Senin, 07 Januari 2008

Hasnan Habib, Letjen (Purn)


Jenderal yang Tidak Pernah Cuti

Letnan Jenderal (Purn) A Hasnan Habib, intelektual militer yang tak henti-hentinya berperan merancang dan menggagas reorganisasi, konsolidasi dan integrasi militer Indonesia, yang juga mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (1982-1985), meninggal dunia dalam usia 78 tahun, Kamis 16 Februari 2006 pukul 21.19 WIB, di Rumah Sakit Pondoh Indah, Jakarta. Jenazah pengamat politik dan militer, itu disemayamkan di Jalan Sekolah Duta Raya TC 6 Pondok Indah, Jakarta Selatan. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata setelah shalat Jumat 17 Februari 2006.

Dia meninggal akibat menderita kanker di lambung dan berbagai komplikasi penyakit. Namun selama satu bulan dirawat, dia nyaris tidak pernah memperlihatkan rasa sakitnya. Bahkan sekitar satu jam sebelum meninggal, dia masih meminta koran.Tak Pernah Cuti
Ia militer intelektual yang tak henti-hentinya berperan merancang dan menggagas reorganisasi, konsolidasi dan integrasi militer Indonesia. Ia ingin menjadikan tentara Indonesia yang profesional. Menurutnya, bukan hanya dwifungsi (ketika itu) yang menampilkan wajah militer Indonesia tidak profesional, juga soal anggaran militer tak pernah jelas sejak terbentuknya republik ini.Meski pangkat terakhirnya letnan jenderal, sosok Hasnan Habib- pria kelahiran Maninjau (Sumatera Barat) 3 Desember 1927 – ini memang lebih dekat dengan dunia intelektual daripada medan tempur. Sebagai anak dari pasangan guru dan penilik sekolah, tak heran jika Hasnan juga merasa akrab dengan urusan berpikir dan mentransformasikan pikiran.Aktivitas intelektual tak lekang dengan usia. Jika diingatkan pada umur, yang tanggal 3 Desember 2002 lalu, genap berusia 75 tahun, ini malah merujuk pada mereka yang lebih tua dan tetap bersemangat seperti Selo Soemardjan. Karena itu, berbagai posisi tetap dipegang, seperti anggota Dewan Penasihat Yayasan Paramadina, Dewan Penasihat The Nature Conservancy, Pengurus Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Pendiri Yayasan Pusaka Alam Nusantara, anggota Board of Trustee US-Indonesia Society, dan sederet posisi lain.Ilmu yang diserap dari Infantry Company Officer Course di Fort Benning (AS) tahun 1952-yang katanya lebih mengajarkan pada keahlian (skill) tempur dibanding pengetahuan (knowledge) dalam kesiapan mental tempur-menjadi bekal bagi dirinya untuk merintis awal Sekolah Pelatih Infanteri di Cimahi yang menghasilkan instruktur untuk pendidikan serupa di tingkat tamtama dan bintara di seluruh Indonesia. Bersama dengan rekannya, Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Hasnan juga mendidik tiga angkatan pada Sekolah Pendidikan Infanteri tahun 1955 di Bandung. Waktu pangkatnya mencapai letnan kolonel, Hasnan Habib mulai dikirim untuk memperdalam militer sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Antara tahun 1962-1964, ia belajar di Higher Military Academy and War College, Beograd (Yugoslavia). Ini dilanjutkan pada tahun 1971 dengan belajar di Naval Post Graduate School, Monterrey, California (AS). "Di sini saya belajar soal manajemen pertahanan, soal kepemimpinan, dan organisasi," ujarnya. Terpapar dengan berbagai gagasan soal bangunan militer yang modern, di tubuh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang Tentara Nasional Indonesia/TNI) Hasnan pun tak henti-hentinya berperan menjadi perancang dan penggagas reorganisasi, konsolidasi, dan integrasi militer Indonesia. Asisten Perencanaan Umum Hankam, Kepala Staf Departemental Hankam, dan Kepala Staf Administrasi Hankam adalah deretan jabatan yang dipegangnya. "Saya ingin menjadikan tentara Indonesia yang profesional," begitu cita-citanya saat itu. Salah satu alasannya, di dunia internasional Indonesia akan dilihat terus-menerus dalam krisis, kalau selalu mengedepankan tentara daripada sipil.Namun, di sisi lain, Hasnan pun tidak bisa memungkiri bahwa peran TNI dalam mewujudkan kemerdekaan sangat besar. Dan, konflik di berbagai wilayah mau tidak mau membutuhkan kepemimpinan tangan kuat yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh militer. Dari sini muncullah para pejabat birokrasi pemerintahan yang memang meniti karier dari dunia militer. "Jadi, dwifungsi ABRI itu sudah ada sejak lahirnya kemerdekaan," kata Hasnan. Bukan hanya dwifungsi (ketika itu) yang menampilkan wajah tidak profesionalnya militer Indonesia, celakanya, anggaran militer sendiri sejak terbentuknya republik juga tak pernah jelas. Akibatnya, pengelolaan dana terbiasa untuk tidak tertata. Beban utama untuk menjaga keamanan dalam negeri, kata Hasnan, membuat tanggung jawab keuangan menjadi nomor dua. "Yang penting, hasilnya adalah Indonesia aman," ujarnya.Bukan lagi cerita kalau sikap "bapak"-isme merebak sejak dahulu di kalangan militer. Seorang komandan kompi, kata Hasnan, bertanggung jawab juga terhadap kesejahteraan anak buah. "Termasuk bertanggung jawab mencari dana untuk beli senjata. Akibatnya, mereka terbiasa dagang. Dan, terbiasa juga tidak ada auditing," ujarnya. ***Andaikata tawaran belajar biola di sekolah musik di Wina (Austria) lebih setengah abad lalu diterimanya, mungkin kita tak akan mengenal nama Letnan Jenderal (Purn) Adnil Hasnan Habib berkibar di dunia militer dan diplomasi. Kita tak akan bersentuhan dengan berbagai pemikirannya yang jernih dan lugas, terutama dalam soal pertahanan keamanan dan hubungan internasional. Boleh jadi, yang kita lihat adalah seorang Hasnan yang menggesek biola di atas panggung bersama orkes simfoni. "Tidak. Tugas saya di sini," begitu jawab Hasnan Habib atas tawaran seorang anggota panitia, sehari setelah sebuah konser untuk menghimpun dana bagi pembelian pesawat pengebom dilakukan di Akademi Militer Yogyakarta saat itu. Dalam bahasa Hasnan, begitu ia bergabung dengan dunia militer-dimulai dengan sekolah pendidikan calon perwira bikinan Jepang, Gyugun, di Padang, Sumatera Barat-semuanya mengalir begitu saja, "Seperti air bah." Suasana saat itu juga diwarnai semangat patriotisme untuk membangun sistem pertahanan rakyat. Dan, ini mungkin bisa dipahami juga dari kekaguman Hasnan muda pada kepemimpinan Kemal Ataturk di Turki. Hasnan memang mengaku tak pernah berpikir untuk keluar dari dunia militer, kendati ia jago main biola, pernah ingin jadi dokter, dan rekan-rekannya-seperti mantan Menteri Pertambangan Prof Dr Subroto-satu demi satu keluar untuk beralih ke dunia akademis. Ia bahkan meninggalkan biola, "Sejak clash ke-2," kata Hasnan. Padahal, saat remaja di INS Kayutanam pada awal kehadiran Jepang, ia adalah satu dari tiga pemain biola utama sekolahnya. "Belakangan, biola hanya saya mainkan pada acara-acara makan malam yang sifatnya pribadi," kata anak pasangan Habib Sutan Maharaja dan Malini, yang keduanya memang pemain biola. Kendati demikian, Hasnan tak menolak ketika diminta tampil dalam sebuah pesta diplomatik di Bangkok saat ia menjadi Duta Besar untuk Kerajaan Thailand, merangkap Wakil Tetap RI untuk Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik PBB (UN ESCAP) tahun 1980-an. ***Mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (1982-1985) dan Duta Besar Keliling Gerakan Non Blok untuk Amerika Utara, Karibia, Amerika Latin (1992-1995), ini memang selalu bicara apa adanya. Mengkritik secara terbuka dengan ringan dilakukannya, termasuk berbagai soal yang menyangkut militer. "Kalaupun orang lebih mengira saya intelektual ketimbang pensiunan jenderal, karena saya memang tidak pernah membubuhkan pangkat saya di depan nama pada ceramah-ceramah saya," katanya. Pada akhir tahun 1998, misalnya, komentar Hasnan soal "perwira ABRI sebagai traders in uniform (pedagang berseragam)" membuat rekannya, Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo mengirim surat pembaca ke harian ini dan menyebut Hasnan sebagai kurang dapat menyelami dan merasakan risiko kehidupan seorang prajurit lapangan.Bagi Hasnan, bicara apa adanya-sejauh diri kita tak memiliki kepentingan tersembunyi di balik kata-kata-bukanlah hal yang harus diredam. Bahkan, dirinya yang beberapa kali diminta mantan Presiden Soeharto untuk ikut menangani persoalan ekonomi-di antaranya saat Pertamina nyaris bangkrut terlilit utang tahun 1970-an-terbiasa bicara tanpa tedeng aling-aling. Kendati kadangkala melihat perubahan wajah Pak Harto ("Dahinya langsung berkerut," ujar Hasnan), ia terus saja bicara. Umumnya, Soeharto pun bisa menerima argumentasinya."Mungkin karena saya ini bukan orang Jawa, jadi agak barbar ya, ha...ha...ha...," ujar suami dari Naida Zastia dan ayah dari Afitri Narindra, Kemala Damita, Narga Shakri, dan Syahriza Hirsyan, sambil tergelak.

Lebih Sipil
Ia seorang purnawirawan militer berbintang tiga. Namun jika bicara dengannya sama sekali akan tidak terasa bahwa dia dahulunya militer tulen yang berprestasi baik. Ia tampak sangat sipil melebihi kalangan tokoh sipil lainnya. Bicaranya enak didengar dan menyejukkan. Rasanya berbicara dengan pria kelahiran Maninjau, Sumatera Barat 3 Desember 1926 ini sama seperti sedang bertemu dengan seorang guru empu yang membimbing dan mengayomi. Adnil Hasnan Habib, biasa dikenal Hasnan Habib saja mempunyai latar belakang, pendidikan, dan pengalaman hidup beragam yang membentuk persepsi dan sosok dirinya menjadi utuh sedemikian rupa. Ia adalah lulusan sekolah akademi militer dalam dan luar negeri, pernah duduk di bangku kuliah fakultas ekonomi, diplomat ulung di berbagai negara besar, eksekutif di lembaga sosial dan ekonomi lembaga internasional, pemikir yang menggodok dan menyusun GBHN, politisi di lembaga politik sekelas MPR, sebagai perwira militer menerima banyak penugasan di berbagai lapangan, dan menjadi pembicara serta penceramah kunci di berbagai institusi pendidikan militer. Ia adalah perencana sekaligus pemikir ulung dari kalangan militer yang mempunyai akses kemana-mana dan diterima dimana-mana. Pergaulannya luas.Riwayat Hasnan Habib masuk tentara bermula ketika di jaman Jepang ia bersama 12 kawannya berinisiatif minta dilatih militer oleh Jepang. Disetujui, mereka lalu dipersiapkan untuk menyongsong Indonesia merdeka. Tahun 1945-1946 ia pernah menjalani masa pendidikan militer di Akademi Militer Yogyakarta dan di luar negeri tahun 1962-1964 di War College Yugoslavia. Namun ketika Jepang sudah menyerah kalah kepada tentara Sekutu sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, pasukannya bersama 12 kawan-kawan dibubarkan. Setelah proklamasi ia bergabung dengan kesatuan yang diprakarsai Ismael Lengah, di Sumatera Tengah. Sebelumnya sekitar tahun 1945-1950 ia memang pernah bertugas sebagai perwira lapangan di daerah itu.Hasnan Habib pernah mendalami studi ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Parahiyangan, Bandung, tahun 1957 yang kelak berguna baginya ketika dipercaya menjadi Direktur Eksekutif IMF untuk sejumlah negara Asia Tenggara, Fiji, dan Nepal, juga ketika ditugaskan menjadi Duta Besar RI untuk Thailand merangkap Wakil Tetap RI untuk Escap sebuah komisi ekonomi dan sosial untuk Asia Pasifik.Masa dinas aktifnya di militer lebih banyak diisi menjadi guru atau komandan sekolah kader infantri. Ia terlibat aktif sebagai perencana dan analisis militer di Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam), ikut ambil bagian dalam penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bidang pembangunan pertahanan dan keamanan nasional pada tahun 1970 dan 1973. Meski sekian lama berkecimpung di bidang militer, termasuk mengecap pendidikan ilmu perang di luar negeri, sosok dan ketokohan Hasnan Habib lebih menonjol sebagai pemikir daripada ahli perang.Ketika menjadi anggota MPR RI tahun 1973-1978 ia berkesempatan menuangkan pemikirannya dalam sejumlah karya tulis. Misalnya, tulisan “Konsep Strategi Jangka Panjang Indonesia” sebuah telaah yang jangkauannya menembus batas waktu hingga tahun 2000. Demikian pula, karya tulis “Ketahanan Nasional, Wawasan Nusantara”, serta “Politik Pertahanan Keamanan Indonesia Sejak Orde Baru” sebuah tulisan yang hanya boleh diedarkan untuk kalangan terbatas.Tahun 1982 ia ditugaskan menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat ketika negara adidaya ini sudah tidak lagi menjalankan politik luar negeri yang serba kaku. Hasnan menyebutkan, Amerika sudah bisa memahami posisi Non Blok yang dijalankan Indonesia. “Kalau tahun 1950-an, kalau kita tidak bersama mereka, artinya lawan,” jelas Habib. Kata Habib lagi, Amerika juga sudah dapat memahami persoalan Timor Timur dan tentang konsep Wawasan Nusantara.Hasnan Habib mantan penasehat Menristek/Kepala BPPT era BJ Habibie ini pernah pula ditugaskan menjadi Duta Besar RI di Thailand, merangkap sebagai Wakil Tetap RI untuk Escap sebuah komisi bidang ekonomi dan sosial untuk Asia dan Pasifik. Ia juga pernah menjadi Direktur Eksekutif IMF untuk sejumlah negara Asia Tenggara, Fiji, dan Nepal. Seusai pelaksanaan KTT Gerakan Non Blok (GNB), di Bogor, Jawa Barat tahun 1993 Kepala Negara Presiden Soeharto kembali menugaskannya mengemban misi diplomasi sebagai Duta Besar Keliling GNB untuk Kawasan Amerika, Karibia, dan Amerika Latin.Hasnan Habib dikenal sebagai pekerja keras yang tak pernah mengenal kata cuti. Sejak perjuangan fisik dahulu hingga berakhir masa dinas aktif militer ia nyaris tak pernah cuti. Pada tahun 1973 ia pernah diperintahkan oleh atasannya Menteri Pertahanan dan Keamaan untuk cuti, lalu pergi beristirahat ke Tampaksiring, Bali. Ia hanya bisa bertahan beberapa hari di sana lalu segera kembali ke Jakarta dan masuk kerja sebagaimana biasa kendati masih dalam status cuti.Persoalannya menjadi runyam ketika kebiasaannya itu dianggap dan diperlakukan sama terhadap semua orang lain. Seorang perwira ajudannya berpangkat kapten meminta cuti kepada Hasnan Habib. “Kamu, apa tugasnya, apa pengalaman kamu, belum apa-apa sudah minta cuti. Saya marah betul,” kenang Hasnan tentang sikapnya terhadap ajudannya yang meminta izin cuti.Tiba di rumah kejadian tersebut diceritakannya kepada istri. Sang istri, Naida Zastia malah menegur Hasnan Habib. “Kalau kamu tak mau cuti, itu urusanmu. Tapi kalau bawahanmu minta cuti, ada ketentuan yang mengaturnya,” terang istrinya. Ia lalu merenung. Esoknya si ajudan segera dipanggilnya. “Mana surat permohonan cutimu kemarin, biar saya tandatangani,” kata Hasnan Habib akhirnya.Pada akhirnya hanya Hasnan Habiblah yang mampu membuktikan diri sebagai jenderal yang tak pernah mengenal kata cuti atau bahkan pensiun. Di luar jabatan resmi yang seolah tak pernah putus-putusnya dipercayakan kepadanya, Hasnan Habib adalah nara sumber utama yang menyejukkan bicara tentang politik, pertahanan, keamanan, serta hubungan internasional. Hasnan Habib pandai berbicara sama pandainya menulis untuk menuangkan isi pemikiran. Anak kedua dari tiga bersaudara ini mengakui kebolehannya sebagai guru dan menulis mungkin menurun dari kedua orangtuanya. Ayahanda Habib Sutan Maharaja adalah pensiunan penilik sekolah sekaligus pengarang roman “Nasib”, yang tahun 1932 telah diterbitkan oleh Balai Pustaka ketika usia Habib masih belia enam tahun. Sedangkan ibunya Habib Sutan Maharaja Malini, semasa hidupnya adalah seorang guru. Mertua Hasnan pun, Saadah Alim dikenal beken sebagai pengarang.Hasnan Habib sering dimintakan memberikan ceramah di berbagai forum khususnya di lingkungan militer seperti Akabri, Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI, dan Lemhannas. Ia mendapat anugerah 19 bintang jasa dan lencana, salah satunya Bintang Mahaputera Pratama dari Presiden RI. Berbicara tentang keberhasilan yag dicapainya, Hasnan Habib menyebutkan semuanya adalah berkat kebiasaannya yang tak pernah berhenti belajar. Tak ada waktu kosong yang tak termanfaatkan. Alias tak pernah cuti. Ia banyak membaca. “Yang penting, saya tidak pernah bersikap menanti. Malah, sering tugas yang menunggu,” tukas suami dari Naida Zastia asal dari Kota Padang. Mereka dikaruniai empat orang anak. Hasnan Habib suka menikmati musik klasik seraya membaca. Untuk memelihara kondisi fisik manusia yang tak mengenal kata cuti ini senang sekali bermain tennis. ►e-ti/tsl
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Nama:Letjen (Purn) Hasnan Habib
Lahir:Maninjau, Sumatera Barat, 3 Desember 1927
Meninggal:Jakarta, 16 Februari 2006
Agama:Islam
Isteri:Naida Zastia
Anak:Afitri Narindra, Kemala Damita, Narga Shakri, dan Syahriza Hirsyan
Ayah:Habib Sutan Maharaja
Ibu:Malini
Pendidikan:
- Sekolah Pelatih Infanteri di Cimahi
- Infantry Company Officer Course di Fort Benning (AS) tahun 1952
- Universitas Parahyangan, Bandung (1957)
- Higher Military Academy and War College, Beograd (Yugoslavia) 1962-1964
- Naval Post Graduate School, Monterrey, California (AS) tahun 1971

Pekerjaan:
Pelatih Sekolah Pendidikan Infanteri di Bandung tahun 1955
Asisten Perencanaan Umum Hankam
Kepala Staf Departemental Hankam
Kepala Staf Administrasi Hankam
Duta Besar RI untuk Kerajaan Thailand, merangkap Wakil Tetap RI untuk Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik PBB (UN ESCAP) tahun 1980-an.
Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (1982-1985)
Duta Besar Keliling Gerakan Non Blok untuk Amerika Utara, Karibia, Amerika Latin (1992-1995)

Kegiatan Lain:
Anggota Dewan Penasihat Yayasan Paramadina
Dewan Penasihat The Nature Conservancy
Pengurus Yayasan Ilmu-ilmu Sosial
Pendiri Yayasan Pusaka Alam Nusantara
Anggota Board of Trustee US-Indonesia Society

Sumber:
Dari berbagai sumber di antaranya Kompas dan “Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang, Edisi I-1995, halaman 29-32, terbitan Biro Penerbitan BK3AM DKI Jakarta).

Tidak ada komentar: