Kamis, 10 Januari 2008

Abdul Latief


Angkat Harkat Tenaga Kerja
Ia sukses sebagai pengusaha toko serba ada yang menampung banyak tenaga kerja dan mempromosikan aneka produksi kerajinan rakyat. Kerja keras yang dimulainya dari bawah membuahkan kepercayaan dari Pak Harto yang mengangkatnya sebagai Menteri Tenaga Kerja tahun 1993-1998. Di masa kepemimpinannya UMR dan THR menjadi akrab ditelinga pekerja dan majikan disepakati bersama untuk dilaksanakan.
Kiprah suksesnya sebagai pengusaha toko serba ada (toserba) Pasaraya Sarinah Jaya dikenal banyak orang. Gerai terbesarnya di kawasan Blok M, dan Manggarai keduanya di Jakarta Selatan serta di Puit Jakarta Utara banyak menampung tenaga kerja Indonesia. Produk-produk lokal dan kerajinan tangan khas Indonesia mengisi sudut-sudut gedung perbelanjaannya. Pasaraya Sarinah Jaya menjadi identik pusat perbelanjaan elit kelas menengah atas bagi warga Indonesia, sekaligus pula sebagai toko serba ada standar maksimal bagi para wisatawan mancanegara yang wajib dikunjungi untuk menemukan barang-barang kerajinan khas Indonesia.
Abdul Latief, pria Minang kelahiran Banda Aceh 27 April 1940 ini memulai karir sebagai pengusaha toko serba ada terkemuka sungguh-sungguh dari bawah. Khas sifat pedagang perantau Minang yang tak sedikitpun mau menyia-nyiakan sisa lapak emperan toko, Abdul Latief awalnya memulai bisnis besarnya dari sebuah toko kecil yang dibelinya di daerah Grogol, Jakarta Barat.
Ceritanya bermula ketika dia bekerja di Toserba Sarinah, milik pemerintah di bawah kendali Departemen Perdagangan yang gedung dan gerainya terletak di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Sambil melanjutkan kuliah mengambil S-1 di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayanan (Unkris), Jakarta, oleh perusahaan Toserba Sarinah ia dikirim ke luar negeri mengikuti studi manajemen toserba di Grup Seibu, sebuah toserba terkenal dari Tokyo, Jepang, tahun 1966. Antara tahun 1963-1971 Abdul Latief adalah Pimpinan Promosi dan Pengembangan Ekspor PT Departement Store Sarinah.
Sekembali di Tanah Air, lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Departemen Perindustrian tahun 1963 ini menyodorkan konsep baru tentang pemasaran untuk diterapkan di Toserba Sarinah ya ia dasarkan atas konsep pemasaran yang sudah ia pelajari di Negeri Matahari Terbit, Jepang. Tapi apa lacur idenya membangun konsep pemasaran toko serba ada yang modern kurang berkenan di hati pimpinan yang mengutusnya belajar ke Negeri Sakuran Jepang itu.
Sebuah mobil yang dibawanya dari Jepang ia lego untuk segera dibelikan sebuah toko kecil di daerah Grogol, Jakarta Barat. Di situlah untuk pertama kali ia menyiapkan diri menjadi pengusaha sekalian mandi basah turun berdagang di lapangan. “Saya tertarik pada pedagang eceran seperti di Pasar Baru,” ucapnya memberi alasan berdagang dengan membuka toko kecil. Latief kemudian mengajukan diri berhenti dan Sarinah dan mendirikan perusahaan sendiri PT Latief Marda Corporation tahun 1972, dibantu oleh adiknya Abdul Muthalib. Dua tahun kemudian, tahun 1974 berdiri lagi sebuah perusahaan miliknya PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya. Sekarang semua institusi bisnis Abdul Latief yang antara lain bergerak di bidang agrobisnis, buku, periklanan, asuransi, developer, konstruksi, eceran, dan media massa bernaung dalam sebuah nama bendera konglomerasi A’Latief Corporation.
Telepon Pak HartoKepiawaian anak keenam dari sembilan bersaudara ini berbisnis dan mengelola sumberdaya manusia, yang setiap hari bersentuhan dengan pengelolaan dan pemberdayaan tenaga kerja, suatu ketika menarik perhatian Pak Harto yang sedang menjabat Presiden.
Majalah Matra edisi Juni 1993 menuliskan, menjelang sahur di suatu hari di bulan suci Ramadhan tahun 1993 seorang anaknya menegur Latief agar selekasnya sembahyang tahajud agar bisa makan sahur bersama dengan istri dan keempat anaknya. Anaknya itu berkomentar bahwa Latief jika shalat mesti panjang-panjang berdoa dan banyak benar yang dimintakannya kepada Tuhan.
“Eh, gue mau minta sama siapa lagi kalau bukan sama Tuhan, gue kan dirut di atas gue cuma Tuhan,” balas Latief kepada anaknya, yang saban berbicara selalu menggunakan bahasa dan dialek Betawi dari Jakarta sebab merasakan hidup dan besar di bumi Betawi Jakarta. Bukan cuma kepada anak, dalam pembicaraan formal dan dalam kapasitas sebagai petinggi pemerintahan pun ia acapkali menggunakan bahasa Betawi yang lancar dilafalkannya. Usai “berdebat” tak lama kemudian telepon berdering, suara berasal dari seorang ajudan Presiden Soeharto yang lalu memberi sebuah nomor telepon untuk segera dihubungi. Nama yang diminta hendak dihubungi siapa lagi kalau bukan Pak Harto, penguasa Orde Baru ketika itu.
“Assalamu’alaikum,” tukas Latief memberi salam pertama. “Wa’laikum salam, apa kabar Saudara Llatief? Saudara akan mendapat tugas dari negara untuk membantu meningkatkan mutu tenaga kerja kita, melakukan perlindungan terhadap tenaga kerja, kemudian memberi latihan dan meningkatkan kesempatan kerja,” kata Pak Harto singkat.
Pak Harto sempat pula menanyakan bagaimana nantinya sebagai menteri kelangsungan hidup perusahaan Latief yang dibangun dengan susah payah dari bawah itu. Latief menjelaskan singkat, jika memang ada panggilan tugas negara ia akan meninggalkan bisnisnya itu. “Apa bisa ditinggalkan,” tanya Pak Harto lagi butuh penjelasan lanjut. Latief lalu menyebutkan sudah sejak lama menyiapkan pengganti di setiap bisnisnya, dan kegiatan terakhirnya lebih banyak pada urusan perencanaan dan pengawasan saja. Latief menambahkan pula sudah mendirikan Yayasan Abdul Latief untuk mempersiapkan pendirian Universitas dan Politeknik.
Penunjukan Abdul Latief menjadi Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia tahun 1993-1998 oleh Pak Harto berlangsung singkat saja, hanya dalam pembicaraan sederhana berdurasi empat menit. Tapi, tentu saja Pak Harto sebelumnya sudah mengantongi info lengkap berikut jejak rekam pendiri dan mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) tahun 1972-1973 ini.
Berbagai prestasi dan kebijakan yang Latief telurkan semasa menjabat masih terasa hingga kini. Misalnya, munculnya istilah upah minimum regional (UMR) yang membatasi setiap pengusaha untuk harus memberi upah paling rendah ke setiap karyawan yang besarnya disesuaikan dengan tingkatan kebutuhan dan taraf hidup di lingkungan regional perusahaan. Demikian pula kebijakan keharusan setiap pimpinan perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada setiap karyawan, tanpa kecuali setiap menjelang perayaan hari besar keagamaan seperti Hari Raya Lebaran diberikan kepada karyawan beragama Islam dan menjelang Hari Natal kepada karyawan beragama Nasrani.
Kebijakan UMR dan THR yang dituangkannya menjadi peraturan sehingga hukumnya wajib, itu ia maksudkan untuk mendorong para pengusaha agar lebih memanusiakan para karyawan. Sebelum kehadiran Abdul Latief pemberian THR dianggap sebagai tindakan belas kasihan saja dari majikan kepada buruh tanpa payung hukum yang jelas. Karenanya THR boleh ada dan boleh juga tidak ada. Dalam pandangan Latief THR dimaksudkan untuk mengangkat harkat martabat dan derajat para tenaga kerja.
Demikian pula dalam upaya membangun sumberdaya manusia berjangka panjang, Latief memastikan sistem pendidikanlah yang akan menentukan. Sambil menggugat etos bangsa yang sudah seharusnya dipertanyakan, ketika itu Latief menyebutkan, “Hidup santai tidak boleh lagi untuk membangun tenaga kerja siap pakai.”
Menjadi menteri bagi mantan aktivis Hipmi dan Kadin Indonesia ini berarti memasuki area politik, sebuah jalur kehidupan baru yang sesungguhnya sudah menjadi cita-citanya semenjak remaja. Cita-cita itu dahulu tidak segera direngkuhnya sebab usai tamat dari SMA Negeri VII Jakarta tahun 1959, ia justru mengikuti jejak langkah ayahnya menjadi pengusaha, kendati ayahnya itu seorang figur yang sesungguhnya hanya sempat dikenalnya hingga berusia empat tahun. Abdul Latief adalah orang Padang. Ayahnya sejak berusia 19 tahun merantau ke Aceh untuk mendalami Islam sekaligus berdagang tekstil. Ibunya, Siti Rahmah adalah aktivis Aisyiah Muhammadiyah di Bumi Serambi Mekkah Aceh itu.
Abdul Latief anak keenam dari sembilan bersaudara lahir di Kampung Baru, Kutaraja yang kini dikenal sebagai Banda Aceh. Ketika usianya menginjak empat tahun ayahnya meninggal dunia. Ia sempat diasuh oleh neneknya namun tak lama dua tahun kemudian neneknya ini meninggal dunia pula. Usia sepuluh tahun ia bersama keluarga hijrah ke Jakarta pada tahun 1950. “Ibu dengan penuh kasih memikirkan masa depan kami,” tutur Latief mengenang bentuk pengasuhan ibu kandungnya, Siti Rahmah.
Sejak kecil daya pikir otak Abdul Latief sudah dikenal encer. Semasa duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) nilai rapornya selalu rata-rata sembilan membuatnya sering menjadi juara kelas. Latief antara lain menggemari pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan berhitung. Begitu pula dibangku SMP, yang ditempuhnya di SMP Negeri V Jakarta lulus tahun 1956. Letak sekolahnya itu berdekatan dengan bioskop Astoria di Jalan Pintu Air, Jakarta. Masa remaja dikenang Latief yang semasa muda rajin belajar dan membaca sebagai masa-masa yang lumayan meriah senang berkelahi dan menonton.
Sebagai pengusaha toko serba ada yang membuka cabang hingga ke Singapura, Abdul Latief telah berkesempatan mengangkat produksi rakyat. Jika awalnya ia melakukan penjualan dalam skala besar dengan menyewa satu lantai gedung Sarinah berlokasi di Jalan Thamrin, Jakarta, maka menjelang akhir kontrak ia membangun gedung sendiri di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Gedung inilah yang membuatnya semakin terkenal sebagai pemilik pusat perbelanjaan modern pertama Pasaraya. Pasaraya Sarinah Jaya Blok M menjadi landmark pusat perbelanjaan modern Indonesia. Hingga kini pusat perbelanjaan miliknya itu masihlah terbesar nomor satu di seantero penjuru tanah air.
Menguak kisah suksesnya sebagai pengusaha ia menyebutkan menganut sistem manajemen terbuka. Sebagai pengusaha, menurut pengalamannya ia paham tentang apa dan bagaimana seorang tenaga kerja yang terampil. Di masanya pula sebagai Menteri Tenaga Kerja ia mengoreksi opini sebagian besar orang yang membanggakan biaya tenaga kerja di Indonesia. “Saya tidak sepakat. Dari awal saya jadi menteri saya bilang, kita jangan lagi bermimpi, berfikir tentang tenaga kerja murah. Ini mesti kita buang,” ujarnya, bertentangan dengan keinginan sebagian besar pengusaha yang maunya memanfaatkan keberadaan tenaga kerja semaksimal mungkin namun menyepelekan sumbangsihnya terhadap keberlangsungan perusahaan. Abdul Latief melansir status pekerja bukan sekadar sapi perahan melainkan mitra usaha sejajar bagi para majikan. Ia sempat digosipkan menikah dengan Desy Ratnasari, pemain siteron sekaligus petembang lagu “Tenda Biru” yang terkenal itu. ►ht, sumber “Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang”, halaman 25-28
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Nama: AbdulLatief
Lahir: Banda Aceh, 27 April 1940
Ibu: Siti Rahmah
Pendidikan:
- SMP Negeri V, Jakarta, tahun 1956
- SMA Negeri VII, Jakarta, tahun 1959
- Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta, tahun 1963
- Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, tahun 1965
- Kursus Manajemen Toserba, Seibu Group, Tokyo, Jepang tahun 1966

Karir:
- Pimpinan Promosi Penjualan dan Pengembangan Eskpor PT Department Store Sarinah, tahun 1963-1971
- Mendirikan PT Latief Marda Corporation, tahun 1972
- Mendirikan PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya, tahun 1974
- Direktur Utama Sarinah Jaya Group tahun 1972-1993, yang kini dikenal sebagai A’Latief Corporation
- Menteri Tenaga Kerja 1993-1998

Kegiatan lain:
- Pejabat Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan, Departemen Perindustrian, tahun 1969-1970
- Pendiri dan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), tahun 1972-1973
- Ketua Dewan Kehormatan Hipmi, tahun 1973 sampai sekarang
- Ketua Kompartemen Perdagangan dan Koperasi Kadin Indonesia, tahun 1979-1982

Alamat Rumah:
Jalan Raya Kalimalang Nomor 77, Pondok Kelapa, Jakarta Timur
Telepon: (021) 864.2913, Faksimili: (021) 864.0009

Tidak ada komentar: