menjadi calon di Asia adalah Thailand, Indonesia, Malaysia dan Singapura, sementara New Zealand yang meminta menjadi anggota tidak diterima.
Namun ketika proses keanggotaan tersebut berjalan, tiba-tiba Syahril dijadikan tersangka. Akibatnya penerimaan keanggotaan BI ditunda. Mereka menilai BI tidak independen, masih dapat di intervensi.
Sampai akhirnya, setelah Syahril Sabirin di vonis bebas, ia berkunjung ke Mexico sebagai undangan. Di sana ia berbicara dengan General Manajer BIS, Mr Andrew Croket. Hasilnya, kemungkinan pada Juni 2003, BI dapat diterima menjadi anggota.
Sementara, timnya pun tampak makin solid. Ini terlihat dari perkembangan rupiah yang relatif stabil. Bahkan dengan guncangan bom di Bali, rupiah hanya terkoreksi sedikit menjadi sekitar Rp 9.300 per dolar AS. Selain dari tingkat kredibilitas BI, sebagai modal utama, tampaknya sikap konsisten dalam mengadakan intervensi ke pasar juga benar-benar nyata sehingga dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Ini tentu tak terlepas dari manajemen SDM di BI. "Saya dari dahulu percaya bahwa SDM di BI lebih baik," kata Doktor bidang Ekonomi Moneter dan Internasional dari Vanderbilt University, USA (1979) ini. Namun, katanya BI juga bersikap tegas dalam menegakkan aturan. Jika ada pelanggaran, langsung ditindak bahkan kalau perlu di pecat. Karena untuk dapat bekerja di bank sentral, kejujuran merupakan modal utama. Maka jika ada pelanggaran yang menyangkut ketidakjujuran itu tidak dapat ditolerir.
Falsafah dan Masa Kecil
Masa kecil Syahril Sabirin yang lahir di Bukit Tinggi, pada 14 Oktober 1943 ini biasa-biasa saja, sebagaimana layaknya anak-anak pada masanya. Tapi pendidikan yang diterimanya ketika kecil memberikan kesan yang mendalam baginya.
Dari tingkat SR (Sekolah Rakyat-Sekolah Dasar sekarang) hingga SMA, ia bersekolah di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ia tinggal bersama orang tuanya. Sang Ayah seorang pegawai di sebuah perusahaan yang sekarang menjadi PLN. Pernah juga mengajar teknik. Belakangan ia membangun perusahaan kecil-kecilan dengan nama Biro Tekhnik yang mengurusi pelayanan jasa instalasi listrik. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga.
Orang tua Syahril menanamkan betul pentingnya kejujuran dan jangan mengambil milik atau hak orang lain. Tanpa disadarinya, petuah orang tuanya itu menjadi salah satu prinsip hidupnya. Jujur dan jangan pernah mengambil milik atau hak orang lain. Walau sekecil apapun milik orang jika diambil adalah salah dan akan menyusahkan hidup. Prinsip ini selalu ia ingat.
Falsafah hidupnya juga sangat sederhana. Bagaimana menjadi orang yang berguna bagi orang lain serta berusaha jangan sampai menyusahkan orang lain. Ia selalu berupaya agar kehadirannya bermanfaat ditengah-tengah kehidupan orang lain.
Obsesi dan ambisinya juga tidak terlalu besar. Seperti pada tahun 1993, ketika berakhirnya masa tugas Adrianus Mooy sebagai Gubernur BI. Saat itu, tokoh-tokoh BI mencari calon pengganti. Salah seorang calon adalah J. Soedradjad Djiwandono. Namun perlu juga ada calon tandingan. Waktu itu BJ Habibie belum mengenalnya. Lalu, Habibie bertanya kepada orang-orang senior di BI. Mereka merekomendasikan Syahril Sabirin. Setelah itu ada orang menghubunginya untuk masuk dalam pencalonan Gubernur BI. Ia hanya mengatakan siap kalau memang untuk kepentingan bangsa. Ketika itu, Djiwandono yang terpilih karena ia memang calon kuat.
Syahril Sabirin mengatakan bahwa dirinya bukan orang yang ambisius terhadap jabatan. Ia hanya punya ambisi dalam pengertian melakukan sesuatu hingga berhasil. Untuk mencapai keberhasilan kerja atau prestasi itu, ia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya.
Semasa kecil Syahril bercita-cita menjadi insinyur. Ia paling suka pada pelajaran matematika dan ilmu ukur. Namun pada masa PRRI (1958-1959), ketika ujian ilmu ukur, terjadi perang, sehingga ia tidak bisa ikut ujian. Padahal itu ujian kenaikan, ke kelas 3 SMA. Saat pembagian jurusan, ada bagian a (jurusan sosial dan budaya) dan B (jurusan ilmu pasti alam). Sempat juga ia berpikir apakah mesti mengulang kembali. Tapi akhirnya ia terima saja, ia masuk ke kelas 3 bagian A.
Setelah lulus SMA tahun 1962, ia bersama dua orang teman berangkat ke Jakarta, naik kapal laut. Pada masa itu transportasi sangat sulit. Mereka hanya dapat membeli tiket dari calo yang harga sudah berlipat-lipat dari harga resmi. Setelah dibayar, tiket tidak diterima. Katanya akan diterima setelah berada dalam kapal. Setelah di atas kapal, mereka pun meminta tiket itu. Tapi setelah itu si calo menghilang tanpa memberikan tiket. Untung waktu itu mereka tidak tertangkap sehingga tidak perlu dihukum mencuci piring atau membersihkan kamar mandi. Pada saat itu memang kondisi kapal sangat memprihatinkan. Untuk dapat menggelar tikar saja sulit sekali saking penuhnya kapal.
Kebijakannya di BIKembali ke soal beberapa kebijakannya dalam memimpin BI, diantaranya ketika menaikkan suku bunga yang sangat tinggi hingga mencapai 60%, yang ketika itu banyak menimbulkan kritikan orang. Ia mengatakan kebijakan itu diambil karena arus likuiditas yang sangat besar, inflasi tinggi dan rupiah melemah. Sehingga ini adalah satu-satunya cara, kecuali kepercayaan publik terhadap upaya-upaya pemulihan ekonomi meningkat.
Tugas petama BI dalam independensinya adalah menjaga kestabilan nilai rupiah. Salah satu ukurannya yaitu inflasi. Seperti ketika inflasi meningkat, sementara pemerintah memerlukan kredit dalam pembangunan tertentu, jika BI memberikan kredit tersebut, akan berakibat inflasi semakin menjadi. Contohnya pada masa pemerintahan Bung Karno. Ketika itu BI terus mencetak uang sehingga inflasi sampai 600%.
BI setiap minggu malakukan langkah-langkah yang perlu diambil dalam menghadapi keadaan moneter yang sedang berlangsung. Terutana dalam kaitanya dengan nilai tukar rupiah, BI selalu siap. Begitu juga ketika hendak melakukan intervensi pasar, benar-benar upaya tersebut dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Tentang isu uang seri ganda, menurutnya itu adalah isu klasik. Sebab, ketika diminta buktinya, ternyata tidak ada. "Lebih marak pemberitaan uang palsu daripada peredaran uang palsu itu sendiri. Kalau kita lihat dari jumlah tidak banyak perubahan dari waktu ke waktu. Namun kami juga sangat berterima kasih dan memberi acungan jempol terhadap usaha yang dilakukan kepolisian yang mampu memecahkan kasus-kasus uang palsu" katanya mengakhiri percakapan.
N a m a:Syahril Sabirin, SE, MA, PhDLahir:Bukittinggi, Sumatera Barat, 14 Oktober 1943Agama : IslamJabatan:Gubernur Bank Indonesia 1998-2003Istri: MurniAnak: - Melissari dan - Stevano
Pendidikan Formal1. Sekolah Dasar pada Sekolah Rakyat No. 15 Bukittinggi, lulus pada tahun 19562. Sekolah Menengah Pertama pada SMP No. 6 Bukittinggi, lulus pada tahun 19593. Sekolah Menengah Umum pada SMA II/C Bukittinggi, lulus pada tahun 19624. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, lulus sebagai Sarjana Ekonomi jurusan Perusahaan pada tahun 19685. Williams College, Williamstown, Massachusetts, USA, lulus pada tahun 1973 dengan memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Ekonomi Pembangunan6. Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, USA, lulus pada tahun 1979 dengan memperoleh gelar Doctor of Philosophy (PhD) dalam bidang ekonomi, dengan spesialisasi ekonomi moneter dan ekonomi internasional
Pendidikan Lainnya1. Mengikuti berbagai pendidikan jangka pendek, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang lainnya, seperti computer programming dll.2. Mengikuti berbagai seminar dan konperensi di dalam dan luar negeri3. Memberikan ceramah/kuliah di berbagai forum, antara lain di konperensi yang diselenggrakan oleh the World Economic Forum, the Asia Society, the Asia Money, dll.
Riwayat Pekerjaan1. Bank Indonesia, Jakarta : 1969 -1993, antara lain sebagai:o Staf Umum Urusan Ekonomi dan Statistik Bank Indonesia (1969)o Kepala Bagian Neraca Pembayaran: 1982-1983o Kepala Bagian Pembinaan Bank-bank: 1983-1984o Penjabat Kepala Urusan Ekonomi dan Statistik: 1985-1987o Penjabat Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi: 1987-1988o Direktur Bank Indonesia: 1988-1993, dengan bidang tugas mencakup Devisa, Luar Negeri. Dan Sumber Daya Manusia (1988-1992) dan Pasar Uang dan Giralisasi, Akunting, dan Sumber Daya Manusia (1992-1993)2. Sebagai tenaga pengajar pada berbagai perguruan tinggi: 1980-1988, antara lain pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN), Universitas Indonesia, dan Universitas Taruma Negara.3. World Bank, Washington, DC, USA: 1993-1996, sebagai Senior Financial Economist di Direktorat Timur Tengah dan Afrika Utara, dengan tugas menangani pembinaan sektor finansial antara lain di negara-negara Mesir, Libanon, dan Jordania.4. Bank Indonesia: Akhir 1997-sekarang:o 29 Desember 1997 - 19 Februari 1998: Direkturo 19 Februari 1998 - sekarang: Gubernur5. Selaku Gubernur Bank Indonesia juga menjabat sebagai:o Gubernur International Monetary Fund (IMF) untuk Indonesia;o Gubernur Pengganti Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia;o Gubernur Pengganti Islamic Development Bank (IDB) untuk Indonesia (sampai tahun 2000).
Tulisan/ Publikasi1. Money, Price, Income and Interest Rates in Indonesia Before and After the Financial Deregulation of June 1983, a paper written jointly with Muljana Soekarni, in Structural Change and Economic Modelling, Sydney: Reserve Bank of Australia, December 1986.
2. Indonesia's Financial Reforms: Challenges in the 1990s for Its Banking and Financial Markets, Journal of Asian Economics, 2/2, Fall 1991, Greenwich, Connecticut and London: JAI Press Inc..
3. Exchange Rate Management in an Open Economy: The Case of Indonesia, Journal of Asian Economics, 4/1, Spring 1993, Greenwich, Connecticut and London: JAI Press Inc.
4. "Capital Account Liberalization", in "Financial Sector Reforms in Asian and Latin American Countries, Lessons of Comparative Experience", The World Bank, Washington. D.C., 1993.
Alamat Kantor:Jl. MH. Thamrin 2 Jakarta 10110 IndonesiaTelp : (62-21) 381-7187 Faks : (62-21) 350-1867
Alamat Rumah:Jalan Ikan Mas No. 96, Blok K, Cinere, Depok , Jawa barat 16514
sumber : http://www.tokohindonesia.com/

Tidak ada komentar: