Rabu, 16 Januari 2008

Adinegoro


Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan


Pada suatu hari, di tahun 1985 menjelang HUT PWI ke-39, saya waktu itu Ketua PWI Cabang Sumatra Barat, akan meresmikan pemberian nama gedung PWI Sumatra Barat sekarang dengan nama Balai Wartawan Djamaluddin Adinegoro. Putra Beliau, Adiwarsita Adinegoro telah berjanji dengan saya akan hadir pada upacara peresmian nama Balai Wartawan Padang tersebut dengan nama ayahnya. Sementara pihak kemenakannya di Talawi (menurut garis ibu) juga telah mengizinkan pemakaian nama pamannya itu yang akrab dipanggilnya dengan Om Djamal.
Pada waktu itu, bukan Balai Wartawan Padang saja yang diberi nama “Adinegoro”, tapi juga nama-nama jalan di Sumatra Barat. Selaku Ketua PWI Cabang Sumatra Barat saya menulis surat kepada Walikota Padang, H. Syahrul Udjud, SH, Walikota Bukittinggi, Drs. Umar Gafar dan Bupati KDH Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, H, Noer Bahri Said Pamuncak (Alm) berikut kepada masing-masing Ketua DPRD-nya yang meminta kiranya Pemerintah Daerah yang bersangkutan berkenan memberi nama salah satu jalan di kota atau di wilayahnya dengan nama Djamaluddin Adinegoro. Ternyata permohonan atau permintaan PWI Sumbar tersebut mendapat sambutan hangat dari ketiga Pemda yang tersebut di atas. Pada masing-masing nama jalan tersebut, kami ikut meresmikannya bersama Gubernur Sumbar, H. Azwar Anas Dt. Rajo Suleman. Memilih ke tiga daerah itu agar mengabadikan nama Nestor Pers Indonesia tersebut, punya argumentasi tersendiri. Di kota Padang karena ibu kota provinsi Sumatra Barat. Ruas jalan dari Tabiang arah ke Bukiktinggi diberi nama jalan Adinegoro. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Di Bukiktinggi, karena di kota itu Adinegoro berjuang dan menjadi Komisaris RI untuk Sumatra pada tahun 1945 dan menerbitkan Surat Kabar Harian Kedaoelatan Rakyat dan membangun Kantor Berita “Antara” dengan menggunakan peralatan yang amat sederhana berupa tiang-tiang dari bambu yang dibelinya dari Jorong Bukik Apik, Bukiktinggi. Kemudian untuk memajukan kecerdasan rakyat dan masyarakat yang berilmu untuk mengisi kemerdekaan RI yang telah dipoklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta maka didirikannya “Volksuniversiteit” di kota sejuk Bukiktinggi tersebut pada tahun 1946. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Di kabupaten Sawahlunto Sijunjuang adalah karena Adinegoro putra daerah kabupaten tersebut. Waktu itu Talawi termasuk daerah kabupaten Sawahlunto Sijunjung (sekarang nagari Talawi masuk kota Sawahlunto). Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Dekat harinya menjelang 9 Februari 1985 Hari Ulang Tahun PWI atau Hari Pers Nasional, datanglah telepon dari berbagai kalangan masyarakat kita. Yang saya ingat ada dari Kantor Gubernur, ada dari Bukiktinggi, ada dari mahasiswa Unand, dan lain-lain. Suara dalam telepon itu ada yang bernada ramah, lemah lembut, tapi ada juga yang “manimpalak” saya. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Katanya, kenapa kok nama orang Jawa nama gedung PWI Sumbar? Tak ada lagi nama Tokoh Pers Sumatra Barat? Seperti H. Agus Salim, Rosihan Anwar, Rivai Marlaut, dan lain-lain. Penelpon tersebut sudah jelas orang yang tidak tahu siapakah Adinegoro itu, sebenarnya dari mana asalnya, dan sebagainya. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Saya jawab, tahukah anda bahwa Djamaluddin Adinegoro itu orang Minang? Almarhum lahir di Talawi, Sawahlunto, 14 Agustus 1904. Sejak tahun 1926 sudah menyandang gelar sako adat Datuk Maharadjo Soetan dari pesukuan Patapang Sikundono. Karena percakapan ini via telepon, tentu saja saya tak melihat wajahnya, tapi saya merasakan si penelepon itu “terpurangah”. Sumber: www.ranah-minang.com/content.php?article.201 Jadi, amat banyak orang Minang yang belum kenal dengan tokoh-tokoh nasional berasal dari Sumatra Barat. Menurut Audrey Kahin, pada tahun 1945-1950, Pemerintah RI di Yogyakarta itu adalah Pemerintahan orang Minangkabau. Lihatlah Wapres RIS dan PM RIS adalah Bung Hatta yang berasal dari Minangkabau. Presiden RI (Yogya) adalah Mr. Assaat Dt. Mudo, orang Kubang Putih. Perdana Menterinya Dr. A. Halim, orang Bukittinggi, Menpen M. Natsir, H. Agus Salim, Mr. Mohd. Yamin kakak Adinegoro satu ayah, Syahrir, dan lain-lain seluruhnya orang Minang. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan
*****
Djamaluddin Adinegoro adalah adik Maha Putra Prof. Mr. Moh. Yamin yang juga lahir di Talawi, tanggal 23 Agustus 1903. Keduanya adalah putra bangsawan lokal Oesman Bagindo Chatib yang pada mulanya jadi Tuan Pakuih (Vakhuis Meester) kemudian jadi Tuanku Laras (Demang/ districthofd). Sebagai pegawai pemerintah, tentu saja ayahnya sering pindah tugas ke berbagai daerah. Karena itu, setelah memikirkan pendidikan Djamal dan Moh. Yamin, maka disepakatilah bahwa Djamaluddin dan Moh. Yamin di sekolahkan di Palembang diasuh oleh kakaknya satu ayah Moh. Yaman, guru H.I.S di sana. Moh. Yaman adalah kakak tertua dari Djamaluddin Adinegoro dan Moh. Yamin. Ketiganya satu bapak tapi berlain ibunya. Ibu Yaman lain, ibu Yamin lain dan ibu Djamaluddin pun lain. Sedangkan Moh. Yaman (kakak tertua) nikah dengan kakak Djamaluddin yang satu ibu berlain ayah, namanya Rumiah. Tegasnya, oleh sang ayah (Oesman Bagindo Chatib) telah mengawinkan anak kandungnya (Moh. Yaman) dengan anak tirinya (Rumiah). Oesman Bagindo Chatib (ayah Adinegoro) menikahi Sadariah (ibu Rumiah) setelah cerai dengan suaminya, Abdullah yang merantau ke Malaya (Semenanjung Melayu). Maka lahirlah putra Sadariah satu lagi (adik Rumiah) yakni Djamaluddin Adinegoro. Jadi, Rumiah adalah kakak satu ibu berlain bapak oleh Adinegoro dan suami Rumiah adalah kakak satu ayah oleh Adinegoro dan tidak satu ibu. Tegasnya Moh. Yaman adalah kakak tertua Adinegoro satu ayah berlain ibu. Sedangkan Rumiah adalah juga kakak Adinegoro satu ibu berlain ayah. Kedua anak manusia inilah yang kawin mawin. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Moh. Yamin meneruskan pelajarannya ke Sekolah Tinggi Hukum sehingga mendapat titel Meester in de Rechten (Mr) dan adiknya Djamaluddin (Adinegoro) masuk sekolah STOVIA, atau Sekolah Tinggi Kedokteran. Ayahnya memang mengharapkan Adinegoro jadi dokter kelak. Teman Djamaluddin di STOVIA yang sama berasal dari Ranah Minang adalah Bahder Djohan (yang kemudian dikenal sebagai Prof. Dr. Bahder Djohan, mantan Presiden (rektor) Universitas Indonesia dan Menteri P dan K dalam Kabinet Natsir), Ahmad Ramali dan Moh. Hanafiah.
Tapi kegiatan Djamaluddin yang sering tenggelam di perpustakaan sekolah melahap buku-buku yang ada, baik dalam bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Dengan melahap buku-buku itu, maka pikirannya semakin berkembang dan sebagiannya dituangkannya ke dalam bentuk tulisan article by line. Tulisan itu dikirimkannnya ke surat kabar “Tjahaja Hindia” yang dipimpin oleh anak Minang yang lain yakni Lanjumin Datuk Tumanggung. Setelah tulisan pertama dimuat, jiwanya semakin terdorong untuk menulis lagi, begitulah seterusnya. Apalagi tulisan Penulis dengan kode “DJ” itu semakin digemari pembaca. Barulah kemudian Djamaluddin dipanggil Lanjumin, Pimpinan Surat Kabar “Tjahaja Hindia”. Ia menyarankan agar setiap menulis hendaklah dengan nama samaran. Setelah dipertimbangkan dapatlah nama samaran Adinegoro yang kemudian lebih terkenal dari nama aslinya Djamaluddin. Sedangkan Lanjumin Dt. Tumanggung dengan nama samaran Nitinegoro. Melihat perkembangan Lanjumin Datuk Tumanggung dengan surat kabar Tjahaja Hindia-nya, maka Pemerintah Hindia Belanda tertarik untuk membantu usahanya itu. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum turun tangan membantunya. Ternyata kemudian Djamaluddin Adinegoro menekuni bakatnya sebagai jurnalis yang membuatnya meninggalkan tanah air menuju ke Eropa memperdalam ilmunya dalam bidang jurnalistik, baik di negeri Belanda maupun di Jerman.

*****
Sebagai seorang jurnalis (wartawan), Adinegoro memerlukan banyak bahan dalam kepalanya dan catatannya, maka ia mencoba berkeliling di Eropa dan Mesir. Catatan perjalanannya itu dikirimkannya ke tanah air untuk dimuat koran yang terbit di Hindia Belanda dan namanya semakin populer karena tulisannya di samping bahasanya bagus juga dilengkapi dengan latar belakang sejarah dan situasi politik setempat. Bukunya yang amat populer di zaman itu adalah “Melawat ke Barat” dua jilid diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pada tahun 1931 Adinegoro pulang ke tanah air dan bekerja di Panji Pustaka yang terbit dua kali seminggu. Kemudian Surat Kabar Pewarta Deli yang terbit di Medan meminta Adinegoro, seorang wartawan profesional yang tulisannya ditunggu orang setiap harinya untuk memimpin surat kabar tersebut. Apalagi kupasannya tentang luar negeri yang belum ada duanya pada zaman sebelum perang. Ketika itu baru tiga orang wartawan Indonesia yang profesional, artinya yang khusus belajar di Sekolah Jurnalistik. Yang tiga orang itu adalah Djamaluddin Adinegoro, Tabrani dan Yahya Yakub. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Nestor Wartawan Indonesia itu pada zaman Jepang jadi Sekretaris Tjou Syangi In yang diketuai oleh Moh. Sjafei, Kayu Tanam. Karena suasana penerbitan pers di Zaman Dai Toa Senso itu tidak menggembirakan, maka Adinegoro pulang ke Bukittinggi. Pada awal kemerdekaan, beliau adalah Pejuang Kemerdekaan bersama Mr. Teuku Moh. Hasan, Dr. Moh. Amir (yang masih kerabatnya) dan pernah jadi Residen Sumatra Timur dan anggota BPUPKI. Sedangkan Engku Moh. Sjafei jadi Residen pertama Sumatra Barat (Baca: Mengenang Seorang Gubernur Lipat). Sementara Adinegoro ditunjuk sebagai Komisaris RI di Sumatra. Mendirikan surat kabar Kedaoelatan Rakjat di Bukittinggi, pemancar radio dan kantor berita Antara. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Ia kemudian meninggalkan Bukittinggi dan menetap di Jakarta serta mendirikan majalah Mimbar Indonesia bersama Mr. Gusti Mayur, Ir. Pangeran Moh. Noer dan PIA (Pers biro Indonesia “Aneta”). Ketika di zaman Nasakomnya Orde Lama di mana PKI sangat berkuasa dan Adinegoro adalah wartawan yang menentang komunisme, maka Adinegoro mulai disingkirkan oleh lawan-lawan politiknya. Kamardi Rais Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Soetan Pada 8 Januari 1967, nestor wartawan yang berasal dari Talawi, Sawahlunto itu menutup mata buat selama-lamanya dan dimakamkan di Karet, Jakarta. Pada tahun 1974, Adinegoro diberi penghargaan dan ditetapkan sebagai PERINTIS PERS INDONESIA oleh Pemerintah. Dan untuk mengenang jasanya dalam bidang pers, PWI Jaya mengadakan Hadiah Adinegoro bagi wartawan yang punya prestasi yang pada tahun lalu jatuh ke Ranah Minang, wartawan Khairul Jasmi, Koresponden Republika. Ingatlah pesan Nestor Jurnalistik Adinegoro ketika dulu disampaikan kepada wartawan-wartawan muda yang datang mengunjunginya, antara lain saya dengar dan saya kutip dari wartawan Zakaria Yamin (alm) yang pada tahun 1946 itu anak buah Adinegoro“wartawan adalah kelompok intelektual, karena itu janganlah jadi si to-oh” Soetan Zakaria bertanya: “Apa itu si to-oh?” Adinegoro menjawab, “bebek dungu! Karena itu kalian harus belajar terus! Journalism touches life at all points,” katanya. Jurnalistik menyentuh seluruh segi kehidupan

Sumber : http://www.ranah-minang.com/
Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie

Tidak ada komentar: